Surah Al-Ma'idah (Hidangan)

Pedoman Hukum, Etika Sosial, dan Penegasan Risalah Nabi

Pengantar Surah Al-Ma'idah: Kekayaan Hukum dan Ketegasan Iman

Surah Al-Ma'idah, yang berarti "Hidangan," adalah surah kelima dalam Al-Qur'an dan merupakan salah satu surah Madaniyah terakhir yang diturunkan. Surah ini ditandai dengan kekayaan hukum (fiqh) yang luar biasa, membahas berbagai aspek kehidupan masyarakat Muslim yang baru terbentuk, mulai dari etika perjanjian, tata cara ibadah, hukum pidana, hingga hubungan antar agama.

Diturunkan pada periode ketika negara Islam di Madinah telah mapan dan menghadapi interaksi kompleks dengan komunitas Yahudi dan Nasrani, Al-Ma'idah berfungsi sebagai puncak dari syariat Islam. Ia menegaskan kesempurnaan agama (disebut dalam Ayat 3) dan memberikan pedoman definitif untuk memastikan keadilan sosial, spiritualitas pribadi, dan integritas komunitas.

Tiga Pilar Utama Surah

  1. Penegasan Ahkam (Hukum): Rincian tentang makanan halal, wudu dan tayammum, hukum pernikahan, sumpah, dan larangan khamr (minuman keras) dan judi.
  2. Keadilan Mutlak (Al-Qistas): Perintah untuk menegakkan keadilan tanpa memandang kebencian terhadap suatu kaum, termasuk dalam konteks peradilan dan sanksi pidana.
  3. Interaksi dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani): Pembahasan mendalam mengenai perjanjian mereka dengan Allah, penyimpangan doktrin (terutama Tritunggal), dan penetapan batas-batas pertemanan dan perlindungan politik.
Timbangan Keadilan

I. Penegasan Akad dan Syariat Makanan (Ayat 1-5)

Awal Surah Al-Ma'idah dibuka dengan perintah fundamental yang menjadi pondasi etika bermasyarakat dan bernegara: pemenuhan janji dan perjanjian.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ...
"Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu..." (Q.S. Al-Ma'idah: 1)

Kewajiban Memenuhi Akad (Al-Uqud)

Perintah 'memenuhi akad' memiliki dimensi luas, mencakup perjanjian dengan Allah (syahadat, ibadah), perjanjian antar manusia (kontrak dagang, pernikahan), dan perjanjian internasional. Para ulama fiqh menekankan bahwa integritas moral seorang Muslim pertama-tama diukur dari kepatuhannya terhadap komitmen yang telah dibuat. Pelanggaran terhadap akad dianggap sebagai tanda kemunafikan dan kehancuran tatanan sosial.

Rincian Hukum Hewan dan Makanan (Ayat 3)

Ayat 3 memberikan daftar terperinci tentang apa yang diharamkan, menutup celah bagi interpretasi yang longgar mengenai hukum makanan. Ini adalah bagian penting dari syariat yang membedakan komunitas Muslim.

Pembahasan mendalam mengenai kelima kategori ini menuntut pemahaman yang cermat terhadap istinbath hukum (pengambilan kesimpulan hukum). Misalnya, kriteria 'mati dicekik' memberikan pedoman ketat tentang cara pemotongan yang harus memastikan pengaliran darah yang maksimal, demi kesehatan dan spiritualitas.

Kesempurnaan Agama (Ayat 3)

Di tengah ayat yang membahas makanan, terselip sebuah pernyataan agung yang diyakini turun pada saat Haji Wada':

...الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا...
"...Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..." (Q.S. Al-Ma'idah: 3, potongan)

Ayat ini menandai puncak dari wahyu kenabian. Syariat telah lengkap, tidak memerlukan penambahan atau pengurangan. Implikasinya, semua hukum dan etika yang diperlukan untuk kesuksesan dunia dan akhirat telah termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah.

Hukum Pernikahan dengan Ahlul Kitab (Ayat 5)

Surah ini juga membahas kehalalan makanan dan pernikahan dengan wanita dari Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menjaga kehormatan diri (*muhsanat*). Ayat ini seringkali menjadi titik diskusi fiqh mengenai batas-batas interaksi sosial dan pernikahan, menegaskan bahwa meskipun ada kelonggaran dalam pernikahan, prinsip dasar keimanan dan ketakwaan harus tetap menjadi landasan utama.

II. Tata Cara Ibadah, Thaharah, dan Prinsip Keadilan (Ayat 6-11)

Bagian ini mengalihkan fokus dari hukum sosial ke hukum ibadah dan etika moral, khususnya mengenai tata cara wudu (bersuci) dan prinsip dasar keadilan yang harus dipegang teguh oleh setiap Muslim.

Ahkam Thaharah (Wudu dan Tayammum) (Ayat 6)

Ayat 6 merincikan tata cara bersuci sebelum salat, baik melalui wudu (dengan air) maupun tayammum (dengan debu suci) jika air tidak tersedia atau berbahaya bagi kesehatan. Ayat ini merupakan sumber primer bagi tata cara wudu dalam mazhab-mazhab fiqh, memastikan kesucian lahiriah yang merupakan prasyarat kesucian batiniah.

Detail Fiqh Wudu: Empat Rukun

Para ulama menyimpulkan empat rukun wajib dari ayat ini:

  1. Mencuci wajah.
  2. Mencuci kedua tangan hingga siku.
  3. Mengusap sebagian kepala.
  4. Mencuci kedua kaki hingga mata kaki.

Tayammum, sebagai alternatif, menunjukkan rahmat Allah yang tidak memberatkan hamba-Nya. Konsep ini menekankan bahwa spiritualitas tidak terhalang oleh keterbatasan fisik atau ketersediaan sumber daya; yang terpenting adalah niat dan kepatuhan dalam batas kemampuan.

Keadilan Sebagai Landasan Moral (Ayat 8)

Salah satu ayat paling ikonik dalam surah ini adalah perintah tentang keadilan, yang melampaui batas-batas suku, agama, atau emosi pribadi.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ...
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa..." (Q.S. Al-Ma'idah: 8)

Ayat ini menetapkan standar etika tertinggi dalam jurisprudensi Islam. Keadilan (Al-Qist) harus ditegakkan bahkan terhadap musuh bebuyutan. Kebencian pribadi tidak boleh mempengaruhi keputusan hukum, kesaksian, atau interaksi. Inilah inti dari tatanan hukum Islam yang menjamin hak-hak universal bagi semua individu, terlepas dari afiliasi mereka.

Implikasi Politik dan Sosial Keadilan

Ayat ini merupakan piagam hak asasi manusia dalam konteks Islam. Dalam bidang politik, ayat ini menuntut pemerintah untuk adil kepada minoritas dan oposisi. Dalam bidang peradilan, ia mengharuskan hakim mengesampingkan prasangka. Keadilan, dalam pandangan Al-Ma'idah, bukan hanya sebuah kebijakan, melainkan sebuah tindakan takwa, jalan terdekat menuju keridaan Ilahi.

III. Pelajaran Sejarah: Perjanjian Bani Isra'il dan Kisah Dua Putra Adam (Ayat 12-32)

Untuk memperkuat pentingnya memegang janji, surah ini kemudian menceritakan sejarah Bani Isra'il (keturunan Israel/Ya'qub) dan bagaimana mereka berulang kali melanggar perjanjian mereka dengan Allah, yang berujung pada hukuman dan kehinaan.

Pelanggaran Perjanjian dan Kerasnya Hati (Ayat 12-26)

Allah telah mengambil perjanjian yang kuat dari Bani Isra'il, mengirimkan dua belas pemimpin (*naqib*) untuk memimpin mereka, namun mereka melanggar janji tersebut. Akibat pelanggaran ini, hati mereka menjadi keras, mereka suka mengubah firman (Taurat), dan di antara mereka timbul permusuhan hingga Hari Kiamat.

Kisah penolakan mereka memasuki Tanah Suci (Palestina) karena takut akan orang-orang yang kuat (Ayat 20-26) menjadi ilustrasi klasik dari kelemahan iman dan pengecut. Nabi Musa (AS) dihadapkan pada kedurhakaan kaumnya sendiri, yang menyebabkan mereka dihukum berkeliaran di padang pasir (*tih*) selama empat puluh tahun.

Kisah Habil dan Qabil: Asal Usul Kejahatan (Ayat 27-32)

Untuk menanamkan rasa hormat yang mendalam terhadap kehidupan, surah ini menghadirkan kisah tragis tentang dua putra pertama Adam, Habil dan Qabil, di mana Qabil membunuh saudaranya sendiri karena kedengkian. Kisah ini adalah studi kasus tentang bagaimana iri hati, jika tidak dikendalikan, dapat mengarah pada kejahatan paling keji.

Prinsip Universal Kesucian Hidup (Ayat 32)

Klimaks dari kisah ini adalah penurunan prinsip hukum universal yang dikenal sebagai "Hukum Kasasi" atau keutamaan menjaga kehidupan. Ayat 32 mengaitkan pembunuhan satu jiwa tak berdosa dengan pembunuhan seluruh umat manusia, dan sebaliknya, menyelamatkan satu jiwa tak berdosa adalah seperti menyelamatkan seluruh umat manusia.

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا...
"...Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia..." (Q.S. Al-Ma'idah: 32)

Ayat ini berfungsi sebagai dasar etika medis, militer, dan hukum pidana dalam Islam, menekankan bahwa nilai satu nyawa sangat tinggi di mata Allah. "Kerusakan di bumi" (*fasad fil ardh*) yang disebut dalam ayat ini mencakup kejahatan besar yang mengancam keamanan publik.

IV. Hukum Pidana Islam: Hirabah dan Pencurian (Ayat 33-40)

Setelah menetapkan nilai kehidupan, surah ini beralih ke sanksi hukum bagi mereka yang mengancam tatanan sosial, khususnya para penyamun, perampok, dan perusak keamanan publik (*muharibin*).

Hukuman bagi Pelaku Hirabah (Perampasan dan Kerusakan) (Ayat 33)

Ayat 33 merincikan hukuman bagi mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta membuat kerusakan di muka bumi. Hukuman ini, yang sangat tegas, ditujukan untuk kejahatan terorganisir yang mengganggu keamanan masyarakat secara luas (seperti perampokan di jalan, terorisme, atau pemberontakan bersenjata).

Jenis-Jenis Sanksi Hirabah

Para ahli fiqh membagi hukuman *hirabah* menjadi empat bentuk, diterapkan berdasarkan tingkat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku perampokan/teror:

  1. Dibunuh dan Disalib: Jika mereka membunuh dan mengambil harta.
  2. Dibunuh: Jika mereka membunuh tetapi tidak mengambil harta (atau sebaliknya menurut beberapa mazhab).
  3. Dipotong Tangan dan Kaki secara Silang: Jika mereka mengambil harta tetapi tidak membunuh.
  4. Diasingkan dari Negeri (Penjara Jauh): Jika mereka hanya mengancam dan menimbulkan teror tanpa membunuh atau mengambil harta.

Penegasan hukuman ini, betapapun kerasnya, bertujuan untuk melindungi hak kolektif masyarakat atas keamanan dan ketertiban. Namun, surah ini segera menyusul dengan pintu taubat. Jika pelaku *hirabah* bertaubat sebelum mereka ditangkap, hukuman pidana yang merupakan hak Allah (hukuman *hadd*) akan gugur, menunjukkan prioritas belas kasihan dan reformasi.

Hukum Pencurian (Ayat 38)

Surah ini juga mempertegas sanksi bagi pencuri laki-laki dan perempuan, yaitu pemotongan tangan (setelah melalui proses peradilan yang sangat ketat). Walaupun sanksi ini terlihat keras, sistem hukum Islam menuntut pembuktian yang hampir mustahil untuk dicapai (misalnya, tidak adanya kebutuhan, pencurian bukan dari kerabat dekat, nilai barang yang dicuri mencapai *nisab*), menunjukkan bahwa tujuan utama syariat adalah pencegahan dan reformasi, bukan sekadar hukuman fisik.

Kitab Wahyu

V. Kewajiban Menghukumi dengan Wahyu Allah (Ayat 41-50)

Bagian inti dari Al-Ma'idah ini membahas penolakan terhadap hukum Allah, terutama dalam konteks pemimpin dan hakim yang memilih hukum buatan manusia daripada hukum Ilahi, dan mengkritik keras sikap Bani Isra'il yang mengabaikan bagian dari Taurat.

Kritik terhadap Pemimpin yang Mengabaikan Syariat (Ayat 44, 45, 47)

Ayat-ayat ini secara tegas mengkritik siapa pun yang memiliki otoritas untuk menghukumi namun memilih untuk tidak menggunakan hukum yang diturunkan oleh Allah (Taurat, Injil, atau Al-Qur'an) karena kepentingan duniawi atau politik.

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44) ...الظَّالِمُونَ (45) ...الْفَاسِقُونَ (47)

Dalam tiga ayat terpisah, Allah menyebut mereka yang tidak menghukumi dengan syariat-Nya sebagai:

  1. Al-Kafirun (Orang-orang Kafir): Jika penolakan didasari keyakinan bahwa hukum Ilahi tidak relevan atau lebih rendah.
  2. Az-Zhalimun (Orang-orang Zalim): Jika penolakan didasari penyalahgunaan kekuasaan atau ketidakadilan.
  3. Al-Fasiqun (Orang-orang Fasiq): Jika penolakan didasari pelanggaran dan penyelewengan dari jalan yang benar.

Ayat-ayat ini menekankan bahwa otoritas dan kedaulatan tertinggi dalam penetapan hukum adalah milik Allah semata. Meskipun ada perbedaan pendapat ulama mengenai tafsir apakah hukuman ini berlaku untuk semua kasus di semua waktu, penegasan moral dan teologisnya sangat jelas: pengabaian terhadap hukum Ilahi adalah penyimpangan serius.

Konsep Naskh dan Penyempurnaan (Ayat 48)

Al-Qur'an di sini digambarkan sebagai *Muhaimin* (penjaga, saksi, dan pemelihara) atas kitab-kitab sebelumnya (Taurat dan Injil).

"Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan) dan batu ujian terhadapnya..." (Q.S. Al-Ma'idah: 48, potongan)

Ayat ini mengajarkan bahwa meskipun Taurat dan Injil berasal dari sumber Ilahi yang sama, Al-Qur'an adalah wahyu terakhir yang menyempurnakan, mengoreksi penyimpangan, dan menegaskan kebenaran abadi. Tugas Nabi Muhammad (SAW) adalah menghukumi di antara umat manusia berdasarkan apa yang Allah turunkan dalam Al-Qur'an.

Pluralitas Syariat dan Kesatuan Tujuan

Ayat 48 juga menyebutkan bahwa Allah telah memberikan "jalan dan tuntunan" (*syir'atan wa minhajan*) yang berbeda kepada setiap umat. Ini adalah pengakuan teologis terhadap pluralitas hukum (syariat) seiring waktu, namun menekankan kesatuan tujuan: semua syariat bertujuan untuk menyembah Allah semata dan mencapai ketakwaan. Umat Islam diwajibkan untuk berkompetisi dalam kebaikan (*fastabiqul khairat*) sebagai respons terhadap syariat terakhir ini.

VI. Loyalitas, Kewalian, dan Keterpisahan Politik (Ayat 51-66)

Bagian ini memberikan pedoman krusial mengenai hubungan politik, aliansi, dan loyalitas umat Islam, terutama terkait interaksi dengan Ahlul Kitab yang menentang Islam.

Larangan Mengambil Ahlul Kitab sebagai Awliya (Ayat 51)

Ayat 51 secara tegas melarang umat Islam menjadikan Yahudi dan Nasrani (dalam konteks konflik dan politik) sebagai *awliya* (pelindung, pemimpin, atau sekutu terdekat).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai awliya (pemimpin/pelindung); sebagian mereka adalah awliya bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka awliya, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Ma'idah: 51)

Para ulama menafsirkan *awliya* di sini sebagai loyalitas politik dan militer yang bertentangan dengan kepentingan umat Islam, atau pengangkatan mereka pada posisi kepemimpinan yang dapat membahayakan komunitas Muslim. Ayat ini bukan larangan mutlak untuk bersikap baik atau berinteraksi secara sosial (yang diizinkan oleh ayat-ayat lain, asalkan mereka tidak memusuhi Islam), melainkan peringatan keras tentang batas-batas kesetiaan ideologis dan strategis.

Karakteristik Orang Munafik dan Orang Beriman Sejati

Ayat 52 hingga 56 membahas sikap orang-orang munafik yang terburu-buru mencari perlindungan dan aliansi dengan musuh-musuh Islam, karena mereka takut akan pergantian nasib (kekalahan). Allah kemudian membandingkannya dengan karakter Muslim sejati:

Muslim sejati tidak takut, mereka mencintai Allah dan dicintai-Nya, mereka rendah hati terhadap sesama Muslim, tetapi perkasa terhadap orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang mencela. Ini adalah cetak biru untuk kekuatan komunitas yang didasarkan pada Tauhid, bukan pada aliansi duniawi yang rapuh.

Kecaman atas Doktrin Ahlul Kitab

Surah ini juga melanjutkan kritik teologis, khususnya kepada kaum Nasrani yang mengatakan Allah adalah salah satu dari Tiga (Trinitas), dan kepada kaum Yahudi yang mengklaim Uzair sebagai anak Allah (Ayat 64). Surah Al-Ma'idah menegaskan keesaan mutlak Allah (*Tawhid*) dan menolak keras segala bentuk kesyirikan, termasuk doktrin penebusan dosa dan ketuhanan Yesus (AS).

Bahtera Penyelamatan

VII. Kewajiban Menyampaikan Risalah dan Etika Perilaku (Ayat 67-86)

Fokus beralih ke tanggung jawab Nabi Muhammad (SAW) untuk menyampaikan seluruh risalah tanpa takut akan ancaman manusia, dan kemudian membahas etika dalam sumpah serta larangan terhadap ekstremitas dalam ibadah.

Kewajiban Mutlak Risalah (Ayat 67)

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ...
"Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia..." (Q.S. Al-Ma'idah: 67)

Ayat ini diturunkan pada akhir masa kenabian dan memberikan jaminan perlindungan Ilahi. Ayat ini menegaskan bahwa Nabi tidak boleh menyembunyikan atau memoderasi hukum apa pun, betapapun kontroversialnya itu bagi sebagian orang. Ini adalah penutup yang kuat untuk seluruh misi kenabian, memastikan bahwa Islam yang disampaikan adalah Islam yang murni dan lengkap.

Mengapa Ahlul Kitab Dikutuk (Ayat 78-81)

Surah ini menjelaskan bahwa Bani Isra'il dikutuk melalui lisan Nabi Daud (AS) dan Isa (AS) karena mereka melanggar janji, melampaui batas, dan tidak saling mencegah dari perbuatan munkar. Pengabaian terhadap amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) adalah penyebab utama kehancuran komunitas.

Umat Nasrani yang Paling Dekat Cintanya (Ayat 82-86)

Kontras yang tajam ditunjukkan antara mereka yang menentang keras Islam (terutama Yahudi di Madinah) dan sekelompok Nasrani tertentu. Ayat 82-83 memuji sekelompok Nasrani yang dekat dengan cinta umat Islam karena mereka rendah hati dan tergerak oleh kebenaran Al-Qur'an (dipercaya merujuk pada delegasi yang datang dari Abisinia/Habasyah, atau kelompok rahib tertentu).

Ayat ini mengajarkan bahwa penilaian dalam Islam didasarkan pada sikap hati dan kesediaan menerima kebenaran, bukan hanya pada label agama. Ini adalah seruan untuk mencari kebaikan dan kerendahan hati di manapun ia berada.

Larangan Berlebih-lebihan dalam Agama (Ayat 87)

Allah melarang umat Islam mengharamkan hal-hal baik yang telah dihalalkan-Nya. Ayat ini menegur ekstremitas dalam ibadah dan asketisme (hidup membiara) yang tidak sesuai dengan fitrah manusia, menekankan jalan tengah (*wasathiyyah*) dalam Islam. Nabi (SAW) sendiri melarang para sahabatnya untuk berlebihan dalam puasa atau salat malam hingga mengabaikan hak keluarga atau diri sendiri.

VIII. Hukum Sumpah, Larangan Khamr dan Judi (Ayat 89-108)

Bagian akhir dari surah ini kembali ke rincian hukum praktis, memberikan pedoman mengenai sumpah dan menegaskan pelarangan dua kebiasaan buruk terbesar masyarakat jahiliyah: minuman keras dan judi.

Hukum Sumpah (Yamin) dan Kaffarat (Ayat 89)

Ayat ini membedakan antara sumpah yang tidak disengaja (*laghwul yamin*) dan sumpah yang disengaja. Allah tidak menghukum atas sumpah yang tidak disengaja (hanya ucapan spontan), tetapi menghukum atas sumpah yang sungguh-sungguh dilanggar. Konsep *kaffarat* (tebusan) diperkenalkan sebagai jalan keluar bagi mereka yang melanggar sumpah yang sah.

Kaffarat sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan seorang budak. Jika tidak mampu, maka puasa tiga hari. Ini menunjukkan bahwa Allah mengutamakan kepedulian sosial di atas bentuk tebusan lain.

Pengharaman Khamr (Minuman Keras) dan Maysir (Judi) (Ayat 90-91)

Ayat-ayat ini adalah yang paling definitif dan keras mengenai larangan alkohol dan perjudian, yang merupakan langkah terakhir dan tegas dalam evolusi hukum ini.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (Q.S. Al-Ma'idah: 90)

Pengharaman ini bersifat total dan permanen. Alasan pengharaman bukan hanya bahaya kesehatan, tetapi karena keduanya menimbulkan permusuhan dan kebencian antar sesama, serta menghalangi mengingat Allah dan melaksanakan salat. Hal ini mencerminkan tujuan syariat Islam untuk melindungi akal (*hifzhul aql*) dan harta (*hifzhul mal*).

Hukum Haji dan Buruan (Ayat 95-96)

Surah ini juga merinci hukum perburuan saat seseorang dalam keadaan ihram (pakaian khusus haji atau umrah). Berburu binatang darat haram saat ihram, dan sanksi (*fidyah*) harus dibayar jika pelanggaran terjadi, menunjukkan penghormatan terhadap lingkungan dan disiplin spiritual selama ibadah haji.

IX. Penutup: Peristiwa Al-Ma'idah dan Pengadilan Isa (Ayat 109-120)

Surah ditutup dengan pemandangan Hari Kiamat, berfokus pada dialog antara Allah dan Nabi Isa (Yesus), serta kisah mukjizat "Hidangan" yang memberikan nama pada surah ini.

Peristiwa Ma'idah (Hidangan dari Langit)

Murid-murid Isa (Hawariyyun) meminta agar Isa memohon kepada Allah untuk menurunkan hidangan dari langit sebagai tanda keimanan mereka. Isa (AS) berdoa, dan Allah mengabulkan. Mukjizat ini berfungsi sebagai peringatan: barang siapa yang menyaksikan mukjizat yang jelas namun tetap kufur, akan dihukum dengan azab yang belum pernah ditimpakan kepada siapa pun.

Peristiwa inilah yang memberikan Surah ini namanya, Al-Ma'idah, melambangkan karunia besar Allah, tetapi juga tanggung jawab berat yang menyertai penerimaan mukjizat dan hukum-Nya.

Dialog Ilahi dengan Nabi Isa di Hari Kiamat (Ayat 116-118)

Ini adalah adegan yang sangat emosional dan teologis. Allah bertanya kepada Isa apakah dia pernah memerintahkan pengikutnya untuk menyembah dia dan ibunya (Maryam) sebagai dua tuhan selain Allah. Isa menjawab dengan penyangkalan total, menegaskan bahwa dia hanya mengajarkan apa yang diperintahkan Allah: menyembah Allah semata.

"Maha Suci Engkau! Tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya, tentu Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib." (Q.S. Al-Ma'idah: 116, potongan)

Dialog ini memutus semua klaim ketuhanan atas Isa (AS), menegaskan kembali prinsip Tauhid yang merupakan inti dari setiap risalah kenabian.

Penutup Surah

Surah Al-Ma'idah diakhiri dengan penegasan bahwa hanya milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Penutupan ini berfungsi sebagai penegasan bahwa semua hukum, perjanjian, dan hukuman yang telah disebutkan dalam surah adalah bagian dari kedaulatan Ilahi yang sempurna dan tidak dapat diganggu gugat.

Kesimpulan dan Relevansi Abadi Surah Al-Ma'idah

Surah Al-Ma'idah adalah peta jalan lengkap bagi komunitas Muslim yang mapan, mencakup spektrum hukum yang luas, mulai dari etika pribadi (wudu) hingga hukum publik (pidana, keadilan) dan hubungan internasional (loyalitas). Fokus utamanya adalah pada pemenuhan perjanjian dan penegakan keadilan yang tidak bias.

Keagungan surah ini terletak pada integrasi antara ritual (ibadah) dan moralitas sosial (hukum). Hukum *hirabah*, larangan *khamr* dan *maysir*, serta perintah untuk berlaku adil bahkan terhadap musuh, semuanya menunjukkan upaya syariat untuk menciptakan masyarakat yang aman, bermoral, dan teguh dalam Tauhid.

Bagi umat Islam kontemporer, Al-Ma'idah adalah pengingat abadi bahwa kekuatan komunitas tidak diukur dari kekayaan atau militer, melainkan dari kepatuhan terhadap janji, konsistensi dalam menegakkan keadilan (Ayat 8), dan penolakan untuk berkompromi pada prinsip-prinsip dasar iman dan hukum Ilahi.

🏠 Kembali ke Homepage