Dalam khazanah spiritualitas Islam, tidak ada pertanyaan yang lebih mendasar dan krusial selain pertanyaan tentang eksistensi: Mengapa kita ada? Apa tujuan di balik keberadaan kita sebagai manusia, dan juga keberadaan entitas gaib seperti jin? Jawaban atas pertanyaan monumental ini dirangkum dengan ringkas namun padat makna dalam satu ayat yang menjadi mercusuar petunjuk, yaitu Surah Az-Zariyat ayat ke-56.
Ayat ini bukan sekadar pernyataan dogmatis; ia adalah fondasi filosofis, landasan teologis, dan peta jalan praktis bagi seluruh kehidupan makhluk berakal. Ayat ini membedah kabut keraguan tentang makna hidup, menyingkapkan bahwa penciptaan bukanlah sebuah kebetulan, melainkan sebuah rencana Ilahi yang bertujuan tunggal dan mulia. Tujuan tersebut, sebagaimana yang akan kita telaah secara mendalam, adalah 'Ibadah.
Pemahaman yang mendalam terhadap Az-Zariyat 56 (dan kami akan mengulanginya berkali-kali untuk menekankan urgensi maknanya) adalah kunci untuk mengurai seluruh ajaran agama, mulai dari urusan ritual terkecil hingga tatanan masyarakat yang paling besar. Ketika tujuan utama ini hilang dari pandangan, hidup manusia menjadi hampa, terperangkap dalam lingkaran materialisme dan ambisi duniawi yang fana, padahal fitrah mereka diciptakan untuk koneksi abadi dengan Sang Pencipta. Kita harus memahami bahwa ibadah dalam konteks ayat ini jauh melampaui sekadar ritual formal, ia mencakup setiap helaan napas, setiap tindakan, dan setiap pemikiran yang diselaraskan dengan kehendak Ilahi.
Transliterasi: Wa mā khalaqtul-jinna wal-insa illā liya'budūn.
Terjemahan: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Untuk benar-benar menghayati makna yang terkandung dalam ayat ini, kita perlu membedah setiap kata dan konstruksi kalimatnya. Susunan bahasa Arab di sini menggunakan struktur penegasan yang sangat kuat, dikenal sebagai hasr (pembatasan) atau qasr (pengkhususan), yang secara efektif meniadakan tujuan lain selain yang disebutkan.
Penggunaan negasi 'mā' pada awal kalimat diikuti dengan 'illā' (kecuali) adalah penekanan definitif. Kalimat ini tegas menolak interpretasi bahwa penciptaan jin dan manusia memiliki tujuan yang bersifat sementara, sia-sia, atau berdasarkan kebetulan. Ayat ini secara langsung menjawab pertanyaan eksistensial dengan otoritas Ilahi: penciptaan adalah tindakan yang disengaja dan bertujuan.
Frasa ini menolak ide-ide yang menganggap bahwa alam semesta adalah sebuah permainan kosmik (sebagaimana ditegaskan di tempat lain dalam Al-Qur'an, seperti Surah Al-Anbiya' ayat 16) atau bahwa Tuhan menciptakan makhluk-Nya tanpa peduli pada takdir mereka. Tuhan Yang Maha Bijaksana tidak pernah melakukan sesuatu dengan sia-sia. Keberadaan segala sesuatu memiliki tujuan, dan bagi makhluk berakal, tujuan itu adalah ibadah.
Penyebutan dua entitas ini sangat signifikan. Manusia adalah makhluk yang kasat mata (diciptakan dari tanah), sementara jin adalah makhluk gaib (diciptakan dari api tanpa asap). Mereka adalah dua jenis makhluk yang memiliki kehendak bebas (mukallaf) dan diamanahi tanggung jawab moral. Dengan menyertakan keduanya, Allah SWT memastikan bahwa tujuan ibadah adalah universal bagi semua makhluk yang mampu memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya. Ini menegaskan bahwa tidak ada pengecualian dalam tugas utama ini, terlepas dari materi penciptaan atau dimensi eksistensi mereka.
Inilah inti dari ayat tersebut. Huruf 'Lī' (lam ta’lil) menunjukkan sebab atau tujuan. Penciptaan terjadi KARENA tujuan ibadah. 'Ya‘budūn' adalah bentuk jamak yang merujuk pada praktik ibadah. Yang paling penting adalah akhiran 'Nī' (kepada-Ku), yang merupakan penekanan langsung bahwa ibadah tersebut harus diarahkan semata-mata kepada Sang Pencipta, menolak segala bentuk kemusyrikan atau pengabdian kepada selain-Nya. Ibadah adalah hubungan eksklusif antara hamba dan Rabb-nya.
Struktur penekanan ini berarti: Tidak ada tujuan lain yang sah, mendasar, atau abadi bagi eksistensi manusia dan jin selain daripada mengabdi kepada Allah. Semua tujuan lain—mencari kekayaan, membangun peradaban, mencari ilmu—hanyalah sarana yang harus diintegrasikan ke dalam tujuan utama ibadah ini.
Kesalahpahaman yang sering muncul dalam menafsirkan Az-Zariyat 56 adalah menyempitkan makna 'Ibadah' hanya pada ritual formal (ibadah mahdhah) seperti salat, puasa, dan haji. Meskipun ritual tersebut adalah manifestasi ibadah yang paling eksplisit dan terstruktur, para ulama sepakat bahwa definisi ibadah dalam konteks ayat ini jauh lebih luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan.
Secara etimologi, 'Ibadah' berasal dari kata ‘abd yang berarti hamba atau budak. Ibadah oleh karena itu adalah manifestasi penghambaan total, yaitu kepatuhan, ketundukan, dan ketaatan yang mutlak kepada kehendak Allah SWT. Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mendefinisikannya sebagai "semua yang dicintai dan diridhai oleh Allah dari ucapan dan perbuatan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi."
Ibadah mencakup dua dimensi utama:
Apabila seseorang memahami bahwa mencari nafkah yang halal, merawat orang tua, mendidik anak-anak, menjaga kebersihan lingkungan, atau bahkan penelitian ilmiah yang bermanfaat, semuanya dapat dihitung sebagai ibadah asalkan dilandasi niat yang benar, maka seluruh hidupnya telah terintegrasi dalam kerangka Az-Zariyat 56. Tujuan ini memastikan bahwa tidak ada ruang hampa atau aktivitas netral dalam kehidupan seorang mukmin; semuanya adalah potensi amal saleh.
Pengertian ibadah yang menyeluruh ini memiliki konsekuensi praktis yang masif. Ia mengubah paradigma motivasi. Seseorang tidak lagi bekerja hanya untuk gaji, tetapi bekerja untuk melaksanakan perintah Allah (sebagai bentuk syukur dan kekhalifahan). Ia tidak lagi belajar hanya untuk gelar, tetapi untuk menunaikan kewajiban mencari ilmu yang mendekatkannya pada pemahaman kebenaran Ilahi. Seluruh peradaban manusia, jika dibangun di atas landasan Az-Zariyat 56, akan menjadi peradaban yang berorientasi pada ketundukan dan keadilan, bukan keserakahan dan penindasan.
Memahami bahwa tujuan penciptaan adalah ibadah juga memberikan ketenangan luar biasa. Dalam setiap kesulitan, setiap ujian, dan setiap kesenangan, seorang hamba menyadari bahwa semua itu adalah bagian dari proses penghambaan. Ujian adalah sarana untuk memperdalam ketundukan (sabar), sementara kenikmatan adalah sarana untuk meningkatkan rasa syukur (syukur). Tujuan akhir tidak pernah berubah: kembali kepada-Nya dengan hati yang tenang karena telah memenuhi janji penghambaan.
Ayat 56 dari Surah Az-Zariyat merupakan pilar utama dari Tauhid, khususnya Tauhid al-Uluhiyyah (Tauhid Ibadah). Tauhid adalah inti ajaran Islam, yang berarti mengesakan Allah. Ada tiga kategori Tauhid yang saling terkait, dan Az-Zariyat 56 secara eksplisit menekankan yang ketiga:
Ayat ini dimulai dengan 'Wa mā khalaqtul...' (Dan Aku tidak menciptakan...). Ini secara implisit mengacu pada Tauhid Rububiyyah, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pemelihara, Pengatur, dan Pemberi Rizki. Hanya Dia yang memiliki kekuasaan mutlak atas alam semesta. Keyakinan ini harus mendahului dan menguatkan Tauhid Ibadah. Karena Dia yang menciptakan (Rububiyyah), maka hanya Dia yang berhak disembah (Uluhiyyah).
Inilah fokus utama ayat ini: 'illā liya'budūn' (kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku). Az-Zariyat 56 menuntut bahwa semua bentuk ibadah, baik yang tersembunyi di hati (seperti rasa takut, harap, dan cinta) maupun yang terlihat (seperti salat dan sedekah), harus murni ditujukan kepada Allah semata. Menyelewengkan ibadah kepada selain Allah, meskipun hanya sedikit, berarti membatalkan tujuan penciptaan dan jatuh ke dalam dosa syirik yang tak terampuni.
Pelaksanaan ibadah yang benar memerlukan pemahaman yang benar tentang siapa yang kita sembah. Kita beribadah kepada Allah dengan memahami bahwa Dia memiliki nama-nama yang indah (Asmaul Husna) dan sifat-sifat yang sempurna. Ibadah yang tulus lahir dari pengenalan yang mendalam terhadap sifat-sifat-Nya—misalnya, kita berharap kepada-Nya karena kita tahu Dia Maha Pengasih (Ar-Rahman), dan kita takut berbuat dosa karena kita tahu Dia Maha Mengetahui (Al-'Alim).
Az-Zariyat 56, dalam keutuhannya, berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan keyakinan teoritis (Tauhid Rububiyyah) dengan aplikasi praktis (Tauhid Uluhiyyah). Jika manusia mengakui bahwa Allah adalah Rabb, maka ia wajib menjadi 'abd' (hamba) bagi-Nya.
Meskipun malaikat juga beribadah, ibadah manusia dan jin memiliki nilai keunikan yang lebih tinggi karena melibatkan perjuangan melawan kehendak bebas, hawa nafsu, dan godaan Iblis. Malaikat beribadah dengan kepatuhan total tanpa hawa nafsu. Manusia dan jin, yang diberikan kemampuan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, ketika mereka memilih ibadah, mereka telah berhasil memenuhi tujuan penciptaan dalam kondisi yang menantang. Inilah yang menjadikan pahala dan derajat mereka tinggi di sisi Allah.
Bagaimana ayat ini diterjemahkan menjadi tindakan sehari-hari? Jika tujuan utama kita adalah ibadah, maka setiap sendi kehidupan harus mencerminkan prinsip ini. Dimensi praktis ini adalah ujian sebenarnya bagi pemahaman seseorang terhadap Az-Zariyat 56.
Ibadah yang paling mendasar adalah ibadah hati. Tanpa hati yang tunduk, semua ritual fisik bisa menjadi kosong. Ibadah hati mencakup:
Ketika seseorang merasa kesulitan dalam hidup, ia kembali kepada ibadah hati. Jika ia sakit, ia bersabar karena tahu itu adalah jalan penghambaan. Jika ia kaya, ia bersyukur karena tahu kekayaan adalah ujian dari Allah. Dalam semua keadaan, tujuan penghambaan tetap teguh.
Tugas penghambaan (ibadah) tidak hanya melibatkan hubungan vertikal (dengan Allah) tetapi juga horizontal (dengan sesama makhluk). Perintah ibadah mencakup perintah keadilan dan kebaikan sosial:
Menuntut ilmu adalah ibadah yang amat penting, sebab seseorang tidak akan mampu menyembah Allah dengan benar tanpa pengetahuan yang benar. Ilmu adalah sarana untuk mengenali Allah, memahami perintah-Nya, dan membedakan antara yang haq dan yang batil. Setiap jam yang dihabiskan untuk mempelajari Al-Qur'an, Hadits, atau ilmu-ilmu yang bermanfaat (seperti kedokteran, teknik, dan sains) dengan niat untuk melayani umat dan menegakkan perintah Allah, adalah pemenuhan langsung dari tujuan penciptaan yang termaktub dalam Az-Zariyat 56.
Alt Text: Diagram menunjukkan cahaya Ilahi bersinar ke arah representasi simbolis Manusia dan Jin, menegaskan bahwa ibadah adalah poros keberadaan mereka.
Ironi terbesar dalam pemahaman modern adalah anggapan bahwa ibadah adalah beban atau pembatasan kebebasan. Padahal, pemenuhan tujuan penciptaan (ibadah) justru merupakan pembebasan hakiki. Ketika seseorang mengalihkan pengabdiannya hanya kepada Allah, ia secara otomatis dibebaskan dari perbudakan kepada makhluk lain: perbudakan kepada harta, pangkat, hawa nafsu, dan opini publik. Kemerdekaan sejati ditemukan dalam kepatuhan tunggal kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Penting untuk dicatat bahwa ketika Allah memerintahkan ibadah dalam Az-Zariyat 56, ini bukan karena Dia membutuhkan ibadah kita. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya (Az-Zariyat 57-58), Allah adalah Pemberi Rizki yang tidak membutuhkan makanan atau rizki dari hamba-Nya. Allah SWT adalah Al-Ghani (Yang Maha Kaya), yang tidak bertambah kekuasaan-Nya meskipun seluruh jin dan manusia beribadah kepada-Nya, dan tidak berkurang kekuasaan-Nya meskipun seluruh jin dan manusia kufur.
Oleh karena itu, tujuan ibadah adalah untuk manfaat manusia itu sendiri. Ibadah adalah kebutuhan fitrah makhluk, sarana untuk mencapai kesempurnaan rohani, dan cara untuk memastikan keselamatan di akhirat. Ibadah adalah terapi jiwa yang membersihkan dari kesombongan, kedengkian, dan keserakahan, yang semuanya merupakan penyakit-penyakit yang menghalangi manusia mencapai potensi tertingginya.
Dalam masyarakat kontemporer yang sering kali sekuler, banyak individu mengalami kekosongan eksistensial, meskipun mereka dikelilingi oleh kemewahan material. Kekosongan ini muncul karena mereka gagal mengisi kekosongan spiritual yang hanya bisa dipenuhi dengan pemenuhan tujuan penciptaan, yaitu ibadah. Mereka mencari makna dalam karier, hiburan, atau hubungan, namun semua itu bersifat sementara dan rapuh. Az-Zariyat 56 menawarkan obat yang permanen: makna hidup adalah pengabdian yang abadi kepada Sang Pencipta.
Setiap kegelisahan yang dirasakan oleh hati yang berakal, setiap pencarian yang tak kunjung usai terhadap kebahagiaan sejati, adalah panggilan dari Az-Zariyat 56 yang belum terjawab. Ketika niat kembali diluruskan pada tujuan tunggal ibadah, barulah ketenangan (al-itminan) yang dijanjikan dalam Al-Qur'an dapat diraih.
Az-Zariyat 56 adalah panduan universal, sebuah konstitusi spiritual yang melampaui batas-batas budaya dan waktu. Ia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, harus terintegrasi dalam skema besar penghambaan. Jika kita menyimpang dari poros ini, kita menyimpang dari fitrah kita sendiri.
Untuk memastikan bahwa tujuan ibadah ini tidak terlupakan di tengah hiruk pikuk kehidupan, Islam mensyariatkan dzikir (mengingat Allah) secara berkelanjutan. Dzikir adalah praktik konstan yang menyegarkan kembali kesadaran akan Az-Zariyat 56. Salat lima waktu (ibadah mahdhah) berfungsi sebagai pengingat yang terstruktur. Setiap panggilan azan adalah seruan kembali kepada tujuan: "Marilah menuju kesuksesan!"—dan kesuksesan yang dimaksud adalah kesuksesan dalam penghambaan.
Dzikir dalam hati, melalui kesadaran akan kehadiran Allah, mengubah tindakan duniawi menjadi ibadah. Seorang pedagang yang jujur, seorang guru yang ikhlas, seorang dokter yang berdedikasi—semua melakukan ibadah ghairu mahdhah. Namun, efektivitas ibadah ini tergantung pada kualitas pengingatan (dzikir) di dalam hati mereka. Jika niatnya murni karena Allah, maka mereka memenuhi Az-Zariyat 56.
Seringkali, muncul pertanyaan: Jika tujuan kita hanya ibadah, mengapa kita juga ditugaskan sebagai khalifah di bumi? Apakah ibadah dan kekhalifahan itu dua tujuan yang berbeda? Jawabannya, sebagaimana disimpulkan oleh para mufassir, adalah bahwa kekhalifahan (tugas mengelola dan memakmurkan bumi) adalah media atau sarana untuk melaksanakan ibadah.
Kekhalifahan tanpa ibadah akan berubah menjadi tirani dan keserakahan. Manusia yang mengelola bumi tanpa kesadaran bahwa ia adalah hamba yang akan dimintai pertanggungjawaban hanya akan mencari keuntungan pribadi. Sebaliknya, kekhalifahan yang dijiwai oleh Az-Zariyat 56 memastikan bahwa pengelolaan sumber daya alam, pembangunan infrastruktur, dan penetapan hukum dilakukan dengan rasa takut kepada Allah dan demi kebaikan seluruh ciptaan.
Penciptaan jin dan manusia sebagai makhluk yang berakal dan memiliki kemampuan inovasi (seperti ilmu pengetahuan dan teknologi) adalah prasyarat untuk kekhalifahan. Namun, semua kemampuan ini harus disalurkan sesuai dengan tujuan akhir: ibadah. Inovasi teknologi yang memudahkan manusia melaksanakan ritual ibadah, atau yang meningkatkan kualitas hidup tanpa merusak akhlak, adalah bentuk ibadah yang tinggi. Sebaliknya, inovasi yang menunjang kemaksiatan atau penindasan adalah penyimpangan fatal dari tujuan penciptaan.
Dengan demikian, Az-Zariyat 56 tidak membatasi kita untuk menjadi makhluk yang pasif atau hanya terpaku di tempat ibadah. Justru sebaliknya, ayat ini menantang kita untuk membawa semangat ibadah ke dalam laboratorium, pasar, ruang rapat, dan medan perang, menjadikan seluruh ruang dan waktu sebagai mihrab (tempat ibadah).
Mengingat luasnya dan beratnya tugas ibadah ini, manusia pasti akan mengalami ketidaksempurnaan dan jatuh ke dalam dosa. Di sinilah terletak rahmat Allah. Meskipun tujuan penciptaan adalah ibadah sempurna, Allah mengetahui kelemahan hamba-Nya. Oleh karena itu, ibadah juga mencakup permohonan ampunan (istighfar) dan pertobatan (taubat). Taubat adalah ibadah. Memohon ampunan adalah pemenuhan tugas penghambaan, karena ia mengakui kedaulatan Allah dan kelemahan diri sendiri.
Seandainya Allah menuntut kesempurnaan mutlak tanpa ruang untuk taubat, niscaya tidak akan ada satu pun makhluk yang mampu memenuhi Az-Zariyat 56. Rahmat ini memastikan bahwa pintu ibadah selalu terbuka, dan bahkan saat kita gagal, upaya untuk kembali kepada tujuan utama penciptaan itu sendiri adalah ibadah yang dicintai oleh Allah.
Jika tujuan utama penciptaan adalah ibadah, maka melupakan tujuan ini membawa konsekuensi yang amat besar, baik di dunia maupun di akhirat. Allah SWT telah memperingatkan tentang kondisi manusia yang hidup tanpa tujuan utama ini, yang sering digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai kehidupan yang didominasi oleh kesenangan sesaat dan kelalaian.
Orang yang melupakan Az-Zariyat 56 hidup dalam keadaan terputus dari sumber energi spiritualnya. Mereka mungkin sukses secara materi, tetapi secara batin mereka miskin. Mereka mengejar target-target yang terus bergeser (kekayaan, ketenaran), dan ketika target itu tercapai, mereka menemukan bahwa kebahagiaan yang dijanjikan hanyalah ilusi. Fenomena ini banyak disaksikan dalam masyarakat modern yang fokus pada 'memiliki' daripada 'menjadi' (hamba Allah).
Setiap kali manusia mengabdi kepada selain Allah—apakah itu uang, jabatan, atau hawa nafsu—ia telah menjadikan sesuatu yang fana sebagai tujuan yang abadi. Ini adalah kekeliruan fundamental yang menjebak jiwa. Kehidupan mereka menjadi siklus tak berujung dari pengejaran yang melelahkan tanpa kepuasan sejati.
Syirik (menyekutukan Allah) adalah bentuk paling ekstrem dari penolakan terhadap Az-Zariyat 56. Ketika seseorang berdoa, meminta pertolongan, atau menaruh harapan mutlak pada selain Allah, ia telah mengalihkan ibadah dari satu-satunya Zat yang berhak. Syirik menghancurkan fondasi Tauhid Uluhiyyah dan secara langsung menggagalkan tujuan penciptaan.
Bahkan syirik yang tersembunyi (riya', pamer dalam ibadah) adalah ancaman. Ketika seseorang beribadah untuk pujian manusia, ia menjadikan manusia sebagai Tuhannya, dan ini berarti ia tidak memenuhi janji "Liya'budūnī" (agar mereka beribadah kepada-Ku) yang merupakan perintah eksklusif.
Pada hari perhitungan, manusia dan jin akan diadili berdasarkan sejauh mana mereka memenuhi tugas penghambaan ini. Bagi mereka yang sepenuhnya menolak Az-Zariyat 56, akhirat adalah tempat penyesalan abadi. Allah SWT menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan mereka untuk memberi mereka kesulitan, tetapi untuk memberi mereka kesempatan mencapai kemuliaan melalui ibadah. Kegagalan dalam ibadah bukanlah kegagalan fungsional bagi alam semesta, tetapi kerugian total bagi diri mereka sendiri.
Ibadah yang diterima adalah tiket menuju surga, dan ketaatan yang konsisten adalah bukti bahwa sepanjang hidup, hamba tersebut sadar akan tujuan hakikinya. Dunia hanyalah ladang ujian (mazra’ah) untuk menanam benih ibadah; hasil panennya adalah kehidupan abadi di akhirat.
Ayat 56 dari Surah Az-Zariyat harus menjadi kompas internal bagi setiap individu. Ia harus menjadi pengingat yang konstan, memperbaharui niat kita setiap hari, setiap jam. Pembaruan niat inilah yang mengubah tindakan biasa menjadi ibadah luar biasa. Tanpa niat (niyyah) yang murni untuk memenuhi tugas penghambaan, tindakan besar pun bisa menjadi sia-sia.
Misalnya, kegiatan makan. Secara biologis, makan adalah kebutuhan bertahan hidup. Namun, ketika niatnya diubah menjadi ibadah—makan untuk menguatkan fisik agar mampu salat, bekerja, dan menunaikan kewajiban—maka tindakan itu menjadi ibadah. Tidur menjadi ibadah ketika diniatkan sebagai istirahat yang menyiapkan diri untuk qiyamul lail (salat malam) atau bangun di waktu subuh untuk salat fardhu. Interaksi dengan tetangga menjadi ibadah ketika diniatkan untuk memenuhi hak mereka dan berbuat ihsan sebagaimana diperintahkan Allah.
Keindahan dari pemahaman yang mendalam terhadap Az-Zariyat 56 terletak pada kemampuannya untuk mengintegrasikan semua aspek kehidupan di bawah satu bendera, yaitu bendera pengabdian kepada Allah. Tidak ada lagi dualisme antara kehidupan 'duniawi' dan 'agamawi'. Semuanya adalah satu kesatuan, di mana kehidupan dunia adalah jalan menuju pemenuhan janji ilahi.
Dalam menghadapi tantangan global seperti ketidakadilan ekonomi, konflik sosial, dan krisis lingkungan, Az-Zariyat 56 menawarkan solusi etis yang kuat. Jika setiap individu bertindak berdasarkan kesadaran bahwa mereka diciptakan untuk beribadah, maka keadilan akan ditegakkan, karena keadilan adalah bagian dari ibadah. Kepedulian terhadap lingkungan akan muncul, karena merawat bumi adalah bagian dari tugas kekhalifahan yang dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta. Semua masalah manusia pada dasarnya berakar pada penyimpangan dari tujuan hakiki ini, yakni ketika manusia mengutamakan dirinya sendiri di atas kehendak Ilahi.
Ibadah, oleh karena itu, adalah revolusi batin yang menghasilkan transformasi luar. Ia adalah panggilan untuk hidup secara sadar, bertanggung jawab, dan terarah, tidak hanya demi diri sendiri, tetapi demi mencapai ridha Sang Pencipta yang telah menetapkan ibadah sebagai tujuan tunggal penciptaan.
Mari kita renungkan kembali kalimat yang menjadi inti ajaran ini: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." Ini adalah kalimat yang harus diulang-ulang dalam jiwa, menyegarkan janji kita untuk terus berupaya mengintegrasikan setiap dimensi hidup ke dalam kerangka ketaatan, kepatuhan, dan cinta kepada Allah SWT.
Az-Zariyat 56 adalah pengumuman universal yang tidak dapat dihindari. Setiap jin dan setiap manusia, disadari atau tidak, dihadapkan pada tujuan tunggal ini. Mereka yang merangkulnya menemukan kedamaian dan makna abadi; mereka yang menolaknya, meskipun sementara waktu menikmati kesenangan dunia, akan menghadapi kehampaan yang tak terhindarkan. Semoga kita termasuk golongan yang senantiasa sadar akan tujuan ini, menjadikan setiap langkah, setiap nafas, sebagai bentuk penghambaan yang tulus kepada Allah SWT, Zat Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, dan Yang Maha Mencintai hamba-Nya.
Pemahaman ini menuntut kita untuk selalu melakukan introspeksi (muhasabah): Apakah tindakan saya saat ini, perkataan saya saat ini, dan fokus pikiran saya saat ini, membawa saya lebih dekat kepada pemenuhan tujuan ibadah? Jika ya, kita berada di jalan yang benar. Jika tidak, Az-Zariyat 56 adalah panggilan untuk segera kembali.