Pendahuluan: Gerbang Surah Maryam
Surah Maryam adalah surah ke-19 dalam Al-Qur'an, sebuah masterpiece naratif yang diwahyukan di Mekkah (Makkiyah). Surah ini unik karena menempatkan narasi tentang para nabi dan tokoh-tokoh saleh sebagai pusatnya, berfungsi sebagai pengingat akan kasih sayang (rahmah) dan kekuasaan mutlak Allah SWT. Surah ini dibuka dengan kisah yang sangat mengharukan dan mendalam, yaitu kisah Nabi Zakariya (Zechariah) dan permohonannya yang tulus untuk dikaruniai seorang putra, Nabi Yahya (Yohanes Pembaptis), di masa tuanya.
Ayat 1 hingga 11 bukan sekadar pembukaan surah; ia adalah fondasi spiritual yang mengajarkan tentang kekuatan iman dalam menghadapi keputusasaan fisik dan sosial. Ini adalah kisah tentang bagaimana harapan yang dibungkus dalam doa yang khusyuk dapat membalikkan hukum-hukum alam yang telah mapan, menegaskan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Sang Pencipta. Eksplorasi mendalam terhadap ayat-ayat ini akan membawa kita pada pemahaman komprehensif mengenai linguistik, teologi, dan pelajaran spiritual yang terkandung di dalamnya.
I. Tafsir Ayat per Ayat: Struktur dan Makna
Sepuluh ayat pertama dari Surah Maryam membentuk satu kesatuan naratif yang sangat padu, dimulai dari misteri huruf-huruf tunggal hingga respons spesifik Allah atas permohonan seorang hamba-Nya yang setia.
Ayat 1: Huruf Muqatta'ah (Kāf Hā Yā ʿAin Ṣād)
(١) كۤهٰيٰعۤصۤ
(1) Kāf Hā Yā ʿAin Ṣād.
Surah Maryam dimulai dengan lima huruf tunggal yang terputus-putus (*huruf muqatta'ah*), sebuah fenomena yang ditemukan di awal 29 surah dalam Al-Qur'an. Meskipun berbagai ulama telah menawarkan spekulasi yang luas, pandangan yang dominan adalah bahwa makna hakiki dari huruf-huruf ini hanya diketahui secara pasti oleh Allah SWT. Ini berfungsi sebagai tantangan retoris kepada orang-orang Arab yang fasih berbahasa: Al-Qur'an tersusun dari huruf-huruf yang sama dengan bahasa Anda, namun tidak ada yang mampu menandingi keagungan dan mukjizatnya.
Namun, dalam konteks Surah Maryam, beberapa penafsiran klasik (seperti yang diriwayatkan dari Ibn Abbas) menghubungkan huruf-huruf ini dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah atau aspek-aspek kunci dari narasi surah ini:
- Kāf (ك): Mungkin merujuk pada *Kāfī* (Yang Mencukupi) atau *Karīm* (Yang Maha Mulia).
- Hā (ه): Mungkin merujuk pada *Hādī* (Pemberi Petunjuk) atau *Hādī* merujuk pada kisah Hadi, yaitu kisah petunjuk bagi Zakariya.
- Yā (ي): Mungkin merujuk pada *Yaqīn* (Kepastian) atau mengacu pada nama Nabi Yahya (Yahyā).
- ʿAin (ع): Mungkin merujuk pada *ʿAlīm* (Yang Maha Mengetahui) atau *ʿAẓīm* (Yang Maha Agung), atau bahkan *ʿIsā* (Yesus), tokoh sentral lain dalam surah ini.
- Ṣād (ص): Mungkin merujuk pada *Ṣādiq* (Yang Maha Benar) atau *Ṣamad* (Tempat Bergantung).
Apapun interpretasi spesifiknya, penempatan huruf-huruf ini segera diikuti oleh narasi kasih sayang, menunjukkan bahwa misteri wahyu ilahi ini terkait erat dengan manifestasi rahmat-Nya.
Ayat 2: Peringatan akan Rahmat Tuhan
(٢) ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّآ
(2) (Yang dibacakan ini adalah) peringatan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakariya.
Ayat kedua berfungsi sebagai judul atau pengantar naratif. Kata kunci di sini adalah *“dzikru rahmatin”* (peringatan tentang rahmat). Ini bukan sekadar kisah sejarah, melainkan sebuah pengingat abadi tentang bagaimana rahmat Allah bekerja. Zakariya secara eksplisit disebut sebagai *‘abdahū* (hamba-Nya), menekankan bahwa karunia yang dia terima adalah hasil dari statusnya sebagai hamba yang tunduk dan setia, bukan hanya karena keturunan atau kedudukan sosial.
Rahmat yang dimaksud di sini adalah anugerah terbesar: karunia seorang putra, Nabi Yahya, yang diberikan di luar kebiasaan alamiah. Ini menegaskan bahwa kisah ini adalah pelajaran tentang harapan dan mukjizat ilahi.
Ayat 3: Doa yang Tersembunyi
(٣) إِذْ نَادٰى رَبَّهُۥ نِدَآءً خَفِيًّا
(3) Yaitu ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan doa yang tersembunyi.
Ayat ini mengungkap sifat dan kualitas doa Nabi Zakariya. Kata *“khāfiyyā”* (tersembunyi/diam-diam) sangat signifikan. Doa yang dipanjatkan secara diam-diam sering kali menunjukkan tingkat ketulusan dan kekhusyukan yang lebih tinggi.
Para mufasir menjelaskan bahwa berdoa secara tersembunyi memiliki beberapa keutamaan:
- Keikhlasan Murni: Menghindari riya’ (pamer) karena hanya Allah yang menyaksikannya.
- Keintiman: Mencerminkan hubungan yang sangat pribadi dan intim antara hamba dan Penciptanya.
- Kesempurnaan Adab: Beberapa ulama berpendapat bahwa doa dengan suara rendah lebih menghormati keagungan Allah, seolah-olah hamba berbisik di hadapan Raja Agung.
Zakariya, seorang nabi dan penjaga Baitul Maqdis, tidak perlu menyembunyikan doanya dari masyarakat, tetapi ia memilih jalur spiritualitas tertinggi, menunjukkan kualitas batiniah yang mendalam.
Ayat 4: Mengungkap Kelemahan Fisik
(٤) قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
(4) Dia berkata, “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.”
Ini adalah inti dari permohonan Zakariya. Ia memulai dengan deskripsi jujur tentang kondisi fisiknya. Frasa “wahana al-’aẓmu minnī” (tulangku telah lemah) menunjukkan kelemahan internal, bukan hanya kelemahan luar. Tulang adalah fondasi kekuatan tubuh, dan kelemahannya menandakan akhir dari kemampuan reproduksi dan ketahanan fisik.
Metafora “washtaʿala ar-ra’su shayban” (kepalaku telah dipenuhi uban) menggunakan perbandingan yang sangat kuat, seolah-olah ubannya menyala seperti api, menyebar dengan cepat dan tak terhindarkan. Ini adalah pengakuan akan masa tua yang ekstrim.
Namun, setelah pengakuan kelemahan ini, datanglah deklarasi iman yang luar biasa: “wa lam akun bidu’ā’ika Rabbi shaqīyyā” (dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku). Zakariya menggunakan sejarah hubungannya dengan Allah sebagai argumen. Ia tidak pernah berdoa dengan sia-sia, dan ia yakin bahwa pola kasih sayang ilahi ini akan terus berlanjut. Ini mengajarkan pentingnya mengingat nikmat Allah di masa lalu ketika memohon nikmat di masa kini.
Ayat 5: Ketakutan Sosial dan Keagamaan
(٥) وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا
(5) Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku, padahal istriku seorang yang mandul. Maka, anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang ahli waris.
Permintaan Zakariya tidak didorong oleh hasrat pribadi semata, melainkan oleh kepedulian yang mendalam terhadap kelangsungan risalah agama dan moral di antara Bani Israil. Kata “al-mawālī” (kerabat/ahli waris) di sini merujuk pada sanak keluarga jauh yang mungkin mewarisi peran kepemimpinan spiritual atau penjagaan tempat ibadah.
Zakariya khawatir bahwa jika ia meninggal tanpa penerus langsung, sanak keluarganya yang lain mungkin tidak memiliki ketakwaan yang sama, sehingga mereka akan menyalahgunakan atau mengabaikan ajaran tauhid. Kekhawatiran ini menunjukkan tanggung jawab kenabian yang ia pikul.
Ia kemudian menyebutkan hambatan kedua: “wa kānat imra’atī ʿāqirān” (padahal istriku seorang yang mandul). Ini memperkuat argumennya bahwa solusi hanya bisa datang melalui mukjizat ilahi. Oleh karena itu, ia memohon “fahab lī min ladunka walīyyān” (maka, anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang ahli waris). Frasa “min ladunka” (dari sisi-Mu) menekankan bahwa ia tidak mencari warisan biasa, tetapi warisan spiritual yang hanya bisa diciptakan oleh kekuasaan Allah.
Ayat 6: Spesifikasi Warisan
(٦) يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
(6) Yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub; dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai (oleh Allah).”
Ayat ini menjelaskan jenis warisan yang diinginkan Zakariya. Warisan di sini adalah warisan kenabian, ilmu, dan kepemimpinan spiritual, bukan harta benda (sebagaimana dipahami dari hadis Nabi Muhammad SAW: "Kami para Nabi tidak meninggalkan warisan berupa dinar atau dirham, tetapi meninggalkan warisan berupa ilmu").
Penerus ini harus mewarisi bukan hanya Zakariya, tetapi juga garis keturunan spiritual Nabi Ya’qub (Yakub), yang menandakan kesinambungan ajaran tauhid. Permintaan diakhiri dengan harapan tertinggi: “waj’alhū Rabbi raḍiyyān” (dan jadikanlah dia, ya Tuhanku, seorang yang diridai). Diridai berarti memiliki akhlak dan kualitas yang menyenangkan Allah, yang merupakan puncak dari segala anugerah.
Ayat 7: Respons Ilahi dan Penetapan Nama
(٧) يٰزَكَرِيَّآ إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُۥ يَحْيٰى لَمْ نَجْعَلْ لَهُۥ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
(7) (Allah berfirman), “Wahai Zakariya! Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang namanya Yahya, yang Kami belum pernah menciptakan nama yang serupa dengannya sebelumnya.”
Ini adalah puncak dari naratif doa. Allah langsung merespons dengan kabar gembira (*nubashshiruka*) berupa seorang anak laki-laki (*ghulām*). Aspek paling ajaib dari respons ini adalah penetapan nama: Yahya. Nama ini secara linguistik sering dihubungkan dengan akar kata *hayā* (hidup).
Namun, keajaibannya ditekankan oleh frasa “lam naj’al lahū min qablu samīyyān” (Kami belum pernah menciptakan nama yang serupa dengannya sebelumnya). Para mufasir menafsirkan frasa ini dalam dua cara utama:
- Secara Literal (Keunikan Nama): Sebelum Yahya, belum ada seorang pun di Bani Israil yang memiliki nama tersebut.
- Secara Kualitas (Keunikan Kedudukan): Meskipun mungkin ada yang bernama serupa, tidak ada yang memiliki kedudukan spiritual, kehormatan, atau sifat unik yang telah Allah tetapkan untuk Yahya (seperti menjadi saksi kebenaran Isa/Yesus). Ini menekankan keistimewaan takdirnya.
Kabar gembira ini menghilangkan keraguan dan keputusasaan Zakariya sepenuhnya.
Ayat 8: Keraguan Manusiawi
(٨) قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا
(8) Dia (Zakariya) berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak laki-laki, padahal istriku mandul dan aku sendiri sudah mencapai usia yang sangat tua?”
Meskipun Zakariya telah memohon mukjizat, responsnya atas pengumuman ilahi justru menunjukkan keterkejutan manusiawi. Ia tidak meragukan kekuasaan Allah, tetapi ia ingin mengetahui bagaimana mukjizat itu akan terwujud mengingat dua hambatan fisik yang sebelumnya ia sebutkan: kemandulan istri dan usia tuanya yang sangat lanjut (‘itiyyān – usia yang melewati batas wajar). Pertanyaan ini adalah permintaan untuk klarifikasi tentang mekanisme, bukan penolakan terhadap janji.
Ayat 9: Penegasan Kekuasaan Ilahi
(٩) قَالَ كَذَٰلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا
(9) Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal engkau (waktu itu) belum berwujud sama sekali.”
Allah memberikan dua argumen tegas yang mengakhiri semua keraguan Zakariya:
- Prinsip Kemudahan: “Huwa ‘alayya hayyin” (Hal itu mudah bagi-Ku). Bagi Allah, mengubah hukum alam atau menciptakan dari ketiadaan sama mudahnya dengan mempertahankan keteraturan kosmos. Kemustahilan adalah konsep yang terbatas bagi makhluk, bukan bagi Khaliq (Pencipta).
- Argumen Penciptaan Pertama: “wa qad khalaqtuka min qablu wa lam taku shay’ān” (engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal engkau belum berwujud sama sekali). Jika Allah mampu menciptakan Zakariya dari ketiadaan, menciptakan Yahya dari kondisi yang tampaknya tidak memungkinkan (orang tua yang tua dan mandul) jelas merupakan hal yang lebih mudah. Ini adalah pengingat mendasar akan keesaan dan kekuasaan Allah dalam menciptakan kehidupan.
Ayat 10: Permintaan Tanda dan Pemberian Mukjizat
(١٠) قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّيٓ اٰيَةً ۗ قَالَ اٰيَتُكَ اَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَ لَيَالٍ سَوِيًّا
(10) Dia (Zakariya) berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” (Allah) berfirman, “Tanda bagimu ialah engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau dalam keadaan sehat.”
Setelah menerima kepastian, Zakariya meminta *āyah* (tanda) sebagai penegasan visual atau fisik atas janji tersebut, mungkin untuk menenangkan hatinya atau untuk mengetahui kapan janji itu akan mulai terwujud. Tanda yang diberikan Allah sangat unik: ia tidak bisa berbicara dengan manusia selama tiga hari berturut-turut (*thalātha layālin sawiyyān*).
Pentingnya frasa *“sawiyyān”* (dalam keadaan sehat) menekankan bahwa kebisuan ini bukan disebabkan oleh penyakit atau kegilaan, tetapi murni oleh intervensi ilahi. Ini adalah mukjizat negatif; Zakariya tetap bisa berzikir dan membaca, tetapi interaksinya dengan manusia terputus. Ini adalah tanda yang sempurna karena ia menghalangi Zakariya untuk mengumumkan kabar gembira itu dengan tergesa-gesa, memastikan bahwa ia menghabiskan waktu dalam kontemplasi dan rasa syukur.
Ayat 11: Implementasi Tanda dan Zikir
(١١) فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰىٓ اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا
(11) Kemudian dia keluar dari mihrab (tempat ibadah) menuju kaumnya, lalu dia memberi isyarat kepada mereka agar bertasbih pagi dan petang.
Ayat terakhir dalam rangkaian ini menunjukkan implementasi dari tanda tersebut. Zakariya keluar dari *miḥrāb* (tempat salat/niche) — tempat yang menjadi saksi bisu doanya yang tersembunyi. Karena tidak bisa berbicara, ia menggunakan isyarat (*awḥā ilayhim*) kepada kaumnya. Isyaratnya adalah ajakan untuk bertasbih (mensucikan Allah) di pagi (*bukratan*) dan sore (*'ashiyyān*) hari.
Ini adalah pelajaran spiritual yang luar biasa: meskipun Zakariya dibatasi dalam komunikasi lisan sehari-hari, ia menggunakan apa yang tersisa (isyarat) untuk mengarahkan kaumnya kepada ibadah tertinggi, yaitu zikir dan tasbih. Bisunya menjadi pengingat yang kuat bagi umatnya tentang kekuasaan Allah.
II. Analisis Linguistik dan Semantik
Kedalaman Surah Maryam 1-11 terletak pada pilihan kata-kata Arab yang sangat spesifik, yang membawa makna berlapis di luar terjemahan langsung.
1. Konsep *Wahn* (Kelemahan Tulang)
Kata ‘wahana’ (وھن) yang digunakan Zakariya di ayat 4 berarti menjadi lemah, rapuh, atau kendur. Ini adalah kelemahan yang merasuki fondasi. Dengan menyebutkan *al-'aẓm* (tulang), Zakariya mengindikasikan bahwa kelemahan ini adalah yang paling mendasar dan struktural. Ini bukan sekadar kelelahan, tetapi penegasan bahwa secara biologis, ia telah melewati batas waktu untuk memiliki keturunan.
Penggunaan kata ini secara metaforis melampaui fisik; ia mencerminkan kelemahan harapan duniawi. Namun, justru dalam pengakuan kelemahan absolut inilah Zakariya meletakkan fondasi bagi kekuatan ilahi untuk campur tangan.
2. *Ihti'al* (Menyala/Menyebar Cepat)
Frasa “washtaʿala ar-ra’su shayban” menggunakan kata kerja ‘ishtaʿala’ (اشْتَعَلَ) yang berarti "terbakar" atau "menyala". Uban tidak menyala, tetapi metafora ini menggambarkan kecepatan dan penyebaran uban yang menyeluruh. Uban digambarkan seperti api yang dengan cepat melahap seluruh kepala, menunjukkan bahwa proses penuaan Zakariya sudah mencapai puncaknya.
Gaya bahasa yang dramatis ini menunjukkan bahwa Zakariya tidak hanya sekadar tua, tetapi telah mencapai tingkat penuaan di mana ia secara naluriah tahu bahwa mukjizat adalah satu-satunya jalan.
3. *Walīyyā* (Ahli Waris/Pelindung)
Permintaan “walīyyān” di ayat 5 sangat penting. *Walī* memiliki spektrum arti: pewaris, pelindung, pendukung, atau sahabat dekat. Dalam konteks kenabian, ia berarti penerus yang akan mengemban amanah spiritual.
Zakariya mencari *walī* yang tidak hanya mewarisi jabatannya (sebagai penjaga mihrab) tetapi juga melindungi ajaran Nabi Ya’qub dari penyimpangan yang dikhawatirkan akan dilakukan oleh kerabatnya yang kurang takwa (*mawālī*).
4. *Nidā’an Khāfiyyā* (Panggilan Tersembunyi)
Kombinasi nidā’ (panggilan) dan khāfiyyā (tersembunyi) di ayat 3 menggarisbawahi spiritualitas dalam doa. Nidā’ biasanya melibatkan suara yang keras, namun ketika disandingkan dengan khāfiyyā, ia menjadi kontradiksi yang harmonis, menunjukkan bahwa meskipun suaranya pelan di telinga manusia, panggilan itu nyaring di hadirat Allah.
III. Konteks Nabi Zakariya dan Perannya
Zakariya adalah seorang nabi yang melayani sebagai imam dan mungkin pemelihara Baitul Maqdis (atau kuil di Yerusalem) pada masanya. Dia adalah suami dari bibi atau saudara ipar Maryam (Ibu Isa). Perannya sangat penting karena ia mewakili puncak garis kenabian Bani Israil sebelum kedatangan Isa (Yesus).
Kekhawatiran terhadap *Mawālī* (Kerabat)
Kekhawatiran Zakariya terhadap kerabatnya (ayat 5) bukan masalah kekayaan dunia. Dalam tradisi Islam, Nabi tidak mewariskan harta materi. Kekhawatiran ini berakar pada:
- Warisan Keagamaan: Kekhawatiran akan hilangnya *ilmu* (pengetahuan suci) dan *hikmah* (kebijaksanaan kenabian) di Bani Israil yang semakin materialistis.
- Penjagaan Baitul Maqdis: Posisi imam adalah posisi yang krusial. Zakariya takut kepemimpinan akan jatuh ke tangan orang-orang yang hanya mencari kekuasaan atau yang tidak memiliki komitmen spiritual murni, sehingga merusak kesucian kuil dan ajaran.
Doanya adalah tindakan protektif terhadap agama. Ia memohon seorang putra yang tidak hanya menjadi pewaris darah, tetapi juga pewaris spiritual yang diridai Allah (*raḍiyyān*).
Kemandulan Istri Sebagai Ujian
Kemandulan istri Zakariya (*‘āqirān*) adalah elemen esensial yang membuat kisah ini menjadi mukjizat total. Jika hanya Zakariya yang tua, mungkin masih ada harapan. Tetapi kombinasi usia lanjutnya dan kemandulan istrinya menutup semua jalur alami. Ketika Allah berjanji memberikan Yahya, Dia merespons dua 'kemustahilan' sekaligus, memperkuat klaim-Nya bahwa 'itu mudah bagi-Ku.'
IV. Karunia Nabi Yahya dan Keunikan Namanya
Nabi Yahya, yang namanya secara harfiah berarti "Dia hidup" atau "Dia akan dihidupkan", adalah realisasi dari doa Zakariya. Pemberian nama ini oleh Allah sendiri (ayat 7) menunjukkan pengangkatan statusnya sejak lahir.
Makna “Lam Naj’al Lahū Min Qablu Samīyyān”
Interpretasi mengenai keunikan nama Yahya sangat penting untuk memahami keistimewaan karunia ini. Tafsir kontemporer sering menekankan bahwa keunikan Yahya terletak pada peranannya yang tak tertandingi dalam sejarah kenabian Bani Israil. Dia adalah:
- Pembaptis dan Saksi: Dia adalah nabi yang ditugaskan untuk mengumumkan kedatangan Isa (Yesus), membersihkan hati umatnya, dan memberi kesaksian akan kebenaran Isa sebelum nabi-nabi Bani Israil lainnya.
- Kualitas yang Tak Tertandingi: Allah kemudian menguatkan Yahya dengan sifat-sifat khusus dalam Surah Maryam selanjutnya, seperti kesucian, kasih sayang, dan ketaatan yang luar biasa sejak kecil.
Anugerah Yahya adalah demonstrasi bahwa Allah tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik (keturunan), tetapi juga kebutuhan spiritual umat (penerus yang saleh).
V. Implikasi Teologis dan Pelajaran Spiritual
Kisah ini, yang diringkas dalam sebelas ayat pertama, memuat pelajaran abadi bagi setiap Muslim mengenai hubungan mereka dengan Allah dan konsep kehendak ilahi.
1. Kekuatan Doa dalam Keputusasaan
Kisah Zakariya adalah antitesis dari keputusasaan. Meskipun menghadapi 'bukti' biologis dan usia lanjut yang ekstrem, Zakariya tetap teguh dalam keyakinannya akan kekuasaan Allah. Ia mengajarkan bahwa doa harus dilakukan bahkan ketika semua jalur logis tertutup.
Doanya juga mengajarkan adab memohon: ia mengakui kebesaran Allah (melalui pujian implisit), mengakui kelemahan diri sendiri (tulang yang lemah), dan menggunakan sejarah kasih sayang Allah sebagai argumen (belum pernah kecewa).
2. *Rahmat* Mendahului Hukum Alam
Ayat 2 secara eksplisit menyatakan bahwa ini adalah 'peringatan tentang rahmat Tuhan'. Rahmat Allah (kasih sayang dan kemurahan) adalah aspek yang lebih tinggi dari hukum alam. Allah menetapkan hukum-hukum alam, tetapi Dia juga dapat menangguhkannya atau membalikkannya untuk menunjukkan kekuasaan-Nya. Kelahiran Yahya adalah bukti nyata bahwa rahmat Ilahi dapat mengatasi segala batasan fisik atau ilmiah.
3. Keutamaan Doa Tersembunyi
Pilihan Zakariya untuk berdoa *khāfiyyā* (tersembunyi) menunjukkan bahwa kualitas doa jauh lebih penting daripada kuantitas atau eksposurnya. Doa tersembunyi memastikan keikhlasan dan fokus penuh pada Allah, menjadikannya model bagi umat Muslim untuk berinteraksi secara pribadi dan tulus dengan Pencipta.
4. Pentingnya Penerus Spiritual
Permintaan Zakariya akan *walīyyā* menyoroti nilai kesinambungan ajaran tauhid. Dalam Islam, menjaga api iman agar tetap menyala bagi generasi berikutnya adalah tanggung jawab fundamental. Ini bukan hanya tentang memiliki anak, tetapi tentang memastikan bahwa mereka yang mewarisi otoritas dan pengetahuan adalah orang-orang yang diridai dan saleh.
VI. Perbandingan dengan Narasi Alkitab (Lukas 1)
Narasi tentang Zakariya (Zechariah) dan Yahya (John) juga terdapat dalam Injil Lukas, bab 1. Membandingkan kedua sumber ini memperjelas keunikan perspektif Al-Qur'an.
Persamaan Dasar:
- Zakariya dan Elizabeth (Istri Zakariya) sudah tua dan tidak memiliki anak.
- Zakariya adalah seorang imam yang melayani di Kuil.
- Kabar gembira diberikan oleh Malaikat (Malaikat Jibril dalam Al-Qur'an, Gabriel dalam Alkitab).
- Zakariya merespons dengan pertanyaan yang menunjukkan keterkejutan.
- Tanda yang diberikan adalah ketidakmampuan berbicara.
Perbedaan Perspektif (Al-Qur'an vs. Alkitab):
- Fokus Doa: Dalam Al-Qur'an (ayat 5-6), fokus utama Zakariya adalah kekhawatiran spiritual terhadap *mawālī*-nya dan warisan Ya’qub. Dalam Alkitab, doanya adalah tentang keluh kesah karena tidak memiliki keturunan (meski sering ditafsirkan sebagai kepemimpinan). Al-Qur'an menekankan dimensi kenabian dan warisan ilmu.
- Sifat Tanda (Kebisuan): Dalam Al-Qur'an (ayat 10), kebisuan adalah *āyah* (tanda) yang berfungsi sebagai penegasan. Zakariya tetap bisa berzikir. Dalam Alkitab, kebisuan sering diinterpretasikan sebagai hukuman sementara karena Zakariya dianggap meragukan perkataan Malaikat Gabriel. Al-Qur'an tidak mengaitkannya dengan hukuman, melainkan sebagai tanda ajaib yang menunjukkan awal penggenapan janji.
- Penetapan Nama: Al-Qur'an sangat menekankan keunikan nama Yahya (*lam naj’al lahū min qablu samīyyān*), yang menggarisbawahi keistimewaan takdirnya sejak awal oleh Allah.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an menyajikan narasi tersebut untuk tujuan teologis yang spesifik—yaitu, untuk mendemonstrasikan Rahmat Ilahi dan Kekuasaan Mutlak Allah yang melampaui logika manusia.
VII. Kedalaman Makna ‘Tiga Malam Sawiyyān’ (Ayat 10)
Durasi tiga hari/malam kebisuan (*thalātha layālin sawiyyān*) adalah detail yang penuh hikmah. Ini memberi jeda waktu bagi Zakariya untuk:
- Menginternalisasi Janji: Tiga hari adalah waktu yang cukup untuk beralih dari keterkejutan (ayat 8) menjadi keyakinan penuh. Setiap saat ia ingin berbicara kepada kaumnya, ia diingatkan akan janji yang telah dimulai.
- Fokus pada Zikir: Karena ia hanya bisa berzikir (tasbih) dan memberi isyarat, periode ini memaksa dirinya untuk beribadah secara intensif sebelum karunia besar itu datang.
- Membedakan Mukjizat: Kebisuan itu harus terjadi dalam keadaan ‘sehat’ (*sawiyyān*). Ini memastikan bahwa semua orang yang menyaksikan tanda tersebut tidak dapat mengklaimnya sebagai penyakit alami. Itu adalah tanda yang disengaja dan bertujuan.
Kisah ini memulai Surah Maryam dengan pelajaran tentang bagaimana kelemahan manusia (usia tua dan kemandulan) menjadi wadah sempurna bagi manifestasi kekuatan Allah yang tak terbatas. Zakariya menunjukkan kepada kita bahwa selama seseorang belum pernah *shaqīyyān* (kecewa/gagal) dalam berdoa, pintu Rahmat Ilahi akan selalu terbuka, bahkan untuk permintaan yang paling mustahil sekalipun.
Narasi yang disajikan dalam sebelas ayat pertama Surah Maryam ini berfungsi sebagai penghubung penting, mendahului kisah mukjizat besar lainnya dalam surah ini—kelahiran Isa tanpa ayah—dengan menunjukkan bahwa penciptaan kehidupan dari yang 'mustahil' adalah hak prerogatif Allah. Ini menyiapkan pembaca untuk menerima narasi Maryam dan Isa dengan pemahaman yang mendalam tentang kekuasaan ilahi yang absolut, yang disalurkan melalui rahmat yang tak terbatas.
VIII. Peran Mihrab dalam Kisah Zakariya (Ayat 11)
Mihrab (tempat ibadah/niche) memiliki peran sentral dalam kisah Zakariya, baik di sini maupun dalam Surah Ali Imran. Mihrab adalah lokasi di mana:
- Kekhusyukan Doa Terjadi: Itu adalah tempat ia memanjatkan nidā’an khāfiyyā (doa tersembunyi).
- Karunia Diberikan: Dalam Surah Ali Imran (3:39), Zakariya menerima kabar gembira saat ia berdiri dan salat di mihrab.
- Tanda Diperlihatkan: Di Surah Maryam (ayat 11), ia keluar dari mihrab dengan tanda kebisuan, memberikan isyarat kepada kaumnya.
Mihrab berfungsi sebagai simbol isolasi spiritual dan fokus ibadah. Itu adalah batas antara duniawi dan hadirat ilahi. Ketika Zakariya keluar darinya dengan bisu, itu seperti membawa dampak dari hadirat ilahi ke dunia luar, mengubah perilaku fisiknya menjadi seruan spiritual yang hening untuk bertasbih.
IX. Sintesis dan Kesimpulan
Surah Maryam ayat 1 hingga 11 adalah narasi yang kaya tentang iman yang teguh, meskipun dihadapkan pada realitas fisik yang keras. Nabi Zakariya mengajarkan umat Islam untuk menggabungkan kerendahan hati dalam mengakui kelemahan (tulang yang lemah) dengan kepercayaan yang tak tergoyahkan pada janji Allah (tidak pernah kecewa dalam doa).
Setiap detail—dari huruf muqatta’ah yang misterius, doa yang tersembunyi, hingga keunikan nama Yahya—semuanya berfungsi untuk menggarisbawahi satu tema sentral: Rahmat Allah adalah Universal, Abadi, dan mampu menciptakan dari ketiadaan atau mengubah yang mustahil menjadi mungkin. Kisah ini mendorong setiap hamba untuk memohon dengan tulus dan yakin, karena jawaban ilahi, dalam bentuk *rahmah* dan karunia yang tak terduga, selalu lebih besar dari apa yang kita bayangkan.
Kesinambungan kisah kenabian—dari Zakariya, Yahya, Maryam, dan Isa—menjadi bukti kuat yang disajikan oleh Al-Qur'an, menegaskan bahwa kekuasaan Allah tidak mengenal batasan waktu, kondisi, atau usia.
X. Ekspansi Teologis Mendalam: Rahmat dan Qudrat
Dalam ayat 2 dan 9, kita melihat dialektika antara *Rahmat* (Kasih Sayang/Karunia) dan *Qudrat* (Kekuasaan/Kemampuan) Allah. Ayat 2 memulai dengan Rahmah—kisah ini adalah tentang rahmat. Ayat 9 mengakhirinya dengan Qudrat—"Hal itu mudah bagi-Ku." Ini menunjukkan bahwa mukjizat yang dialami Zakariya adalah titik temu di mana kasih sayang Allah bertemu dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas.
Rahmat sebagai Pendorong Mukjizat
Zakariya berdoa dari hati yang dipenuhi rahmat, bukan tuntutan. Ia khawatir akan nasib agama setelah dirinya. Allah merespons kekhawatiran yang didasarkan pada altruisme spiritual ini dengan Rahmat yang luar biasa. Jika permintaan Zakariya hanya didasarkan pada keinginan pribadi, mungkin responnya berbeda. Tetapi karena ia memohon demi kelangsungan Risalah Allah, Rahmat-Nya hadir dalam bentuk yang paling ajaib.
Ini mengajarkan bahwa mukjizat sering kali diwujudkan bukan hanya berdasarkan kekuasaan Allah semata, tetapi juga didorong oleh niat suci seorang hamba yang berjuang demi kebenaran. Zakariya adalah seorang nabi, dan Allah memastikan bahwa tugas kenabiannya dapat diwariskan.
Qudrat yang Meruntuhkan Argumen Logis
Ketika Zakariya meminta tanda (ayat 8), pertanyaannya didasarkan pada hukum fisika. Respons Allah (ayat 9) menghancurkan argumen fisika dengan dua kenyataan transenden:
- Kemudahan Mutlak: “Huwa ‘alayya hayyin.” Tidak ada skala kesulitan bagi Allah. Membangkitkan orang mati, menyembuhkan penyakit, atau memberikan anak kepada pasangan mandul yang tua adalah semua berada pada tingkat kemudahan yang sama. Ini menentang pandangan manusia tentang kausalitas.
- Bukti Eksistensial: "Aku telah menciptakanmu sebelumnya, padahal engkau belum berwujud sama sekali." Ini adalah argumen *ex nihilo* (dari ketiadaan). Jika Allah dapat menciptakan sesuatu dari nihil, maka menciptakan sesuatu dari 'hampir nihil' (orang tua renta) jelas lebih mudah dan merupakan pengulangan kecil dari kekuasaan primordial-Nya.
Inti teologisnya adalah bahwa manusia tidak boleh membatasi Rahmat dan Qudrat Allah dengan batas-batas pengalaman dan logika duniawi mereka.
XI. Analisis Tafsir Klasik pada *Huruf Muqatta’ah* (Ayat 1)
Meskipun kita menetapkan bahwa makna *Kāf Hā Yā ʿAin Ṣād* secara hakiki hanya diketahui Allah, penting untuk memahami kekayaan interpretasi yang dilakukan oleh ulama salaf, terutama yang menghubungkannya dengan Zakariya.
Pandangan Imam Al-Razi (Mafatih al-Ghaib)
Imam Fakhruddin Al-Razi mencatat banyak pendapat, termasuk pendapat bahwa setiap huruf merujuk pada salah satu aspek dari narasi Zakariya. Ia cenderung mendukung interpretasi yang mengaitkan huruf-huruf tersebut dengan sifat-sifat Allah, yang kemudian relevan dengan kisah Zakariya: Allah yang Maha Kuasa (*Kāf*), Yang Maha Pemberi (*Hā*), Yang Maha Hidup (*Yā*), Yang Maha Tahu (*ʿAin*), dan Yang Maha Benar (*Ṣād*).
Al-Razi berpendapat bahwa kisah Zakariya (yang penuh kelemahan dan usia tua) segera mengikuti huruf-huruf ini untuk menunjukkan bahwa meskipun Zakariya hanyalah manusia fana, dia berada di bawah perlindungan dan perhatian sifat-sifat Tuhan yang Maha Sempurna yang diisyaratkan oleh huruf-huruf tersebut.
Pandangan Imam Al-Qurtubi (Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān)
Imam Al-Qurtubi juga mencatat adanya pendapat yang sangat esoteris, yaitu bahwa huruf-huruf ini adalah sumpah-sumpah yang digunakan Allah, atau kode rahasia yang mengisyaratkan kejadian masa depan. Namun, Qurtubi juga berfokus pada pentingnya penempatan huruf-huruf ini sebagai pembuka kisah *rahmat*. Dia menyimpulkan bahwa tujuannya yang jelas bagi manusia adalah untuk menunjukkan keagungan Al-Qur'an dan menantang mereka yang meragukannya.
Kedalaman analisis ini menunjukkan betapa ulama telah berupaya keras menghubungkan simbolisme huruf-huruf ini dengan narasi segera yang menyusul, menjadikan *Kāf Hā Yā ʿAin Ṣād* sebagai gerbang yang penuh misteri menuju kisah manifestasi kasih sayang Ilahi.
XII. Ketakutan akan Pengganti yang Buruk: Detail Pembeda
Ayat 5, “Dan sungguh, aku khawatir terhadap kerabatku sepeninggalku,” perlu diulas lebih jauh mengenai konteks sosial saat itu. Bani Israil pada masa Zakariya menunjukkan tanda-tanda kemerosotan moral. Para pemimpin agama sering kali menjadi korup dan lebih mementingkan kekuasaan duniawi daripada ajaran Musa dan Ya’qub.
Ketakutan Zakariya bukan paranoia, melainkan penilaian realistis terhadap kondisi umatnya. Jika kepemimpinan spiritual jatuh ke tangan kerabat yang tidak takwa, mereka mungkin akan mengubah ajaran, menyelewengkan hukum, dan menindas yang lemah. Oleh karena itu, permintaannya untuk seorang *walīyyā* adalah permintaan untuk seorang reformis agama, sebuah ‘agen perubahan’ yang mampu membawa umat kembali ke jalan yang diridai (ayat 6: *raḍiyyān*).
Permintaan ini adalah cetak biru untuk kepemimpinan spiritual yang ideal: seseorang harus menjadi penerus yang baik secara pribadi (*warisan Zakariya*) dan mempertahankan tradisi yang benar (*warisan Ya’qub*), serta diberkahi dengan karakter yang disukai Allah.
XIII. Kesegaran Ruhaniyah dalam Kehidupan yang Memudar
Surah Maryam 1-11 adalah pelajaran tentang pembaruan. Zakariya mendeskripsikan dirinya sebagai memudar—tulang rapuh, kepala membara dengan uban. Ini adalah gambaran tentang kehidupan yang hampir berakhir. Namun, di tengah kepudaran fisik ini, Allah memberinya Yahya, yang namanya berarti 'Dia Hidup'.
Yahya adalah simbol kehidupan baru, kesegaran spiritual, dan pembaruan misi kenabian. Ironi indah ini menegaskan bahwa Allah dapat menanam benih kehidupan spiritual yang paling kuat di tanah kehidupan fisik yang paling tandus. Ini adalah pesan harapan universal: bahkan di saat-saat paling gelap atau paling lemah dalam hidup, janji dan karunia Allah bisa muncul dengan kekuatan yang tak terduga.
Melalui kebisuan Zakariya selama tiga hari, kita diajarkan untuk menghargai momen transisi—antara doa yang dipanjatkan dan janji yang terwujud. Periode keheningan itu adalah masa persiapan, di mana sang nabi berfokus sepenuhnya pada syukur dan Tasbih. Ketidakmampuan berbicara dengan manusia diimbangi dengan kemampuan berzikir yang tak terbatas kepada Ilahi. *Tasbih* (mensucikan Allah) menjadi bahasa baru yang menggantikan komunikasi lisan, sebuah pengakuan yang sempurna atas kekuasaan yang baru saja disaksikannya.