Surah As-Sajdah (Sujud) adalah surah ke-32 dalam Al-Qur'an, diturunkan di Makkah (Makkiyah) dengan jumlah 30 ayat. Nama surah ini diambil dari ayat ke-15 yang menyoroti ciri khas orang beriman, yaitu bersegera sujud ketika mendengar ayat-ayat Allah. Surah ini menyajikan tiga poros pembahasan utama: penetapan kebenaran Al-Qur'an dan tauhid (keesaan Allah), bukti-bukti penciptaan dan Hari Kebangkitan, serta perbandingan antara nasib orang mukmin dan orang kafir.
Al-Qur'an: Sumber Utama Kebenaran dan Tanda-tanda Allah
Surah ini dibuka dengan penegasan mutlak terhadap kebenaran wahyu, menyingkirkan keraguan yang dilontarkan oleh kaum musyrikin Makkah. Kemudian, perhatian dialihkan kepada kekuasaan Allah dalam penciptaan alam semesta dan manusia.
1. Alif Lam Mim.
2. Turunnya Al-Kitab (Al-Qur'an) ini, tidak ada keraguan padanya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.
3. Apakah mereka (orang-orang kafir) mengatakan: "Dia (Muhammad) mengada-adakannya"? Sebenarnya, Al-Qur'an itu adalah kebenaran (yang datang) dari Tuhanmu, agar engkau memberi peringatan kepada kaum yang belum pernah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan pun sebelummu, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.
Pembukaan dengan huruf-huruf tunggal (Alif Lam Mim) adalah ciri khas surah-surah Makkiyah yang sering kali berfungsi untuk menarik perhatian dan menantang pendengar, menyiratkan bahwa Kitab yang agung ini tersusun dari huruf-huruf sederhana yang mereka gunakan sehari-hari, namun mereka tidak mampu menyusun yang serupa. Ayat 2 segera menepis segala bentuk keraguan; Al-Qur'an adalah Tanzil (diturunkan secara bertahap dan pasti) dari Rabbul 'Alamin, Penguasa mutlak seluruh alam, bukan ciptaan manusia.
Ayat 3 langsung menyentuh inti konflik di Makkah: tuduhan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengarang Al-Qur'an. Allah menolak tuduhan ini dengan tegas: "Bal Huwal Haqq" (Bahkan, ia adalah Kebenaran). Tujuan utama penurunan wahyu ini adalah untuk memberi peringatan (tundzir) kepada kaum Quraisy yang berada dalam periode fatrah (kekosongan rasul). Ayat ini menekankan fungsi Al-Qur'an sebagai bimbingan primer untuk menghindari kesesatan dan mencapai petunjuk (la'allahum yahtadun).
4. Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain Dia seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
5. Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kembali kepada-Nya dalam sehari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
6. Itulah (Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang.
Ayat 4 merupakan penegasan tauhid rububiyah. Allah adalah Al-Khaliq (Pencipta) yang menciptakan alam dalam sittati ayyam (enam masa). Para mufassir sepakat bahwa "hari" di sini merujuk pada periode atau fase kosmik, bukan hari 24 jam. Setelah penciptaan, Dia Istawa 'alal 'Arsy (bersemayam di atas Singgasana). Penegasan ini membuktikan keagungan dan kekuasaan tertinggi-Nya.
Poin penting selanjutnya adalah penolakan terhadap perantara (wali dan syafi'): "Ma lakum min dunihi min waliyyin wala shafi'in". Ini adalah pukulan telak terhadap praktik syirik kaum Quraisy yang menyembah berhala sebagai perantara.
Ayat 5 menjelaskan manajemen semesta (Yudabbirul Amr). Allah mengelola seluruh urusan, dari langit hingga bumi. Kemudian ayat tersebut memperkenalkan konsep waktu ilahi yang berbeda dari waktu manusia: urusan tersebut kembali kepada-Nya dalam sehari yang setara dengan 1000 tahun perhitungan manusia. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ini merujuk pada proses penerimaan dan pelaksanaan perintah ilahi yang mencakup rentang waktu yang luar biasa panjang bagi manusia, menekankan superioritas dan kekekalan perencanaan Allah.
Ayat 6 menyimpulkan bahwa Dzat yang memiliki kekuasaan dan manajemen tersebut adalah 'Alimul Ghaibi wasy Syahadah (Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata), menegaskan ilmu-Nya yang meliputi segala hal, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat, disertai dengan atribut Al-'Aziz (Perkasa) dan Ar-Rahim (Penyayang).
7. Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah liat (thīn).
8. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.
9. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati (akal). (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.
Ayat 7 menyatakan kesempurnaan dan keindahan (ahsana kulla syai'in khalaqah) dalam setiap ciptaan Allah. Fokus kemudian beralih ke asal usul manusia, dimulai dari thin (tanah liat). Ini merujuk pada penciptaan Nabi Adam, nenek moyang manusia.
Ayat 8 menjelaskan kesinambungan ras manusia: keturunan Adam berasal dari sulalatin min ma'in mahin (saripati dari air yang hina, yaitu air mani). Kontras antara asal yang hina (tanah dan air mani) dengan hasil yang mulia (manusia yang berakal) adalah tanda kekuasaan Allah.
Ayat 9 adalah puncak penciptaan manusia. Setelah menyempurnakan bentuk fisik (sawwah), Allah meniupkan ruh-Nya (nafakha fihi mir ruhih). Ini memberikan dimensi spiritual yang membedakan manusia dari makhluk lain. Penyempurnaan ini diikuti dengan anugerah alat kognitif: As-Sam'u (Pendengaran), Al-Abshar (Penglihatan), dan Al-Af'idah (Hati/Akal). Alat-alat ini adalah sarana utama untuk mengenal Allah dan bersyukur.
Namun, ayat tersebut ditutup dengan teguran pedih: "Qalilan ma tasykurun" (Sedikit sekali kamu bersyukur). Meskipun diberikan karunia yang luar biasa ini, kebanyakan manusia lalai menggunakan akal dan indra mereka untuk mengesakan Penciptanya.
Siklus Hidup dan Pengembalian kepada Pencipta
Setelah membuktikan kekuasaan-Nya melalui penciptaan, surah ini beralih ke isu sentral yang ditentang oleh kaum musyrikin: Hari Kebangkitan. Allah menjawab keraguan mereka dengan tegas dan mengancam konsekuensi dari penolakan tersebut.
10. Dan mereka berkata: "Apakah apabila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, apakah kami sesungguhnya akan berada dalam ciptaan yang baru?" Bahkan, mereka adalah orang-orang yang ingkar terhadap pertemuan dengan Tuhan mereka.
Ayat ini merekam skeptisisme orang kafir. Mereka menggunakan analogi "lenyap di tanah" (dhalalna fil ard), artinya hancur lebur menjadi debu yang bercampur dengan tanah, untuk mempertanyakan bagaimana mungkin mereka bisa dihidupkan kembali sebagai ciptaan baru (khalqin jadid).
Jawaban Allah sangat tajam: masalahnya bukan pada kemampuan Allah (yang telah menciptakan mereka dari ketiadaan), tetapi pada hati mereka. Mereka bukan bingung, melainkan memang kafirun (orang-orang yang mengingkari) pertemuan dengan Tuhan mereka. Pengingkaran terhadap kebangkitan adalah hasil dari penolakan fundamental terhadap pertanggungjawaban di akhirat.
11. Katakanlah: "Malaikat Maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan."
Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap keraguan mereka. Kepada siapakah mereka akan dikembalikan? Kepada Allah. Siapa yang memastikan mereka kembali? Malakul Maut (Malaikat Maut) yang ditugaskan khusus. Ini mengingatkan manusia bahwa proses kematian bukanlah kehancuran tanpa tujuan, melainkan penarikan ruh yang terorganisir di bawah perintah ilahi.
Kata yatawaffakum berarti mengambil secara sempurna. Malaikat Maut mengambil ruh secara keseluruhan. Setelah itu, tidak ada pilihan lain selain kembali (turja'un) kepada Rabb, tempat perhitungan dan pembalasan.
12. Dan sekiranya engkau melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhan mereka, (sambil berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin."
13. Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuknya, tetapi telah pasti perkataan (ketetapan) dari-Ku: "Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia semuanya."
14. Maka rasakanlah olehmu (azab ini) disebabkan kamu melupakan pertemuan dengan hari ini (Hari Kiamat); sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula). Dan rasakanlah azab yang kekal, disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan.
Ayat 12 memberikan gambaran yang dramatis tentang Hari Penghakiman. Orang-orang berdosa (al-Mujrimun) menundukkan kepala mereka (nakisu ru'usihim) karena malu, penyesalan, dan ketakutan. Mereka yang tadinya meragukan kebangkitan kini telah absharna wa sami'na (melihat dan mendengar) kebenaran yang mutlak.
Permintaan mereka adalah farji'na na'mal shalihan (kembalikanlah kami, niscaya kami akan beramal saleh). Mereka mengaku yakin, namun pengakuan ini datang terlambat. Ini adalah tema klasik Al-Qur'an: keimanan yang bermanfaat adalah keimanan sebelum menyaksikan azab.
Ayat 13 membahas isu kehendak bebas dan ketetapan ilahi. Allah mampu memaksa semua orang beriman (lau syi'na la atayna kulla nafsin hudaha), tetapi Dia memilih memberikan manusia pilihan. Ayat ini menegaskan janji (atau ketetapan) Allah bahwa Neraka Jahanam akan diisi oleh mereka yang memilih ingkar, baik dari kalangan jin maupun manusia.
Ayat 14 adalah hukuman definitif. Hukuman itu dirasakan karena mereka nasitum liqa'a yaumikum hadza (melupakan pertemuan dengan Hari Kiamat ini). Balasan yang setimpal: "Kami telah melupakan kamu (pula)". Melupakan di sini bermakna membiarkan mereka dalam azab, tanpa rahmat atau pengampunan, dan mereka diminta merasakan 'Adzabal Khuld (azab yang kekal).
Ciri Khas Orang Beriman: Sujud dan Kepatuhan
Setelah menakut-nakuti dengan nasib orang berdosa, surah As-Sajdah beralih menyajikan keindahan karakter dan janji bagi mereka yang beriman, yang segera tunduk ketika mendengar ayat-ayat Allah.
15. Sesungguhnya yang benar-benar beriman kepada ayat-ayat Kami hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan (ayat-ayat) itu, mereka segera bersujud dan bertasbih serta memuji Tuhan mereka, dan mereka (pula) tidak menyombongkan diri.
16. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, (yakni) mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Ayat 15 adalah inti dari surah ini, tempat wajib sujud tilawah (ditandai dengan simbol ۩). Ayat ini menjelaskan siapa sebenarnya orang beriman: mereka yang ketika diingatkan (dzukkiru biha) dengan ayat-ayat Allah, mereka langsung kharru sujjadan (segera jatuh bersujud).
Sujud adalah puncak kerendahan hati dan kepatuhan. Ini kontras dengan kesombongan (la yastakbirun) yang menjadi penyebab utama kekafiran kaum terdahulu. Mereka juga menyertai sujud dengan tasbih wa bihamdi Rabbihim (mensucikan dan memuji Tuhan mereka).
Ayat 16 memberikan detail tambahan tentang amal saleh terbaik mereka, yaitu Qiyamul Lail (shalat malam). Frasa tatajafa junubuhum 'anil madhaji' (lambung mereka menjauhi tempat tidur mereka) adalah deskripsi puitis tentang meninggalkan kenyamanan tidur demi beribadah di malam hari.
Ibadah malam mereka dilakukan dengan sikap batin yang benar: khaufan wa thama'an (rasa takut akan azab-Nya dan penuh harap akan rahmat-Nya). Selain ibadah ritual, mereka juga menjalankan ibadah sosial, yaitu yunfiqun (menafkahkan) rezeki yang diberikan Allah, menunjukkan keseimbangan antara hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama manusia).
17. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka (berupa kenikmatan) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
18. Apakah orang yang beriman sama dengan orang yang fasik (durhaka)? Mereka tidak sama.
19. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka Jannah (surga) tempat kembali, sebagai hidangan atas apa yang telah mereka kerjakan.
20. Dan adapun orang-orang yang fasik, maka tempat kediaman mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan lagi ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah azab neraka yang dahulu kamu mendustakannya."
Ayat 17 menjanjikan balasan yang melebihi imajinasi manusia bagi para ahli ibadah malam. Imbalan tersebut adalah qurrati a'yun (penyejuk mata) yang tersembunyi (ukhfiya lahum). Para mufassir menafsirkan bahwa kenikmatan Surga ini sangat agung hingga tak pernah terlihat, terdengar, atau terlintas dalam hati manusia. Ini adalah hadiah khusus (jazaa'an bima kanu ya'malun) bagi mereka yang rela menanggalkan tidur demi Rabb mereka.
Ayat 18 mengajukan pertanyaan retoris yang mendasar: "Afaman kana mu'minan kaman kana fasiiqan?" (Apakah orang beriman sama dengan orang fasik?). Jawabannya tegas: Laa yastawun (Mereka tidak sama). Keadilan ilahi menuntut adanya perbedaan perlakuan.
Ayat 19 menjelaskan nasib orang beriman: mereka mendapatkan Jannatul Ma'wa (Surga tempat tinggal) sebagai Nuzulan (hidangan kehormatan). Ini menunjukkan bahwa mereka dihormati sebagai tamu agung Allah.
Ayat 20 menjelaskan nasib orang fasik (yang keluar dari ketaatan): tempat tinggal mereka adalah Neraka. Keadaan mereka di sana digambarkan sangat menyiksa dan tanpa harapan, di mana setiap kali mereka mencoba melarikan diri, mereka dikembalikan secara paksa. Teguran terakhir kepada mereka adalah merasakan azab yang dahulu mereka dustakan (tukkadzibun) di dunia.
21. Dan sungguh, Kami akan menimpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).
22. Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan (siksa) kepada orang-orang yang berdosa.
Ayat 21 memperkenalkan konsep Al-'Adzab Al-Adna (siksa yang lebih dekat atau lebih rendah), yang terjadi di dunia, sebelum Al-'Adzab Al-Akbar (siksa yang lebih besar) di akhirat. Para mufassir menafsirkan 'Adzab Al-Adna sebagai: musibah, penyakit, kelaparan, atau kekalahan dalam perang (seperti Perang Badar bagi kaum Quraisy).
Tujuan dari siksaan duniawi ini adalah la'allahum yarji'un (agar mereka kembali). Ini menunjukkan rahmat Allah, di mana penderitaan di dunia berfungsi sebagai bel alarm agar manusia sadar dan bertaubat sebelum terlambat.
Ayat 22 menegaskan kezaliman tertinggi (man adzlamu). Kezaliman itu bukan merampok harta, melainkan berpaling (a'radha 'anha) setelah diperingatkan secara jelas dengan ayat-ayat Tuhan. Ini adalah kejahatan kognitif dan spiritual. Allah menutup ayat ini dengan janji pembalasan pasti: Inna minal mujrimina muntaqimun (Sesungguhnya Kami akan menyiksa orang-orang yang berdosa).
Bagian penutup surah ini menyajikan perbandingan sejarah dengan menyinggung kisah Musa, menekankan bahwa pola pertentangan antara kebenaran dan kebatilan adalah abadi. Surah ditutup dengan janji hari pemutusan (Al-Fashl) dan penegasan bahwa hanya Allah yang mengetahui kapan hari kiamat terjadi.
23. Dan sungguh, Kami telah menganugerahkan Al-Kitab (Taurat) kepada Musa, maka janganlah engkau ragu-ragu menerimanya (Al-Qur'an), dan Kami jadikan Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil.
24. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin (imam) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.
Allah memberikan hiburan dan dukungan kepada Nabi Muhammad ﷺ, menyuruhnya agar tidak ragu (fala takun fi miryatin min liqa'ih) tentang pertemuannya dengan Kitab (Al-Qur'an) yang merupakan kesinambungan dari Taurat yang diberikan kepada Musa. Ini membuktikan bahwa kenabian Muhammad bukanlah hal baru; wahyu telah menjadi pola sejarah ilahi.
Ayat 23 juga mengingatkan bahwa Taurat dijadikan petunjuk (Hudan) bagi Bani Israil, sama halnya Al-Qur'an bagi umat Muhammad.
Ayat 24 menekankan prasyarat kepemimpinan spiritual. Allah mengangkat A'immah (para pemimpin/imam) dari Bani Israil yang memimpin manusia dengan perintah Allah, tetapi pengangkatan ini hanya terjadi Lamma shabaru (ketika mereka bersabar) dan kanu bi'ayatina yuqinun (mereka yakin terhadap ayat-ayat Kami).
Kesabaran dan keyakinan adalah dua pilar penting untuk menjadi pemimpin sejati yang membawa petunjuk. Ini adalah pelajaran bagi umat Islam: kekuatan spiritual dan kepemimpinan sejati hanya datang melalui ketabahan dalam menjalankan perintah Allah dan keyakinan teguh pada wahyu-Nya.
25. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang akan memutuskan (memberi keputusan) di antara mereka pada Hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.
26. Dan apakah belum cukup menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal mereka (kaum Quraisy) berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu? Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah). Maka apakah mereka tidak mendengarkan?
Ayat 25 menegaskan otoritas Allah sebagai hakim tertinggi. Semua perbedaan pendapat (yakhtalifun) antara mukmin dan kafir, termasuk perbedaan doktrin, akan diputuskan secara final oleh Allah pada Yaumul Qiyamah (Hari Kiamat). Ini menguatkan Nabi bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan, sedangkan perhitungan akhir ada di tangan Allah.
Ayat 26 kembali menggunakan bukti empiris: reruntuhan peradaban masa lalu. Kaum Quraisy sering bepergian ke Syam dan Yaman, melintasi bekas kediaman kaum 'Ad, Tsamud, dan Luth. Pertanyaannya, "Awalam yahdi lahum?" (Apakah belum cukup menjadi petunjuk bagi mereka?). Allah bertanya mengapa mereka berjalan (yamsyuna fi masakinibim) di reruntuhan itu namun gagal mengambil pelajaran. Reruntuhan itu adalah Ayat (tanda-tanda) yang jelas, namun mereka tidak mau yasma'un (mendengar atau memahami) pesan di baliknya.
27. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami menghalau air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu tanam-tanaman sehingga hewan ternak mereka dan mereka sendiri dapat makan darinya? Maka apakah mereka tidak memerhatikan?
28. Dan mereka bertanya: "Kapankah kemenangan itu (datang) jika kamu orang yang benar?"
29. Katakanlah: "Pada hari kemenangan itu, tidak berguna lagi bagi orang-orang kafir keimanan mereka, dan mereka tidak diberi penangguhan lagi."
Ayat 27 kembali ke bukti penciptaan yang ada di sekitar mereka: siklus air dan kehidupan. Allah menghalau air (nasuqul ma'a) ke tanah Al-Juruz (tanah yang mati/tandus) dan menghidupkannya menjadi tanaman yang menjadi sumber makanan bagi manusia dan ternak. Ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah untuk menghidupkan yang mati (tanah), sehingga secara logis Dia juga mampu menghidupkan manusia yang mati. Pertanyaan penutup, "Afala yubshirun?" (Apakah mereka tidak melihat?), menantang fungsi penglihatan dan akal mereka.
Ayat 28 mencatat tantangan kaum kafir Makkah (terutama Abu Jahal dan sejenisnya) yang mengejek janji kemenangan atau hukuman yang dibawa Nabi Muhammad ﷺ. Mereka bertanya, "Mataa hadzal Fath?" (Kapan kemenangan/keputusan ini?).
Ayat 29 adalah jawaban yang mengancam. Kemenangan (Al-Fath) yang dimaksud di sini bisa berarti Hari Kiamat atau hari keputusan yang menentukan nasib mereka (misalnya, penaklukan Makkah atau Perang Badar). Pada hari itu, keimanan yang tiba-tiba muncul dari orang kafir tidak akan berguna (la yanfa'u... imanuhum), dan mereka tidak akan diberi penangguhan (yunzharun).
Ini adalah penegasan kembali tema Ayat 12: kesempatan beriman hanya ada selama di dunia. Setelah tirai kehidupan diangkat, pengakuan dan penyesalan tidak lagi diterima.
30. Maka berpalinglah dari mereka dan nantikanlah (kemenangan), sesungguhnya mereka pun menanti-nanti (pula).
Surah ditutup dengan perintah final kepada Nabi Muhammad ﷺ yang penuh kesabaran: Fa a'ridh 'anhum (Maka berpalinglah dari mereka). Setelah semua bukti dan peringatan telah disampaikan, jika mereka tetap ingkar, janganlah terpengaruh oleh penolakan mereka. Perintah "berpaling" ini adalah penguatan psikologis bagi Nabi.
Dan wantazhir (nantikanlah), sesungguhnya mereka juga menanti-nanti (nasibmu). Mereka menanti kehancuranmu, sementara engkau menanti keputusan Allah dan kemenangan. Ayat ini mengandung janji yang tersirat bahwa waktu pembalasan pasti akan tiba, dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bersabar dan beriman.
Surah As-Sajdah, meskipun relatif singkat, menyajikan ringkasan lengkap doktrin Islam, menghubungkan penciptaan, wahyu, dan hari akhir dalam satu kesatuan narasi yang kuat. Berikut adalah rekapitulasi tema-tema mendalam yang disajikan sepanjang 30 ayat:
Surah ini dibuka dengan menyingkirkan keraguan terhadap sumber Al-Qur'an (Ayat 2-3). Allah bukan hanya Pencipta (Rububiyah), tetapi juga Pengatur segala urusan (Ayat 5). Penekanan ini menetapkan bahwa Kitab tersebut adalah kebenaran yang mutlak dan tidak terpisahkan dari Sang Pencipta.
Allah menggunakan penciptaan kosmos (langit dan bumi dalam enam masa) dan penciptaan manusia (dari tanah liat hingga air mani, disempurnakan dengan ruh) sebagai bukti ganda yang tak terbantahkan. Poin krusial di sini adalah anugerah pendengaran, penglihatan, dan akal (Ayat 9) sebagai alat untuk mencapai kesyukuran, yang jika diabaikan akan membawa pada kekafiran.
Tanggapan keras terhadap orang-orang yang mempertanyakan kebangkitan kembali tubuh yang telah hancur. Allah mengingatkan bahwa Dzat yang mampu menciptakan mereka dari tanah liat (ketiadaan) pasti mampu menghidupkan mereka dari debu. Kehadiran Malaikat Maut (Ayat 11) dan gambaran penyesalan di Hari Kiamat (Ayat 12) berfungsi sebagai motivasi mendalam untuk beramal saleh.
Perbedaan antara orang beriman dan orang fasik adalah tema sentral. Surah ini menetapkan standar tertinggi bagi orang beriman (Ayat 15-16):
Balasan untuk ketakwaan ini adalah kenikmatan Surga yang tak terbayangkan (Qurratu A’yun, Ayat 17), yang berbanding terbalik dengan siksaan neraka yang kekal bagi orang fasik (Ayat 20).
Untuk meyakinkan kaum Makkah, Allah menggunakan dua jenis bukti: bukti historis (kehancuran umat-umat terdahulu seperti yang disinggung di Ayat 26, dan kisah Musa di Ayat 23-24) dan bukti alamiah (keajaiban air yang menghidupkan bumi yang tandus, Ayat 27). Tujuannya adalah mengajak manusia untuk menggunakan akal, penglihatan, dan pendengaran mereka, sebagaimana disebutkan pada awal surah.
Ayat 24 memberikan pelajaran tentang kepemimpinan (Imamah). Pemimpin yang sejati, yang diangkat dan dibimbing oleh Allah, harus memiliki dua kualitas esensial: kesabaran (Shabr) dan keyakinan (Yaqin). Tanpa kesabaran menghadapi ujian dan keyakinan teguh pada kebenaran ilahi, kepemimpinan spiritual tidak mungkin tercapai.
Penutupan surah (Ayat 28-30) adalah ultimatum. Ketika kaum kafir menantang kapan datangnya keputusan (Al-Fath), Allah menjawab bahwa ketika keputusan itu tiba, sudah tidak ada lagi kesempatan. Nabi diperintahkan untuk menjauhi mereka dan menantikan janji kemenangan, karena Allah adalah sebaik-baik penentu keputusan (Ayat 25).
Secara keseluruhan, Surah As-Sajdah adalah panggilan mendesak menuju kesadaran spiritual, menggunakan kontras yang kuat antara orang yang bersujud dalam ketaatan dan orang yang sombong dalam pengingkaran, menekankan bahwa pilihan yang dibuat di dunia menentukan nasib kekal di akhirat.
Untuk memahami kedalaman Surah As-Sajdah, kita perlu mengkaji lebih jauh aspek linguistik dan makna teologis dari beberapa terminologi kunci yang digunakan dalam 30 ayat ini.
Ayat 5 dan 6 membahas bagaimana Allah mengelola urusan (Yudabbirul Amr). Kata Tadbir berasal dari kata dasar *dubur* yang berarti 'belakang' atau 'akibat'. Tadbir adalah perencanaan yang memperhitungkan akhir dari suatu urusan. Ini mengajarkan bahwa manajemen Allah tidak bersifat spontan, melainkan didasarkan pada pengetahuan sempurna mengenai masa depan dan konsekuensi dari setiap tindakan.
Konsep perjalanan urusan dari langit ke bumi dan kembali dalam periode 1000 tahun (Ayat 5) telah ditafsirkan dalam berbagai cara:
Ayat ini menutup dengan Al-'Aziz Ar-Rahim (Maha Perkasa, Maha Penyayang). Keseimbangan antara kekuasaan tak terbatas ('Aziz) dan rahmat universal (Rahim) adalah kunci tauhid asma wa sifat. Allah mengatur dengan kekuasaan, tetapi motivasi utama di balik penciptaan dan pengiriman wahyu adalah rahmat.
Urutan penciptaan yang dijelaskan dalam ayat 7 hingga 9 adalah mikrokosmos dari keseluruhan Surah yang mencakup asal, fungsi, dan takdir. Transisi dari thin (tanah liat) ke ma'in mahin (air yang hina) menegaskan bahwa baik asal usul pertama (Adam) maupun kesinambungan keturunan (manusia modern) memiliki asal yang rendah secara materi.
Fokus utama adalah nafakha fihi mir ruhih (meniupkan ruh-Nya). Para mufassir menekankan bahwa ini adalah pemuliaan terbesar bagi manusia. Ruh adalah misteri yang menghubungkan manusia dengan realitas ilahi. Ruh ini yang membuat manusia mampu memikul amanah.
Anugerah Sam'u, Abshar, dan Af'idah (pendengaran, penglihatan, dan hati/akal) diletakkan tepat setelah peniupan ruh, menunjukkan bahwa alat-alat kognitif ini adalah manifestasi operasional dari ruh yang telah ditiupkan. Tugas manusia, sebagai khalifah, adalah menggunakan alat-alat ini untuk bersyukur. Teguran "sedikit sekali kamu bersyukur" menyoroti betapa tragisnya penyalahgunaan karunia ini untuk ingkar.
Ayat 16 ("Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya") memberikan deskripsi yang mendalam tentang Qiyamul Lail. Dalam tafsir, karakteristik ini tidak hanya merujuk pada shalat, tetapi juga pada keutamaan bangun di sepertiga malam terakhir, saat Allah turun ke langit dunia.
Penggambaran "Lambung menjauhi tempat tidur" secara fisik menggambarkan perjuangan melawan nafsu dan kenyamanan. Rasa takut (khaufan) yang mendorong mereka adalah takut akan azab yang dijelaskan dalam Ayat 12-14, sementara harapan (thama'an) adalah mengharapkan balasan Qurratu A'yun yang disebutkan dalam Ayat 17. Ini adalah ibadah yang didorong oleh kesadaran penuh akan pertanggungjawaban di Hari Akhir.
Keseimbangan ibadah ini juga tercermin dalam amal harta (yunfiqun). Surah As-Sajdah mengajarkan bahwa kesalehan sejati harus holistik: terdiri dari ibadah pribadi yang intensif dan kontribusi sosial melalui sedekah.
Penafsiran tentang Al-'Adzab Al-Adna (siksa yang lebih dekat) sangat kaya dalam tradisi tafsir. Ibnu Abbas, misalnya, menafsirkannya sebagai musibah duniawi atau penyakit yang menimpa seseorang sebelum kematiannya. Penafsiran lain mencakup musibah kolektif seperti kekeringan, kemiskinan, atau kekalahan militer. Namun, makna terpentingnya adalah fungsinya sebagai peringatan preventif.
Siksaan duniawi ini bukanlah hukuman final, melainkan cara Allah mengetuk pintu hati hamba-Nya. Jika mereka bertaubat setelah sakit atau musibah, azab ini telah mencapai tujuannya: la'allahum yarji'un (mudah-mudahan mereka kembali). Ini menekankan bahwa rahmat Allah mendahului murka-Nya; bahkan dalam siksaan, masih ada peluang untuk kembali.
Ayat yang membahas kepemimpinan Bani Israil memberikan cetak biru bagi kepemimpinan umat Islam. Allah menjadikan mereka imam (pemimpin) yang memberi petunjuk Lamma shabaru wa kanu bi'ayatina yuqinun. Urutan ini penting:
Dalam konteks Surah Makkiyah, Ayat 24 ini adalah janji kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang sedang mengalami penganiayaan, bahwa jika mereka mempertahankan dua kualitas ini, mereka akan diangkat menjadi pemimpin dunia.
Keseluruhan Surah As-Sajdah bergerak dari keraguan menuju kepastian, dari asal penciptaan menuju hari pembalasan. Ayat 25 menyatakan bahwa Allah akan menjadi Yafshilu bainahum (yang memutus). Al-Fashl berarti memisahkan kebenaran dari kebatilan, yang akan terjadi secara final pada Hari Kiamat. Ini adalah penutup logis bagi semua perselisihan teologis dan moral yang terjadi di dunia.
Perintah penutup, Fa a'ridh 'anhum wanzantir (berpalinglah dari mereka dan nantikanlah) memberikan dua pelajaran vital bagi para pengemban dakwah: Pertama, jangan membuang energi pada orang-orang yang sudah jelas menolak setelah bukti-bukti dikemukakan. Kedua, fokus pada janji Allah dan bersabar dalam menantikan keputusan-Nya. Waktu keputusan pasti datang, baik dalam bentuk kemenangan duniawi (seperti Fath Makkah) maupun dalam bentuk keputusan akhirat.
Surah ini memiliki keutamaan khusus yang sering ditekankan dalam sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Salah satu riwayat yang paling terkenal adalah kebiasaan Nabi membaca Surah As-Sajdah (bersama Surah Al-Insan) pada rakaat pertama Shalat Subuh di hari Jumat. Hikmah dari kebiasaan ini, menurut para ulama, adalah untuk mengingatkan umat Islam tentang penciptaan (Adam diciptakan pada hari Jumat), hari kiamat (yang akan terjadi pada hari Jumat), dan pentingnya sujud dan kesyukuran, tepat saat mereka memulai hari terbaik dalam sepekan.
Keutamaan lain dari surah ini adalah adanya Ayat Sajdah (Ayat 15), yang mengharuskan pembaca atau pendengar untuk segera sujud (Sujud Tilawah). Sujud ini berfungsi sebagai demonstrasi fisik atas kerendahan hati yang secara tegas membedakan orang beriman dari orang-orang sombong.
Ayat 15, "mereka segera bersujud dan bertasbih," tidak hanya menggambarkan tindakan, tetapi juga kondisi mental. Sujud Tilawah adalah respons spontan terhadap keagungan wahyu yang baru saja diucapkan. Ini adalah penolakan terhadap sifat Istikbar (kesombongan) yang disebut di bagian akhir ayat tersebut. Kesombongan adalah penghalang terbesar antara manusia dan kebenaran, sebagaimana ditunjukkan pada iblis di awal penciptaan.
Ketika seorang mukmin bersujud, ia secara simbolis dan harfiah meletakkan bagian tubuhnya yang paling mulia (wajah) di tempat yang paling rendah (tanah), mengakui bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah. Ini adalah realisasi praktis dari Tauhid Uluhiyah, pengakuan bahwa hanya Allah yang layak disembah.
Surah As-Sajdah, yang diturunkan pada periode sulit di Makkah, adalah pelajaran utama tentang kesabaran. Perintah "fa a'ridh 'anhum wanzantir" (berpalinglah dan nantikanlah) di Ayat 30 adalah strategi dakwah. Kesabaran Nabi dalam menerima penolakan, dikombinasikan dengan keyakinan (Yaqin) bahwa janji Allah pasti datang (Ayat 24), adalah resep bagi keberlangsungan dakwah.
Surah ini mengajarkan bahwa pertarungan antara iman dan kekafiran bukanlah pertarungan yang dimenangkan dengan argumen semata, tetapi dengan keteguhan hati. Orang fasik akan menghadapi 'Adzab al-Khuld (siksaan kekal), sedangkan orang beriman akan mendapatkan Qurratu A'yun. Jeda waktu antara janji dan pemenuhan janji inilah yang membutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Pola kehidupan orang beriman yang digambarkan dalam Ayat 16 adalah model bagi keseimbangan hidup Islami:
Surah ini menolak spiritualitas yang mengisolasi diri dari masyarakat, dan juga menolak materialisme yang melupakan pertanggungjawaban di malam hari. Seorang mukmin sejati adalah mereka yang berhasil menyatukan dimensi spiritual (Qiyamul Lail) dan dimensi sosial (Infaq), mempraktikkan ajaran yang diturunkan Allah dari awal Surah hingga akhirnya.