Surah At-Tahrim, surah ke-66 dalam Al-Qur'an, merupakan surah Madaniyah yang diturunkan di Madinah, menekankan pentingnya menjaga harmoni rumah tangga Nabi Muhammad ﷺ, serta menetapkan prinsip-prinsip universal mengenai sumpah, tanggung jawab keluarga, dan kualitas taubat yang sejati. Nama surah ini, yang berarti "Pengharaman" atau "Pelarangan," diambil dari ayat pertamanya yang secara langsung menegur Nabi atas suatu tindakan pribadi yang berhubungan dengan keharmonisan rumah tangganya.
Lebih dari sekadar catatan historis mengenai kehidupan Nabi dan istri-istri beliau, Surah At-Tahrim adalah pedoman fundamental bagi setiap Muslim mengenai bagaimana menghadapi konflik domestik, bagaimana menjalankan tanggung jawab moral sebagai pemimpin rumah tangga, dan pelajaran mendalam tentang keadilan Ilahi melalui kisah empat wanita ikonik.
Ayat-ayat awal Surah At-Tahrim berakar kuat pada insiden spesifik yang terjadi di rumah tangga Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun terdapat beberapa riwayat mengenai kejadian mana yang memicu turunnya ayat 1, dua riwayat utama sering disebutkan, yang keduanya menekankan sensitivitas hubungan dalam keluarga kenabian:
Riwayat Pertama (Madu): Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ menyukai madu yang didapatkan dari salah satu istrinya, Zainab binti Jahsy. Namun, istri-istri yang lain (termasuk Aisyah dan Hafshah) merasa cemburu. Mereka bersepakat untuk mengatakan kepada Nabi bahwa beliau mencium bau yang tidak sedap (bau getah pohon maghafir) setelah meminum madu tersebut. Karena Nabi sangat menjaga kebersihan dan kehormatan, beliau bersumpah untuk tidak lagi meminum madu itu. Ayat pertama turun untuk menegur Nabi karena mengharamkan sesuatu yang halal hanya untuk menyenangkan istri-istri beliau.
Riwayat Kedua (Maria al-Qibtiyyah): Riwayat lain menyebutkan bahwa insiden itu terkait dengan Maria al-Qibtiyyah (istri Nabi dari Mesir). Rasulullah ﷺ bersama Maria di rumah Hafshah, pada hari giliran Hafshah. Ketika Hafshah mengetahuinya, ia sangat marah, dan Nabi pun bersumpah untuk menjauhi Maria demi menyenangkan Hafshah. Nabi juga meminta Hafshah merahasiakan kejadian ini. Namun, Hafshah kemudian membocorkan rahasia tersebut kepada Aisyah. Ini memicu teguran keras dari Allah SWT mengenai pengungkapan rahasia dan kesepakatan istri-istri Nabi.
Terlepas dari riwayat mana yang menjadi pemicu langsung, tema sentral Surah At-Tahrim adalah peringatan keras bagi para istri Nabi mengenai konsekuensi perselisihan dan kurangnya keseriusan dalam menjalankan peran mereka sebagai ibu kaum mukminin (Ummahatul Mu'minin).
Ayat ini adalah teguran lembut namun tegas. Ini mengajarkan prinsip fiqh fundamental: Tidak seorang pun, bahkan seorang Nabi, memiliki hak untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan secara syar'i oleh Allah SWT.
Teguran ini menegaskan bahwa otoritas mutlak dalam syariat berada di tangan Allah. Tindakan Nabi yang mengharamkan madu atau istrinya sendiri (Maria) adalah bentuk *ilhâf* (memaksakan diri) yang dilakukan atas dasar kemanusiaan untuk menjaga kedamaian rumah tangga, bukan atas dasar wahyu. Ayat ini berfungsi sebagai batasan: dalam urusan pribadi, niat baik untuk damai tidak boleh melampaui batas hukum Ilahi mengenai halal dan haram.
Penggunaan kata تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ (engkau ingin menyenangkan hati istri-istrimu) menunjukkan bahwa motif tersebut bersifat emosional dan domestik, bukan spiritual. Meskipun niatnya mulia—menjaga hati istri—prioritas tertinggi harus tetap pada ketaatan mutlak terhadap ketetapan Allah.
Setelah teguran, Allah memberikan solusi. Ayat ini memperkenalkan konsep Kaffarah Yamin (denda/tebusan sumpah) yang memungkinkan seseorang membatalkan sumpahnya tanpa dosa, asalkan sumpah itu bertentangan dengan kebaikan atau dilakukan atas dasar emosi yang tidak beralasan.
Ayat ini merujuk pada ketentuan yang lebih rinci dalam Surah Al-Ma'idah (5:89), yang menjelaskan tiga opsi utama untuk tebusan sumpah yang dilanggar, secara berurutan:
Jika seseorang tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal di atas, barulah ia boleh:
4. Berpuasa tiga hari berturut-turut.
Surah At-Tahrim meyakinkan Nabi dan umat Muslim bahwa sumpah yang diucapkan dalam keadaan tertekan atau emosional memiliki jalan keluar yang diridhai Allah, menegaskan sifat rahmat dan kemudahan dalam syariat.
Ayat ini adalah inti dari teguran domestik. Ia menekankan pentingnya menjaga kepercayaan, khususnya dalam rumah tangga. Ketika Hafshah membocorkan rahasia yang ia janjikan untuk disimpan, ini menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap kedudukan Nabi dan mengganggu stabilitas rumah tangga. Allah SWT memberitahu Nabi mengenai detail pembocoran itu, menegaskan bahwa tidak ada rahasia yang tersembunyi dari-Nya.
Pernyataan Nabi, "Yang memberitahukan kepadaku adalah (Allah) Yang Maha Mengetahui, Mahateliti," (ٱلْعَلِيمُ ٱلْخَبِيرُ) berfungsi sebagai pengingat keras bahwa mata-mata Ilahi mengawasi setiap perkataan dan perbuatan, bahkan yang paling tersembunyi di balik dinding rumah tangga.
Ayat ini secara eksplisit menyebut Hafshah dan Aisyah, dua istri yang paling aktif dalam konspirasi ‘madu’ atau ‘rahasia’. Allah memberikan pilihan: Taubat atau Konfrontasi.
Ayat 5 adalah peringatan terberat. Meskipun merupakan kehormatan terbesar menjadi istri Nabi (Ummahatul Mu'minin), kehormatan itu dapat dicabut jika mereka gagal memenuhi standar spiritual yang sangat tinggi. Allah mengancam penggantian mereka dengan wanita-wanita yang memiliki tujuh karakteristik keunggulan:
Ayat ini berfungsi sebagai pelajaran bagi seluruh wanita Muslim: nilai sejati seorang wanita di sisi Allah bukan hanya pada kedudukan sosialnya, melainkan pada kualitas ibadah, ketaatan, dan keikhlasannya (Taubah dan Qunut).
Jika lima ayat pertama berfokus pada masalah domestik di rumah tangga Nabi, Ayat 6 mengalihkan fokus ke kewajiban universal bagi setiap pemimpin rumah tangga (laki-laki maupun perempuan) dalam Islam.
Perintah قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ (Peliharalah dirimu dan keluargamu) merupakan fondasi pendidikan Islam dalam keluarga. Para mufassir seperti Mujahid dan Qatadah menjelaskan bahwa perintah ini diwujudkan melalui:
Ini adalah kewajiban dasar. Seseorang tidak dapat menyelamatkan orang lain jika ia sendiri tidak diselamatkan. Perlindungan diri dari api neraka dicapai melalui ilmu, amal saleh, menjauhi maksiat, dan memperbaharui taubat secara berkelanjutan. Ini adalah prinsip akuntabilitas pribadi (self-accountability).
Setelah diri sendiri, kewajiban meluas ke lingkaran terdekat: pasangan, anak-anak, dan kerabat yang berada di bawah tanggung jawab moral dan finansial. Imam Ali bin Abi Thalib menjelaskan makna ayat ini: "Didiklah mereka (keluarga) dan ajarkanlah mereka (kebaikan)."
Perlindungan keluarga dilakukan dengan:
Peringatan mengenai Neraka sebagai tempat yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (يَّةُ النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ) menekankan kengerian dan keparahan azab tersebut, di mana batu-batu panas menjadi bagian dari bahan bakar neraka, dan dijaga oleh malaikat yang keras dan patuh mutlak (malaikat Zabaniyah).
Ayat ini adalah sisipan yang menggambarkan Hari Kiamat. Ini adalah kontras tajam setelah perintah menyelamatkan keluarga. Ia menegaskan bahwa di Akhirat, pintu taubat telah tertutup. Tidak ada negosiasi, tidak ada alasan, dan tidak ada penyesalan yang berguna. Balasan yang diterima hanyalah hasil murni dari amal perbuatan yang telah dilakukan di dunia.
Penempatan ayat ini mengingatkan orang-orang beriman (yang diperintahkan di ayat 6) bahwa waktu untuk bertindak dan menyelamatkan diri serta keluarga adalah sekarang, sebelum tiba hari di mana hanya keadilan murni yang berlaku.
Ayat ini adalah hadiah terindah setelah perintah keras perlindungan dan peringatan neraka. Allah memerintahkan Taubah Nasuha (tobat yang semurni-murninya). Ini bukan sekadar penyesalan di lidah, melainkan perubahan total pada hati, pikiran, dan perilaku.
Para ulama sepakat bahwa Taubah Nasuha harus memenuhi tiga pilar jika kesalahan itu hanya antara hamba dengan Allah, dan empat pilar jika melibatkan hak orang lain:
Imam Nawawi menjelaskan bahwa kata *Nasuha* berasal dari *Nasahah* yang berarti murni atau membersihkan. Taubat ini harus memurnikan hati sepenuhnya dari kotoran dosa.
Ayat ini memberikan gambaran yang indah mengenai imbalan bagi orang-orang yang bertaubat dengan tulus. Mereka akan memiliki cahaya (nur) yang memancar di depan dan di sebelah kanan mereka. Cahaya ini adalah simbol keselamatan, petunjuk, dan pengakuan dari Allah.
Doa mereka di Hari Kiamat, "رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا" (Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami), menunjukkan kesadaran bahwa meskipun mereka telah diampuni, mereka tetap membutuhkan kesempurnaan cahaya dan pengampunan abadi dari Dzat Yang Mahakuasa.
Setelah fokus pada perbaikan diri internal (taubat) dan domestik, Nabi diperintahkan untuk kembali berfokus pada jihad eksternal. Perintah ini mencakup dua kategori musuh:
Ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang sukses harus seimbang: lembut dalam mengarahkan orang beriman menuju taubat, tetapi keras dan tegas dalam menghadapi ancaman eksternal dan internal.
Tiga ayat terakhir Surah At-Tahrim memberikan empat studi kasus wanita yang mendemonstrasikan bahwa keselamatan atau kehancuran tidak bergantung pada siapa pasangan hidup seseorang, melainkan pada keimanan dan amal individu.
Perumpamaan ini ditujukan sebagai peringatan langsung kepada istri-istri Nabi Muhammad ﷺ (setelah kejadian di ayat 1-5) dan juga kepada setiap Muslim. Pesannya jelas: Kedekatan hubungan darah atau pernikahan dengan orang saleh, bahkan seorang Nabi, tidak menjamin keselamatan.
Pengkhianatan yang dilakukan istri Nuh dan Luth bukanlah perzinahan, melainkan pengkhianatan dalam hal akidah dan risalah (kekafiran). Istri Nuh menganggap Nuh gila dan membocorkan rencana dakwahnya. Istri Luth membocorkan kedatangan tamu-tamu (malaikat) kepada kaumnya yang jahat.
Ayat ini menegaskan prinsip Keadilan Individual (La Taziru Waziratun Wizra Ukhra): setiap jiwa bertanggung jawab atas amalnya sendiri. Nuh dan Luth, meskipun Nabi yang dicintai Allah, tidak dapat menggunakan kedudukan mereka untuk menyelamatkan istri-istri mereka dari azab kekafiran.
Asiyah binti Muzahim, istri Firaun, adalah lawan kontras dari istri Nuh dan Luth. Ia adalah contoh bahwa Keimanan dapat Mekar bahkan di lingkungan yang paling buruk dan penuh kekafiran.
Permintaan Asiyah menunjukkan prioritas spiritual yang mendalam:
Asiyah mempertahankan keimanannya secara rahasia di tengah istana tiran yang mengaku Tuhan. Kisahnya memberi penghiburan bagi mereka yang berjuang mempertahankan ketaatan di lingkungan kerja atau rumah tangga yang penuh tantangan. Ia adalah teladan kesabaran, istiqamah, dan keimanan murni yang mengatasi segala godaan dunia.
Maryam, ibunda Nabi Isa, adalah contoh terakhir dan tertinggi dari kesalehan. Statusnya unik karena ia adalah wanita yang disebutkan dalam perumpamaan ini sebagai individu yang tidak terikat pada hubungan pernikahan yang menentukan nasibnya—ia mandiri dalam kesalehan spiritualnya.
Tiga kualitas utama Maryam yang diangkat oleh ayat ini:
Kisah Maryam menyimpulkan Surah At-Tahrim dengan pesan bahwa kesempurnaan seorang Muslimah terletak pada ketaatan individu, perlindungan kehormatan, dan validasi mutlak terhadap semua perintah dan janji Allah.
Surah ini mengajarkan bahwa membocorkan rahasia, terutama rahasia rumah tangga, adalah tindakan yang sangat dicela dalam Islam. Ini dapat merusak fondasi kepercayaan dan harmoni. Ayat 3 mengingatkan bahwa privasi domestik sekalipun berada di bawah pengawasan Allah SWT.
Tujuan utama pernikahan (Hifzh An-Nafs dan Hifzh An-Nasl) harus diprioritaskan di atas konflik emosional. Kegagalan istri-istri Nabi untuk memprioritaskan kedudukan mulia mereka di atas kecemburuan pribadi menjadi pelajaran bahwa motivasi harus selalu murni dan diarahkan pada keridhaan Allah.
Ayat 1 dan 2 menjadi dasar hukum bahwa sumpah harus digunakan secara hati-hati. Sumpah untuk mengharamkan yang halal dilarang, dan sumpah yang dilanggar memiliki konsekuensi Kaffarah (denda). Muslim didorong untuk memilih jalan taubat dan kaffarah daripada terjebak dalam sumpah yang menghambat kebaikan.
Ayat 6 adalah kompas utama pendidikan Islam. Ulama kontemporer menjelaskan bagaimana perintah "Peliharalah..." diimplementasikan melalui kurikulum tiga tahap:
Kegagalan dalam melaksanakan perintah ini berarti mempertaruhkan keselamatan keluarga di Akhirat, suatu risiko yang tak tertandingi oleh masalah duniawi mana pun.
Surah At-Tahrim menempatkan Taubat Nasuha di pusat harapan orang beriman. Ini bukan hanya untuk dosa besar, tetapi juga untuk kesalahan kecil yang terjadi akibat kelalaian dalam menjaga keluarga atau diri sendiri. Janji Allah untuk menghapus dosa dan memberikan cahaya sempurna di Hari Kiamat adalah motivasi terbesar untuk kembali kepada-Nya dengan kejujuran spiritual yang total.
Taubat Nasuha adalah proses yang membutuhkan introspeksi berkelanjutan. Ini adalah pengakuan bahwa manusia rentan terhadap kesalahan, tetapi Allah adalah Dzat yang selalu membuka pintu pengampunan bagi mereka yang berjuang untuk kesucian.
Kisah empat wanita menutup surah ini dengan peringatan: Iman tidak diwariskan atau ditransfer. Status spiritual seseorang diukur berdasarkan keimanannya sendiri, terlepas dari siapa pasangannya. Ini membebaskan wanita saleh (seperti Asiyah) dari kekuasaan tiran, dan memperingatkan wanita yang lalai (seperti istri Nuh dan Luth) bahwa kedekatan dengan orang suci tidak akan menjadi syafaat jika hati mereka condong pada kekafiran.
Kajian mendalam Surah At-Tahrim membawa kita kembali pada esensi keberagamaan: menjaga kesucian diri, menjaga amanah rumah tangga, memprioritaskan keridhaan Allah di atas ego dan emosi, dan terus-menerus kembali kepada Allah melalui taubat yang tulus.