Tafsir Komprehensif Surah An-Naziat (Ayat 1-46): Memahami Guncangan Hari Kiamat

Simbol Penciptaan dan Kebangkitan Representasi stilistik langit dan bumi yang menggambarkan kekuasaan Allah dan janji Hari Kebangkitan, sesuai tema Surah An-Naziat.
Visualisasi Tema Sentral Surah An-Naziat

Surah An-Naziat adalah surah ke-79 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 46 ayat. Surah ini digolongkan sebagai surah Makkiyah, yang berarti ia diturunkan di Mekah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ. Ciri khas surah Makkiyah, seperti Surah An-Naziat, adalah fokus yang kuat pada fundamental akidah: penetapan Hari Kebangkitan (Al-Ma'ad), kekuasaan Allah (Tawhid Uluhiyah dan Rububiyah), serta kisah-kisah kaum terdahulu sebagai peringatan.

Nama surah, "An-Naziat" (Malaikat-malaikat yang Mencabut), diambil dari ayat pertama, yang merujuk pada sumpah Allah dengan makhluk-makhluk yang mencabut nyawa dengan keras. Surah ini memiliki tujuan utama untuk menghilangkan keraguan orang-orang kafir Quraisy terhadap keniscayaan Hari Kiamat. Struktur surah ini sangat dinamis, bergerak cepat dari sumpah kosmik yang dahsyat, deskripsi guncangan kiamat, kisah sejarah sebagai pelajaran (Nabi Musa dan Firaun), hingga pertanyaan abadi tentang kapan Kiamat terjadi.

An-Naziat: Sumpah Atas Kekuatan Pencabut Nyawa (Ayat 1-5)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
وَٱلنَّٰزِعَٰتِ غَرْقًا (١) وَٱلنَّٰشِطَٰتِ نَشْطًا (٢) وَٱلسَّٰبِحَٰتِ سَبْحًا (٣) فَٱلسَّٰبِقَٰتِ سَبْقًا (٤) فَٱلْمُدَبِّرَٰتِ أَمْرًا (٥)

1. Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras,
2. dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut,
3. dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,
4. dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang,
5. dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).

Surah ini dibuka dengan serangkaian lima sumpah yang sangat kuat dan ritmis. Dalam tradisi tafsir klasik, mayoritas ulama, termasuk Ibnu Abbas, Mujahid, dan Qatadah, sepakat bahwa lima sumpah ini merujuk kepada Malaikat. Penggunaan sumpah oleh Allah Swt. menunjukkan betapa pentingnya hal yang disumpahkan itu sebagai bukti atau pengantar terhadap pesan utama yang akan disampaikan, yaitu Hari Kebangkitan.

Analisis Mendalam Lima Sumpah

  1. وَٱلنَّٰزِعَٰتِ غَرْقًا (An-Naziat Ghaqrā): Merujuk kepada Malaikat Maut atau sekelompok malaikat yang bertugas mencabut nyawa orang-orang kafir atau pendosa. Kata gharqan (dengan keras/dalam-dalam) menyiratkan proses pencabutan nyawa yang sulit, menyakitkan, dan terasa seolah-olah ditarik paksa dari kedalaman tubuh, sebagai balasan atas kekafiran dan kejahatan mereka.
  2. وَٱلنَّٰشِطَٰتِ نَشْطًا (An-Nashithat Nashtā): Merujuk kepada malaikat yang mencabut nyawa orang-orang mukmin atau saleh. Kata nashtan (dengan lembut/lepas dengan mudah) menunjukkan proses pencabutan yang halus, tanpa rasa sakit, seolah-olah melepaskan simpul yang terikat longgar, sebagai penghormatan atas keimanan mereka. Tafsir lain menyebut ini adalah malaikat yang melepaskan ruh dari jasad lalu membawanya naik.
  3. وَٱلسَّٰبِحَٰتِ سَبْحًا (As-Sabihat Sabhā): Berarti "yang berenang dengan cepat." Ini merujuk pada pergerakan malaikat di angkasa, berenang (terbang) di udara saat turun dari langit untuk melaksanakan perintah Allah, baik itu membawa wahyu, menurunkan hujan, atau mencabut nyawa. Kecepatan dan kelancaran pergerakan mereka adalah simbol ketundukan total pada perintah Ilahi.
  4. فَٱلسَّٰبِقَٰتِ سَبْقًا (As-Sabiqat Sabqā): "Yang mendahului dengan kencang." Ini menggambarkan malaikat yang berlomba-lomba dalam melaksanakan tugas yang diperintahkan Allah. Ada yang menafsirkan ini sebagai malaikat yang bergegas membawa ruh orang mukmin ke sisi Allah, mendahului malaikat lainnya dalam kebaikan. Sumpah ini menekankan urgensi dan prioritas dalam menjalankan tugas ketuhanan.
  5. فَٱلْمُدَبِّرَٰتِ أَمْرًا (Al-Mudabbirat Amrā): "Yang mengatur urusan (dunia)." Ini adalah kesimpulan dari peran malaikat. Mereka yang menjalankan tugas-tugas kosmik dan urusan manusia atas perintah Allah, seperti Jibril (wahyu), Mikail (hujan dan rezeki), Izrail (nyawa), dan Israfil (meniup sangkakala). Pengaturan ini adalah bukti nyata dari sistem kosmik yang terstruktur dan dikendalikan penuh oleh Sang Pencipta.

Kelima sumpah ini, yang semuanya merujuk pada malaikat yang menjalankan tugas di alam semesta, disajikan sebagai bukti otentik atas kekuasaan mutlak Allah. Kekuatan yang mampu memerintahkan makhluk-makhluk super seperti malaikat untuk mencabut nyawa, mengatur hujan, dan mengendalikan alam, tentulah mampu untuk membangkitkan kembali manusia dari kuburnya.

Goncangan Pertama dan Goncangan Kedua (Ayat 6-14)

يَوْمَ تَرْجُفُ ٱلرَّاجِفَةُ (٦) تَتْبَعُهَا ٱلرَّادِفَةُ (٧) قُلُوبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ (٨) أَبْصَٰرُهَا خَٰشِعَةٌ (٩) يَقُولُونَ أَءِنَّا لَمَرْدُودُونَ فِى ٱلْحَافِرَةِ (١٠) أَءِذَا كُنَّا عِظَٰمًا نَّخِرَةً (١١) قَالُوا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ (١٢) فَإِنَّمَا هِىَ زَجْرَةٌ وَٰحِدَةٌ (١٣) فَإِذَا هُمْ بِٱلسَّاهِرَةِ (١٤)

6. (Sungguh kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama mengguncang alam (Rajifah),
7. tiupan kedua mengiringinya (Radifah).
8. Hati manusia pada hari itu sangat takut,
9. pandangan mata mereka tertunduk.
10. Mereka (orang-orang kafir) berkata, "Apakah sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada kehidupan yang semula?
11. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila kami telah menjadi tulang-belulang yang hancur luluh?"
12. Mereka berkata, "Kalau demikian, itu adalah suatu pengembalian yang merugikan."
13. Maka sesungguhnya kebangkitan itu hanyalah dengan sekali tiupan saja (bentakan),
14. maka seketika itu mereka hidup kembali di permukaan bumi (As-Sahirah).

Setelah bersumpah, Allah menjelaskan apa yang disaksikan oleh para malaikat tersebut: peristiwa Hari Kiamat. Ayat 6 dan 7 memperkenalkan dua tiupan sangkakala Israfil yang menentukan siklus kehidupan di akhirat.

Makna Rajifah dan Radifah

Ayat 8 dan 9 menggambarkan kondisi psikologis manusia yang menyaksikan kengerian tersebut. Hati mereka, Wajifah (berdebar hebat karena ketakutan), dan mata mereka Khashi'ah (tertunduk hina, tidak berani melihat ke atas karena ketidakberdayaan dan rasa malu atas penolakan mereka di dunia).

Kontrasnya, ayat 10-12 menyinggung kembali ejekan yang sering dilontarkan oleh kaum kafir Quraisy saat Nabi Muhammad ﷺ menyeru mereka kepada kebangkitan. Mereka mempertanyakan dengan nada meremehkan: "Apakah setelah kami menjadi tulang belulang yang hancur luluh (nakhirah), kami akan dikembalikan ke kehidupan yang semula (Al-Hafirah)?". Kata Al-Hafirah merujuk pada keadaan semula, yaitu kehidupan dunia atau permukaan bumi. Ini adalah bentuk pengingkaran yang ekstrem.

Allah menjawab keraguan mereka dengan tegas di ayat 13 dan 14. Kebangkitan bukanlah proses yang rumit bagi-Nya. Itu hanyalah Zajratun Wahidah (sekali bentakan atau tiupan). Begitu tiupan kedua terjadi, mereka seketika berada di As-Sahirah, yaitu padang luas yang putih bersih, tempat berkumpulnya manusia setelah kebangkitan. Ini menunjukkan kecepatan dan kemudahan proses kebangkitan bagi Allah, yang tidak memerlukan waktu, hanya satu kata perintah (kun fa yakun).

Penyampaian yang kontras ini – dari keraguan manusia yang lemah menjadi kemudahan kuasa Allah yang absolut – berfungsi sebagai tamparan keras bagi para penolak kiamat, menegaskan bahwa masalah kebangkitan bukanlah masalah fisika, melainkan masalah kehendak Ilahi.

Model Arsitek Kehancuran: Kisah Firaun (Ayat 15-26)

هَلْ أَتَٰكَ حَدِيثُ مُوسَىٰٓ (١٥) إِذْ نَادَىٰهُ رَبُّهُۥ بِٱلْوَادِ ٱلْمُقَدَّسِ طُوًى (١٦) ٱذْهَبْ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ (١٧) فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ (١٨) وَأَهْدِيَكَ إِلَىٰ رَبِّكَ فَتَخْشَىٰ (١٩) فَأَرَىٰهُ ٱلْآيَةَ ٱلْكُبْرَىٰ (٢٠) فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ (٢١) ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَىٰ (٢٢) فَحَشَرَ فَنَادَىٰ (٢٣) فَقَالَ أَنَا۠ رَبُّكُمُ ٱلْأَعْلَىٰ (٢٤) فَأَخَذَهُ ٱللَّهُ نَكَالَ ٱلْآخِرَةِ وَٱلْأُولَىٰٓ (٢٥) إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّمَن يَخْشَىٰ (٢٦)

15. Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?
16. Ketika Tuhannya memanggilnya di lembah suci, Lembah Thuwa.
17. "Pergilah kepada Firaun; sesungguhnya dia telah melampaui batas."
18. Maka katakanlah (kepadanya), "Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?
19. Dan engkau akan aku tunjukkan kepada Tuhanmu agar engkau takut (kepada-Nya)?"
20. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar.
21. Tetapi Firaun mendustakan dan mendurhakai.
22. Kemudian dia berpaling seraya berusaha keras (menghimpun kekuatan).
23. Lalu dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) dan berseru memanggil.
24. (Seraya) berkata, "Akulah tuhanmu yang paling tinggi."
25. Maka Allah menimpakan kepadanya siksaan di akhirat dan siksaan di dunia.
26. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Allah).

Untuk menenangkan hati Nabi Muhammad ﷺ dan memperingatkan orang-orang Mekah yang menentang, Allah membawakan kisah klasik tentang kesombongan ekstrem: Kisah Nabi Musa melawan Firaun. Pemaparan kisah ini diletakkan tepat setelah deskripsi Kiamat untuk menunjukkan bahwa azab duniawi pun bisa datang dengan cepat kepada mereka yang melampaui batas (طَغَىٰ - thagha).

Allah memanggil Musa di Lembah Suci Thuwa (Ayat 16) dan memerintahkannya untuk pergi kepada Firaun karena Firaun telah melampaui batas, baik dalam kekuasaan, kezaliman, maupun kekafiran. Perintah yang dibawa Musa sangat mulia (Ayat 18-19): ajakan untuk membersihkan diri (tazakkā) dari syirik dan dosa, serta petunjuk menuju Tuhan agar Firaun memiliki rasa takut (khashyā) kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa bahkan kepada tirani terburuk pun, risalah Islam (Tauhid) disampaikan dengan ajakan yang lembut dan tujuan yang murni.

Musa menunjukkan mukjizat agung (Ayat 20), yang secara umum dipahami sebagai tongkat yang menjadi ular besar atau tangan yang bersinar. Namun, Firaun merespons dengan pendustaan dan kedurhakaan (Ayat 21). Tidak hanya menolak, Firaun bahkan berbalik (adbar) dan berusaha keras (yas’ā) untuk menghimpun kekuatan. Puncak dari keangkuhan Firaun terungkap di Ayat 24:

"Akulah tuhanmu yang paling tinggi (Anā Rabbukumul A’lā)."

Deklarasi ini adalah bentuk kesyirikan tertinggi dan puncak dari ketidaksadaran diri Firaun. Klaim Firaun ini bukan hanya mengingkari Allah, tetapi juga mencabut hak Ilahi untuk disembah, mengklaimnya untuk dirinya sendiri. Klaim ini merupakan keangkuhan yang harus dihancurkan total.

Ayat 25 memberikan penutup yang mengerikan: Allah mengambilnya (Firaun) dengan siksaan di akhirat dan siksaan di dunia. Siksaan dunia adalah tenggelam di Laut Merah (seperti yang dijelaskan di surah-surah lain), dan siksaan akhirat adalah azab api neraka yang abadi. Ini adalah pelajaran (Ibrah) yang sempurna bagi setiap orang yang memiliki rasa takut (Ayat 26), menunjukkan bahwa kesombongan tidak akan pernah luput dari hukuman Allah, baik cepat maupun lambat.

Menggali Makna Siksaan Ganda (Nakālal Ākhirati wal Ūlā)

Siksaan ganda yang menimpa Firaun menegaskan prinsip keadilan Ilahi. Siksaan duniawi (tenggelam) adalah pembalasan atas kezalimannya terhadap Bani Israil dan klaim ketuhanannya. Namun, hal yang lebih besar dan abadi adalah siksaan di akhirat. Firaun menjadi prototipe sempurna dari konsekuensi pengingkaran mutlak terhadap risalah kenabian. Kisah ini disajikan kepada kaum kafir Mekah sebagai cermin: jika Firaun, dengan kekuasaannya yang tak terbatas, dapat dihancurkan oleh Allah, apalagi kalian yang jauh lebih lemah?

Penciptaan Langit dan Bumi: Lebih Mudah dari Kebangkitan (Ayat 27-33)

ءَأَنتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ ٱلسَّمَآءُ بَنَىٰهَآ (٢٧) رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّىٰهَا (٢٨) وَأَغْطَشَ لَيْلَهَا وَأَخْرَجَ ضُحَىٰهَا (٢٩) وَٱلْأَرْضَ بَعْدَ ذَٰلِكَ دَحَىٰهَآ (٣٠) أَخْرَجَ مِنْهَا مَآءَهَا وَمَرْعَىٰهَا (٣١) وَٱلْجِبَالَ أَرْسَىٰهَا (٣٢) مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَٰمِكُمْ (٣٣)

27. Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit yang telah dibangun-Nya?
28. Dia telah meninggikan bangunannya (samkaha), lalu menyempurnakannya.
29. Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang-benderang.
30. Dan bumi sesudah itu Dia hamparkan.
31. Dari padanya Dia keluarkan mata airnya, dan tumbuh-tumbuhannya.
32. Dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan teguh.
33. (Semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan ternakmu.

Setelah memberikan peringatan historis melalui Firaun, Surah An-Naziat mengalihkan perhatian kepada bukti-bukti empiris di alam semesta. Allah Swt. menggunakan gaya bahasa retoris yang sangat kuat di Ayat 27: Apakah penciptaan kalian (manusia) lebih sulit, ataukah penciptaan langit? Tentu saja, penciptaan langit yang luas dan sistemnya yang kompleks adalah hal yang jauh lebih besar dan sulit (bagi pandangan manusia).

Argumen di sini adalah: jika Allah mampu menciptakan langit dan bumi yang begitu besar dari ketiadaan, mengapa manusia meragukan kemampuan-Nya untuk menghidupkan kembali sepotong tulang belulang yang telah mati? Ini adalah argumen yang logis dan tidak dapat dibantah (Istidlal bil A’zam ‘ala Al-Ashghar – berdalil dengan yang lebih besar untuk membuktikan yang lebih kecil).

Rincian Keajaiban Kosmos

  1. Langit yang Dibangun (Ayat 28): Allah meninggikan bangunannya (samkaha) dan menyempurnakannya (fā-sawwāhā). Ini menunjukkan kesempurnaan, kekuatan, dan ketiadaan cacat pada konstruksi langit. Ketinggian langit tanpa tiang adalah salah satu mukjizat terbesar.
  2. Siklus Siang dan Malam (Ayat 29): Allah menciptakan siklus yang teratur. Malam dibuat gelap gulita (aghtashā laylahā), ideal untuk istirahat, dan siang dibuat terang benderang (akhraja dhuhāhā), ideal untuk mencari penghidupan. Keteraturan ini adalah tanda bahwa alam semesta diatur oleh Kekuatan Tunggal.
  3. Penghamparan Bumi (Ayat 30-33): Setelah langit, Allah menghamparkan bumi (dahaaha). Kata dahaaha berarti menghamparkan, meratakan, atau menjadikan layak huni. Dari bumi yang dihamparkan itu, Allah mengeluarkan air (mata air dan hujan) dan padang rumput (mar’āhā) untuk makanan. Kemudian, Allah menancapkan gunung-gunung (arsāhā) sebagai pasak atau penstabil bumi, mencegahnya dari guncangan.

Tujuan akhir dari semua penciptaan yang terperinci ini disimpulkan di Ayat 33: "Semua itu untuk kesenanganmu (manusia) dan untuk hewan-hewan ternakmu." Ini adalah penekanan pada kasih sayang dan kemurahan Allah (Rahmat-Nya) yang menyediakan segala kebutuhan makhluk-Nya, sebuah motivasi lebih lanjut untuk berterima kasih dan tunduk kepada-Nya.

Rangkaian ayat ini berfungsi sebagai penutup bagi argumen-argumen tauhid dan kebangkitan. Allah adalah satu-satunya yang mampu mengatur alam semesta dari yang terbesar (langit) hingga yang terkecil (tumbuh-tumbuhan). Oleh karena itu, kemampuan-Nya membangkitkan manusia dari kubur tidak boleh diragukan sama sekali.

Perhitungan Agung: Hari Ketika Petaka Besar Tiba (Ayat 34-41)

فَإِذَا جَآءَتِ ٱلطَّآمَّةُ ٱلْكُبْرَىٰ (٣٤) يَوْمَ يَتَذَكَّرُ ٱلْإِنسَٰنُ مَا سَعَىٰ (٣٥) وَبُرِّزَتِ ٱلْجَحِيمُ لِمَن يَرَىٰ (٣٦) فَأَمَّا مَن طَغَىٰ (٣٧) وَءَاثَرَ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا (٣٨) فَإِنَّ ٱلْجَحِيمَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ (٣٩) وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ (٤٠) فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ (٤١)

34. Maka apabila malapetaka besar (Hari Kiamat) telah datang.
35. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya,
36. dan diperlihatkan dengan jelas neraka Jahim kepada orang yang melihat.
37. Adapun orang yang melampaui batas (thaghā),
38. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
39. maka sesungguhnya neraka Jahimlah tempat tinggalnya (ma’wa).
40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
41. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya (ma’wa).

Setelah membuktikan kekuasaan-Nya melalui penciptaan, surah ini kembali ke fokus utamanya: Hari Penghakiman. Ayat 34 menyebut hari itu sebagai Ath-Thaammatul Kubra (malapetaka terbesar atau bencana yang amat dahsyat). Ini adalah momen klimaks kebangkitan setelah tiupan sangkakala kedua.

Teringatnya Perbuatan dan Pembalasan

Ayat 35 menjelaskan bahwa pada hari itu, manusia akan "teringat akan apa yang telah dikerjakannya" (mā sa'ā). Rasa ingat ini bukan sekadar memori, melainkan kesadaran penuh dan penyesalan mendalam. Tidak ada lagi penolakan, karena segala perbuatan, baik besar maupun kecil, akan disajikan di hadapan mereka. Semua rahasia terungkap.

Ayat 36 menambahkan visualisasi yang menakutkan: Neraka Jahim diperlihatkan dengan jelas (burrizat) bagi mereka yang melihat. Neraka tidak lagi disembunyikan; ia diperlihatkan dalam wujud yang menakutkan, siap menyambut para penghuninya.

Kemudian, surah ini membagi manusia menjadi dua golongan yang sangat kontras, berdasarkan pilihan hidup mereka di dunia:

Golongan Pertama: Pendurhaka dan Pencinta Dunia (Ayat 37-39)

Mereka adalah orang-orang yang:

  1. Melampaui Batas (Thaghā): Seperti Firaun, mereka sombong, melanggar hukum Allah, dan berbuat sewenang-wenang.
  2. Mengutamakan Kehidupan Dunia (Atsarul Hayātad Dunyā): Mereka menjadikan dunia sebagai tujuan akhir, mengorbankan prinsip-prinsip akhirat demi kesenangan sesaat. Mereka lalai dari tujuan penciptaan mereka yang hakiki.
Bagi golongan ini, tempat kembalinya (Ma’wa) adalah Neraka Jahim. Kata Ma’wa (tempat tinggal) menyiratkan keabadian, yaitu tempat tinggal mereka untuk selamanya, sebagai konsekuensi dari pengabaian mereka terhadap akhirat.

Golongan Kedua: Orang yang Takut dan Menahan Hawa Nafsu (Ayat 40-41)

Mereka adalah orang-orang yang:

  1. Takut kepada Kebesaran Tuhannya (Khāfa Maqāma Rabbihī): Mereka memiliki kesadaran akan keagungan Allah dan menyadari bahwa suatu hari mereka akan berdiri di hadapan-Nya untuk dihisab. Rasa takut ini mendorong mereka untuk beramal saleh.
  2. Menahan Diri dari Hawa Nafsu (Nahān Nafsa ‘anil Hawā): Mereka melakukan perjuangan internal (jihad akbar) untuk mengendalikan keinginan dan syahwat yang bertentangan dengan syariat Allah. Mereka memilih ketaatan daripada pemuasan diri.
Bagi golongan mulia ini, tempat kembalinya (Ma’wa) adalah Surga (Al-Jannah). Perbedaan nasib kedua golongan ini adalah hasil logis dari pilihan kehendak bebas manusia di dunia.

Kontras ini menjadi inti dari pesan moral surah: kehidupan di dunia adalah ujian, dan pilihan untuk mengendalikan diri atau melampaui batas menentukan tempat tinggal abadi di akhirat.

Kapan Terjadinya? (Ayat 42-46)

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَىٰهَا (٤٢) فِيمَ أَنتَ مِن ذِكْرَىٰهَآ (٤٣) إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَىٰهَآ (٤٤) إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخْشَىٰهَا (٤٥) كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوٓا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَىٰهَا (٤٦)

42. Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Hari Kiamat, "Kapankah terjadinya?"
43. Untuk apa engkau perlu menyebutkannya (karena waktu itu di luar pengetahuanmu)?
44. Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).
45. Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi orang yang takut kepadanya (Hari Kiamat).
46. Pada hari mereka melihat Kiamat itu, mereka merasa seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan (hanya sebentar) di waktu sore atau pagi hari saja.

Surah ini diakhiri dengan mengatasi pertanyaan skeptis yang sering diajukan oleh kaum kafir kepada Nabi Muhammad ﷺ: kapan Kiamat (As-Saa'ah) akan terjadi? Pertanyaan ini (Ayat 42) bukan didasarkan pada keinginan untuk bersiap-siap, melainkan sebagai bentuk ejekan atau tantangan, karena mereka tidak percaya akan kedatangannya.

Jawaban Al-Qur'an (Ayat 43-44) memberikan dua poin fundamental:

  1. Keterbatasan Pengetahuan Rasul (Ayat 43): Allah menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ tidak memiliki pengetahuan spesifik tentang kapan Kiamat terjadi. Ini adalah pengetahuan yang berada di luar jangkauan makhluk.
  2. Pengetahuan Mutlak Allah (Ayat 44): "Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (Muntahāhā)." Hanya Allah Swt. yang mengetahui waktu pastinya. Ayat ini menetapkan bahwa menentukan waktu Kiamat bukanlah bagian dari misi kenabian.

Maka, apa fungsi Nabi Muhammad ﷺ terkait Kiamat? Ayat 45 menjawab, "Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan (mundzir) bagi orang yang takut kepadanya." Tugas Nabi bukanlah memberikan tanggal, melainkan untuk memberikan peringatan keras kepada mereka yang percaya akan pertanggungjawaban di akhirat (yakni, orang mukmin yang beriman dan takut).

Peringatan ini mencapai puncaknya pada Ayat 46, yang menjelaskan bagaimana waktu akan terasa bagi manusia pada hari mereka melihat Kiamat. Waktu kehidupan di dunia yang panjang dan melelahkan akan terasa sangat singkat, seolah-olah mereka hanya tinggal di bumi selama "sore hari atau pagi hari saja" (asyiyyatan au dhuhāhā). Kontras ekstrem antara keabadian Akhirat dan kefanaan Dunia adalah penutup yang kuat, menekankan bahwa investasi terbesar haruslah untuk kehidupan yang kekal.

Kajian Tematik dan Pengulangan Pesan

Surah An-Naziat adalah masterclass dalam argumentasi persuasif, menggunakan tiga pilar utama untuk menegaskan kebangkitan:

1. Bukti Kekuasaan Ilahi melalui Malaikat dan Sumpah

Lima sumpah di awal surah bukan sekadar pembukaan puitis; ia adalah demonstrasi hirarki kekuasaan kosmik. Para malaikat, yang memiliki kekuatan luar biasa untuk mencabut nyawa dengan kelembutan atau kekerasan, beroperasi di bawah perintah tunggal Allah. Jika Allah mampu mengendalikan kekuatan tak terlihat yang menopang kehidupan dan kematian, maka membangkitkan kembali manusia adalah hal yang sepele bagi-Nya. Pengulangan sumpah (Ayat 1-5) membangun irama ketegangan yang mengarah pada penegasan yang tak terhindarkan tentang Kebangkitan (Ayat 6-7). Analisis linguistik menunjukkan bagaimana penggunaan kata kerja ganda seperti *gharqan*, *nashtan*, dan *sabhān* menguatkan intensitas dan realitas dari fungsi malaikat tersebut.

2. Bukti Sejarah melalui Konsekuensi Keangkuhan (Kisah Firaun)

Kisah Firaun (Ayat 15-26) disajikan sebagai studi kasus keangkuhan. Firaun tidak hanya menolak Tauhid, tetapi juga mengklaim ketuhanan sendiri, mencapai batas tertinggi dari thagha (melampaui batas). Penceritaan kisah ini dalam Surah An-Naziat berfungsi sebagai peringatan langsung kepada kaum Quraisy yang menentang Nabi Muhammad ﷺ. Mereka yang menolak kebangkitan dan mengejek risalah Nabi akan menghadapi nasib yang sama, yaitu siksaan di dunia (seperti yang menimpa Firaun) dan yang abadi di Akhirat (Nakālal Ākhirati wal Ūlā). Pelajaran utamanya adalah bahwa kekuasaan manusia, sekecil atau sebesar apapun, tidak akan pernah bisa menandingi keadilan dan murka Allah.

3. Bukti Kosmologis melalui Penciptaan Alam

Pertanyaan retoris di Ayat 27, "Apakah penciptaan kamu yang lebih hebat ataukah langit?" adalah inti dari argumen ini. Allah menyuruh manusia melihat ke atas dan ke bawah. Langit yang megah, bumi yang terhampar luas, siklus siang dan malam, serta gunung-gunung yang kokoh—semua adalah manifestasi kekuasaan yang tak terbatas. Jika manusia melihat sistem raksasa ini dan mengakui bahwa hanya Allah yang dapat menciptakannya, maka kemampuan Allah untuk menyatukan kembali atom-atom yang hancur menjadi tubuh manusia seharusnya tidak lagi menjadi keraguan. Pemaparan ini bertujuan untuk meruntuhkan keraguan para skeptis dengan menggunakan akal sehat dan observasi terhadap alam semesta yang mereka tempati.

4. Penegasan Tujuan Hidup (Filosofi Takut dan Hawa Nafsu)

Puncak etika Surah An-Naziat terletak pada pemisahan yang tajam antara Ayat 37-39 (golongan celaka) dan Ayat 40-41 (golongan beruntung).

  1. Orang yang celaka didorong oleh mengutamakan dunia (Atharal Hayātad Dunyā), yang merupakan akar dari segala pelanggaran.
  2. Orang yang beruntung didorong oleh takut kepada kebesaran Tuhan (Khāfa Maqāma Rabbihī) dan menahan hawa nafsu (Nahān Nafsa ‘anil Hawā).
Keterkaitan antara ‘takut kepada Tuhan’ dan ‘menahan hawa nafsu’ adalah kunci takwa. Seseorang tidak bisa mencapai takwa tanpa menahan nafsu, dan nafsu hanya bisa ditahan jika ia memiliki kesadaran mendalam akan pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.

Pengulangan kata Ma’wa (tempat tinggal) di Ayat 39 dan 41 memperkuat konsep bahwa hasil dari pilihan hidup adalah permanen. Neraka Jahim atau Surga Al-Jannah adalah tempat tinggal abadi, bukan persinggahan sementara.

5. Hikmah di Balik Ketidaktahuan Waktu Kiamat

Ayat penutup (42-46) mengajarkan dua pelajaran penting. Pertama, keterbatasan pengetahuan manusia mendorong kerendahan hati. Hanya Allah yang mengetahui *Muntahāhā* (kesudahan/waktu puncaknya). Kedua, ketidaktahuan ini adalah motivasi. Jika manusia mengetahui kapan Kiamat tiba, mereka mungkin akan menunda tobat. Karena waktu Kiamat tersembunyi, setiap saat adalah potensi 'saat terakhir', memaksa orang mukmin untuk selalu berada dalam keadaan siap (ihsan). Ayat 46 menutup surah dengan perspektif akhirat yang dingin: seluruh kesenangan duniawi hanyalah sekejap, seperti sore atau pagi hari, menegaskan urgensi untuk beramal.

Secara keseluruhan, Surah An-Naziat menggunakan keindahan bahasa untuk menciptakan dampak psikologis yang kuat. Dari sumpah dahsyat, deskripsi kengerian, pelajaran sejarah yang menyakitkan, hingga bukti-bukti kosmik, surah ini secara berulang dan terstruktur menghancurkan argumentasi para penentang dan menguatkan iman para mukmin. Pesannya adalah: Kebangkitan adalah pasti, pilihan moral Anda menentukan nasib abadi Anda, dan waktu di dunia hanyalah ilusi singkat di hadapan keabadian.

Tadabbur (Refleksi Mendalam) Atas Ayat-Ayat An-Naziat

Setiap bagian dari Surah An-Naziat menawarkan dimensi refleksi yang dalam bagi hati seorang mukmin. Memahami surah ini bukan hanya tentang terjemahan, tetapi tentang internalisasi pesan-pesan universalnya.

Refleksi atas Lima Sumpah (Ayat 1-5)

Sumpah Allah dengan malaikat yang mencabut nyawa mengingatkan kita bahwa kematian bukanlah peristiwa kebetulan atau hasil dari kegagalan organ semata. Kematian adalah sebuah proses yang diatur oleh kekuatan yang tunduk sepenuhnya kepada Allah. Refleksi ini seharusnya menumbuhkan kesadaran diri: kita semua, entah sebagai mukmin atau kafir, pada akhirnya akan menghadapi malaikat pencabut nyawa. Bagaimana ruh kita dicabut—dengan gharqan yang keras atau nashtan yang lembut—adalah konsekuensi langsung dari bagaimana kita menjalani hidup. Jika kita sadar bahwa malaikat bekerja cepat (*As-Sabihat*) dan dengan ketepatan yang luar biasa (*Al-Mudabbirat*), kita seharusnya hidup dengan urgensi yang sama dalam beramal saleh.

Kesadaran akan ketelitian malaikat dalam menjalankan tugas juga harus memupuk iman pada sistem ilahi yang sempurna, di mana tidak ada satu pun detail kehidupan atau kematian yang terlewatkan. Seluruh alam semesta beroperasi dengan tertib untuk menegakkan kehendak Allah.

Refleksi atas Guncangan Kiamat (Ayat 6-14)

Deskripsi Ar-Rajifah dan Ar-Radifah menghilangkan ilusi stabilitas dunia. Semua yang kita anggap kokoh—gunung, bumi, bangunan—akan hancur dalam satu guncangan. Fokus pada Qulūbun Yauma’iżin Wājifah (hati yang sangat takut) mengajak kita merenung: apakah hati kita hari ini dipersiapkan untuk menghadapi kengerian itu, ataukah ia masih dipenuhi dengan kecintaan pada hal-hal fana? Penolakan orang kafir, yang mempertanyakan bagaimana tulang belulang hancur dapat dihidupkan kembali, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita agar tidak menggunakan keterbatasan akal manusia untuk menolak kekuasaan Allah yang tak terbatas. Kebangkitan hanyalah satu Zajrah (bentakan), sebuah bukti kemudahan proses itu bagi Sang Pencipta.

Refleksi atas Kisah Firaun (Ayat 15-26)

Firaun adalah simbol taghā (melampaui batas). Refleksi dari kisah ini adalah introspeksi diri tentang potensi keangkuhan dalam diri kita sendiri. Setiap kali kita menolak kebenaran yang jelas (mendustakan) atau merasa diri lebih unggul dari orang lain (kesombongan), kita meniru sebagian kecil dari kejahatan Firaun. Ajakan Musa kepada Firaun, "Hal laka ilā an tazakkā" (Adakah keinginanmu untuk membersihkan diri?), adalah pertanyaan yang berlaku untuk setiap jiwa. Allah selalu membuka pintu tobat dan penyucian diri, bahkan bagi yang paling zalim. Namun, konsekuensi bagi penolakan yang keras kepala sangatlah berat: Nakālal Ākhirati wal Ūlā. Tidak ada satu pun tindakan kezaliman yang luput dari perhitungan Allah.

Refleksi atas Bukti Penciptaan (Ayat 27-33)

Ayat-ayat penciptaan adalah undangan untuk tadabbur kosmik. Setiap elemen alam semesta—ketinggian langit (*raf’a samkahā*), gelapnya malam, terangnya siang, penghamparan bumi (*dahāhā*), hingga fungsi pasak gunung—adalah tanda (ayat) yang menunjuk pada Keilahian. Refleksi ini seharusnya mengarahkan pada rasa malu: bagaimana mungkin kita meragukan Yang Mahakuasa untuk membangkitkan kita, padahal Dia telah menciptakan seluruh sistem penopang kehidupan yang jauh lebih kompleks? Alam semesta adalah pengingat visual bahwa Allah adalah Al-Khaliq, Sang Pencipta tanpa batas, dan segala yang ada disediakan Matā’an lakum wa li An’āmikum (untuk kesenangan kita dan ternak kita), menuntut syukur yang tiada henti.

Refleksi atas Pembalasan Akhir (Ayat 34-41)

Perbedaan nasib antara penghuni Jahim dan penghuni Jannah diringkas dalam dua kata kunci: Thaghā (melampaui batas) dan Khāfa (takut). Inti dari perjalanan spiritual adalah pertempuran melawan Al-Hawā (hawa nafsu). Seseorang yang berhasil menahan nafsunya (wa nahān nafsa ‘anil hawā) adalah yang paling bijak, karena ia sadar bahwa kesenangan duniawi adalah fana, dan hanya ketakutan kepada Allah yang menghasilkan kebahagiaan abadi. Surah ini memaksa kita memilih sisi mana kita berada: apakah kita akan melampaui batas demi dunia, atau menahan diri demi melihat kebesaran Tuhan di akhirat?

Refleksi atas Waktu (Ayat 42-46)

Ayat terakhir mengajarkan hikmah tentang urgensi. Kita tidak perlu tahu kapan Kiamat tiba. Cukup bagi kita bahwa kita adalah mundzir (pemberi peringatan) dan penerima peringatan. Ketika Kiamat tiba, seluruh rentang waktu kehidupan kita di dunia akan terasa seperti beberapa jam saja (sore atau pagi hari). Realitas singkatnya hidup ini seharusnya menghapus semua alasan untuk menunda tobat dan amal saleh. Waktu adalah komoditas paling berharga, dan Surah An-Naziat mendesak kita untuk menggunakan setiap detik untuk investasi akhirat, sebelum momen Ath-Thaammatul Kubra tiba.

Kesimpulan Sentral Surah An-Naziat

Surah An-Naziat adalah salah satu surah yang paling efektif dalam menyampaikan doktrin dasar Islam di periode Mekah. Surah ini membangun jembatan logis dari yang tak terlihat (malaikat) ke yang terlihat (alam semesta) untuk menegaskan satu fakta tak terbantahkan: Kebangkitan adalah Keniscayaan.

Pesan utama Surah An-Naziat dapat diringkas sebagai berikut:

  1. Kepastian Kebangkitan: Kekuasaan Allah, yang terbukti dalam kontrol-Nya atas malaikat dan penciptaan kosmik, menjamin bahwa Dia mampu dan pasti akan membangkitkan manusia.
  2. Konsekuensi Moral: Nasib abadi manusia ditentukan oleh dua pilihan: mengikuti hawa nafsu dan memilih dunia (berakhir di Jahim), atau takut kepada Allah dan menahan nafsu (berakhir di Jannah).
  3. Pelajaran Sejarah: Keangkuhan dan klaim kebesaran di dunia, seperti yang dilakukan Firaun, akan selalu dihancurkan oleh keadilan Ilahi, baik di dunia maupun di akhirat.
  4. Fokus pada Aksi, Bukan Waktu: Tugas manusia bukanlah mengetahui kapan Hari Kiamat datang, melainkan mempersiapkan diri secara intensif, karena waktu duniawi yang panjang akan terasa sangat singkat di hari penghisaban.

Surah ini, dengan irama yang cepat, ancaman yang kuat, dan visualisasi yang jelas, berfungsi sebagai pukulan spiritual yang membangunkan hati yang lalai, mengarahkan pandangan dari kesenangan duniawi yang sebentar menuju keabadian yang menanti. Ia adalah panggilan untuk hidup dengan kesadaran akan hari akhir, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang berilmu dan takut kepada Tuhannya.

Selesai kajian tafsir Surah An-Naziat, 46 Ayat.

🏠 Kembali ke Homepage