Surat Al-Kahfi: Cahaya di Antara Dua Jumat

Ilustrasi gua sebagai simbol perlindungan dalam Surat Al-Kahfi.

Surat Al-Kahfi (Gua) adalah surat ke-18 dalam Al-Quran yang terdiri dari 110 ayat. Surat ini termasuk dalam golongan surat Makkiyah, yang diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Namanya merujuk pada kisah utama di dalamnya, yaitu Ashabul Kahfi atau para penghuni gua. Surat ini memiliki keutamaan luar biasa, terutama ketika dibaca pada hari Jumat, diyakini akan memberikan cahaya dan perlindungan dari fitnah Dajjal.

Surat ini tidak hanya menceritakan satu, melainkan empat kisah besar yang sarat akan hikmah dan pelajaran. Setiap kisah menggambarkan sebuah ujian atau fitnah yang sering dihadapi manusia: fitnah akidah (Ashabul Kahfi), fitnah harta (pemilik dua kebun), fitnah ilmu (Nabi Musa dan Khidir), serta fitnah kekuasaan (Dzulqarnain). Melalui narasi yang mendalam, kita diajak untuk merenungi hakikat kehidupan, kesabaran, keimanan, dan kekuasaan mutlak Allah SWT.


Pembukaan: Pujian dan Peringatan (Ayat 1-8)

Bagian awal surat ini dibuka dengan pujian agung kepada Allah SWT, yang telah menurunkan kitab suci Al-Quran. Allah menegaskan bahwa Al-Quran adalah kitab yang lurus, sempurna, tanpa kebengkokan, dan berfungsi sebagai petunjuk serta peringatan bagi seluruh umat manusia. Ayat-ayat ini meletakkan fondasi tauhid dan kenabian, sekaligus mengingatkan bahwa segala hiasan di muka bumi ini hanyalah ujian sementara.

1. al-ḥamdu lillāhillażī anzala 'alā 'abdihil-kitāba wa lam yaj'al lahụ 'iwajā

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.

2. qayyimal liyunżira ba`san syadīdam mil ladun-hu wa yubasysyiral-mu`minīnallażīna ya'malụnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā

Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.

3. mākiṡīna fīhi abadā

Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

4. wa yunżirallażīna qāluttakhażallāhu waladā

Dan untuk memperingatkan kepada orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak."

5. mā lahum bihī min 'ilmiw wa lā li`ābā`ihim, kaburat kalimatan takhruju min afwāhihim, iy yaqụlụna illā każibā

Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka.

6. fa la'allaka bākhi'un nafsaka 'alā āṡārihim il lam yu`minụ bihāżal-ḥadīṡi asafā

Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).

7. innā ja'alnā mā 'alal-arḍi zīnatal lahā linabluwahum ayyuhum aḥsanu 'amalā

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.

8. wa innā lajā'ilụna mā 'alaihā ṣa'īdan juruzā

Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.

Ayat-ayat pembuka ini menegaskan posisi Al-Quran sebagai wahyu yang sempurna, tidak ada cacat di dalamnya. Ia datang untuk dua tujuan utama: memberikan peringatan keras kepada mereka yang ingkar, terutama yang menyekutukan Allah dengan konsep "anak Tuhan", dan memberikan kabar gembira berupa surga abadi bagi orang-orang beriman yang beramal saleh. Allah juga menghibur Nabi Muhammad SAW agar tidak terlalu berduka atas penolakan kaumnya. Poin krusial di akhir bagian ini adalah penegasan bahwa dunia dan segala isinya adalah perhiasan yang fana, sebuah arena ujian untuk melihat siapa yang paling baik amalnya sebelum semuanya kembali menjadi tanah tandus.


Kisah 1: Ashabul Kahfi - Ujian Keimanan (Ayat 9-26)

Inilah kisah sentral yang menjadi nama surat ini. Kisah sekelompok pemuda yang melarikan diri dari seorang raja tiran demi mempertahankan akidah tauhid mereka. Mereka berlindung di sebuah gua dan atas kehendak Allah, ditidurkan selama ratusan tahun. Kisah ini adalah simbol perlawanan terhadap kezaliman, kekuatan doa, dan bukti nyata kekuasaan Allah dalam membangkitkan makhluk setelah kematian.

9. am ḥasibta anna aṣ-ḥābal-kahfi war-raqīmi kānụ min āyātinā 'ajabā

Apakah engkau mengira bahwa orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?

10. iż awal-fityatu ilal-kahfi fa qālụ rabbanā ātinā mil ladungka raḥmataw wa hayyi` lanā min amrinā rasyadā

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami."

Doa para pemuda ini sangat indah. Mereka tidak hanya meminta keselamatan fisik, tetapi juga rahmat dan petunjuk (rasyad) dalam urusan mereka. Ini menunjukkan kedalaman iman mereka, bahwa dalam situasi paling genting pun, yang mereka utamakan adalah bimbingan ilahi.

11. fa ḍarabnā 'alā āżānihim fil-kahfi sinīna 'adadā

Maka Kami tutup telinga mereka di dalam gua itu selama beberapa tahun.

12. ṡumma ba'aṡnāhum lina'lama ayyul-ḥizbaini aḥṣā limā labiṡū amadā

Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (di dalam gua itu).

Allah menidurkan mereka dengan cara "menutup telinga mereka", sebuah kiasan yang indah untuk menggambarkan tidur yang sangat lelap dan terputus dari dunia luar. Kebangkitan mereka menjadi bukti nyata bagi orang-orang yang ragu akan hari kebangkitan.

13. naḥnu naquṣṣu 'alaika naba`ahum bil-ḥaqq, innahum fityatun āmanụ birabbihim wa zidnāhum hudā

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.

14. wa rabaṭnā 'alā qulụbihim iż qāmụ fa qālụ rabbunā rabbus-samāwāti wal-arḍi lan nad'uwa min dụnihī ilāhal laqad qulnā iżan syaṭaṭā

Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri (di hadapan penguasa) lalu mereka berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran."

15. hā`ulā`i qaumunattakhażụ min dụnihī ālihah, lau lā ya`tụna 'alaihim bisulṭānim bayyin, fa man aẓlamu mimmaniftarā 'alallāhi każibā

Kaum kami ini telah menjadikan tuhan-tuhan (untuk disembah) selain Dia. Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?

Ayat 14 dan 15 menunjukkan keteguhan hati para pemuda ini. "Wa rabathna 'ala qulubihim" (Dan Kami teguhkan hati mereka) adalah intervensi ilahi yang memberikan mereka keberanian untuk mendeklarasikan tauhid di hadapan penguasa zalim. Mereka menantang kaumnya untuk memberikan bukti atas kesyirikan mereka, sebuah argumen logis yang tak terbantahkan.

16. wa iżi'tazaltumụhum wa mā ya'budụna illallāha fa`wū ilal-kahfi yansyur lakum rabbukum mir raḥmatihī wa yuhayyi` lakum min amrikum mirfaqā

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusanmu.

Ini adalah momen 'uzlah (mengasingkan diri) yang strategis. Ketika dakwah secara terbuka sudah tidak memungkinkan dan nyawa terancam, mereka memilih untuk menyelamatkan iman mereka. Mereka yakin bahwa dalam pengasingan itu pun, rahmat Allah akan tercurah.

17. wa tarasy-syamsa iżā ṭala'at tazāwaru 'ang kahfihim żātal-yamīni wa iżā garabat taqriḍuhum żātasy-syimāli wa hum fī fajwatim min-h, żālika min āyātillāh, may yahdillāhu fa huwal-muhtadi wa may yuḍlil fa lan tajida lahụ waliyyam mursyidā

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam, menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

18. wa taḥsabuhum aiqāẓaw wa hum ruqụd, wa nuqallibuhum żātal-yamīni wa żātasy-syimāl, wa kalbuhum bāsiṭun żirā'aihi bil-waṣīd, lawiṭṭala'ta 'alaihim lawallaita min-hum firāraw wa lamuli`ta min-hum ru'bā

Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

Ayat 17 dan 18 adalah deskripsi sinematik yang luar biasa tentang bagaimana Allah melindungi tubuh mereka. Posisi gua yang strategis, di mana matahari tidak langsung menyinari mereka, serta tindakan Allah membolak-balikkan tubuh mereka, adalah bukti penjagaan-Nya yang sempurna. Kehadiran mereka yang tampak hidup namun tidur menciptakan aura yang menakutkan, sebagai bentuk perlindungan tambahan dari gangguan luar.

19. wa każālika ba'aṡnāhum liyatasā`alụ bainahum, qāla qā`ilum min-hum kam labiṡtum, qālụ labiṡnā yauman au ba'ḍa yaụm, qālụ rabbukum a'lamu bimā labiṡtum, fab'aṡū aḥadakum biwariqikum hāżihī ilal-madīnati falyanẓur ayyuhā azkā ṭa'āman falya`tikum birizqim min-hu walyatalaṭṭaf wa lā yusy'iranna bikum aḥadā

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka, "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)." Mereka menjawab, "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain lagi), "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun."

20. innahum iy yaẓ-harụ 'alaikum yarjumụkum au yu'īdụkum fī millatihim wa lan tufliḥū iżan abadā

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.

Setelah bangun, persepsi waktu mereka kacau, mengira hanya tidur sejenak. Ini menunjukkan betapa relatifnya waktu dalam kuasa Allah. Prioritas mereka segera beralih ke kebutuhan dasar (makanan), namun tetap dengan kewaspadaan tinggi. Mereka sadar betul bahaya yang mengancam jika keberadaan mereka terungkap. Perintah untuk "walyatalaththaf" (berlaku lemah lembut/hati-hati) adalah pelajaran penting tentang strategi dan kebijaksanaan dalam menghadapi situasi berbahaya.

21. wa każālika a'ṡarnā 'alaihim liya'lamū anna wa'dallāhi ḥaqquw wa annas-sā'ata lā raiba fīhā, iż yatanāza'ụna bainahum amrahum fa qālubnụ 'alaihim bun-yānā, rabbuhum a'lamu bihim, qālallażīna galabụ 'alā amrihim lanattakhiżanna 'alaihim masjidā

Dan demikian (pula) Kami memperlihatkan (manusia) dengan mereka, agar mereka tahu, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat itu tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata, "Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya."

Penemuan Ashabul Kahfi oleh masyarakat di zaman berikutnya, yang telah menjadi masyarakat beriman, menjadi bukti empiris akan hari kebangkitan. Namun, setelah kematian mereka, manusia justru berselisih. Ada yang ingin mengisolasi tempat itu, ada pula yang ingin menjadikannya tempat ibadah, sebuah peringatan tentang potensi penyimpangan dalam mengagungkan orang-orang saleh.

22. sayaqụlụna ṡalāṡatur rābi'uhum kalbuhum, wa yaqụlụna khamsatun sādisuhum kalbuhum rajmam bil-gaīb, wa yaqụlụna sab'atuw wa ṡāminuhum kalbuhum, qur rabbī a'lamu bi'iddatihim mā ya'lamuhum illā qalīl, fa lā tumāri fīhim illā mirā`an ẓāhiraw wa lā tastafti fīhim min-hum aḥadā

Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan, "Lima orang, yang keenam adalah anjingnya," sebagai terkaan terhadap yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan, "Tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya." Katakanlah, "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit." Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka.

Ayat ini memberikan pelajaran berharga tentang fokus. Al-Quran mengkritik perdebatan sia-sia tentang jumlah pemuda tersebut. Inti dari kisah ini bukanlah angka, melainkan pelajaran iman dan tauhid di baliknya. Kita diperintahkan untuk menghindari perdebatan yang tidak produktif dan menyerahkan pengetahuan tentang hal gaib kepada Allah.

23. wa lā taqụlanna lisyai`in innī fā'ilun żālika gadā

Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi."

24. illā ay yasyā`allāh, ważkur rabbaka iżā nasīta wa qul 'asā ay yahdiyani rabbī li`aqraba min hāżā rasyadā

Kecuali (dengan menyebut), "Insya Allah." Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini."

25. wa labiṡụ fī kahfihim ṡalāṡa mi`atin sinīna wazdādụ tis'ā

Dan mereka tinggal dalam gua mereka selama tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun.

26. qulillāhu a'lamu bimā labiṡụ, lahụ gaibus-samāwāti wal-arḍ, abṣir bihī wa asmi', mā lahum min dụnihī miw waliyyiw wa lā yusyriku fī ḥukmihī aḥadā

Katakanlah, "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindungpun bagi mereka selain daripada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan."

Penutup kisah Ashabul Kahfi ini diakhiri dengan dua penegasan fundamental. Pertama, pentingnya mengucapkan "Insya Allah" (jika Allah menghendaki) sebagai bentuk pengakuan atas keterbatasan manusia dan kekuasaan mutlak Allah atas masa depan. Kedua, penegasan kembali bahwa hanya Allah yang mengetahui hal gaib, termasuk durasi pasti mereka di dalam gua. Ini mengembalikan fokus dari detail yang diperdebatkan ke keagungan Allah SWT.


Kisah 2: Pemilik Dua Kebun - Ujian Harta (Ayat 32-44)

Kisah kedua adalah sebuah perumpamaan tentang dua orang. Satu orang diberi anugerah kekayaan berupa dua kebun yang subur, namun ia menjadi sombong, kufur nikmat, dan meragukan hari kiamat. Sahabatnya yang miskin namun beriman menasihatinya, tetapi ia menolak. Akhirnya, Allah menghancurkan kebunnya, dan ia pun menyesal. Ini adalah pelajaran mendalam tentang fitnah harta dan pentingnya rasa syukur.

32. waḍrib lahum maṡalar rajulaini ja'alnā li`aḥadihimā jannataini min a'nābiw wa ḥafafnāhumā binakhliw wa ja'alnā bainahumā zar'ā

Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.

33. kiltal-jannataini ātat ukulahā wa lam taẓlim min-hu syai`aw wa fajjarnā khilālahumā naharā

Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu.

34. wa kāna lahụ ṡamar, fa qāla liṣāḥibihī wa huwa yuḥāwiruhū ana akṡaru mingka mālaw wa a'azzu nafarā

Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat."

Deskripsi kebun ini sangat detail, melukiskan gambaran kesempurnaan dan kelimpahan. Namun, kelimpahan ini justru menjadi pemicu kesombongan. Si pemilik kebun mulai membandingkan dirinya dengan sahabatnya, menggunakan standar materi (harta dan pengikut) sebagai tolok ukur kemuliaan. Inilah akar dari fitnah harta: ia membuat manusia merasa lebih unggul dari yang lain.

35. wa dakhala jannatahụ wa huwa ẓālimul linafsih, qāla mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadā

Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya."

36. wa mā aẓunnus-sā'ata qā`imataw wa la`ir rudittu ilā rabbī la`ajidanna khairam min-hā munqalabā

"Dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu."

Kesombongan material ini dengan cepat merembet ke ranah akidah. Ia menjadi zalim pada dirinya sendiri dengan melupakan Sang Pemberi Nikmat. Ia merasa kekayaannya akan abadi dan bahkan meragukan eksistensi hari kiamat. Sikapnya menunjukkan arogansi tingkat tinggi; bahkan jika kiamat itu ada, ia merasa berhak mendapatkan yang lebih baik di akhirat. Ini adalah cerminan dari orang yang tertipu oleh dunia.

37. qāla lahụ ṣāḥibuhụ wa huwa yuḥāwiruhū a kafarta billażī khalaqaka min turābin ṡumma min nuṭfatin ṡumma sawwāka rajulā

Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya, "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?"

38. lākinna huwallāhu rabbī wa lā usyriku birabbī aḥadā

"Tetapi aku (percaya bahwa), Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku."

39. walau lā iż dakhalta jannataka qulta mā syā`allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani ana aqalla mingka mālaw wa waladā

"Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu 'Masya-Allah, la quwwata illa billah' (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan."

Sahabat yang beriman memberikan nasihat yang sangat mendasar. Ia mengingatkan tentang asal-usul penciptaan manusia yang hina (dari tanah dan air mani) untuk meruntuhkan kesombongan. Ia kemudian mendeklarasikan tauhidnya dan mengajarkan kalimat kunci untuk melindungi diri dari 'ain (rasa takjub yang merusak) dan kesombongan: "Masya-Allah, la quwwata illa billah". Kalimat ini adalah pengakuan bahwa semua nikmat berasal dari kehendak dan kekuatan Allah semata.

40. fa 'asā rabbī ay yu`tiyani khairam min jannatika wa yursila 'alaihā ḥusbānam minas-samā`i fa tuṣbiḥa ṣa'īdan zalaqā

"Maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari pada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebunmu; hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin."

41. au yuṣbiḥa mā`uhā gauran fa lan tastaṭī'a lahụ ṭalabā

"Atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi."

42. wa uḥīṭa biṡamarihī fa aṣbaḥa yuqallibu kaffaihi 'alā mā anfaqa fīhā wa hiya khāwiyatun 'alā 'urụsyihā wa yaqụlu yā laitanī lam usyrik birabbī aḥadā

Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata, "Aduhai, kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku."

43. wa lam takul lahụ fi`atuy yanṣurụnahụ min dụnillāhi wa mā kāna muntaṣirā

Dan tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya.

44. hunālikal-walāyatu lillāhil-ḥaqq, huwa khairun ṡawābaw wa khairun 'uqbā

Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.

Apa yang dikhawatirkan oleh sahabatnya benar-benar terjadi. Azab Allah datang dan menghancurkan seluruh kebun. Penyesalan datang terlambat. Di saat kehancuran, ia baru menyadari kesalahannya yang paling fatal: syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan hartanya, menganggap hartanya abadi dan berasal dari kekuatannya sendiri. Para pengikut dan kekuatan yang ia banggakan tidak bisa menolongnya sama sekali. Kisah ini ditutup dengan penegasan bahwa pertolongan (walayah) yang sejati hanya milik Allah.


Perumpamaan Kehidupan Dunia dan Hakikat Amal (Ayat 45-49)

Setelah dua kisah naratif, Al-Quran menyajikan sebuah perumpamaan singkat namun kuat tentang hakikat kehidupan dunia. Dunia diibaratkan seperti tanaman yang tumbuh subur karena hujan, lalu mengering dan diterbangkan angin. Ini adalah pengingat akan kefanaan dunia dan segala perhiasannya. Sebaliknya, ada sesuatu yang kekal dan bernilai di sisi Allah.

45. waḍrib lahum maṡalal-ḥayātid-dun-yā kamā`in anzalnāhu minas-samā`i fakhtalaṭa bihī nabātul-arḍi fa aṣbaḥa hasyīman tażrụhur-riyāḥ, wa kānallāhu 'alā kulli syai`im muqtadirā

Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.

46. al-mālu wal-banụna zīnatul-ḥayātid-dun-yā, wal-bāqiyātuṣ-ṣāliḥātu khairun 'inda rabbika ṡawābaw wa khairun amalā

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

Ayat 46 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Quran mengenai filosofi hidup. Harta dan anak-anak, dua hal yang paling dicari dan dibanggakan manusia, disebut sebagai "perhiasan" yang sifatnya sementara. Yang benar-benar abadi dan bernilai adalah "al-baqiyaatush shalihaat" (amalan-amalan saleh yang kekal). Ini mencakup zikir, shalat, sedekah, dan semua perbuatan baik yang didasari iman. Amalan inilah yang menjadi harapan sejati di akhirat kelak.

47. wa yauma nusayyirul-jibāla wa taral-arḍa bārizataw wa ḥasyarnāhum fa lam nugādir min-hum aḥadā

Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka.

48. wa 'uriḍụ 'alā rabbika ṣaffā, laqad ji`tumụnā kamā khalaqnākum awwala marratim bal za'amtum allan naj'ala lakum mau'idā

Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu menganggap bahwa Kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.

49. wa wuḍi'al-kitābu fa taral-mujrimīna musyfiqīna mimmā fīhi wa yaqụlụna yā wailatanā māli hāżal-kitābi lā yugādiru ṣagīrataw wa lā kabīratan illā aḥṣāhā, wa wajadụ mā 'amilụ ḥāḍirā, wa lā yaẓlimu rabbuka aḥadā

Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun."

Dari perumpamaan dunia, Al-Quran langsung beralih ke deskripsi hari kiamat. Gunung yang kokoh akan hancur, bumi menjadi datar, dan semua manusia akan dikumpulkan tanpa terkecuali. Setiap orang akan dihadapkan pada catatan amalnya yang sangat detail. Orang-orang zalim akan terkejut dan ketakutan melihat betapa lengkapnya catatan tersebut, tidak ada yang terlewat, sekecil apapun. Ini adalah penegasan atas keadilan mutlak Allah.


Kisah 3: Nabi Musa dan Khidir - Ujian Ilmu (Ayat 60-82)

Kisah ketiga adalah perjalanan Nabi Musa AS dalam mencari ilmu. Setelah merasa menjadi orang yang paling berilmu, Allah memerintahkannya untuk belajar dari seorang hamba saleh bernama Khidir. Perjalanan ini penuh dengan peristiwa-peristiwa aneh yang menguji kesabaran dan kerendahan hati Nabi Musa. Kisah ini mengajarkan bahwa di atas setiap orang yang berilmu, ada yang lebih berilmu, dan ada hikmah ilahi di balik peristiwa yang tampak tidak masuk akal.

60. wa iż qāla mụsā lifatāhu lā abraḥu ḥattā abluga majma'al-baḥraini au amḍiya ḥuqubā

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun."

Perjalanan ini dimulai dengan tekad kuat Nabi Musa. Ia menunjukkan semangat yang luar biasa dalam mencari ilmu, rela menempuh perjalanan jauh dan lama. Ini adalah adab pertama seorang penuntut ilmu: kesungguhan.

61. fa lammā balagā majma'a bainihimā nasiyā ḥụtahumā fattakhaża sabīlahụ fil-baḥri sarabā

Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah lautan itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

62. fa lammā jāwazā qāla lifatāhu ātinā gadā`anā laqad laqīnā min safarinā hāżā naṣabā

Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya, "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."

63. qāla a ra`aita iż awainā ilaṣ-ṣakhrati fa innī nasītul-ḥụt, wa mā ansānīhu illasy-syaiṭānu an ażkurah, wattakhaża sabīlahụ fil-baḥri 'ajabā

Muridnya menjawab, "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."

64. qāla żālika mā kunnā nabg, fartaddā 'alā āṡārihimā qaṣaṣā

Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

65. fa wajadā 'abdam min 'ibādinā ātaināhu raḥmatam min 'indinā wa 'allamnāhu mil ladunnā 'ilmā

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Ikan yang hidup kembali adalah tanda tempat pertemuan yang mereka cari. Setelah menyadarinya, mereka kembali dan menemukan Khidir. Deskripsi Khidir sangat istimewa: ia diberi "rahmat" dan "ilmu dari sisi Kami (ladunni)". Ini menunjukkan bahwa ilmunya bersifat khusus, langsung dari Allah, berbeda dengan ilmu syariat yang dimiliki Nabi Musa.

66. qāla lahụ mụsā hal attabi'uka 'alā an tu'allimani mimmā 'ullimta rusydā

Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

67. qāla innaka lan tastaṭī'a ma'iya ṣabrā

Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku."

68. wa kaifa taṣbiru 'alā mā lam tuḥiṭ bihī khubrā

"Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

Dialog ini menunjukkan adab tinggi Nabi Musa dalam meminta ilmu. Ia merendahkan diri dan meminta izin untuk menjadi pengikut. Namun, Khidir langsung memberikan syarat utama: kesabaran. Ia tahu bahwa ilmunya yang berbasis hikmah gaib akan sulit dipahami oleh akal yang terbiasa dengan hukum lahiriah (syariat).

69. qāla satajidunī in syā`allāhu ṣābiraw wa lā a'ṣī laka amrā

Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."

70. qāla fa inittaba'tanī fa lā tas`alnī 'an syai`in ḥattā uḥdiṡa laka min-hu żikrā

Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."

Perjanjian pun dibuat. Syaratnya jelas: jangan bertanya sampai Khidir sendiri yang menjelaskan. Ini adalah ujian berat bagi Nabi Musa yang memiliki semangat keadilan dan rasa ingin tahu yang tinggi.

71. fanṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā, qāla a kharaqtahā litugriqa ahlahā, laqad ji`ta syai`an imrā

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidr melobanginya. Musa berkata, "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar."

72. qāla a lam aqul innaka lan tastaṭī'a ma'iya ṣabrā

Dia (Khidr) berkata, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku'."

73. qāla lā tu`ākhiżnī bimā nasītu wa lā tur-hiqnī min amrī 'usrā

Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku."

Ujian pertama langsung terjadi. Melubangi perahu milik orang miskin yang telah menumpangkan mereka secara gratis adalah tindakan yang secara lahiriah sangat zalim. Nabi Musa tidak bisa menahan diri untuk tidak protes. Ia lupa janjinya. Ini menunjukkan benturan antara ilmu syariat (yang mengharamkan perusakan properti orang lain) dan ilmu hakikat yang dijalankan Khidir.

74. fanṭalaqā, ḥattā iżā laqiyā gulāman fa qatalah, qāla a qatalta nafsan zakiyyatam bigairi nafs, laqad ji`ta syai`an nukrā

Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidr membunuhnya. Musa berkata, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar."

Ujian kedua lebih berat lagi: membunuh seorang anak kecil. Secara syariat, ini adalah dosa besar yang tak terampuni. Protes Nabi Musa kali ini lebih keras, menyebut tindakan itu sebagai "sesuatu yang mungkar". Kesabarannya benar-benar diuji sampai batasnya.

75. qāla a lam aqul laka innaka lan tastaṭī'a ma'iya ṣabrā

Khidr berkata, "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"

76. qāla in sa`altuka 'an syai`im ba'dahā fa lā tuṣāḥibnī, qad balagta mil ladunnī 'użrā

Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur kepadaku."

77. fanṭalaqā, ḥattā iżā atayā ahla qaryatinistaṭ'amā ahlahā fa abau ay yuḍayyifụhumā fa wajadā fīhā jidāray yurīdu ay yanqaḍḍa fa aqāmah, qāla lau syi`ta lattakhażta 'alaihi ajrā

Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu. Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."

Ujian ketiga tampak lebih ringan, tetapi tetap menguji logika Nabi Musa. Setelah ditolak dan tidak dijamu oleh penduduk yang pelit, mengapa Khidir justru bekerja sukarela memperbaiki dinding milik mereka? Pertanyaan Musa kali ini bukan tentang kezaliman, melainkan tentang harga diri dan kepantasan. Ini adalah pelanggaran janji yang ketiga dan terakhir.

78. qāla hāżā firāqu bainī wa bainik, sa`unabbi`uka bita`wīli mā lam tastaṭi' 'alaihi ṣabrā

Khidr berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."

Inilah akhir dari perjalanan belajar tersebut. Khidir kemudian menjelaskan hikmah di balik tiga perbuatannya yang aneh.

79. ammas-safīnatu fa kānat limasākīna ya'malụna fil-baḥri fa arattu an a'ībahā wa kāna warā`ahum malikuy ya`khużu kulla safīnatin gaṣbā

"Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera."

80. wa ammal-gulāmu fa kāna abawāhu mu`minaini fa khasyīnā ay yur-hiqahumā ṭugyānaw wa kufrā

"Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran."

81. fa aradnā ay yubdilahumā rabbuhumā khairam min-hu zakātaw wa aqraba ruḥmā

"Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)."

82. wa ammal-jidāru fa kāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahụ kanzul lahumā wa kāna abụhumā ṣāliḥā, fa arāda rabbuka ay yablugā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik, wa mā fa'altuhụ 'an amrī, żālika ta`wīlu mā lam tasṭi' 'alaihi ṣabrā

"Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."

Penjelasan Khidir membuka tabir hikmah. Merusak perahu adalah cara menyelamatkannya dari perampasan. Membunuh anak adalah cara menyelamatkan iman kedua orang tuanya dari potensi kekafiran anak tersebut di masa depan, dan Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Memperbaiki dinding adalah cara melindungi harta dua anak yatim hingga mereka dewasa, sebagai balasan atas kesalehan ayah mereka. Semua tindakan itu bukan inisiatif Khidir, melainkan perintah langsung dari Allah. Pelajaran utamanya adalah bahwa ada realitas dan kebijaksanaan ilahi yang lebih tinggi di balik apa yang bisa ditangkap oleh indra dan akal manusia.


Kisah 4: Dzulqarnain - Ujian Kekuasaan (Ayat 83-98)

Kisah terakhir adalah tentang seorang raja yang saleh, adil, dan memiliki kekuasaan yang sangat luas bernama Dzulqarnain. Allah memberinya kekuatan dan sarana untuk menjelajahi bumi dari ujung barat hingga ujung timur. Kisah ini adalah model ideal tentang bagaimana kekuasaan harus digunakan: untuk menegakkan keadilan, menyebarkan kebaikan, dan melindungi kaum yang lemah, bukan untuk menindas dan berbuat kerusakan.

83. wa yas`alụnaka 'an żil-qarnaīn, qul sa`atlụ 'alaikum min-hu żikrā

Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulqarnain. Katakanlah, "Aku akan bacakan kepadamu cerita tentangnya."

84. innā makkannā lahụ fil-arḍi wa ātaināhu min kulli syai`in sababā

Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu.

Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan Dzulqarnain adalah anugerah dari Allah (tamkin). Allah juga memberinya "sababa", yaitu ilmu, sarana, dan kemampuan untuk mencapai tujuannya.

85. fa atba'a sababā

Maka diapun menempuh suatu jalan.

86. ḥattā iżā balaga magribasy-syamsi wajadahā tagrubu fī 'ainin ḥami`atiw wa wajada 'indahā qaumā, qulnā yā żal-qarnaini immā an tu'ażżiba wa immā an tattakhiża fīhim ḥusnā

Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami berkata, "Hai Dzulqarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka."

Perjalanan pertamanya adalah ke arah barat, tempat matahari terbenam. Deskripsi "laut berlumpur hitam" adalah penggambaran visual dari perspektifnya. Di sana, Allah memberinya pilihan untuk menghukum atau berbuat baik kepada kaum yang ditemuinya, sebuah ujian bagi kekuasaannya.

87. qāla ammā man ẓalama fa saufa nu'ażżibuhụ ṡumma yuraddu ilā rabbihī fa yu'ażżibuhụ 'ażāban nukrā

Berkata Dzulqarnain, "Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya."

88. wa ammā man āmana wa 'amila ṣāliḥan fa lahụ jazā`anil-ḥusnā, wa sanaqụlu lahụ min amrinā yusrā

"Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami."

Jawaban Dzulqarnain menunjukkan keadilan dan kebijaksanaannya. Ia menetapkan hukum yang jelas: hukuman bagi yang zalim dan penghargaan serta kemudahan bagi yang beriman dan berbuat baik. Ia membedakan antara hukuman duniawi yang ia terapkan dan hukuman akhirat yang menjadi hak Allah.

89. ṡumma atba'a sababā

Kemudian dia menempuh jalan (yang lain).

90. ḥattā iżā balaga maṭli'asy-syamsi wajadahā taṭlu'u 'alā qaumil lam naj'al lahum min dụnihā sitrā

Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.

Perjalanan keduanya adalah ke arah timur, di mana ia menemukan kaum yang hidup sangat primitif, tanpa pelindung dari matahari. Ia tidak menindas mereka, melainkan melewati mereka dengan ilmunya.

91. każālik, wa qad aḥaṭnā bimā ladaihi khubrā

Demikianlah. Dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya.

92. ṡumma atba'a sababā

Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).

93. ḥattā iżā balaga bainas-saddaini wajada min dụnihimā qaumal lā yakādụna yafqahụna qaulā

Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.

Perjalanan ketiga membawanya ke sebuah tempat di antara dua gunung. Di sana ia bertemu kaum yang terisolasi dan terancam.

94. qālụ yā żal-qarnaini inna ya`jụja wa ma`jụja mufsidụna fil-arḍi fa hal naj'alu laka kharjan 'alā an taj'ala bainanā wa bainahum saddā

Mereka berkata, "Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"

Kaum tersebut meminta pertolongan dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog), bangsa perusak yang biadab. Mereka bahkan menawarkan upah untuk proyek perlindungan ini.

95. qāla mā makkannī fīhi rabbī khairun fa a'īnụnī biquwwatin aj'al bainakum wa bainahum radmā

Dzulqarnain berkata, "Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka."

Jawaban Dzulqarnain sekali lagi menunjukkan karakternya yang mulia. Ia menolak upah materi, menyatakan bahwa karunia dari Allah sudah lebih dari cukup. Namun, ia tidak bekerja sendiri. Ia meminta partisipasi dan kerja sama dari kaum tersebut ("tolonglah aku dengan kekuatan"), sebuah pelajaran penting dalam kepemimpinan dan pemberdayaan masyarakat.

96. ātụnī zubaral-ḥadīd, ḥattā iżā sāwā bainaṣ-ṣadafaini qālanfukhụ, ḥattā iżā ja'alahụ nāran qāla ātụnī ufrig 'alaihi qiṭrā

"Berilah aku potongan-potongan besi." Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain, "Tiuplah (api itu)." Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu."

97. famasṭā'ū ay yaẓ-harụhu wa mastaṭā'ụ lahụ naqbā

Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melobanginya.

Proses pembangunan dinding ini menunjukkan kecanggihan teknologi dan rekayasa Dzulqarnain. Ia membangun sebuah benteng logam yang sangat kokoh dari besi dan tembaga cair, yang tidak bisa didaki maupun dilubangi oleh Ya'juj dan Ma'juj.

98. qāla hāżā raḥmatum mir rabbī, fa iżā jā`a wa'du rabbī ja'alahụ dakkā`, wa kāna wa'du rabbī ḥaqqā

Dzulqarnain berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar."

Setelah menyelesaikan mahakaryanya, Dzulqarnain tidak sombong. Ia mengembalikan semua keberhasilan itu kepada Allah, menyebutnya sebagai "rahmat dari Tuhanku". Ia juga mengingatkan bahwa sekuat apa pun dinding itu, ia akan hancur atas kehendak Allah ketika janji-Nya (hari kiamat) telah tiba. Ini adalah puncak kerendahan hati seorang penguasa yang adil.


Penutup: Janji dan Ancaman Terakhir (Ayat 99-110)

Bagian akhir surat ini kembali ke tema hari kiamat dan pembalasan. Setelah menceritakan empat kisah besar, Allah SWT memberikan kesimpulan yang tegas tentang nasib orang-orang kafir dan pahala bagi orang-orang beriman. Ayat-ayat penutup ini merangkum pesan utama surat tersebut: pentingnya tauhid murni dan amal saleh sebagai syarat untuk bertemu dengan Allah.

99. wa taraknā ba'ḍahum yauma`iżiy yamụju fī ba'ḍiw wa nufikha fiṣ-ṣụri fa jama'nāhum jam'ā

Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya.

100. wa 'araḍnā jahannama yauma`iżil lil-kāfirīna 'arḍā

Dan Kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.

101. allażīna kānat a'yunuhum fī giṭā`in 'an żikrī wa kānụ lā yastaṭī'ụna sam'ā

Yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.

102. a fa ḥasiballażīna kafarū ay yattakhiżụ 'ibādī min dụnī auliyā`, innā a'tadnā jahannama lil-kāfirīna nuzulā

Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.

Ayat-ayat ini menggambarkan kekacauan hari kiamat dan nasib orang kafir. Penyebab utama kebinasaan mereka adalah karena mata dan telinga hati mereka tertutup dari kebenaran. Mereka mengira sesembahan selain Allah bisa menolong, padahal itu adalah kesesatan yang nyata.

103. qul hal nunabbi`ukum bil-akhsarīna a'mālā

Katakanlah, "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"

104. allażīna ḍalla sa'yuhum fil-ḥayātid-dun-yā wa hum yaḥsabụna annahum yuḥsinụna ṣun'ā

Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.

Ini adalah definisi yang mengerikan tentang kerugian sejati. Orang yang paling rugi bukanlah yang gagal di dunia, melainkan yang seluruh usahanya di dunia sia-sia di akhirat karena didasari oleh niat yang salah atau akidah yang rusak, padahal mereka merasa telah berbuat baik.

105. ulā`ikallażīna kafarụ bi`āyāti rabbihim wa liqā`ihī fa ḥabiṭat a'māluhum fa lā nuqīmu lahum yaumal-qiyāmati waznā

Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.

106. żālika jazā`uhum jahannamu bimā kafarụ wattakhażū āyātī wa rusulī huzuwā

Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.

Karena kekufuran mereka, amal mereka menjadi seperti debu yang beterbangan, tidak memiliki bobot sama sekali di timbangan akhirat. Balasan mereka adalah Jahannam karena mereka mengingkari ayat Allah dan memperolok-olok para rasul.

107. innallażīna āmanụ wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti kānat lahum jannātul-firdausi nuzulā

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.

108. khālidīna fīhā lā yabgụna 'an-hā ḥiwalā

Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya.

Sebaliknya, balasan bagi orang beriman yang beramal saleh adalah Surga Firdaus, tingkat surga yang tertinggi. Mereka akan kekal di dalamnya dan tidak akan pernah merasa bosan atau ingin pindah, karena surga adalah puncak kenikmatan yang sempurna.

109. qul lau kānal-baḥru midādal likalimāti rabbī lanafidal-baḥru qabla an tanfada kalimātu rabbī walau ji`nā bimiṡlihī madadā

Katakanlah, "Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)."

Ayat ini adalah perumpamaan agung tentang tak terbatasnya ilmu dan kekuasaan Allah. Seluruh lautan di bumi tidak akan cukup untuk menjadi tinta yang menuliskan firman, ilmu, dan hikmah-Nya. Ini adalah cara untuk menegaskan keagungan Allah yang tak terhingga.

110. qul innamā ana basyarum miṡlukum yụḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhuw wāḥid, fa mang kāna yarjụ liqā`a rabbihī falya'mal 'amalan ṣāliḥaw wa lā yusyrik bi'ibādati rabbihī aḥadā

Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: 'Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa'. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."

Ayat terakhir ini adalah puncak dan rangkuman dari seluruh ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menegaskan dua hal: (1) Beliau adalah manusia biasa yang menerima wahyu, bukan tuhan. (2) Inti wahyu tersebut adalah Tauhid, bahwa Tuhan itu hanya satu. Kemudian, Allah memberikan resep bagi siapa saja yang rindu dan berharap untuk bertemu dengan-Nya. Syaratnya ada dua dan tidak bisa dipisahkan: pertama, mengerjakan amal saleh (sesuai tuntunan syariat), dan kedua, tidak melakukan syirik dalam beribadah kepada-Nya (ikhlas semata-mata karena Allah). Inilah kunci keselamatan dan penutup sempurna bagi surat yang agung ini.

🏠 Kembali ke Homepage