Surat Al-Kahfi: Bacaan Latin dan Terjemahan Indonesia

Sebuah Cahaya Petunjuk di Dalam Gua

Surat Al-Kahfi (artinya: Para Penghuni Gua) adalah surat ke-18 dalam Al-Qur'an. Surat ini tergolong Makkiyah, terdiri dari 110 ayat, dan memiliki banyak keutamaan. Salah satu yang paling dikenal adalah anjuran untuk membacanya pada hari Jumat, sebagai pelindung dari fitnah Dajjal di akhir zaman.

Kandungan surat ini sangat kaya, merangkum empat kisah besar yang sarat akan hikmah dan pelajaran. Kisah-kisah ini menjadi cerminan berbagai ujian dalam kehidupan manusia: ujian keimanan, ujian kekayaan, ujian ilmu pengetahuan, dan ujian kekuasaan. Melalui perenungan terhadap surat ini, kita diajak untuk memperkuat iman, bersikap rendah hati, dan senantiasa bersandar pada kebijaksanaan Allah SWT.

Kisah Pertama: Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua)

Ujian Keimanan dan Perlindungan Allah (Ayat 1-26)

Kisah ini menjadi pembuka dan nama dari surat ini. Mengisahkan sekelompok pemuda yang teguh mempertahankan iman tauhid di tengah masyarakat yang musyrik dan dipimpin oleh seorang raja yang zalim. Mereka memilih untuk mengasingkan diri ke sebuah gua demi menyelamatkan akidah mereka, dan Allah memberikan perlindungan dengan menidurkan mereka selama ratusan tahun.

Ayat 1-2

1. Al-ḥamdu lillāhillażī anzala ‘alā ‘abdihil-kitāba wa lam yaj‘al lahụ ‘iwajā.

2. Qayyimal liyunżira ba`san syadīdam mil ladun-hu wa yubasysyiral-mu`minīnallażīna ya‘malụnaṣ-ṣāliḥāti anna lahum ajran ḥasanā.

1. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.

2. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik.

Tafsir dan Pelajaran: Pembukaan surat ini langsung menegaskan esensi Al-Qur'an sebagai kitab yang lurus, sempurna, dan bebas dari segala kontradiksi. Ia adalah sumber petunjuk utama, berfungsi ganda sebagai peringatan (indzar) bagi mereka yang ingkar dan kabar gembira (tabsyir) bagi mereka yang beriman dan beramal saleh. Ini adalah pondasi sebelum memasuki kisah-kisah di dalamnya, bahwa segala solusi dan hikmah berasal dari petunjuk yang lurus ini.

Ayat 9

Am ḥasibta anna aṣ-ḥābal-kahfi war-raqīmi kānụ min āyātinā ‘ajabā.

Apakah engkau mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, termasuk tanda-tanda (kebesaran) Kami yang menakjubkan?

Tafsir dan Pelajaran: Ayat ini mengajak kita untuk merenung. Kisah Ashabul Kahfi memang luar biasa, tetapi Allah mengingatkan bahwa penciptaan langit dan bumi, pergantian siang dan malam, serta segala fenomena alam semesta adalah tanda-tanda kebesaran-Nya yang jauh lebih menakjubkan. Kisah ini adalah satu dari sekian banyak bukti kekuasaan-Nya, bukan satu-satunya. Ini mengajarkan kerendahan hati dalam memandang keajaiban dan mengarahkan pandangan kita pada keagungan Allah yang tak terbatas.

Ayat 10

Iż awal-fityatu ilal-kahfi fa qālụ rabbanā ātinā mil ladunka raḥmataw wa hayyi` lanā min amrinā rasyadā.

Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami."

Tafsir dan Pelajaran: Inilah inti dari tindakan Ashabul Kahfi. Mereka tidak hanya melarikan diri secara fisik, tetapi mereka menyandarkan seluruh harapan dan usaha mereka kepada Allah melalui doa. Doa mereka mencakup dua permohonan fundamental: rahmat (perlindungan dan kasih sayang) dan petunjuk (rasyada). Ini mengajarkan bahwa dalam setiap ikhtiar untuk menyelamatkan iman, senjata terkuat seorang mukmin adalah doa yang tulus, memohon pertolongan sekaligus bimbingan agar tidak salah langkah.

Kisah Ashabul Kahfi adalah pelajaran abadi tentang keberanian iman di usia muda, pentingnya hijrah dari lingkungan yang merusak, dan kekuatan doa sebagai penghubung langsung dengan Sang Pelindung Sejati.

Kisah Kedua: Pemilik Dua Kebun

Ujian Harta dan Kesombongan (Ayat 32-44)

Kisah kedua adalah sebuah perumpamaan tentang dua orang pria. Satu di antaranya diberi karunia dua kebun yang sangat subur dan melimpah hasilnya, sementara yang lainnya memiliki kehidupan yang lebih sederhana namun imannya lebih kuat. Pemilik kebun yang kaya menjadi sombong, lupa bersyukur, dan meragukan hari kebangkitan. Akibatnya, Allah menghancurkan kebunnya dalam sekejap, menyisakan penyesalan yang mendalam.

Ayat 32

Waḍrib lahum maṡalan rajulaini ja‘alnā li`aḥadihimā jannataini min a‘nābiw wa ḥafafnāhumā binakhliw wa ja‘alnā bainahumā zar‘ā.

Dan berikanlah (Muhammad) kepada mereka sebuah perumpamaan, dua orang laki-laki, yang seorang (yang kafir) Kami beri dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara keduanya (kebun itu) Kami buatkan ladang.

Tafsir dan Pelajaran: Allah melukiskan kenikmatan duniawi yang sempurna: kebun anggur, dikelilingi pohon kurma, dan dialiri sungai. Ini adalah simbol kekayaan dan kesuksesan material yang bisa membuat manusia terlena. Perumpamaan ini relevan di setiap zaman, di mana manusia sering kali diuji dengan kelimpahan materi. Ayat ini menjadi pengingat bahwa semua itu adalah pemberian dari Allah, bukan semata-mata hasil usaha manusia.

Ayat 35-36

35. Wa dakhala jannatahụ wa huwa ẓālimul linafsih, qāla mā aẓunnu an tabīda hāżihī abadā.

36. Wa mā aẓunnus-sā‘ata qā`imataw wa la`ir rudittu ilā rabbī la`ajidanna khairam min-hā munqalabā.

35. Dan dia memasuki kebunnya dengan sikap merugikan dirinya sendiri (karena angkuh dan kafir); dia berkata, "Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya."

36. "dan aku kira hari Kiamat itu tidak akan datang, dan sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari ini."

Tafsir dan Pelajaran: Inilah puncak kesombongan yang lahir dari kelimpahan harta. Pertama, ia merasa kekayaannya abadi (tabīda hāżihī abadā). Kedua, ia meragukan eksistensi hari akhir. Ketiga, ia berandai-andai dengan angkuh bahwa jika pun ada kehidupan setelah mati, ia akan tetap mendapatkan yang lebih baik. Ini adalah tiga penyakit hati yang sering menimpa orang yang diuji dengan kekayaan: merasa aman dari takdir Allah, melupakan akhirat, dan merasa berhak atas kebaikan karena status dunianya. Ini adalah bentuk "kezaliman terhadap diri sendiri" karena menjerumuskan jiwa ke dalam kebinasaan.

Ayat 39

Walau lā iż dakhalta jannataka qulta mā syā`allāhu lā quwwata illā billāh, in tarani ana aqalla minka mālaw wa waladā.

Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan, "Mā syā' Allāh, lā quwwata illā billāh" (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya engkau melihat aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.

Tafsir dan Pelajaran: Sahabatnya yang beriman memberikan nasihat emas yang menjadi prinsip bagi setiap Muslim. Kalimat "Masya Allah, La Quwwata illa Billah" adalah pengakuan mutlak bahwa segala nikmat, kekuatan, dan keberhasilan berasal dari Allah semata. Mengucapkan kalimat ini adalah benteng dari sifat sombong dan 'ujub (bangga diri). Ia adalah pengingat bahwa sehebat apa pun usaha kita, hasilnya mutlak berada dalam genggaman kekuasaan Allah. Ini adalah obat bagi penyakit hati yang diidap si pemilik kebun.

Perumpamaan ini adalah cermin bagi kita. Harta bukanlah tolok ukur kemuliaan, melainkan medan ujian. Syukur akan melanggengkannya secara maknawi, sementara kekufuran akan menghancurkannya, baik secara harfiah maupun keberkahannya.

Kisah Ketiga: Nabi Musa dan Nabi Khidir

Ujian Ilmu dan Kerendahan Hati (Ayat 60-82)

Kisah ini menceritakan perjalanan Nabi Musa 'alaihissalam untuk mencari seorang hamba saleh yang diberi ilmu laduni (ilmu langsung dari sisi Allah), yaitu Nabi Khidir. Nabi Musa, seorang Rasul Ulul Azmi, dengan penuh semangat ingin belajar darinya. Namun, perjalanan ini menjadi ujian berat bagi kesabaran Nabi Musa, karena ia menyaksikan tiga perbuatan Nabi Khidir yang secara lahiriah tampak aneh, merusak, dan bahkan zalim.

Ayat 65-66

65. Fa wajadā ‘abdam min ‘ibādinā ātaināhu raḥmatam min ‘indinā wa ‘allamnāhu mil ladunnā ‘ilmā.

66. Qāla lahụ mụsā hal attabi‘uka ‘alā an tu‘allimani mimmā ‘ullimta rusydā.

65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

66. Musa berkata kepadanya, "Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu) yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?"

Tafsir dan Pelajaran: Pertemuan ini diawali dengan adab yang luar biasa dari Nabi Musa. Meskipun beliau adalah seorang Nabi besar, beliau meminta izin dengan sangat sopan untuk menjadi seorang murid. Ini adalah pelajaran tentang kerendahan hati dalam menuntut ilmu. Sebesar apa pun pengetahuan yang kita miliki, akan selalu ada orang lain yang memiliki ilmu yang tidak kita miliki. Allah menegaskan bahwa ilmu Nabi Khidir berasal langsung dari-Nya (mil ladunnā ‘ilmā), sebuah jenis pengetahuan tentang hikmah di balik takdir yang tidak didasarkan pada logika manusia semata.

Ayat 71

Fanṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā, qāla a kharaqtahā litugriqa ahlahā, laqad ji`ta syai`an imrā.

Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu, dia (Khidir) melubanginya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau melubanginya? Apakah untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah berbuat sesuatu yang sangat besar (kesalahannya)."

Tafsir dan Pelajaran: Peristiwa pertama adalah melubangi perahu milik nelayan miskin yang telah berbaik hati memberi mereka tumpangan gratis. Secara syariat lahiriah yang dipahami Nabi Musa, ini adalah perbuatan merusak dan tidak berterima kasih. Protes Nabi Musa sangat wajar berdasarkan ilmunya. Namun, di balik itu, ada hikmah tersembunyi. Nabi Khidir kemudian menjelaskan bahwa di seberang ada raja zalim yang merampas setiap perahu yang bagus. Dengan membuat perahu itu cacat, ia menyelamatkannya dari perampasan, sehingga para nelayan miskin itu tetap bisa memiliki aset mereka.

Ayat 74

Fanṭalaqā, ḥattā iżā laqiyā gulāman fa qatalah, qāla a qatalta nafsan zakiyyatam bigairi nafs, laqad ji`ta syai`an nukrā.

Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika mereka bertemu dengan seorang anak, maka dia (Khidir) membunuhnya. Dia (Musa) berkata, "Mengapa engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar."

Tafsir dan Pelajaran: Ini adalah ujian kesabaran yang paling berat bagi Nabi Musa. Membunuh seorang anak kecil adalah kejahatan besar. Protesnya kali ini lebih keras. Nabi Khidir kemudian mengungkap rahasia di baliknya: anak tersebut, jika dibiarkan hidup, akan tumbuh menjadi seorang kafir yang akan menyeret kedua orang tuanya yang saleh ke dalam kekufuran. Allah berkehendak menggantinya dengan anak lain yang lebih saleh dan berbakti. Pelajaran di sini sangat mendalam: terkadang, sebuah musibah yang terlihat sangat buruk (seperti kehilangan anak) bisa jadi merupakan bentuk rahmat Allah untuk menyelamatkan sesuatu yang lebih berharga, yaitu iman.

Kisah Musa dan Khidir mengajarkan bahwa ilmu manusia sangat terbatas. Ada lautan hikmah ilahi di balik setiap peristiwa yang tidak selalu bisa kita jangkau dengan akal. Pelajaran utamanya adalah tentang kesabaran (sabar), kepasrahan (tawakal), dan keyakinan bahwa rencana Allah adalah yang terbaik, meskipun kita tidak memahaminya.

Kisah Keempat: Dzulqarnain

Ujian Kekuasaan dan Keadilan (Ayat 83-98)

Kisah terakhir adalah tentang seorang raja yang saleh, adil, dan perkasa bernama Dzulqarnain. Allah memberinya kekuasaan yang luas dan segala sarana untuk mencapai tujuannya. Ia melakukan perjalanan ke ujung barat dan ujung timur bumi, di mana ia menegakkan keadilan dan menyebarkan kebaikan. Puncak kisahnya adalah ketika ia membantu suatu kaum untuk membangun tembok besi raksasa guna melindungi mereka dari kaum perusak, Ya'juj dan Ma'juj.

Ayat 84-85

84. Innā makkannā lahụ fil-arḍi wa ātaināhu min kulli syai`in sababā.

85. Fa atba‘a sababā.

84. Sungguh, Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi, dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu.

85. Maka dia pun menempuh suatu jalan.

Tafsir dan Pelajaran: Ayat ini menyoroti dua kunci kesuksesan Dzulqarnain. Pertama, kekuasaan (tamkin) yang diberikan Allah. Kedua, sarana atau ilmu untuk mencapai tujuan (sababā). Namun, yang terpenting adalah poin ketiga: ia menggunakan sarana tersebut (fa atba‘a sababā). Ini adalah pelajaran bagi setiap pemimpin atau siapa pun yang diberi amanah. Memiliki kekuasaan dan sumber daya tidaklah cukup; yang menentukan adalah kemauan dan kemampuan untuk memanfaatkannya di jalan yang benar untuk mencapai tujuan yang mulia.

Ayat 94-95

94. Qālụ yā żal-qarnaini inna ya`jụja wa ma`jụja mufsidụna fil-arḍi fa hal naj‘alu laka kharjan ‘alā an taj‘ala bainanā wa bainahum saddā.

95. Qāla mā makkannī fīhi rabbī khairun fa a‘īnụnī biquwwatin aj‘al bainakum wa bainahum radmā.

94. Mereka berkata, "Wahai Zulkarnain! Sungguh, Ya'juj dan Ma'juj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu sebagai imbalan agar engkau membuatkan dinding pemisah antara kami dan mereka?"

95. Dia (Zulkarnain) berkata, "Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan peralatan), agar aku dapat membuatkan dinding penghalang yang kokoh antara kamu dan mereka."

Tafsir dan Pelajaran: Di sini kita melihat karakter kepemimpinan Dzulqarnain yang luar biasa. Ketika ditawari upah (kharjan), ia menolaknya dengan halus. Ia menyatakan bahwa karunia dari Allah (kekuasaan dan kemampuan) sudah lebih dari cukup. Ini menunjukkan integritas dan niat tulusnya untuk menolong. Namun, ia tidak bersikap arogan seolah bisa melakukan segalanya sendiri. Ia meminta partisipasi aktif dari rakyat (fa a‘īnụnī biquwwatin), mengajarkan prinsip gotong royong dan pemberdayaan masyarakat. Pemimpin sejati tidak hanya memberi solusi, tetapi juga mengajak rakyatnya untuk menjadi bagian dari solusi tersebut.

Ayat 98

Qāla hāżā raḥmatum mir rabbī, fa iżā jā`a wa‘du rabbī ja‘alahụ dakkā`, wa kāna wa‘du rabbī ḥaqqā.

Dia (Zulkarnain) berkata, "(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar."

Tafsir dan Pelajaran: Setelah berhasil membangun sebuah karya teknologi yang monumental dan kokoh, Dzulqarnain tidak menepuk dada dan mengklaimnya sebagai hasil kehebatannya. Sebaliknya, ia langsung mengembalikan segalanya kepada Allah (hāżā raḥmatum mir rabbī). Ini adalah puncak kerendahan hati seorang penguasa. Ia juga menyadari bahwa sekuat apa pun karyanya, ia tidaklah abadi. Ia akan hancur atas kehendak Allah ketika waktunya tiba (menjelang hari kiamat). Ini mengajarkan bahwa setiap kekuatan dan pencapaian di dunia ini bersifat fana dan tunduk pada ketetapan mutlak dari Allah SWT.

Penutup dan Kesimpulan

Surat Al-Kahfi, melalui empat kisahnya yang agung, memberikan peta jalan bagi seorang mukmin dalam menghadapi fitnah (ujian) terbesar dalam kehidupan. Dari Ashabul Kahfi kita belajar tentang keteguhan iman. Dari pemilik dua kebun, kita belajar tentang bahaya fitnah harta. Dari perjalanan Nabi Musa dan Khidir, kita belajar tentang fitnah ilmu dan pentingnya kesabaran. Dan dari Dzulqarnain, kita belajar tentang cara mengelola fitnah kekuasaan dengan adil dan amanah.

Membaca, memahami, dan merenungkan surat ini, khususnya di hari Jumat, bukan sekadar ritual, melainkan sebuah upaya untuk membentengi diri dengan cahaya petunjuk dari Allah. Semoga kita semua senantiasa dilindungi dari segala macam fitnah, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan selalu berada dalam naungan rahmat dan petunjuk-Nya. Aamiin.

🏠 Kembali ke Homepage