Kajian Mendalam Tentang Bukti Kosmologi, Janji Kebangkitan, dan Tujuan Hakiki Penciptaan
Ilustrasi Sumpah Angin yang Menerbangkan Debu.
Surah Az-Zariyat adalah surah ke-51 dalam mushaf Al-Qur'an dan tergolong dalam kelompok Surah Makkiyah, yang diturunkan pada periode awal kenabian di Makkah sebelum hijrah. Karakteristik utama surah Makkiyah adalah penekanan kuat pada fondasi akidah (kepercayaan), terutama tauhid (keesaan Allah) dan al-ma’ad (Hari Kebangkitan).
Nama surah ini diambil dari ayat pertamanya, "Wal-dzāriyāti dzarwan", yang berarti 'Demi angin yang menerbangkan (debu)'. Penggunaan sumpah oleh Allah Swt. pada fenomena alam yang luar biasa ini secara langsung mengarahkan perhatian pada kekuatan Ilahi yang mengatur alam semesta—kekuatan yang sama yang mampu membangkitkan kembali manusia dari kematian.
Periode penurunan Surah Az-Zariyat ditandai dengan penolakan keras kaum Quraisy terhadap konsep kebangkitan dan hari penghakiman. Oleh karena itu, tema sentral surah ini adalah membuktikan bahwa janji Hari Perhitungan adalah mutlak benar dan tidak terhindarkan, disokong oleh bukti-bukti yang diambil dari tatanan kosmik yang sempurna, serta pelajaran dari umat-umat terdahulu yang mendustakan rasul mereka.
Surah Az-Zariyat dibuka dengan serangkaian sumpah (al-Aqsam) yang jarang ditemui dalam surah-surah lain karena jumlahnya yang berurutan dan sifatnya yang merujuk pada elemen-elemen yang bergerak. Sumpah-sumpah ini berfungsi sebagai penekanan teologis tertinggi terhadap klaim yang akan disampaikan, yaitu bahwa Hari Pembalasan pasti akan terjadi.
Mayoritas mufassir, termasuk Ibnu Abbas dan Mujahid, menafsirkan sumpah pertama, Az-Zariyat, sebagai angin yang menyebarkan debu, biji-bijian, atau partikel. Angin adalah kekuatan tak terlihat yang memiliki dampak masif, mencerminkan kekuasaan Allah yang melampaui pemahaman material manusia.
Sumpah kedua, Al-Hāmilāt, merujuk pada awan yang membawa beban air yang sangat berat. Awan ini bergerak di atas kepala manusia, menopang beban tanpa dukungan tiang yang terlihat, yang merupakan analogi kekuatan tak terbatas Allah dalam memelihara dan menghidupkan bumi.
Sumpah ketiga, Al-Jāriyāt, merujuk pada kapal-kapal yang berlayar dengan mudah di lautan, atau menurut interpretasi lain, merujuk pada bintang-bintang dan planet yang beredar di orbitnya. Kemudahan pergerakan ini adalah tanda keteraturan kosmik yang ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Sumpah keempat, Al-Muqassimāt, secara universal diartikan sebagai para malaikat yang bertugas membagi-bagi urusan yang telah ditetapkan Allah, seperti Jibril (wahyu), Mikail (rezeki/hujan), dan Izrail (kematian). Ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta, dari hal terkecil hingga terbesar, dikelola dengan sistem yang terperinci.
Artinya: “Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu (hari kebangkitan) itu pasti benar. Dan sesungguhnya pembalasan (terhadap amal perbuatan) pasti terjadi.”
Jawaban (jawab al-qasam) dari keempat sumpah kosmik dan angelic ini adalah penegasan dua kebenaran fundamental: janji (kebangkitan) itu benar, dan pembalasan (hari perhitungan) itu pasti terjadi. Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya yang paling teratur dan paling kuat untuk meyakinkan hati yang ragu bahwa entitas yang mampu mengatur angin, awan, pelayaran, dan tugas malaikat adalah entitas yang sama yang pasti mampu mengembalikan kehidupan setelah kematian.
Setelah menggunakan elemen-elemen bumi (angin, awan), Allah beralih bersumpah dengan langit. "Was-samāi dzātil-ḥubuk" (Demi langit yang memiliki jalan-jalan/garis-garis yang indah). Ini merujuk pada kesempurnaan dan keteraturan orbit bintang-bintang atau kerapian struktur langit. Kontrasnya adalah "Innakum lafī qawlim mukhtalif" (Sesungguhnya kamu benar-benar berada dalam perkataan yang berbeda-beda).
Langit adalah simbol konsistensi, tatanan, dan keindahan, sedangkan orang-orang kafir Makkah adalah simbol kekacauan intelektual. Mereka tidak sepakat tentang Al-Qur'an (ada yang menyebut sihir, syair, atau dongeng kuno), dan mereka tidak sepakat tentang Hari Kebangkitan (ada yang menolak total, ada yang meragu). Perbedaan ucapan ini menunjukkan kebingungan dan kegagalan mereka mencari kebenaran yang satu.
Ayat 10-14 menggambarkan nasib para pendusta (al-Kharrashūn). Mereka yang mendustakan akan dikutuk dan diseret ke neraka pada hari di mana mereka akan diperintahkan merasakan azab yang selama ini mereka minta untuk disegerakan sebagai bahan ejekan.
Setelah kontras yang tajam tentang nasib pendusta, surah ini memberikan pemandangan surga dan karakteristik mereka yang akan memasukinya (al-Muttaqūn). Ini adalah teknik sastra Qur'ani yang khas: memberikan janji dan ancaman secara berdampingan untuk memotivasi iman.
Kemudian, surah ini mengalihkan pandangan kembali kepada bukti-bukti kosmik, mengaitkan rezeki dan kepastian janji Ilahi.
Artinya: “Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Ayat 20 dan 21 mengajak manusia untuk merenungkan keajaiban yang ada di bumi (sistem ekologi, keragaman hayati) dan, yang lebih pribadi, pada diri mereka sendiri (anatomi, kompleksitas berpikir, emosi). Siapapun yang mampu menciptakan dan mengatur struktur kompleks tubuh manusia pasti mampu membangkitkannya kembali.
Ayat 22 dan 23 menegaskan bahwa rezeki dan janji Hari Kebangkitan datang dari langit (dari sisi Allah). Allah bersumpah lagi—kali ini dengan Rabb langit dan bumi—bahwa janji tersebut adalah benar, sejelas dan seyakinkan kenyataan bahwa mereka dapat berbicara. Perbandingan dengan kemampuan berbicara memberikan penekanan luar biasa; sebagaimana kita tidak meragukan kemampuan kita untuk berbicara, demikian pula kita tidak boleh meragukan janji Allah.
Untuk menguatkan kebenaran janji dan ancaman, Surah Az-Zariyat menyajikan rangakaian kisah-kisah para nabi secara ringkas namun padat. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai bukti sejarah tentang pola Ilahi: ketika suatu kaum mendustakan rasul, azab pasti turun. Ini adalah peringatan langsung bagi kaum Quraisy.
Kisah Ibrahim (alaihi salam) disajikan untuk memberikan dua pelajaran: pentingnya hospitalitas (penyambutan tamu) dan konfirmasi tentang kekuatan malaikat yang melaksanakan perintah Allah (Al-Muqassimat Amran).
Ketika Ibrahim menerima tamu (yang ternyata adalah malaikat), beliau segera menyiapkan jamuan berupa anak sapi panggang tanpa ragu. Reaksi Ibrahim yang cepat dan murah hati menjadi teladan akhlak. Namun, ketika Ibrahim melihat tamu-tamunya tidak menyentuh makanan, beliau merasa takut. Para malaikat menenangkan Ibrahim dan menyampaikan dua kabar gembira:
Kisah ini menegaskan bahwa Allah mengendalikan semua urusan, termasuk kehidupan dan kematian. Para malaikat, utusan Allah, memiliki tugas spesifik—dalam hal ini, memberikan kabar baik bagi yang taat dan membawa azab bagi yang durhaka.
Setelah Ibrahim tahu tujuan para malaikat, beliau menanyakan nasib kaum Luth. Para malaikat menjelaskan bahwa kaum tersebut harus dihancurkan kecuali keluarga Luth yang beriman. Azab yang dijatuhkan adalah batu dari tanah liat (sijjil) yang ditandai untuk setiap pendosa. Ini menunjukkan keadilan Ilahi yang presisi, di mana azab tidak diturunkan secara acak, melainkan ditujukan kepada individu yang memang layak menerimanya.
Ayat 37 menutup kisah ini dengan pesan yang sangat relevan bagi kaum Quraisy:
Artinya: “Dan Kami tinggalkan pada (negeri) itu suatu tanda bagi orang-orang yang takut kepada azab yang pedih.”
Peninggalan reruntuhan kaum Luth berfungsi sebagai bukti fisik, sebuah monumen peringatan yang menunjukkan bahwa penolakan terhadap rasul akan berujung pada kehancuran total. Jika Allah menghancurkan umat terdahulu karena kekufuran mereka, Dia pasti mampu melakukan hal yang sama terhadap Quraisy.
Surah ini kemudian beralih ke kisah Musa (alaihi salam) dan Firaun. Musa diutus dengan otoritas yang nyata (sulthānim mubīn). Namun, Firaun berpaling dengan sombong, menganggap Musa sebagai tukang sihir atau orang gila. Alasan kebinasaan Firaun dijelaskan secara ringkas:
Artinya: “Maka Kami siksa dia dan tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia tercela.”
Kata mulīm (tercela) menekankan bahwa Firaun binasa bukan hanya karena kalah kekuatan fisik, tetapi karena keburukan akhlak dan dosanya. Pelajaran bagi kaum Quraisy adalah bahwa kesombongan dan kekuasaan duniawi tidak akan melindungi mereka dari hukuman Allah.
Kaum Ad dibinasakan oleh rīj an 'aqīm (angin yang membinasakan/mandul). Angin ini disebut mandul karena tidak membawa manfaat apa pun (seperti hujan atau penyubur tanaman), melainkan hanya membawa kehancuran total. Angin ini bergerak cepat, menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya, seolah-olah hanya menyisakan tulang belulang yang hancur.
Kaum Tsamud diberi waktu sebentar (tamatta'u), tetapi mereka menggunakan waktu itu untuk melampaui batas. Azab yang menimpa mereka adalah as-Sa'iqah (petir yang menggelegar atau suara yang sangat keras), yang menghancurkan mereka dalam sekejap mata, bahkan saat mereka sedang melihatnya. Mereka mati tanpa mampu bangkit atau meminta pertolongan.
Rangkaian kisah-kisah ini menyimpulkan satu pola: "Demikianlah Kami timpakan kepada mereka azab yang pedih" (Ayat 46). Setiap kaum binasa akibat dosa dan pendustaan, dan azab yang menimpa mereka berbeda-beda, menunjukkan spektrum tak terbatas dari kekuatan hukuman Allah.
Setelah menilik sejarah, Surah Az-Zariyat kembali menekankan bukti-bukti kekuasaan Allah yang abadi dalam penciptaan alam semesta. Ayat-ayat ini memberikan landasan ilmiah dan spiritual untuk menolak keraguan akan Hari Kebangkitan.
Artinya: “Dan langit Kami bangun dengan kekuatan (Kami), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.”
Ayat 47 memiliki signifikansi yang mendalam. Kata 'aidin' (kekuatan) menunjukkan kapasitas dan kekuasaan Ilahi. Frase "wa innā lamūsi'ūn" (dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya) telah menjadi subjek interpretasi modern dan tradisional. Secara tradisional, ini merujuk pada kekuasaan Allah yang tak terbatas dan keluasan ciptaan-Nya. Dalam konteks modern, banyak ahli tafsir kontemporer melihatnya sebagai petunjuk akan konsep expanding universe (alam semesta yang terus meluas), sebuah fakta ilmiah yang baru ditemukan berabad-abad kemudian. Bagaimanapun interpretasinya, ayat ini menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta yang terus menerus memelihara dan memperluas domain kekuasaan-Nya.
Ayat 48 dan 49 melanjutkan dengan menegaskan keseimbangan: Bumi dihamparkan, dan segala sesuatu diciptakan berpasangan. Keseimbangan kosmik ini (antara langit dan bumi, panas dan dingin, jantan dan betina) adalah tanda keharmonisan yang sempurna, yang hanya dapat diciptakan oleh entitas tunggal yang Maha Kuasa.
Menghubungkan bukti kosmik dengan nasihat praktis, surah ini memberikan tiga seruan utama:
Ayat 55 memberikan perintah kepada Rasulullah untuk tetap berdakwah, karena peringatan (ad-dzikra) bermanfaat bagi orang-orang mukmin.
Ayat ke-56 sering dianggap sebagai puncak teologis dan filosofis dari seluruh surah, bahkan seluruh ajaran Islam. Ayat ini menjawab pertanyaan fundamental tentang eksistensi:
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (beribadah kepada-Ku).”
Ayat ini menetapkan tujuan tunggal penciptaan dua entitas berakal: ibadah (Al-Ubudiyyah). Ibadah di sini tidak semata-mata diartikan sebagai ritual shalat, puasa, atau zakat, melainkan sebagai penyerahan diri total (ta'abbud) dan kepatuhan dalam segala aspek kehidupan, baik lahiriah maupun batiniah.
Para ulama tafsir menekankan bahwa 'liyabudūn' (supaya mereka mengabdi/beribadah) dalam konteks ini juga berarti 'liya'rifūn' (supaya mereka mengenal Aku). Pengenalan terhadap Allah (Ma’rifatullah) adalah fondasi ibadah yang benar. Manusia dan jin diberi akal dan kehendak bebas, dan tujuan penggunaan kehendak bebas itu adalah memilih jalan pengabdian kepada Sang Pencipta.
Ayat ini secara implisit menolak segala bentuk tujuan eksistensial lainnya (seperti kekayaan, kekuasaan, atau kesenangan duniawi) sebagai tujuan akhir. Semua itu hanyalah sarana atau ujian dalam rangka mencapai ibadah yang sejati.
Setelah menyatakan tujuan penciptaan, Allah segera menolak ketergantungan manusia pada diri mereka sendiri dalam hal rezeki:
Artinya: “Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh.”
Ayat-ayat ini menghilangkan kesalahpahaman bahwa Allah memerlukan ibadah atau rezeki dari makhluk-Nya. Allah tidak memerlukan apa pun. Kebutuhan untuk beribadah dan mencari rezeki adalah kebutuhan makhluk itu sendiri. Allah adalah Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), yang memiliki Al-Quwwah (Kekuatan) dan Al-Matin (Sangat Kokoh/Tak Tergoyahkan). Jaminan rezeki ini harus memberikan ketenangan bagi mukmin, membebaskan mereka untuk fokus sepenuhnya pada tugas utama mereka: ibadah.
Surah Az-Zariyat ditutup dengan ancaman akhir bagi orang-orang zalim yang menolak kebenaran, mengingatkan mereka bahwa nasib mereka tidak akan lebih baik daripada kaum-kaum terdahulu.
Artinya: “Maka sesungguhnya bagi orang-orang yang zalim ada bagian (siksa) seperti bagian teman-teman mereka (dahulu); maka janganlah mereka meminta Aku menyegerakannya.”
Kata dzanūban berarti "bagian" atau "porsi" hukuman, yang secara harfiah merujuk pada porsi air dalam timba yang dipenuhi. Ini adalah perumpamaan yang kuat; orang-orang zalim Makkah akan mendapatkan porsi azab yang sama persis (setara) dengan porsi yang diterima kaum Ad, Tsamud, dan Firaun. Penegasan ini membantah ejekan mereka yang meminta azab segera diturunkan.
Ayat terakhir, “Maka celakalah orang-orang kafir pada hari yang telah dijanjikan kepada mereka,” memberikan pukulan penutup yang kuat. Ini adalah kesimpulan logis dari seluruh argumen surah: jika Allah mampu mengatur kosmos, membangkitkan kehidupan, dan menghancurkan peradaban, maka Hari yang Dijanjikan (Hari Kiamat) adalah kepastian yang mengerikan bagi yang menolak.
Keteraturan Langit dan Bumi, Sumber Rezeki dan Janji.
Surah Az-Zariyat adalah sebuah mahakarya retorika yang menggunakan argumen dari alam semesta (kosmologi), sejarah (kisah para nabi), dan eksistensi (tujuan penciptaan) untuk mencapai satu kesimpulan yang tak terbantahkan: kebangkitan dan pertanggungjawaban adalah kebenaran mutlak.
Penggunaan sumpah pada ayat-ayat awal (angin, awan, kapal, malaikat) menunjukkan bahwa tanda-tanda kebenaran Allah tersebar dalam aktivitas sehari-hari di alam semesta. Setiap elemen yang tunduk pada hukum alam adalah saksi terhadap Kekuasaan Mutlak yang mampu menghidupkan dan mematikan. Ini mengajarkan mukmin untuk melihat setiap fenomena alam bukan sekadar kejadian fisik, tetapi sebagai manifestasi dari janji Ilahi.
Surah ini secara eksplisit menggariskan dua pilar utama akhlak orang bertakwa (Muttaqin) yang layak mendapatkan surga:
Kisah-kisah para nabi—Ibrahim, Luth, Musa, Ad, Tsamud—menjadi peringatan bahwa pola Allah dalam menghadapi pendustaan tidak pernah berubah. Allah mungkin memberikan tenggang waktu, tetapi azab akan datang dengan kepastian dan kekerasan yang tak tertandingi. Ini memperkuat pesan untuk segera mengambil pelajaran dan tidak mengulangi kesalahan kaum terdahulu.
Ayat 56 adalah peta jalan kehidupan. Dengan menetapkan ibadah sebagai satu-satunya tujuan penciptaan, surah ini menghilangkan kebingungan tentang makna hidup. Manusia diciptakan bukan untuk memenuhi nafsu atau mengumpulkan kekayaan, melainkan untuk mengenal dan menyembah Allah. Pemahaman ini memberikan orientasi yang jelas dan membebaskan mukmin dari perbudakan materi.
Meskipun menghadapi penolakan dan tuduhan, perintah kepada Nabi Muhammad untuk terus mengingatkan (V. 55) adalah pelajaran abadi bagi setiap dai. Tugas hamba Allah adalah menyampaikan kebenaran, karena peringatan itu pasti bermanfaat bagi hati yang terbuka (orang-orang mukmin).
Meskipun diturunkan 14 abad yang lalu di padang pasir Makkah, pesan Az-Zariyat sangat relevan di era modern yang penuh dengan keraguan dan pengejaran materialistik.
Di masa kini, skeptisisme terhadap kehidupan setelah mati masih menjadi isu utama. Az-Zariyat menggunakan bukti-bukti yang sangat logis: jika Allah mampu mengatur pergerakan angin dan perluasan kosmos (V. 47), yang jauh lebih kompleks daripada membangkitkan tubuh yang telah hancur, maka kebangkitan adalah hal yang mudah bagi-Nya. Konsep "wa innā lamūsi'ūn" menjadi dialog yang mendalam antara wahyu dan penemuan kosmik modern, memperkuat keyakinan bahwa sumber pengetahuan yang absolut adalah Al-Qur'an.
Banyak masyarakat modern mengalami krisis eksistensial karena tidak menemukan tujuan hidup yang abadi. Ayat 56 menyediakan jawaban definitif: tujuan hidup adalah ibadah. Ini mengalihkan fokus dari konsumsi tak berujung menuju pengabdian yang memberikan kedamaian batin dan kejelasan moral.
Penekanan surah pada hak orang miskin dalam harta orang kaya (V. 19) adalah fondasi etika ekonomi Islam. Dalam dunia yang dilanda kesenjangan sosial ekstrem, surah ini mengingatkan bahwa kedermawanan dan keadilan finansial adalah bagian integral dari akidah, sama pentingnya dengan ibadah ritual.
Penggambaran Muttaqin yang memanfaatkan waktu sahur untuk ibadah dan istighfar (V. 17-18) adalah pelajaran manajemen waktu spiritual. Di tengah kesibukan harian, surah ini mendorong mukmin untuk mengkhususkan waktu rahasia dan sunyi bersama Tuhan, sebagai sumber kekuatan dan pembersihan dosa.
Kesimpulannya, Surah Az-Zariyat adalah peta jalan menuju keyakinan yang kokoh. Dimulai dengan sumpah Ilahi yang luar biasa, surah ini memimpin pendengarnya melalui sejarah para pendosa, melompat ke keajaiban kosmik, dan diakhiri dengan penegasan tujuan tertinggi manusia, yaitu Ubudiyyah. Bagi setiap pembaca yang mencari kebenaran, surah ini menawarkan bukti yang tidak hanya meyakinkan akal, tetapi juga menenangkan jiwa yang merindukan kepastian janji Sang Pencipta.
Untuk benar-benar mengapresiasi keindahan Surah Az-Zariyat, kita perlu meninjau pilihan kata dan struktur bahasanya yang luar biasa (I'jaz Lughawi).
Dalam V. 6, Allah berfirman: "Wa inna d-Dīna lawāqi’." Kata Ad-Dīn di sini bukan hanya berarti agama, tetapi secara primer berarti "pembalasan" atau "perhitungan" (al-Jazā'). Ini memperkuat argumen surah bahwa Kebangkitan adalah hari di mana setiap perbuatan akan dihitung dan dibalas. Pemilihan kata ini menunjukkan fokus surah pada aspek pertanggungjawaban teologis.
Kata Adz-Dzārīyāt (V. 1) adalah bentuk jamak dari "dzāriyah," yang berarti "yang menerbangkan." Penggunaan bentuk aktif (isim fa'il) ini menunjukkan sifat dinamis dan terus-menerus dari aktivitas angin tersebut, menegaskan bahwa fenomena alam yang digunakan untuk bersumpah bukanlah kejadian sporadis, melainkan sistem yang selalu bekerja di bawah perintah Ilahi.
Kata Mūsi'ūn berasal dari akar kata wasi'a (meluas, meliputi). Meskipun interpretasi kuno sering mengaitkannya dengan kekayaan dan kemampuan Allah (luasnya kekuasaan-Nya), sintaksis kalimat "wa innā la-mūsi'ūn" (dengan partikel penegas 'inna' dan 'lam') secara linguistik menekankan tindakan meluaskan yang berkelanjutan atau berulang. Ini adalah salah satu contoh bagaimana Al-Qur'an menggunakan bahasa yang presisi untuk menggambarkan realitas yang melampaui pemahaman manusia pada saat itu.
Dalam V. 7-8, Allah mempertentangkan langit yang berjalur rapi (al-ḥubuk) dengan perkataan manusia yang berbeda-beda (mukhtalif). Kontras ini adalah teknik retoris untuk menyalahkan ketidaklogisan manusia. Manusia menolak kebenaran yang satu dan jelas (pesan kenabian) meskipun mereka hidup di bawah tatanan kosmik yang begitu sempurna dan harmonis. Keindahan langit menjadi bukti kebenaran, sementara kekacauan kata-kata pendusta menjadi bukti kesesatan mereka.
Penjelasan rinci mengenai karakteristik orang bertakwa (V. 15-19) adalah manual spiritual yang dapat diterapkan. Mari kita eksplorasi lebih dalam tentang kedalaman makna dari sifat-sifat ini.
Frase "kānū qalīlan min al-layl mā yahja'ūn" (Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam) berarti bahwa sebagian besar malam mereka diisi dengan ibadah, atau setidaknya, porsi tidur mereka sangat minim. Ini mengajarkan bahwa pengorbanan kenyamanan fisik demi ibadah adalah tanda kualitas iman yang tinggi. Ibadah malam adalah sekolah bagi ketulusan (ikhlas) karena dilakukan jauh dari pandangan manusia.
Waktu sahur adalah penutup malam yang penuh berkah. Istighfar pada waktu ini (V. 18) menunjukkan kesadaran bahwa meskipun mereka telah beribadah sepanjang malam, mereka tetap merasa kurang dan membutuhkan ampunan. Ini adalah penawar kesombongan spiritual. Seorang mukmin sejati selalu merasa miskin di hadapan Allah, bahkan setelah melakukan amal saleh.
Ayat 19, "Wa fī amwālihim ḥaqqun li s-sā'ili wa l-maḥrūm," menegaskan bahwa berbagi adalah hak yang melekat pada harta, bukan sekadar sedekah opsional. Sā'il (peminta) adalah mereka yang menampakkan kebutuhannya, sementara Maḥrūm (yang terhalang/malu) adalah mereka yang membutuhkan tetapi tidak meminta. Keutamaan Muttaqin adalah mereka memiliki kepekaan sosial untuk mencari dan membantu yang termiskin, bahkan mereka yang menyembunyikan penderitaan mereka.
Tiga karakteristik ini—Ibadah rahasia yang intens, kerendahan hati dalam istighfar, dan keadilan sosial—menjadi cetak biru bagi setiap Muslim yang ingin mencapai derajat Al-Muttaqin yang dijanjikan Surga (V. 15).
Penyajian kisah Nabi Ibrahim dalam Az-Zariyat sangat fokus pada momen pertemuan dengan malaikat. Ini bukan sekadar kisah sejarah, tetapi pelajaran tentang keyakinan dalam situasi yang tidak terduga.
Ketika Ibrahim ketakutan karena tamu-tamunya tidak makan, rasa takutnya segera dihilangkan oleh ucapan malaikat, "Lā takhaf" (Jangan takut). Ini adalah penegasan bahwa setiap mukmin harus segera menghilangkan rasa takut duniawi ketika menghadapi utusan atau janji Allah. Selanjutnya, kabar gembira tentang Ishak datang pada usia tua yang mustahil secara biologis.
Reaksi Sarah, yang tercengang dan memukul wajahnya, menunjukkan sifat manusiawi dalam menghadapi mukjizat. Namun, malaikat menegaskan, "Kadzālika qāla Rabbuka" (Demikianlah Tuhanmu berfirman). Pesan ini kembali ke tema utama surah: Kekuatan Allah melampaui batas-batas hukum alam yang dikenal manusia, dan apa pun janji atau perintah yang datang dari-Nya adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak, baik itu kelahiran anak yang mustahil atau Hari Kebangkitan.
Surah Az-Zariyat berdiri sebagai peringatan abadi, menantang keraguan dengan keindahan kosmik dan kekejaman sejarah, sambil memberikan harapan bagi mereka yang memilih jalan pengabdian sejati (Ubudiyyah) kepada Allah Yang Maha Pemberi Rezeki.