Bagi umat Islam di seluruh dunia, istilah Asyura (atau Asyura dalam ejaan Indonesia) adalah penanda waktu yang memiliki resonansi historis dan spiritual yang mendalam. Hari ini, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, adalah hari yang dipenuhi oleh rangkaian peristiwa besar, mulai dari keselamatan para nabi hingga tragedi kemanusiaan yang abadi. Namun, perlu diklarifikasi sejak awal bahwa dalam struktur Al-Quran yang terdiri dari 114 Surah, tidak ada satu pun yang secara spesifik dinamai Surah Asyura. Kata kunci ini merujuk pada upaya kolektif untuk memahami spirit dan makna dari Hari Asyura melalui lensa wahyu Ilahi, yaitu dengan menelaah Surah-Surah dan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan secara tematik dengan nilai-nilai yang diemban oleh hari tersebut: keadilan, kesabaran, pengorbanan, dan perjuangan melawan kezaliman.
Artikel ini akan membawa kita pada sebuah perjalanan spiritual dan intelektual yang komprehensif, mengurai keterkaitan antara Hari Asyura dengan fondasi ajaran Islam sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Suci. Kita akan membedah latar belakang historis yang melingkupi hari agung ini, meninjau pandangan dari berbagai mazhab, dan yang paling utama, melakukan tafsir tematik mendalam terhadap ayat-ayat pilihan yang merangkum esensi spiritual dari peristiwa-peristiwa Muharram.
Hari Asyura bukanlah sekadar tanggal dalam kalender; ia adalah titik temu dari berbagai peristiwa kenabian yang membentuk landasan teologis Islam. Dalam tradisi yang dominan, hari ini dikenang sebagai hari di mana Allah SWT memberikan pertolongan besar kepada hamba-hamba-Nya yang teguh, sekaligus menghancurkan para tiran yang zalim. Pemahaman ini merupakan kunci utama untuk menghubungkan Asyura dengan prinsip-prinsip Quranik tentang pertolongan dan hukuman.
Peristiwa paling fundamental yang dikaitkan dengan Hari Asyura, khususnya dalam tradisi Sunni, adalah penyelamatan Nabi Musa (Moses) dan kaumnya dari penindasan Firaun. Kisah ini adalah epik perlawanan antara keimanan monoteistik yang rapuh melawan tirani dan arogansi kekuasaan yang absolut. Al-Quran menceritakan kisah ini secara berulang di berbagai Surah, menjadikannya salah satu narasi sentral dalam mengajarkan pentingnya keteguhan (istiqamah) dan janji pertolongan Ilahi.
Salah satu Surah yang secara detail mengulas kisah ini adalah Surah Al-Qasas (28). Ayat-ayat dalam Surah ini bukan hanya sekadar kronik sejarah, tetapi juga sebuah manifesto tentang keadilan sosial. Allah SWT berfirman mengenai penindasan Firaun:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ ۚ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ(Terjemah): Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka. Dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
— Surah Al-Qasas (28): 4
Ayat ini secara jelas menggarisbawahi kejahatan Firaun sebagai mufsidīn (orang-orang yang berbuat kerusakan) yang melampaui batas. Penyelamatan Musa di Hari Asyura, ketika Allah membelah laut, menjadi representasi fisik dari kemenangan kebenaran atas kebatilan. Ini mengaitkan Hari Asyura dengan doktrin Quranik tentang intervensi Ilahi pada saat-saat kritis, suatu tema yang diulang-ulang dalam konteks janji kepada orang-orang beriman yang tertindas.
Dalam konteks Surah Al-Qasas, kita melihat bagaimana strategi penindasan Firaun—memecah belah masyarakat menjadi faksi-faksi yang lemah—adalah ciri khas dari setiap rezim tirani. Asyura, dalam interpretasi ini, menjadi pengingat tahunan bahwa tidak ada tirani yang abadi jika keimanan dan kesabaran kaum tertindas tidak luntur. Kekuatan Firaun, yang sangat bergantung pada sungai Nil (sebagai sumber kehidupan dan kekuasaan), justru menjadi kuburannya ketika sungai itu diubah menjadi medan pertolongan oleh kehendak Allah.
Tradisi juga mencatat bahwa Asyura adalah hari di mana beberapa nabi mendapatkan pertolongan signifikan:
Kumpulan peristiwa ini menegaskan bahwa Hari Asyura adalah hari tajalli (manifestasi) dari sifat-sifat Allah yang Maha Penolong, dan menekankan bahwa puasa yang dianjurkan pada hari ini adalah ekspresi syukur atas rahmat dan pertolongan yang diberikan kepada para utusan-Nya sepanjang sejarah. Makna syukur ini, dikaitkan dengan firman Allah dalam Surah Ibrahim (14): 7, di mana Allah berjanji, "Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
Dalam konteks sejarah Islam yang lebih luas, terutama bagi mazhab Syiah, Hari Asyura identik dengan tragedi Karbala, yaitu gugurnya cucu Rasulullah SAW, Husain bin Ali, bersama keluarganya. Meskipun peristiwa ini terjadi ratusan tahun setelah turunnya Al-Quran, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang dipertaruhkan dalam peristiwa Karbala sepenuhnya berakar dalam ajaran Quran tentang keadilan, kepemimpinan yang benar, dan penolakan terhadap kezaliman.
Husain bin Ali memilih untuk menghadapi kematian daripada mengakui legitimasi kekuasaan yang dianggapnya zalim dan menyimpang dari prinsip-prinsip Islam yang diajarkan oleh kakeknya. Tindakan ini merupakan manifestasi dari konsep Jihad Akbar (Perjuangan Besar)—perjuangan melawan kebatilan, bahkan ketika perjuangan itu tampak mustahil dan mengorbankan nyawa. Nilai pengorbanan ini diabadikan dalam Al-Quran, khususnya ketika berbicara tentang para syuhada (martir).
Surah Ali 'Imran (3): 169-170 adalah Surah fundamental dalam memahami status para syuhada:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ(Terjemah): Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka...
Dalam konteks Karbala, ayat ini memberikan kerangka teologis bagi pengorbanan Husain. Kematian fisiknya di gurun pasir menjadi simbol kehidupan spiritual yang abadi. Perjuangan Husain adalah perjuangan untuk mempertahankan integritas ajaran Islam dari politik duniawi yang korup. Analisis mendalam atas kata farihīn (bergembira) dalam ayat 170 menunjukkan bahwa kegembiraan ini datang dari kesadaran bahwa mereka telah memenuhi janji mereka kepada Allah, sebuah kesempurnaan iman yang jauh melampaui kerugian duniawi.
Asyura, dilihat dari tragedi Karbala, mengajarkan pentingnya menuntut keadilan (Al-Qist), yang merupakan salah satu tujuan utama diutusnya para rasul. Allah berfirman dalam Surah Al-Hadid (57): 25:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ(Terjemah): Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.
Keputusan Husain untuk bangkit melawan tirani Bani Umayyah adalah upaya untuk menegakkan Al-Qist yang telah dirusak. Ketika nilai-nilai keadilan dan kebenaran Quranik diabaikan oleh penguasa, maka kewajiban untuk menolaknya muncul. Surah Al-Hadid menegaskan bahwa tujuan wahyu adalah menciptakan masyarakat yang berdiri di atas prinsip keadilan. Karbala adalah pengingat abadi tentang harga yang harus dibayar untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut. Dalam telaah linguistik, kata Al-Qist mengandung makna keseimbangan yang sempurna dan porsi yang tepat bagi setiap entitas—suatu kondisi yang mustahil tercapai di bawah kekuasaan yang sewenang-wenang. Husain berusaha mengembalikan keseimbangan ini.
Perluasan tafsir pada ayat-ayat ini juga menyentuh aspek kepemimpinan yang adil. Jika Musa melawan Firaun sebagai penguasa yang terang-terangan kafir, Husain melawan penguasa yang mengaku Muslim tetapi tindakannya zalim. Ini memperkenalkan dimensi yang lebih kompleks pada perjuangan Quranik: perjuangan melawan kemunafikan dan kezaliman yang bersembunyi di balik jubah agama.
Meskipun tidak ada Surah bernama Asyura, beberapa Surah dalam Al-Quran memiliki korelasi tematik yang sangat kuat dengan semangat ketabahan, kesabaran, dan janji keadilan yang dipancarkan oleh Hari Asyura.
Surah Al-Fajr, yang dibuka dengan sumpah demi waktu (fajar, malam yang sepuluh, dan genap serta ganjil), sering dibaca dalam konteks Muharram, dan secara khusus memiliki relevansi dengan hari-hari penuh ujian, termasuk Asyura. Ayat-ayat Surah ini berisi peringatan keras terhadap kaum-kaum yang melampaui batas (seperti ‘Ad, Tsamud, dan Firaun), yang kesemuanya dihancurkan setelah mencapai puncak kezaliman. Firaun, yang dihancurkan di Hari Asyura, disebutkan secara eksplisit:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ (6) وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ (9) وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ (10) الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ (11) فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ(Terjemah): Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Tuhanmu telah berbuat terhadap kaum ‘Ad? ... dan terhadap Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu.
— Surah Al-Fajr (89): 6, 9-12
Surah ini berfungsi sebagai cermin. Di satu sisi, ia menunjukkan nasib akhir para tiran (seperti Firaun, yang dikalahkan pada 10 Muharram). Di sisi lain, ia mengakhiri dengan panggilan bagi jiwa yang tenang (an-nafs al-mutmainnah):
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي(Terjemah): Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.
— Surah Al-Fajr (89): 27-30
Jiwa yang tenang ini adalah esensi dari keteguhan yang ditunjukkan oleh Musa saat menghadapi laut yang terbelah, dan ketenangan yang dimiliki oleh Husain di saat-saat terakhirnya, menerima takdir Ilahi dengan rida. Analisis terhadap kata rādhiyah (puas) dan mardhiyyah (diridhai) menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kepuasan hamba atas takdirnya dan keridhaan Allah atas pengorbanannya. Ini adalah puncak spiritual yang menjadi tema utama dari Asyura, baik sebagai hari kemenangan maupun hari pengorbanan.
Surah Al-Baqarah, sebagai Surah terpanjang dan mengandung banyak hukum, juga memberikan landasan teologis bagi praktik dan filsafat Hari Asyura. Puasa Asyura adalah salah satu praktik tertua yang kemudian dilanjutkan dan diubah polanya setelah diwajibkannya puasa Ramadan. Ayat-ayat mengenai puasa dan ujian iman sangat relevan.
Ayat yang membahas ujian keimanan sering dikaitkan dengan semua bentuk penderitaan, termasuk yang dialami oleh para nabi di Hari Asyura atau tragedi Karbala:
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ(Terjemah): Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
— Surah Al-Baqarah (2): 155
Kisah Karbala, yang melibatkan kelaparan, kekurangan air, ketakutan, dan kehilangan nyawa (naqsin min al-anfus), adalah ilustrasi nyata dari ujian yang disebutkan dalam ayat 155 ini. Hari Asyura, sebagai hari peringatan cobaan besar, menuntut introspeksi pada kapasitas diri untuk menjadi as-shābirīn (orang-orang yang sabar). Sabar di sini bukanlah pasrah tanpa tindakan, melainkan ketahanan aktif (sabr jamil) dalam menegakkan kebenaran meskipun menghadapi kerugian yang besar.
Lebih lanjut, Asyura juga terhubung dengan ayat-ayat Al-Baqarah yang menjelaskan bagaimana Bani Israil diselamatkan (kisah Musa dan Firaun), namun kemudian melanggar perjanjian mereka. Peristiwa ini berfungsi sebagai peringatan universal bagi umat Islam: pertolongan Allah datang, tetapi diikuti dengan tanggung jawab untuk mempertahankan ketauhidan dan kebenaran agar tidak jatuh ke dalam pelanggaran yang sama dengan umat terdahulu. Analisis linguistik kata lanablūwannakum (sungguh Kami akan menguji kamu) menekankan unsur penekanan yang mutlak, bahwa ujian adalah keniscayaan dalam perjalanan keimanan.
Dua konsep etika Quranik—sabr dan syukur—bertemu dan berinteraksi secara kompleks dalam Hari Asyura. Bagi sebagian besar tradisi, ini adalah hari syukur atas kemenangan Nabi Musa, sehingga dianjurkan berpuasa. Namun, bagi yang merayakan tragedi Karbala, ini adalah hari sabr dalam menghadapi duka dan kezaliman yang tak terbayangkan.
Konsep sabr jamil (kesabaran yang indah atau mulia), yang disebutkan dalam Al-Quran (misalnya Surah Yusuf (12): 18), adalah kesabaran yang dilakukan tanpa keluh kesah atau ratapan yang berlebihan, meskipun rasa sakitnya sangat dalam. Ini adalah kesabaran yang didasarkan pada keyakinan penuh akan rencana Ilahi. Keteguhan Husain di Karbala seringkali dilihat sebagai manifestasi tertinggi dari sabr jamil, sebuah kesabaran yang menolak kompromi demi prinsip, meskipun hasilnya adalah kekalahan militer yang menyakitkan.
Dalam konteks Quranik yang lebih luas, kesabaran ini bukan hanya resistensi pasif, melainkan sebuah strategi aktif yang diamanatkan Allah bagi kaum beriman. Allah berfirman dalam Surah Al-'Asr (103), Surah yang sering disebut sebagai ringkasan seluruh Al-Quran, bahwa keselamatan terletak pada iman, amal saleh, dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran:
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(Terjemah): Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.
Asyura mengajarkan bahwa menasihati dalam kebenaran (tawāṣaw bi al-ḥaqq) dapat menuntut pengorbanan ekstrem, yang kemudian harus diikuti dengan ketetapan hati (tawāṣaw bi aṣ-ṣabr). Analisis ini memperluas makna Asyura dari sekadar peristiwa sejarah menjadi sebuah imperatif moral yang berkelanjutan bagi setiap Muslim: berjuang demi kebenaran, dan bersabar atas konsekuensinya.
Jika sabr mendominasi narasi Karbala, syukur mendominasi narasi Musa. Hari Asyura adalah hari di mana Bani Israil diperintahkan bersyukur atas pembebasan mereka dari perbudakan. Nabi Muhammad SAW kemudian memerintahkan umatnya untuk berpuasa sebagai bentuk syukur atas pertolongan Ilahi. Konsep syukur ini tidak hanya terbatas pada ucapan, tetapi diwujudkan melalui ibadah dan kepatuhan.
Menariknya, Al-Quran mengajarkan bahwa syukur harus ada bahkan di tengah musibah. Seorang Muslim harus bersyukur atas karunia iman dan kesempatan untuk berjuang di jalan Allah. Oleh karena itu, bagi mereka yang mengenang Karbala, syukur tetap ada—syukur atas keberanian Husain yang mempertahankan prinsip-prinsip Islam, dan syukur atas kesempatannya menjadi martir, mencapai maqam tertinggi yang diridhai oleh Allah (sebagaimana ayat Surah Ali 'Imran sebelumnya). Dengan demikian, Asyura menjadi hari yang menyatukan sabr dan syukur: sabar dalam menghadapi duka, dan syukur atas janji Ilahi yang tersembunyi di balik penderitaan.
Observansi Asyura dalam dunia Islam memiliki dua dimensi utama: puasa (berlandaskan syukur atas Musa) dan peringatan (berlandaskan duka atas Husain). Kedua dimensi ini, meskipun berbeda dalam praktiknya, sama-sama mencari justifikasi dan fondasi moral dari teks-teks Al-Quran.
Anjuran puasa Asyura (dan Tasu'a, 9 Muharram, untuk membedakan diri dari praktik Yahudi) berakar pada ajaran Nabi Muhammad SAW. Meskipun tidak ada ayat yang secara eksplisit memerintahkan puasa Asyura, konsep puasa itu sendiri diletakkan sebagai kewajiban dalam Surah Al-Baqarah (2): 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(Terjemah): Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Puasa Asyura, sebagai puasa sunnah, berfungsi sebagai latihan spiritual untuk mencapai taqwa (ketakwaan) yang menjadi tujuan utama syariat. Ini adalah bentuk pengingat dan penegasan janji Allah untuk menolong hamba-Nya yang beriman. Melalui puasa, seorang Muslim secara simbolis meneladani Musa dan kaumnya, menyadari bahwa kemenangan datang setelah kesulitan. Puasa juga merupakan bentuk pengendalian diri, yang sangat diperlukan dalam menghadapi ujian dan konflik, seperti yang ditunjukkan oleh Husain di Karbala. Ini adalah interkoneksi yang halus: puasa sebagai syukur atas kemenangan masa lalu (Musa) dan sebagai persiapan spiritual untuk ketahanan di masa depan (Husain).
Asyura seringkali menjadi momen di mana ketegangan teologis dan perbedaan mazhab menjadi nyata. Oleh karena itu, penting untuk menghubungkan peringatan Asyura dengan etika Quranik mengenai persatuan (ukhuwah) dan menghindari perpecahan. Surah Al-Hujurat (49): 10 menekankan persaudaraan:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(Terjemah): Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
Ketika Asyura diperingati, penekanannya harus kembali pada nilai-nilai persaudaraan dan keadilan universal yang ditekankan oleh Al-Quran. Peringatan Karbala harus menjadi momentum untuk melawan kezaliman modern, bukan hanya terpaku pada duka masa lalu. Ini adalah implementasi dari prinsip ishlāh (perdamaian dan rekonsiliasi) di antara sesama mukmin, bahkan dalam menghadapi perbedaan sejarah dan interpretasi yang mendalam. Pengorbanan Husain menjadi sia-sia jika umat malah terpecah karena cara memperingatinya.
Lebih jauh, Surah An-Nisa (4): 135 memerintahkan umat untuk berdiri teguh demi keadilan, bahkan jika itu merugikan diri sendiri atau kerabat dekat. Peringatan Asyura, sebagai hari keadilan, harus memicu kesadaran etis bahwa keadilan tidak mengenal batas mazhab atau suku, melainkan sebuah kewajiban Ilahi yang harus ditegakkan oleh setiap individu Muslim.
Asyura, baik sebagai hari kemenangan Musa atau tragedi Husain, memunculkan pertanyaan teologis mendasar mengenai takdir (qadar) dan kehendak bebas manusia (ikhtiyār). Mengapa Allah mengizinkan penderitaan, padahal Dia Maha Kuasa? Jawaban atas pertanyaan ini terdapat dalam Surah-Surah yang membahas hikmah di balik ujian dan pilihan moral.
Surah Ali 'Imran memberikan wawasan bahwa ujian (seperti yang dialami di Karbala atau oleh Musa) berfungsi sebagai proses penyaringan (tamhīṣ) untuk membedakan orang beriman sejati dari mereka yang hanya mengaku-ngaku. Allah berfirman:
مَّا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَىٰ مَا أَنتُمْ عَلَيْهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ(Terjemah): Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang mukmin dalam keadaan kalian sekarang ini, sehingga Dia memisahkan yang buruk dari yang baik.
— Surah Ali 'Imran (3): 179
Peristiwa-peristiwa krusial yang jatuh pada Hari Asyura—pemisahan Musa dari Firaun, pemisahan Husain dari mereka yang mencari kekuasaan duniawi—adalah manifestasi dari proses tamhīṣ ini. Allah mengizinkan tragedi terjadi agar batas antara kebenaran dan kebatilan menjadi jelas, dan agar orang-orang beriman dapat membuktikan kemurnian niat mereka. Ini menekankan aspek kehendak bebas: para penindas memilih kezaliman mereka sendiri, dan para pahlawan memilih kesabaran dan pengorbanan mereka sendiri.
Al-Quran menekankan bahwa kisah-kisah para nabi dan orang-orang saleh, yang mencapai puncaknya dalam peristiwa-peristiwa besar seperti Asyura, diturunkan untuk memperkuat hati Rasulullah dan umatnya. Surah Hud (11): 120 menjelaskan:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِن أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ(Terjemah): Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran, serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.
Hari Asyura, dengan kisah Musa dan Husain, berfungsi sebagai peringatan (dhikrā) dan pengajaran (maw‘izhah) bagi umat Islam. Pengajaran ini bersifat abadi: kezaliman akan selalu ada, tetapi keimanan sejati dan pengorbanan yang tulus akan selalu mendapatkan pertolongan atau pahala abadi. Kisah Musa mengajarkan pertolongan yang cepat, sementara kisah Husain mengajarkan kemenangan moral yang lambat namun abadi. Keduanya adalah bagian dari strategi penguatan hati Ilahi yang termaktub dalam Surah Hud.
Telaah mendalam tentang kata nuthabbitu (Kami teguhkan) menunjukkan bahwa tujuan utama narasi Quranik tentang cobaan adalah fungsi psikologis dan spiritualnya: menenangkan hati orang beriman di tengah turbulensi dunia. Ini adalah warisan terpenting dari Hari Asyura.
Tema sentral yang mengaitkan kisah Musa (yang diselamatkan pada Asyura) dengan Husain (yang gugur pada Asyura) adalah perhatian Al-Quran terhadap al-mustaḍ'afīn—kaum yang dilemahkan atau tertindas. Misi para nabi, seperti yang ditekankan dalam banyak Surah, adalah membebaskan mereka yang tertindas.
Dalam Surah Al-Qasas, setelah menjelaskan kezaliman Firaun terhadap Bani Israil, Allah segera menyampaikan janji-Nya kepada kaum tertindas, janji yang terwujud di Hari Asyura:
وَنُرِيدُ أَن نَّمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ(Terjemah): Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).
— Surah Al-Qasas (28): 5
Ayat ini adalah inti dari pembebasan yang terjadi pada Hari Asyura. Allah tidak hanya menyelamatkan Bani Israil tetapi juga menjanjikan mereka kepemimpinan (a'immah) dan warisan (wāritsīn). Musa, sebagai pemimpin, membawa mereka menuju pembebasan fisik. Analisis ini memberikan dimensi sosial pada Asyura. Ini bukan hanya pertarungan individu, melainkan gerakan sosial yang didorong oleh janji Ilahi.
Meskipun Husain gugur, tindakannya menjadi inspirasi abadi bagi para mustadh'afin di sepanjang zaman yang berjuang untuk keadilan, menjadikannya 'warisan' spiritual bagi umat, menegaskan bahwa perlawanan terhadap penindasan adalah kewajiban agama, sekalipun risikonya fatal. Kesuksesan Husain diukur bukan dari kemenangan di medan perang, tetapi dari keberhasilannya dalam mewariskan prinsip perlawanan moral.
Kisah-kisah Hari Asyura menunjukkan dua jenis pertolongan Ilahi (Naṣr):
Kedua jenis kemenangan ini adalah tema berulang dalam Al-Quran. Surah-Surah seperti Surah An-Nasr (110) menjanjikan pertolongan Allah, tetapi pertolongan ini harus diiringi dengan kesiapan untuk berjuang dan berkorban. Analisis terhadap kata Naṣr dalam Surah-Surah Makkiyah menunjukkan bahwa pertolongan seringkali datang setelah penderitaan yang panjang. Asyura adalah peringatan bahwa pertolongan mungkin datang dalam bentuk yang tak terduga—bisa berupa kemenangan langsung, atau bisa juga berupa warisan keberanian dan prinsip yang jauh lebih kuat daripada kemenangan fana.
Dengan menelaah Surah-Surah yang mencakup kisah-kisah kenabian, prinsip-prinsip keadilan, dan janji pertolongan Ilahi, kita memahami bahwa meskipun tidak ada ‘Surah Asyura’ yang berdiri sendiri, hari keagungan ini diselimuti oleh spirit, ajaran, dan perintah dari seluruh Al-Quran. Asyura adalah hari untuk merefleksikan pilihan moral, harga yang harus dibayar untuk kebenaran, dan janji abadi Allah kepada mereka yang teguh dalam keimanan dan keadilan.
Asyura, sebagai hari yang penuh berkah dan ujian, juga terkait erat dengan anjuran untuk memperbanyak zikir (mengingat Allah) dan doa (permohonan). Praktik-praktik spiritual ini merupakan implementasi nyata dari konsep tawakkul (penyerahan diri penuh kepada Allah), yang merupakan ciri khas semua pahlawan Asyura, dari Nuh hingga Husain.
Salah satu doa terpenting yang sering diulang ketika menghadapi kesulitan, dan yang sangat relevan dengan kisah-kisah Asyura, adalah doa Nabi Yunus AS, yang dikeluarkan dari kegelapan perut ikan pada hari yang diyakini sebagian ulama sebagai Hari Asyura. Doa ini disebut Dzikr Yunus, sebagaimana diabadikan dalam Surah Al-Anbiya (21): 87:
فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ(Terjemah): Maka ia menyeru dalam kegelapan yang berlapis-lapis: "Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim."
Doa ini adalah pengakuan atas keesaan Allah dan pengakuan atas kesalahan diri sendiri. Dalam konteks Asyura, baik sebagai perayaan kemenangan atau peringatan tragedi, doa Yunus mengajarkan bahwa pada titik terendah penderitaan, keselamatan hanya datang melalui Tauhid yang murni dan penyerahan diri total. Bahkan di Karbala, ketika Husain menghadapi musuh yang tak terhitung jumlahnya, keteguhan imannya adalah bentuk penyerahan diri yang absolut, meneladani spirit doa ini: melepaskan kekuasaan duniawi untuk mencari keridhaan Ilahi.
Konsep Tawakkul adalah fondasi spiritual yang memungkinkan para hamba Allah untuk bertahan dalam ujian besar Hari Asyura. Surah At-Talaq memberikan janji tak terbatas bagi mereka yang bertawakkul:
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا(Terjemah): Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan(Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
— Surah At-Talaq (65): 2-3
Kisah Musa yang berjalan melintasi Laut Merah, dan keberanian Husain yang menolak tunduk pada kezaliman, keduanya adalah aksi yang didasari oleh tawakkul murni. Mereka berpegang pada keyakinan bahwa Allah akan mencukupi kebutuhan mereka (fahuwa ḥasbuh), meskipun secara logistik, mereka menghadapi kehancuran. Asyura mengajarkan bahwa jalan keluar (makhrajan) dari kesulitan tidak selalu berupa kemewahan duniawi, tetapi seringkali berupa penyelamatan spiritual dan kehormatan abadi. Analisis kata balighu amrih (melaksanakan urusan-Nya) menegaskan bahwa keputusan akhir—kemenangan atau kesyahidan—mutlak berada di tangan Allah, dan orang beriman harus menerima takdir itu dengan rida.
Warisan Hari Asyura, yang kaya dengan narasi Quranik tentang perjuangan dan prinsip, harus diterjemahkan ke dalam tindakan dan sikap di era modern. Ini bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi menerapkan pelajaran moral yang abadi.
Inti dari keteguhan Nabi Musa dan Husain adalah istiqamah (konsistensi atau keteguhan hati) dalam memegang prinsip. Surah Fussilat memberikan penghargaan tertinggi bagi mereka yang memiliki sifat ini:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ(Terjemah): Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
— Surah Fussilat (41): 30
Asyura adalah hari istiqamah. Musa tetap teguh di hadapan Firaun, meskipun Bani Israil sering mengeluh. Husain tetap teguh meskipun ditinggalkan oleh banyak pendukungnya. Penerapan dalam konteks modern berarti bahwa Muslim harus tetap konsisten dengan prinsip-prinsip keadilan dan etika Islam di tengah tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang menuntut kompromi terhadap nilai-nilai inti. Teguhnya seseorang dalam menegakkan keadilan di lingkungan kerja atau komunitas adalah manifestasi modern dari istiqamah Asyura.
Baik Firaun maupun penguasa zalim pasca-Nabi, digambarkan dalam Al-Quran sebagai mufsidūn (orang-orang yang menyebar kerusakan/fasād). Tujuan Husain dan Musa adalah untuk menghilangkan fasād dari muka bumi. Surah Al-Baqarah (2): 205 mengecam keras tindakan merusak:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ(Terjemah): Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan keturunan; dan Allah tidak menyukai kerusakan.
Peringatan Asyura, oleh karena itu, harus menjadi gerakan moral anti-korupsi, anti-perusakan lingkungan, dan anti-penindasan sosial. Keberanian Musa dan Husain harus menginspirasi umat untuk melawan fasād dalam segala bentuknya, baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh struktur kekuasaan yang korup. Ini adalah tugas berkelanjutan yang diamanatkan oleh Al-Quran. Telaah mendalam kata al-fasād menunjukkan bukan hanya kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan tatanan moral dan sosial, yang merupakan akar dari setiap tirani. Asyura mengingatkan kita bahwa melawan kerusakan ini adalah ibadah yang paling agung.
Meskipun kita mengonfirmasi bahwa tidak ada Surah bernama 'Asyura', hari keagungan ini berfungsi sebagai lensa tematik yang kuat untuk memahami banyak Surah dan ayat Al-Quran. Asyura adalah perpaduan naratif dari keselamatan dan pengorbanan, syukur dan kesabaran, yang keseluruhannya didukung oleh pilar-pilar teologis utama Islam.
Dari kemenangan Nabi Musa atas Firaun, yang tercatat dalam Surah Al-Qasas dan menjadi dasar anjuran puasa sebagai syukur, hingga tragedi abadi cucu Nabi, Husain, yang diabadikan oleh nilai-nilai istiqamah dan syahadah dalam Surah Ali 'Imran dan Al-Fajr, Asyura mengajarkan bahwa perjalanan keimanan dihiasi oleh ujian yang menuntut pengorbanan. Nilai-nilai ini—keadilan, keteguhan, penolakan kezaliman, dan penyerahan diri total—tidak pernah kedaluwarsa.
Pada akhirnya, peringatan Asyura harus membawa setiap Muslim kembali kepada komitmen tertinggi: janji untuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur atas nikmat (seperti penyelamatan Musa) dan bersabar di tengah musibah (seperti pengorbanan Husain), sambil secara aktif berjuang menegakkan keadilan (Al-Qist) di bumi, sejalan dengan misi Al-Quran. Asyura adalah penegasan bahwa setiap langkah yang diambil demi kebenaran, baik menghasilkan kemenangan lahiriah maupun kesyahidan, akan selalu membawa pelakunya kepada keridhaan Allah dan janji kehidupan yang lebih baik, sebagaimana termaktub dalam wahyu-wahyu Ilahi yang abadi.