Surah Ar-Rahman, yang secara harfiah berarti ‘Yang Maha Pengasih’, adalah permata dalam Al-Qur’an yang menyajikan serangkaian argumentasi puitis dan retoris mengenai kebesaran, kekuasaan, dan kemurahan Allah SWT. Inti dari surah yang agung ini terangkum dalam sebuah kalimat yang diulang sebanyak tiga puluh satu kali: sebuah pertanyaan sekaligus sebuah teguran yang menusuk jiwa. Kalimat tersebut adalah Ayat 13.
Transliterasi: Fabi-ayyi ālā'i Rabbikumā tukadzibān.
Terjemahan: Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Pengulangan yang masif ini bukanlah sekadar redundansi literatur, melainkan sebuah teknik retoris tingkat tinggi yang dikenal sebagai takrir. Dalam konteks Surah Ar-Rahman, takrir berfungsi sebagai palu godam spiritual yang secara berulang-ulang mengetuk kesadaran pendengar, memaksa mereka untuk berhenti sejenak, merenungkan, dan mengakui setiap nikmat yang baru saja disebutkan. Artikel ini akan mengupas tuntas struktur linguistik, audiens ganda, dan implikasi teologis dari Ayat 13, serta menelusuri ratusan nikmat yang mendahuluinya, menjadikannya pusat gravitasi spiritual dalam memahami konsep syukur dalam Islam.
Untuk memahami kedalaman Ayat 13, kita harus membedah setiap komponen kata yang menyusunnya. Setiap kata membawa bobot makna yang sangat besar, mengarahkan perhatian pada hubungan antara Pencipta dan ciptaan.
Kata ini terdiri dari tiga bagian: *fa* (maka/sebab itu), *bi* (dengan), dan *ayyi* (yang manakah). *Fa* berfungsi sebagai penghubung logis atau kausalitas, menyimpulkan bahwa setelah menyebutkan serangkaian nikmat, pertanyaan ini diajukan sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan. Penggunaan *ayyi* mengindikasikan bahwa nikmat yang disebutkan begitu banyak dan beragam sehingga mustahil untuk menghitungnya, dan pertanyaannya menantang audiens untuk memilih—jika memang ada—satu saja nikmat yang mereka anggap layak didustakan.
Ini adalah inti dari pertanyaan. Ālā'i (bentuk jamak dari *ila*) sering diterjemahkan sebagai 'nikmat' atau 'karunia'. Namun, maknanya lebih kaya daripada sekadar pemberian materi. Ālā'i mencakup segala sesuatu yang bersifat fisik, spiritual, hukum, dan eskatologis—segala manifestasi kebaikan yang diturunkan oleh Allah, baik yang berupa penciptaan (seperti langit dan bumi) maupun yang berupa penegasan janji (seperti surga dan neraka).
Ini adalah poin fokus teologis yang krusial. *Rabb* berarti Tuhan, Pemilik, Pengatur, atau Pemelihara. Tambahan sufiks ganda, *-kumā*, merujuk kepada dua entitas: Manusia dan Jin. Penujukan ganda ini menegaskan bahwa seluruh sistem alam semesta, beserta hukum-hukumnya, diciptakan dan dikelola bukan hanya untuk umat manusia saja, tetapi juga bagi makhluk gaib yang berbagi planet dan tanggung jawab yang sama. Ini adalah pengakuan bahwa kedua jenis makhluk berakal ini adalah penerima utama dari anugerah Ilahi dan, oleh karenanya, subjek dari pertanggungjawaban.
Kata ini berasal dari akar kata kadzaba, yang berarti 'mendustakan' atau 'menolak kebenaran'. Ini bukan hanya tentang menolak nikmat secara verbal, tetapi tentang menolak eksistensi sumber nikmat itu sendiri, yaitu Allah. Mendustakan nikmat berarti menggunakannya tanpa rasa syukur, mengaitkannya dengan entitas lain selain Pencipta, atau bahkan mengingkari bahwa nikmat tersebut adalah kebaikan, misalnya dengan berbuat kerusakan di muka bumi. Pertanyaan retoris ini menuntut pengakuan yang jujur: bagaimana mungkin engkau mendustakan sumber yang memberimu segalanya?
Pengulangan Ayat 13 berfungsi sebagai penanda antara segmen-segmen nikmat. Surah Ar-Rahman secara sistematis memaparkan nikmat-nikmat ini dalam empat kategori utama: Nikmat Ilmu dan Penciptaan, Nikmat Kosmik dan Hukum Alam, Nikmat Terestrial dan Kehidupan, dan terakhir, Nikmat Eskatologis (Akhirat).
Surah ini tidak dimulai dengan penciptaan fisik, melainkan dengan dua nikmat terpenting yang membedakan manusia dari makhluk lain:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Setelah pengenalan ini, pertanyaan Ayat 13 muncul pertama kali, menanyakan apakah manusia dan jin berani mendustakan anugerah fundamental berupa wahyu dan kemampuan berpikir logis.
Nikmat-nikmat selanjutnya berfokus pada struktur alam semesta dan perintah moral yang menyertainya:
Bagian ini menekankan bahwa sistem fisik dan sistem moral berasal dari sumber yang sama. Mendustakan hukum fisika sama mustahilnya dengan mendustakan keharusan untuk berlaku adil.
Karena Ayat 13 mengklaim bahwa setiap segmen dalam surah ini adalah nikmat yang tak terhitung, kita harus memperluas pemahaman kita tentang apa artinya 'nikmat' dalam konteks spiritual dan material. Kita akan membedah bagaimana nikmat-nikmat ini mempengaruhi empat dimensi eksistensi kita—Fisik, Intelektual, Sosial, dan Eskatologis.
Ayat 14-15 secara eksplisit menyebutkan asal usul kedua audiens: manusia diciptakan dari tanah liat kering (salsāl), dan jin dari api yang sangat panas (mārij min nār). Nikmat ini bukan sekadar informasi, melainkan penegasan akan perbedaan ontologis dan spesialisasi penciptaan. Keduanya memiliki asal yang berbeda, namun keduanya adalah hasil dari kehendak Allah. Mendustakan nikmat ini berarti mendustakan fakta keberadaan diri sendiri.
Surah ini kemudian beralih ke batas-batas alam yang menakjubkan (Ayat 19-25). Disebutkan bahwa Allah mempertemukan dua lautan yang mengalir, namun di antara keduanya terdapat batas (barzakh) yang tidak mereka lampaui. Nikmat ini adalah demonstrasi kekuasaan Ilahi dalam mengatur unsur-unsur alam yang paling kuat—air tawar dan air asin—yang berdampingan tanpa bercampur sepenuhnya. Ini memberikan stabilitas ekosistem dan memungkinkan kehidupan di zona pesisir.
Selanjutnya, disebutkan bahwa dari kedua lautan itu keluar mutiara dan marjan, serta bahtera-bahtera yang berlayar membawa manfaat bagi manusia. Kapasitas bumi untuk menghasilkan kekayaan, dan kapasitas manusia untuk memanfaatkan hukum fisika (seperti daya apung) untuk pelayaran, adalah nikmat yang tak terhingga.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Setiap pelayaran, setiap tetes air bersih, setiap perhiasan laut, adalah bukti nyata dari kemurahan-Nya. Mungkinkah engkau mengingkari kebaikan yang begitu universal dan nyata?
Nikmat Ar-Rahman bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa mengetahui dan memahami dunia. Ilmu pengetahuan dan hukum keteraturan (Sunnatullah) adalah nikmat intelektual yang memungkinkan peradaban:
Gerak matahari dan bulan yang teratur (Ayat 5) memungkinkan kita memiliki konsep waktu, penanggalan, dan musim. Tanpa keteraturan ini, pertanian, navigasi, dan bahkan ibadah (seperti waktu shalat dan puasa) akan menjadi kacau. Keteraturan adalah fondasi logis dunia. Nikmat keteraturan ini sering dilupakan karena ia berfungsi tanpa henti; kita baru menyadari nilainya jika ia berhenti berfungsi.
Kemampuan untuk menamakan, menjelaskan, berdiskusi, dan mencatat adalah kunci bagi manusia untuk mentransfer pengetahuan dan membangun komunitas. Bayangkan kesulitan jika kita tidak memiliki bahasa. Nikmat ini memungkinkan tafsir Al-Qur’an itu sendiri, dan dengan demikian, ia adalah nikmat yang memungkinkan kita memahami semua nikmat lainnya.
Perintah untuk menegakkan *Mizan* (keseimbangan dan keadilan) (Ayat 7-9) adalah nikmat sosial. Allah tidak hanya memberikan kita sumber daya, tetapi juga memberikan kita panduan moral tentang bagaimana cara mengaturnya. Keadilan adalah pilar peradaban:
Ketika Ayat 13 muncul setelah perintah Mizan, ia menyiratkan bahwa tatanan sosial yang adil adalah nikmat yang sama besarnya dengan buah-buahan dan biji-bijian. Kekacauan sosial adalah pendustaan terhadap Mizan Ilahi.
Setelah merangkum nikmat-nikmat di dunia fana, Surah Ar-Rahman beralih ke realitas transien dari seluruh ciptaan. Ini berfungsi sebagai kontras yang tajam: nikmat-nikmat duniawi itu melimpah, tetapi mereka tidak kekal. Hanya wajah Allah yang kekal.
Ayat 26 menyatakan, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa." Ayat ini adalah pukulan retoris yang menghentikan kebanggaan manusia atas kepemilikan. Setiap kemewahan, setiap kekuatan, dan setiap peradaban akan berakhir. Hanya Wajah Tuhan yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan yang tetap kekal. Pertanyaan Ayat 13 setelah bagian ini menantang manusia: Jika kefanaan adalah takdir universal, mengapa engkau mendustakan Tuhan yang merupakan satu-satunya Keabadian?
Kekekalan Allah adalah nikmat terbesar bagi jiwa yang sadar. Itu berarti harapan sejati tidak berada dalam objek duniawi, tetapi dalam hubungan yang kekal dengan Pencipta. Mendustakan-Nya sama dengan memilih kefanaan daripada keabadian.
Pada bagian ini, surah menjelaskan mengenai hisab dan akhirat, menegaskan bahwa kedua audiens (manusia dan jin) akan dihadapkan pada pengadilan. Ini adalah janji sekaligus peringatan:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Pertanyaan ini kini berubah menjadi teguran keras: Mengingat kepastian azab yang pedih, nikmat manakah dari peringatan dan kesempatan bertaubat yang telah diberikan, yang masih berani kamu dustakan?
Puncak dari surah ini adalah deskripsi terperinci tentang balasan bagi mereka yang takut akan kebesaran Tuhan (khafa maqāma Rabbih). Surga, dengan segala keindahannya, adalah puncak dari Al-Ālā'i—nikmat abadi yang dirancang sebagai kontras sempurna terhadap kefanaan dunia.
Deskripsi surga diulang dua kali, membagi penghuni surga menjadi dua tingkatan, menunjukkan kekayaan rahmat Allah. Surga tingkat pertama memiliki:
Di setiap sela deskripsi kenikmatan ini, Ayat 13 kembali muncul. Ini memaksa kita untuk merenung: Surga adalah janji, dan janji itu sendiri adalah nikmat. Mendustakan janji ini sama dengan mendustakan kebaikan terbesar yang ditawarkan oleh Yang Maha Pengasih.
Surga tingkat kedua, yang mungkin bagi golongan di bawahnya, juga dijelaskan dengan detail menakjubkan:
Pengulangan deskripsi surga ini, yang jauh lebih detail daripada deskripsi neraka, menekankan bahwa rahmat Allah jauh melampaui murka-Nya. Ar-Rahman menunjukkan bahwa tujuan penciptaan adalah untuk memberi, dan surga adalah pemberian abadi itu.
Dalam sejarah tafsir, para ulama telah lama merenungkan mengapa Allah memilih untuk mengulang Ayat 13 sebanyak 31 kali. Pengulangan ini bukan hanya alat retoris, tetapi juga perangkat teologis yang mendalam.
Satu pandangan populer, yang dianut oleh beberapa mufassir seperti Al-Qurtubi, menghubungkan pengulangan ini dengan bagian-bagian surah. Dari 31 kali pengulangan:
Total pengulangan di Surga (16) dua kali lipat lebih banyak dari pengulangan setelah ancaman (7). Ini menegaskan prinsip bahwa Rahmat Allah (nikmat) mendominasi Murka-Nya. Ayat 13 memaksa kita untuk mengakui bahwa janji kebaikan jauh lebih banyak daripada peringatan keburukan.
Ahli balaghah (retorika Arab) menjelaskan bahwa pengulangan dalam Surah Ar-Rahman menciptakan jeda kontemplatif. Setelah setiap daftar nikmat (misalnya, bumi dihamparkan, ada buah kurma), pendengar diberi waktu untuk berpikir:
Pengulangan ini mengubah surah dari sekadar daftar menjadi sebuah dialog interaktif. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW membacakan surah ini kepada para jin, setiap kali beliau membaca Ayat 13, jin menjawab: "Tidak, wahai Tuhan kami, kami tidak mendustakan satu pun dari nikmat-Mu, bagi-Mu segala puji." Ini menunjukkan bagaimana audiens yang sadar harus merespons pertanyaan retoris tersebut.
Penggunaan Rabbikumā (Tuhan kalian berdua, manusia dan jin) menekankan bahwa tanggung jawab ini bersifat universal. Kedua makhluk berakal ini adalah Khalifah di bumi, dan keduanya akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana mereka menggunakan nikmat, baik itu nikmat alam maupun nikmat petunjuk. Ini memperluas jangkauan moral surah melampaui batas spesies manusia.
Apa bentuk pendustaan (tukadzibān) di zaman kontemporer? Mendustakan nikmat tidak selalu berarti mengingkari keberadaan Allah secara terang-terangan (kufr i'tiqadi). Lebih sering, pendustaan berbentuk kufr in'ām, yaitu mengingkari kemurahan-Nya melalui perilaku dan sikap.
Nikmat terbesar yang disebutkan pertama kali adalah pengajaran Al-Qur'an dan kemampuan berbicara. Pendustaan di sini mencakup:
Perintah untuk tidak melanggar timbangan (Ayat 9) memiliki resonansi kuat di era kapitalisme global. Pendustaan terhadap Mizan meliputi:
Meskipun Surah Ar-Rahman tidak secara langsung menyebutkan nikmat kesehatan secara terpisah, kesehatan adalah prasyarat untuk menikmati semua nikmat terestrial lainnya (buah-buahan, keindahan alam). Pendustaan terjadi ketika:
Jika pertanyaan retoris Ayat 13 menuntut pengakuan jujur, maka respons spiritual yang benar adalah Syukur (terima kasih) dan Ketaatan (amal shaleh). Syukur adalah lawan dari pendustaan.
Syukur memiliki tiga dimensi, semuanya merupakan penawar bagi tukadzibān:
Ketika Allah memberikan nikmat, Dia juga memberikan hukum (Mizan) untuk melindunginya. Ketaatan pada hukum-hukum tersebut adalah cara kita memelihara dan melestarikan nikmat tersebut. Sebagai contoh, menjaga kebersihan adalah ketaatan yang melestarikan nikmat kesehatan dan air bersih. Berjuang untuk keadilan sosial adalah ketaatan yang melestarikan nikmat ketertiban sosial.
Surah Ar-Rahman, melalui Ayat 13, adalah pelajaran tentang kerendahan hati. Manusia, dengan segala kecerdasannya (Al-Bayān), tetap terbatas. Nikmat yang disebutkan begitu besar—mulai dari wahyu hingga surga—sehingga kemampuan manusia untuk memahami atau menguasainya adalah nol. Ayat 13 mengingatkan:
Dalam menghadapi keagungan ini, respons yang logis adalah kepatuhan dan pengakuan tulus: "Kami tidak mendustakan satu pun, wahai Tuhan kami." Inilah yang membedakan orang yang beriman dari yang mendustakan.
Konsep Mizan adalah salah satu fondasi yang paling sering didustakan di dunia. Allah SWT menciptakan Mizan dalam berbagai tingkatan:
Semua elemen di alam semesta ada dalam rasio dan keseimbangan yang ketat. Jika gaya gravitasi sedikit berbeda, alam semesta tidak akan terbentuk. Jika rasio oksigen dan nitrogen di atmosfer berubah, kita tidak bisa bernapas. Keseimbangan ini adalah nikmat yang memungkinkan kehidupan.
Hubungan antara predator dan mangsa, antara tumbuhan dan penyerap karbon, semuanya adalah Mizan. Ketika manusia mengganggu rantai makanan atau menghancurkan habitat, ia mendustakan nikmat ini, yang berakibat pada bencana ekologis.
Manusia diciptakan dengan keseimbangan antara harapan dan ketakutan, antara keinginan dan pengekangan. Islam memberikan Mizan berupa syariat yang mengatur nafsu dan emosi. Kehilangan Mizan ini adalah awal dari kekacauan jiwa.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka, nikmat keseimbangan sempurna yang manakah—dari kosmik hingga psikologis—yang kamu berdua (manusia dan jin) dustakan?
Surah Ar-Rahman adalah sebuah mahakarya yang menggunakan pengulangan Ayat 13 sebagai titik fokus bagi seluruh ajaran. Dari penciptaan alam semesta, hukum keadilan, siklus kehidupan, kefanaan, ancaman hukuman, hingga janji surga abadi—semuanya diikat oleh satu pertanyaan:
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban verbal yang keras. Jawabannya harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari: dalam kesyukuran kita, dalam keadilan kita dalam berurusan, dalam ketaatan kita kepada wahyu, dan dalam kesadaran bahwa segala yang kita miliki hanyalah pinjaman fana dari Yang Maha Kekal. Bagi seorang mukmin, respons terhadap Ayat 13 adalah pengakuan yang penuh rendah hati dan tekad untuk menjalani hidup yang mencerminkan rasa syukur yang mendalam, mengakui setiap karunia Ilahi sebagai bukti kebesaran Ar-Rahman.
Pengulangan yang tak terhitung itu menuntut refleksi tiada henti, memastikan bahwa keangkuhan dan kelalaian tidak akan pernah menemukan tempat untuk bersemayam dalam hati manusia dan jin yang sadar akan kemurahan Tuhan mereka. Setiap tarikan napas, setiap buah yang kita santap, setiap ilmu yang kita pelajari, setiap janji surga yang kita harapkan, adalah nikmat yang tak terlukiskan.
Oleh karena itu, setiap pembaca Surah Ar-Rahman diajak untuk mengakhiri perjalanannya melalui surah ini dengan hati yang penuh pengakuan dan lisan yang berucap syukur, menegaskan bahwa tidak ada satu pun dari Ālā'i Rabbikumā yang patut didustakan, karena kebaikan Allah adalah tak terbatas dan meliputi segalanya.
Maha Agung nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.