Surah Maryam, salah satu surah Makkiyyah yang sarat makna, membuka tirai kisahnya dengan rangkaian misterius huruf-huruf tunggal: Kaf, Ha, Ya, Ain, Shad. Dalam tradisi penafsiran Islam, huruf-huruf potong ini, yang dikenal sebagai Al-Huruf Al-Muqatta'ah, seringkali diinterpretasikan sebagai kode ilahi yang hanya diketahui secara pasti oleh Allah SWT. Namun, para ulama telah menawarkan berbagai pandangan yang kaya, mengaitkannya dengan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, atau bahkan sebagai isyarat tentang isi surah itu sendiri.
Bagi Surah Maryam, yang menarasikan kisah Zakariyya, Yahya, Maryam, dan Isa—empat tokoh sentral yang hidupnya dipenuhi mukjizat luar biasa—rangkaian huruf Kaf-Ha-Ya-Ain-Shad ini dipercaya mengandung singkatan atau isyarat terhadap peristiwa-peristiwa penting yang akan dikisahkan. Sebagian mufassir menghubungkannya dengan kekuasaan Allah yang Mahabesar untuk mengubah takdir dan kondisi manusia. Pembukaan yang misterius ini segera diikuti oleh kisah Nabi Zakariyya AS, sebuah narasi yang menjadi fondasi utama tentang kekuatan doa yang tulus, harapan di tengah keputusasaan, dan keajaiban yang melampaui logika duniawi.
Misteri huruf-huruf ini berfungsi sebagai jembatan yang mempersiapkan hati pembaca untuk menerima konsep mukjizat. Ketika akal manusia dihadapkan pada limitasi pemahaman (seperti makna huruf-huruf tersebut), ia akan lebih siap menerima fakta bahwa kekuasaan Allah melampaui batasan fisik. Setelah deklarasi misterius ini, ayat kedua segera dimulai dengan penegasan: “Inilah sebutan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakariyya.” Penekanan pada kata “rahmat” (kasih sayang) menandakan bahwa seluruh kisah yang akan disajikan adalah manifestasi kasih sayang Ilahi yang tak terbatas. Kisah ini bukan sekadar sejarah, melainkan pelajaran abadi tentang hubungan antara hamba yang lemah dengan Rabb yang Maha Kuasa.
Rahmat yang diberikan kepada Zakariyya adalah rahmat yang muncul dalam kondisi yang paling tidak terduga, saat usia telah senja dan harapan secara rasional telah sirna. Ini mengajarkan bahwa rahmat Ilahi tidak terikat oleh hukum-hukum alam yang kita kenal; ia adalah Anugerah, murni dari kehendak Sang Pencipta. Konteks ini menjadi sangat penting, karena inti dari Surah Maryam adalah demonstrasi kekuasaan Allah atas biologi dan logika, baik melalui Zakariyya, maupun melalui Maryam.
Terjemahan ringkasnya: (5) Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawali (kerabat) sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang waliyyan (wali/pewaris), (6) yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.
Kekhawatiran Zakariyya, yang diungkapkan dalam ayat kelima, bukan tentang warisan harta benda. Sebagai seorang Nabi, kekayaannya mungkin terbatas, dan warisan Nabi pada umumnya adalah ilmu dan hikmah. Kekhawatiran utamanya adalah tentang ‘Al-Mawali’ (kerabat-kerabatnya), yaitu para pemuka Bani Israil saat itu yang ia takutkan tidak akan mampu meneruskan risalah kenabian dan menjaga ajaran tauhid setelah kematiannya.
Dalam konteks Bani Israil, Zakariyya adalah seorang pendeta (yang bertugas di Baitul Maqdis) dan Nabi. Tugasnya sangat sakral: menjaga kemurnian ibadah dan syariat. Ia melihat bahwa kerabat-kerabatnya telah cenderung menyimpang, terlalu fokus pada urusan duniawi, atau tidak memiliki kapasitas spiritual untuk memimpin. Oleh karena itu, permintaannya untuk seorang waliyyan (pewaris) adalah permintaan untuk seorang penerus spiritual, seseorang yang kuat dalam agama, yang tidak akan membiarkan ajaran suci itu hilang atau terdistorsi.
Jika ia meninggal tanpa penerus yang saleh, maka tradisi dan ajaran keluarga Ya’qub (Israel) akan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ini akan menjadi kegagalan besar dalam misi kenabiannya. Kekhawatiran ini menunjukkan tanggung jawab besar yang diemban para Nabi, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk keberlangsungan iman umat manusia.
Ayat keenam memperjelas sifat warisan yang diminta: “yang akan mewarisi aku dan mewarisi dari keluarga Ya’qub.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa warisan yang dimaksud bukanlah harta, karena dalam hadis disebutkan bahwa para Nabi tidak mewariskan dirham atau dinar, melainkan mewariskan ilmu. Warisan ini memiliki dua dimensi:
Permintaan ini ditekankan dengan doa penutup: “Waj'alhu Rabbi Radliyya” (dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai). Kriteria paling utama bukanlah kecerdasan atau kekuasaan, melainkan keridhaan Allah. Anak yang diridhai adalah anak yang tindak tanduknya, perkataannya, dan perannya diterima oleh Allah SWT, sehingga ia layak menjadi pemimpin spiritual.
Ketidakmungkinan biologis (istri mandul dan usia tua Zakariyya) dipersembahkan sebagai alasan yang kuat bagi Allah untuk menunjukkan mukjizat-Nya. Jika permintaan ini dapat dikabulkan meskipun adanya dua rintangan biologis tersebut, maka hal itu akan menjadi bukti kekuasaan Allah yang mutlak di mata Bani Israil yang kala itu mulai ragu dan menyimpang. Dengan demikian, anak yang lahir dari mukjizat akan memiliki otoritas spiritual yang tak terbantahkan untuk memimpin reformasi di tengah umat yang membutuhkan bimbingan.
Kisah ini memberikan refleksi mendalam mengenai pentingnya kesinambungan kepemimpinan yang saleh. Zakariyya tidak meminta untuk hidup lebih lama; ia meminta agar warisan spiritual tidak terputus. Ini mengajarkan umat Islam bahwa fokus sejati para pemimpin agama haruslah pada kelangsungan ajaran dan akhlak, bukan pada keuntungan pribadi atau harta. Kekosongan spiritual adalah bencana yang lebih besar daripada kekosongan harta.
Terjemahan ringkasnya: (7) (Allah berfirman), “Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang menyandang nama yang sama baginya.”
Tanggapan Ilahi datang dengan cepat dan tegas. Allah menggunakan kata “Inna” (sesungguhnya Kami), yang menunjukkan penegasan dan kekuatan dari janji tersebut. Janji itu bukan sekadar jawaban, tetapi sebuah bisyarah (kabar gembira). Kabar gembira ini mencakup tiga unsur mukjizat yang tidak terduga:
Fakta bahwa Allah sendiri yang menamai anak ini menunjukkan statusnya yang istimewa. Nama Yahya secara etimologis berasal dari kata hayat (kehidupan). Nama ini sangat sesuai dengan kelahiran ajaibnya, yang seolah-olah menghidupkan kembali harapan spiritual dan fisik Zakariyya, serta menghidupkan kembali tradisi kenabian yang hampir mati di kalangan Bani Israil.
Pernyataan “Kami belum pernah menciptakan orang yang menyandang nama yang sama baginya sebelumnya” mengandung lapisan makna yang mendalam:
Kelahiran Yahya adalah jawaban atas doa yang melampaui sekadar memiliki anak. Ia adalah hadiah Ilahi yang dipersonifikasikan untuk memenuhi kebutuhan spiritual umat manusia pada masa itu.
Dalam konteks Al-Qur'an, pemberian nama secara langsung oleh Allah adalah tanda kemuliaan tertinggi (seperti Ismail dan Ishaq). Dalam kasus Yahya, mukjizatnya didahului dengan doa yang tersembunyi, menunjukkan bahwa pengabulan yang paling ajaib seringkali datang setelah pengabdian yang paling murni dan rahasia.
Zakariyya menerima lebih dari yang ia minta. Ia hanya meminta seorang pewaris spiritual (waliyyan), tetapi Allah memberinya seorang Nabi, dengan nama yang ditetapkan dari langit, memastikan bahwa penerusnya memiliki otoritas tertinggi untuk melanjutkan risalah keluarga Ya'qub.
Untuk mencapai kedalaman pemahaman yang dibutuhkan, kita harus merenungkan perbedaan antara permintaan Zakariyya (*waliyyan*) dan pemberian Allah (*Yahya* dengan keunikan *samiyya*). Zakariyya, dalam doanya, menggunakan kata waliyyan, yang bisa berarti kerabat dekat, pelindung, atau pewaris. Ini menunjukkan kekhawatiran manusiawi akan kelangsungan klan dan ajaran. Namun, Allah menjawabnya dengan memberi nama Yahya, yang secara harfiah berarti 'Dia yang Hidup' atau 'Dia akan Hidup'. Pemberian nama oleh Allah ini bukan hanya identitas, tetapi sebuah proyeksi takdir. Yahya akan 'hidup' secara fisik setelah kedua orang tuanya secara biologis 'mati' (tua dan mandul), dan ia akan 'menghidupkan' kembali syariat yang hampir mati di Bani Israil.
Lebih jauh lagi, penekanan pada lam naj'al lahu min qablu samiyya menunjukkan bahwa penciptaan Yahya adalah sebuah preseden (sebelum Maryam dan Isa). Jika Maryam melahirkan tanpa ayah (mukjizat yang lebih besar), maka Yahya adalah mukjizat yang mendahului, membuktikan bahwa Allah mampu mengubah hukum biologi. Ini adalah persiapan psikologis dan teologis bagi umat saat itu untuk menerima mukjizat yang lebih agung di masa depan. Keunikan nama dan kualitasnya berfungsi sebagai Ayatullah (Tanda dari Allah) yang berjalan dan bernapas.
Makna *samiyya* sebagai "yang setara" juga ditekankan oleh banyak mufassir kontemporer. Jika Yahya tidak memiliki padanan dalam hal keagungan atau sifat kenabian, ini semakin menonjolkan pentingnya peran yang dimainkannya dalam rantai kenabian. Ia adalah penutup bagi para nabi Bani Israil yang diutus khusus sebelum Isa, memegang kunci ajaran dan moralitas yang dibutuhkan sebelum revolusi spiritual yang dibawa oleh Isa AS.
Terjemahan ringkasnya: (8) Zakariyya berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku akan mendapat anak, padahal istriku mandul dan aku sungguh-sungguh telah mencapai usia yang sangat tua ('itiyya)?” (9) Dia (Allah) berfirman, “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal engkau belum berwujud apa-apa.”
Respons Zakariyya dalam ayat kedelapan seringkali disalahartikan sebagai keraguan. Namun, para mufassir menjelaskan bahwa ini adalah pertanyaan keheranan dan keinginan untuk memahami mekanisme mukjizat tersebut, bukan ketidakpercayaan. Setelah bertahun-tahun berdoa, kabar gembira yang datang sangatlah besar sehingga Zakariyya, dalam kebahagiaan dan keheranannya, ingin tahu bagaimana detail keajaiban ini akan terjadi. Ia mengulangi rintangan-rintangan fisik yang telah ia sebutkan sebelumnya, kali ini dengan tambahan penekanan pada usianya yang 'itiyya (sangat tua, rapuh, mencapai batas senja kehidupan).
Kata 'itiyya membawa nuansa kekunoan, usang, hampir mencapai kehancuran fisik. Ini memperkuat kontras antara kondisi Zakariyya dan keajaiban yang dijanjikan. Pertanyaannya adalah, "Bagaimana cara kerja mukjizat ini, ya Rabb?"
Jawaban Allah pada ayat kesembilan memotong keraguan sekecil apa pun dan memberikan pelajaran fundamental tentang Tauhid. Allah berfirman: “Kadzalika” (Demikianlah), yang artinya 'Ini akan terjadi persis seperti yang Aku katakan'. Dan kemudian, pernyataan yang menjadi inti dari kekuasaan Ilahi: “Huwa ‘Alayya Hayyin” (Hal itu mudah bagi-Ku).
Bagi Allah, menciptakan kehidupan dari sesuatu yang secara biologis mandul atau tua adalah sama mudahnya dengan menciptakan seluruh alam semesta. Hukum alam yang kita pahami adalah ciptaan-Nya; oleh karena itu, melanggar atau menangguhkan hukum tersebut sama sekali tidak memerlukan usaha tambahan bagi Sang Pencipta.
Allah kemudian mengingatkan Zakariyya tentang penciptaan dirinya sendiri sebagai bukti kekuasaan-Nya: “Wa qad khalaqtuka min qablu wa lam taku shai'a” (sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal engkau belum berwujud apa-apa). Jika Allah mampu menciptakan Zakariyya dari ketiadaan total (lam taku shai'a), maka menciptakan Yahya dari pasangan yang sudah ada, meskipun mandul dan tua, tentu jauh lebih mudah.
Pelajaran teologis dari ayat ini sangatlah kuat: ketika kita berdoa, kita tidak boleh membatasi jawaban Allah berdasarkan kemampuan kita sendiri atau hukum alam yang kita pahami. Allah adalah Pencipta yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Mengingat kembali asal-usul diri sendiri adalah cara paling efektif untuk memperkuat iman terhadap mukjizat. Ini adalah prinsip yang diaplikasikan dalam banyak kisah kenabian, menegaskan bahwa logika manusia adalah subjek kekuasaan Allah, bukan batas-Nya.
Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam tafsirnya, sangat menekankan korelasi antara *Huwa 'Alayya Hayyin* dan penciptaan dari ketiadaan. Ar-Razi menjelaskan bahwa manusia cenderung mengukur kemudahan atau kesulitan berdasarkan kebiasaan (adat). Bagi kita, melahirkan anak dari pasangan subur adalah mudah, dan melahirkan dari pasangan mandul adalah sulit. Namun, bagi Allah, konsep kesulitan tidak ada. Allah meniadakan faktor kebiasaan dan mengedepankan faktor kehendak murni. Tujuan dari penegasan ini adalah untuk menghilangkan setiap bentuk keterbatasan dalam pikiran hamba ketika berinteraksi dengan Sifat Qudrah (Kekuasaan) Allah.
Sementara itu, Al-Qurtubi fokus pada penggunaan Zakariyya atas kata 'itiyya. Ini adalah penuaan yang ekstrem, di mana fisik telah mencapai ambang batas fungsi reproduksi. Dengan menyebutkan *'itiyya* setelah Allah menyebutkan *ghulam* (anak muda), kontrasnya menjadi dramatis. Usia tua yang menghancurkan dan anak muda yang membawa kehidupan. Melalui perbandingan yang kontras ini, Al-Qurtubi menyimpulkan bahwa mukjizat Yahya bukan hanya tentang kelahiran, melainkan demonstrasi regenerasi total di tengah kehancuran fisik.
Kedua mufassir ini sepakat bahwa ayat 9 adalah titik balik dalam narasi: dari permohonan yang didorong oleh keputusasaan fisik menjadi kepastian akan janji Ilahi yang tak terbataskan. Ini adalah pelajaran bagi setiap orang yang merasa doanya terhalang oleh kondisi yang mustahil; bagi Allah, tidak ada yang mustahil.
Terjemahan ringkasnya: (10) Ia (Zakariyya) berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu ayat (tanda).” Allah berfirman, “Tandamu ialah engkau tidak dapat berbicara dengan manusia selama tiga malam, padahal engkau dalam keadaan sehat (sawiyya).” (11) Maka, ia keluar menuju kaumnya dari Mihrab, lalu ia memberi isyarat kepada mereka: “Bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.”
Meskipun Zakariyya telah menerima janji mutlak dari Allah, ia kemudian memohon “Ayat” (tanda). Permintaan ini bukan karena ketidakpercayaan, melainkan karena dua alasan utama:
Allah memberikan tanda yang sangat unik: Zakariyya akan kehilangan kemampuan berbicara dengan manusia selama tiga hari, meskipun ia dalam keadaan sawiyya (sehat wal afiat, tidak bisu, tidak sakit). Ia masih mampu berbicara dengan Allah (berzikir dan berdoa), tetapi tidak dengan manusia.
Mengapa keheningan menjadi tanda dari janji kelahiran? Keheningan selama tiga hari ini memiliki beberapa hikmah:
Dalam kondisi keheningan paksa, Zakariyya tahu bahwa Allah telah mengambil alih situasinya, dan janji itu sedang dalam proses terwujud.
Ayat kesebelas mengakhiri segmen ini dengan Zakariyya keluar dari Mihrab (ruang ibadah suci, seringkali tempat Maryam juga beribadah). Ia tidak bisa berbicara, tetapi ia berkomunikasi melalui isyarat. Pesan yang ia sampaikan melalui isyarat sangatlah penting: “Bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.”
Meskipun ia tidak bisa mengungkapkan kabar gembira secara lisan, tanda bisu yang misterius ini telah menimbulkan keheranan di antara kaumnya. Responsnya adalah seruan untuk bersyukur (tasbih). Ia memahami bahwa momen mukjizat bukanlah momen untuk berbangga, melainkan momen untuk mengagungkan Allah SWT.
Seruan untuk bertasbih pagi dan petang (bukratan wa 'ashiyya) adalah esensi dari ibadah yang diminta saat itu. Ini menunjukkan bahwa setiap mukjizat, setiap pengabulan doa, harus direspons dengan peningkatan rasa syukur dan pengagungan kepada Allah, bukan hanya kegembiraan pribadi.
Inti dari kisah Zakariyya adalah pengajaran tentang kualitas doa. Doa yang paling berharga di sisi Allah adalah yang tersembunyi, yang diucapkan dengan kerendahan hati dan keyakinan total bahwa hanya Allah yang mampu menolong. Zakariyya mengajarkan bahwa ketika kita merasa paling lemah, saat itulah kita harus semakin menguatkan komunikasi rahasia kita dengan Sang Pencipta. Kelemahan fisik (tulang rapuh, uban menyala) tidak mengurangi validitas doa, justru menjadikannya lebih mendesak dan murni.
Permintaan Zakariyya untuk seorang waliyyan yang mewarisi kenabian dan ajaran Ya’qub menegaskan bahwa harta sejati para Nabi adalah bimbingan spiritual. Kekhawatiran akan penyimpangan umat jauh lebih besar daripada kekhawatiran akan kekurangan materi. Ini adalah cetak biru bagi setiap Muslim yang ingin meninggalkan warisan yang abadi: warisan ilmu, amal saleh, dan keturunan yang berpegang teguh pada tauhid.
Penegasan Allah bahwa kelahiran Yahya "mudah bagi-Ku" adalah sebuah landasan aqidah. Itu menuntut umat Islam untuk membebaskan pikiran mereka dari batasan-batasan materialistik ketika memohon kepada Allah. Tidak ada skala kesulitan bagi kekuasaan Allah. Mukjizat adalah demonstrasi kekuasaan ini. Jika Allah telah menciptakan kita dari ketiadaan, maka menciptakan sesuatu yang ‘mustahil’ secara duniawi adalah konsekuensi logis dari Sifat Pencipta-Nya.
Kelahiran Yahya adalah sebuah tanda bahwa Allah selalu mampu menciptakan kehidupan di tengah kemandulan, harapan di tengah keputusasaan, dan penerus yang saleh di tengah kegelapan moral. Kisah ini menjadi mercusuar bagi siapa saja yang tengah berjuang melawan kondisi sulit, mengingatkan bahwa kekuatan doa, meskipun diucapkan perlahan, dapat mengubah takdir yang paling mustahil.
Keheningan Zakariyya yang diikuti oleh isyarat tasbih adalah klimaks dari kisah ini. Keheningan adalah penerimaan janji. Tasbih (mengagungkan Allah) adalah respons yang tepat terhadap janji tersebut. Ketika kita menyaksikan atau menerima rahmat yang besar, respons pertama kita haruslah tahmid (pujian) dan tasbih (penyucian), mengakui bahwa semua kebaikan datang dari-Nya, dan Dialah yang Mahabesar.
Kisah Zakariyya memiliki resonansi yang kuat dengan kisah Nabi Ibrahim AS, yang juga dikaruniai anak (Ishaq dan Ismail) pada usia senja. Perbandingan ini bukanlah kebetulan; ia menegaskan sebuah pola Ilahi. Kedua nabi ini, meskipun secara fisik telah melewati batas reproduksi, menunjukkan tsiqah (kepercayaan) yang absolut pada janji Allah. Namun, ada perbedaan halus:
Kesamaan utamanya adalah respons Allah yang sama: Huwa ‘Alayya Hayyin. Allah menunjukkan bahwa Dia tidak terikat oleh kondisi fisik kedua pasangan tersebut. Keajaiban ini menjadi bukti bahwa Allah menghargai doa yang konsisten dan tulus, bahkan jika ia terasa tidak mungkin untuk waktu yang sangat lama. Kesabaran Zakariyya, yang terus berdoa hingga rambutnya memutih dan tulangnya melemah, adalah pelajaran tentang ketekunan iman (Istiqamah).
Untuk benar-benar memahami kekhawatiran Zakariyya terhadap Al-Mawali, kita harus melihat konteks sosial Baitul Maqdis saat itu. Pada periode itu, kepemimpinan agama di kalangan Bani Israil seringkali dicemari oleh kepentingan pribadi dan perselisihan sektarian. Orang-orang yang berpotensi mengambil alih kepemimpinan setelah Zakariyya dikhawatirkan akan memutarbalikkan ajaran demi keuntungan duniawi, merusak tradisi suci yang diwariskan dari Ya’qub. Kekhawatiran ini adalah cerminan dari tanggung jawab kenabian untuk memastikan keselamatan spiritual umat, bahkan setelah nabi itu tiada.
Permintaan untuk seorang pewaris yang radliyya (diridhai) menegaskan bahwa kriteria kepemimpinan yang sesungguhnya adalah moralitas dan ketakwaan, bukan garis keturunan atau kekayaan. Ini adalah seruan reformasi yang tersembunyi: Zakariyya meminta kepada Allah untuk menunjuk seorang pemimpin yang berada di atas kepentingan klan dan golongan, seseorang yang otoritasnya berasal dari Allah, bukan dari persekongkolan manusia. Yahya, yang datang dengan nama unik dan kelahiran ajaib, memenuhi kriteria ini, memungkinkannya memimpin dengan integritas yang mutlak.
Keheningan selama tiga malam (tsalatsa layalin sawiyya) adalah fenomena yang sangat kaya makna. Dalam sufisme dan tafsir esoterik, keheningan paksa ini dipandang sebagai riyadhah (latihan spiritual) yang intensif. Dalam keheningan dari ucapan duniawi, pendengaran hati (bashirah) menjadi lebih tajam. Zakariyya tidak hanya menahan diri dari berbicara; ia memasuki keadaan meditasi dan syukur yang mendalam. Periode tiga hari ini memungkinkan jiwanya untuk sepenuhnya menerima realitas mukjizat yang akan datang tanpa gangguan kata-kata manusiawi yang mungkin meragukan atau memecah fokus.
Al-Ghazali, dalam membahas komunikasi dengan Allah, sering menekankan bahwa kesiapan hati adalah kunci penerimaan rahmat. Keheningan yang diberikan kepada Zakariyya adalah mekanisme untuk mencapai kesiapan ini. Itu adalah detoksifikasi verbal, membersihkan lidah dari segala hal selain zikir dan tasbih. Jadi, keheningan itu bukan penghalang, melainkan fasilitator bagi pengalaman kenabian yang transformatif.
Perlu dicatat bahwa keheningan ini terjadi selama tiga malam (layalin), bukan tiga hari. Malam sering dikaitkan dengan kedamaian, misteri, dan waktu optimal untuk ibadah rahasia. Keheningan Zakariyya terjadi dalam fase spiritual yang paling tenang, memperkuat aura kesakralan di sekitar peristiwa tersebut.
Surah Maryam tidak menempatkan kisah Zakariyya dan Yahya secara acak. Kisah ini berfungsi sebagai persiapan teologis untuk kisah yang akan segera menyusul: kisah Maryam dan Isa. Mukjizat Yahya (lahir dari pasangan tua dan mandul) menetapkan preseden kekuasaan Allah yang melampaui biologi. Setelah menerima cerita ini, hati pembaca akan lebih siap menerima mukjizat yang lebih besar pada Maryam (melahirkan tanpa ayah). Zakariyya dan Yahya adalah fondasi yang kokoh yang membuktikan kepada Bani Israil dan kepada umat manusia bahwa jika Allah telah berkehendak, hukum alam akan tunduk pada kehendak-Nya.
Selain itu, terdapat hubungan personal. Maryam diasuh oleh Zakariyya di Mihrab yang sama tempat ia menerima janji Yahya. Rahmat (rahmah) yang disebutkan pada ayat 2, menghubungkan kedua kisah tersebut. Rahmat Allah yang mengkaruniai Yahya, adalah rahmat yang sama yang akan mengkaruniai Isa. Ini menunjukkan sebuah rantai kasih sayang Ilahi yang tak terputus, mengalir di antara para hamba-Nya yang saleh.
Nama Yahya, yang berarti 'Dia yang Hidup', memiliki makna abadi. Yahya hidup dalam dua cara: ia hidup secara ajaib (melawan kematian biologis orang tuanya), dan ia hidup secara spiritual. Kenabiannya dan syariat yang dibawanya memiliki dampak spiritual yang berkelanjutan. Ia adalah sosok yang digambarkan memiliki sifat hasuran (menjaga diri dari hawa nafsu) dan sangat berbakti. Kehidupannya singkat, namun penuh makna, dan namanya sendiri adalah pengingat bahwa iman dan ketaqwaan membawa kehidupan sejati, bukan hanya kehidupan duniawi.
Dalam tradisi Islam, Yahya dan Isa memiliki hubungan yang sangat erat, sepupu yang diutus hampir pada waktu yang sama. Yahya dibangkitkan untuk mempersiapkan jalan bagi Isa, menegaskan kembali prinsip-prinsip syariat, sehingga ketika Isa datang dengan mukjizatnya, masyarakat sudah memiliki dasar spiritual yang kuat. Kelahirannya adalah tanda pengharapan (hope) yang sangat dibutuhkan oleh umat pada masa itu.
Kisah Surah Maryam 1-11, meskipun singkat dalam ayat, adalah manual spiritual lengkap. Ia mengajarkan tentang keikhlasan dalam doa (*khafiyyan*), keberanian dalam menghadapi keputusasaan (*wahan al-'azm*), tanggung jawab untuk kesinambungan spiritual (*waliyyan*), dan kepasrahan total pada kemahakuasaan Allah (*Hayyin*). Seluruh narasi ini adalah ajakan untuk bertasbih, untuk mengakui bahwa dalam setiap keajaiban kecil maupun besar, hanya ada satu sumber: Allah SWT.
Keheningan Zakariyya mengajarkan kita bahwa terkadang, untuk benar-benar mendengar jawaban Tuhan, kita harus berhenti berbicara dan membiarkan ketenangan Ilahi menyelimuti hati kita. Dalam keheningan itulah, mukjizat sejati mulai terwujud, dan harapan yang paling mustahil menjadi kenyataan yang paling agung.
***
Ketekunan Zakariyya dalam menghadapi ujian panjang kemandulan dan usia tua adalah cerminan dari sifat ketabahan yang harus dimiliki setiap mukmin. Ia tidak pernah menganggap dirinya shaqiyyan (celaka atau kecewa) dalam doa, menunjukkan bahwa ia mempertahankan optimisme spiritual yang tak tergoyahkan, bahkan ketika bertahun-tahun berlalu tanpa hasil yang nyata. Keyakinan ini adalah kunci. Allah menguji hamba-Nya bukan untuk menghukum, tetapi untuk meningkatkan derajat mereka, dan pengabulan datang pada saat yang paling sempurna, di mana tidak ada atribusi keberhasilan yang dapat dikaitkan dengan kekuatan manusia.
Seluruh narasi ini adalah panggilan untuk refleksi mendalam mengenai nilai-nilai abadi: Tawhid yang murni, pentingnya ibadah rahasia, dan hakikat kekuasaan Ilahi yang tak terbatas. Surah Maryam 1-11 adalah pengingat bahwa bahkan di akhir hidup yang tampak mandek, Allah mampu menganugerahkan awal yang baru, penuh dengan kehidupan dan harapan.
Zakariyya mengajarkan bahwa doa adalah senjata paling ampuh, yang mampu membatalkan hukum-hukum alam, asalkan diucapkan dengan ketulusan yang murni, tersembunyi dari mata dunia, dan diiringi keyakinan bahwa Allah selalu mendengarkan dan selalu menjawab, dengan cara-Nya yang paling sempurna dan ajaib.