Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang memberikan peringatan paling tegas dan mendalam mengenai hakikat keberadaan, Surah Al-Hadid ayat 20 berdiri tegak sebagai mercusuar kebijaksanaan. Ayat ini bukan sekadar deskripsi, melainkan sebuah proklamasi ilahi yang membongkar tabir ilusi yang seringkali menyelubungi pandangan manusia terhadap kehidupan fana ini. Ia membandingkan hiruk pikuk duniawi dengan serangkaian fase yang sia-sia, kontras dengan kepastian yang menanti di akhirat, baik itu dalam bentuk siksa pedih maupun ampunan dan keridaan Allah yang tiada tara. Pemahaman yang komprehensif terhadap ayat ini merupakan kunci untuk mengarahkan prioritas hidup, mengendalikan nafsu kompetisi material, dan membangun fondasi kehidupan yang berorientasi pada keabadian.
Ayat ini dimulai dengan seruan perintah yang tegas: “I’lamu”, yang berarti “Ketahuilah” atau “Pahamilah dengan sungguh-sungguh”. Ini bukan sekadar ajakan untuk mendengar, melainkan tuntutan untuk memverifikasi dan menyerap kebenaran ini hingga ke inti kesadaran. Seruan ini menunjukkan bahwa hakikat dunia bukanlah sesuatu yang mudah dipahami secara naluriah; ia memerlukan renungan mendalam yang bertentangan dengan dorongan alami manusia untuk terikat pada materi dan kenikmatan instan. Perintah ini berfungsi sebagai landasan epistemologis: sebelum mengambil tindakan dalam hidup, seseorang harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan yang benar tentang arena tempat ia beroperasi. Tanpa pengetahuan ini, setiap upaya dan perjuangan manusia akan diarahkan ke tujuan yang salah, berakhir dengan kekecewaan dan penyesalan abadi. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang menghasilkan tindakan, bukan sekadar informasi intelektual yang kering.
Pentingnya I’lamu terletak pada posisinya sebagai penangkal terhadap godaan utama yang ditawarkan dunia: yaitu janji stabilitas dan kepuasan permanen. Dunia selalu menyajikan dirinya sebagai tujuan akhir, padahal ia hanyalah jembatan. Ketika Allah memulai ayat dengan perintah untuk mengetahui, Dia secara efektif menantang anggapan bahwa apa yang tampak solid dan nyata di hadapan kita memiliki nilai abadi. Inilah titik awal bagi setiap mukmin untuk menerapkan zuhud (sikap tidak terikat secara hati) yang sejati. I’lamu menuntut transformasi mental, mengubah cara kita memandang waktu, aset, dan hubungan. Jika seseorang telah benar-benar 'mengetahui' hakikat fana ini, mustahil baginya untuk mengorbankan keabadian demi sesuatu yang dirangkum dalam lima kata kunci berikutnya yang akan kita bahas.
Ayat 20 secara sistematis memetakan kehidupan manusia di dunia melalui lima tahap atau kategori sifat, seolah-olah menggambarkan perkembangan psikologis dan sosial individu dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Ini adalah analisis sosiologis dan spiritual yang sempurna tentang bagaimana manusia cenderung menghabiskan waktu, energi, dan sumber daya mereka.
Tahap awal, La'ib, merujuk pada permainan. Ini adalah aktivitas yang dilakukan tanpa tujuan yang serius, yang lebih berorientasi pada hiburan murni. Dalam konteks duniawi, La'ib melambangkan masa kanak-kanak atau aktivitas orang dewasa yang dilakukan semata-mata untuk mengalihkan perhatian tanpa menghasilkan manfaat duniawi atau ukhrawi yang substansial. Permainan selalu memiliki permulaan dan akhir yang jelas, dan hasilnya tidak bertahan lama setelah permainan usai. Analogi ini mengajarkan bahwa meskipun kita menghabiskan puluhan tahun di dunia, semua usaha yang tidak diwarnai dengan kesadaran akan Akhirat pada dasarnya hanyalah permainan yang akan terlupakan ketika tirai ditutup, yaitu saat kematian tiba. Manusia seringkali menginvestasikan emosi yang intens pada "permainan" dunia—karir yang kosong, proyek hobi yang sia-sia, atau konflik yang sepele—yang nilainya akan menjadi nol saat perhitungan abadi dimulai. Permainan menciptakan ilusi signifikansi di dalam batas-batasnya sendiri, tetapi tidak memiliki bobot di luar batas tersebut.
Perluasan makna La’ib tidak hanya terbatas pada kegiatan fisik, tetapi juga mencakup permainan pikiran. Ini adalah ketika seseorang menyusun strategi yang rumit, mengumpulkan data yang masif, atau terlibat dalam diskusi yang panjang lebar yang pada akhirnya tidak mengubah nasib spiritualnya sedikit pun. Seluruh konsep peradaban modern yang berpusat pada konsumsi dan hiburan berlebihan dapat dilihat sebagai La’ib dalam skala global. Semuanya dirancang untuk menciptakan kepuasan sesaat yang segera membutuhkan dosis berikutnya. Kedalaman ayat ini terletak pada penegasannya bahwa jika seluruh hidup hanya dihabiskan dalam mode permainan, maka kehidupan itu sendiri telah gagal mencapai tujuan utamanya sebagai ladang ibadah dan persiapan menuju keabadian. Permainan adalah panggung di mana aturan dibuat-buat dan hasilnya tidak permanen.
Mengikuti La'ib, muncul Lahw, yang diterjemahkan sebagai senda gurau atau hiburan yang melalaikan. Jika La'ib adalah tentang bermain, Lahw adalah tentang aktivitas yang mengalihkan perhatian dari hal-hal penting. Lahw lebih berbahaya daripada La'ib karena ia secara aktif menggeser fokus seseorang dari tanggung jawab spiritualnya. Dalam tahapan hidup ini, manusia tidak lagi hanya bermain, tetapi mulai menggunakan waktu dan sumber daya untuk hal-hal yang, meskipun tampak matang atau dewasa, sebenarnya bertujuan untuk menghindar dari refleksi diri dan kewajiban. Ini mencakup segala bentuk hiburan yang membuat hati keras dan melupakan tujuan hakiki penciptaan.
Misalnya, tenggelam dalam berita duniawi yang tidak mengubah tindakan, atau menghabiskan waktu luang untuk gosip dan diskusi yang tidak konstruktif. Lahw adalah saat kita menukarkan waktu berharga yang dapat digunakan untuk ibadah, introspeksi, atau amal saleh, dengan kesenangan sesaat yang bersifat trivial. Transisi dari La'ib ke Lahw seringkali ditandai dengan peningkatan kompleksitas sosial. Manusia mulai mencari hiburan dalam hubungan sosial yang dangkal, pesta pora, atau pengejaran kesenangan indrawi yang dirancang untuk mengisi kekosongan spiritual. Lahw adalah racun pelan yang membuat seseorang merasa sibuk dan puas, padahal secara spiritual mereka mengalami defisit yang parah. Ia menciptakan tirai asap tebal antara individu dan kewajibannya kepada Sang Pencipta. Kehidupan yang didominasi oleh Lahw adalah kehidupan yang menyimpang dari poros utamanya.
Setelah hiburan, manusia memasuki fase ketiga: Zinatun, perhiasan. Fase ini berkaitan dengan penampilan luar, baik pada diri sendiri, lingkungan, maupun kepemilikan. Zinatun adalah kebutuhan untuk membuat diri terlihat baik, terhormat, dan menarik di mata orang lain. Ini adalah tahap di mana fokus bergeser dari sekadar kesenangan batin (seperti pada Lahw) ke validasi sosial melalui penampilan eksternal.
Perhiasan mencakup pakaian mewah, rumah megah, mobil mahal, dan segala upaya untuk memperindah citra publik. Allah tidak mencela keindahan itu sendiri, karena Dia adalah Sumber Keindahan, tetapi Dia mencela keterikatan hati yang berlebihan pada perhiasan tersebut. Keterikatan ini menuntut waktu dan sumber daya yang tak terbatas, dan ironisnya, perhiasan tersebut hanya memiliki nilai selama ia dilihat dan diakui oleh orang lain. Ketika seseorang terperangkap dalam Zinatun, nilainya sebagai manusia ditentukan oleh apa yang ia kenakan dan miliki, bukan oleh kualitas karakternya atau kedalaman imannya. Ini adalah bentuk perbudakan modern, di mana manusia bekerja keras hanya untuk memelihara fasad yang rapuh. Perhiasan duniawi pada akhirnya akan pudar, menjadi kotor, usang, atau tidak relevan, meninggalkan kekecewaan mendalam bagi mereka yang menjadikannya pondasi kebahagiaan. Ini adalah masa di mana citra diri (ego) mulai menyatu dengan kepemilikan material.
Dari perhiasan, melompat ke Tafakhur, yaitu berbangga-bangga atau bermegah-megahan satu sama lain. Fase ini adalah konsekuensi logis dari Zinatun. Setelah memiliki perhiasan, langkah berikutnya dalam psikologi duniawi adalah membandingkan perhiasan tersebut dengan milik orang lain dan mencari superioritas. Tafakhur adalah manifestasi dari ego yang membengkak, di mana kebahagiaan seseorang bergantung pada posisi relatifnya dalam hierarki sosial. Ini adalah kompetisi status yang tiada akhir.
Tafakhur meracuni masyarakat, mengubah interaksi dari kolaborasi menjadi persaingan yang destruktif. Orang mulai mencari pujian, pengakuan, dan rasa hormat yang didasarkan pada hal-hal yang sebenarnya fana. Ini bisa berupa gelar akademik, kedudukan sosial, atau garis keturunan. Ketika masyarakat dikuasai oleh Tafakhur, energi kolektif dialihkan dari peningkatan spiritual atau kontribusi nyata, menuju pertunjukan kekayaan dan kekuasaan yang dangkal. Ini juga merupakan awal dari kezaliman, karena untuk mempertahankan status yang dibanggakan, seseorang mungkin terdorong untuk menindas atau memanfaatkan orang lain. Berbangga-bangga adalah manifestasi dari penyakit hati yang parah, yaitu kesombongan, yang dilahirkan dari keterikatan pada ilusi dunia. Kehidupan yang didominasi oleh Tafakhur adalah perjuangan yang melelahkan untuk selalu berada di atas, sebuah perjuangan yang hanya akan berakhir dengan kepastian kematian yang menyamaratakan semua status.
Puncak dari semua fase duniawi adalah Takaatsur, perlombaan untuk memperbanyak harta (kekayaan) dan anak (keturunan). Ini adalah manifestasi paling akut dari keterikatan dunia, di mana hidup dihabiskan untuk akumulasi, bukan untuk kontribusi atau investasi akhirat. Ini adalah tujuan akhir dari ambisi materialistis.
Perlombaan harta mencakup investasi yang tidak berkesudahan, bisnis yang tiada henti, dan pengejaran kekayaan tanpa batas etika atau spiritual. Perlombaan ini seringkali dibenarkan dengan alasan "masa depan" atau "keamanan," tetapi di baliknya tersembunyi nafsu untuk memiliki lebih banyak daripada yang lain, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Sementara itu, berlomba-lomba memperbanyak anak (dalam konteks tafsir klasik) merujuk pada kebanggaan terhadap banyaknya keturunan atau pendukung, yang dianggap sebagai sumber kekuatan dan keamanan di dunia. Meskipun memiliki anak adalah fitrah dan anugerah, menjadikan mereka sebagai subjek kebanggaan yang melalaikan dari pendidikan agama dan tanggung jawab ukhrawi adalah bentuk Takaatsur yang dicela.
Takaatsur adalah siklus tanpa akhir. Setiap kali seseorang mencapai suatu target kekayaan, target berikutnya segera muncul. Ini adalah perlombaan yang tidak pernah dimenangkan kecuali dengan kematian, sebagaimana difirmankan dalam surah lain (At-Takatsur). Keterlibatan total dalam Takaatsur mengimplikasikan bahwa seseorang telah benar-benar melupakan tujuan utama keberadaannya dan telah menetapkan dunia fana sebagai satu-satunya arena kompetisi yang penting. Seluruh energi, pikiran, dan hati dicurahkan pada upaya yang, menurut perspektif ilahi, hanyalah kesenangan yang menipu.
Setelah merinci lima fase godaan duniawi, Al-Qur'an menyajikan perumpamaan yang luar biasa visual dan puitis untuk menegaskan kefanaan semua hal di atas. Perumpamaan ini adalah tentang hujan yang menumbuhkan tanaman yang subur:
“...seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur berderai.”
Perumpamaan dimulai dengan hujan (ghaits) yang membawa kehidupan. Air hujan menyebabkan vegetasi tumbuh dengan subur, sedemikian rupa sehingga ia mengagumkan, bahkan bagi para petani (al-kuffar – yang dalam konteks ini bisa diartikan sebagai petani karena mereka 'menutup' atau menanam benih di bumi, atau merujuk pada kaum kafir yang hanya terkesan pada aspek materiilnya saja). Kekaguman ini melambangkan fase awal kehidupan dunia: penuh harapan, warna-warni, vitalitas, dan janji akan hasil yang melimpah. Ketika seseorang memulai sebuah proyek, membangun sebuah keluarga, atau mencapai kekayaan, euforia awal ini mirip dengan melihat ladang hijau yang menyejukkan mata.
Fase awal ini sangat menipu. Dunia menyajikan dirinya sebagai keindahan abadi yang takkan pernah pudar, memberikan ilusi bahwa pertumbuhan dan kesuburan ini akan berlangsung selamanya. Inilah yang membuat manusia terlena dan berani berinvestasi hati sepenuhnya pada hal-hal fana, lupa bahwa sumber air (rezeki dan kehidupan) dikendalikan oleh kekuatan di luar kendali mereka, dan bahwa musim selalu berganti.
Namun, segera setelah mencapai puncaknya, proses alami dekomposisi dimulai. Tanaman itu menjadi kering (yahijju) dan warnanya berubah menjadi kuning (mushfarran). Ini adalah transisi yang tak terhindarkan: usia tua, penurunan kesehatan, hilangnya kekayaan, atau runtuhnya status sosial. Semua keindahan yang dulu memikat kini mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Semangat yang dulu berkobar kini meredup, vitalitas telah ditarik, dan perhiasan dunia mulai kehilangan kilau aslinya.
Fase penguningan ini adalah peringatan visual bahwa akhir sudah dekat. Ia berfungsi sebagai metafora untuk penyesalan yang terlambat. Manusia yang sepanjang hidupnya berorientasi pada La’ib dan Takaatsur, kini, saat menghadapi senja hidup, menyaksikan hasil dari investasi mereka mengering. Semua perlombaan status sosial, semua harta yang dibanggakan, dan bahkan kekuatan fisik mereka, mulai menguning dan layu, tidak lagi mampu memberikan kepuasan atau jaminan keamanan yang dijanjikannya dulu. Tahap ini seringkali diwarnai oleh keputusasaan dan pertanyaan eksistensial tentang nilai sejati dari perjuangan hidup mereka.
Fase terakhir dan paling definitif adalah ketika tanaman itu menjadi hancur berderai (hutamam). Ini adalah akhir total, kehancuran fisik dan lenyapnya wujud. Dalam konteks kehidupan manusia, ini adalah kematian dan hancurnya semua kepemilikan. Tubuh kembali ke debu, harta diwariskan atau musnah, dan semua status sosial dihentikan secara permanen.
Poin krusial dari perumpamaan hutamam ini adalah penegasan bahwa tidak ada sisa yang bernilai dari kehidupan dunia selain apa yang telah diinvestasikan untuk Akhirat. Hancur berderai berarti tidak ada yang dapat dipanen atau dibawa. Bagi orang yang beriman, hutamam hanyalah akhir dari sebuah ujian; bagi orang yang sepenuhnya terikat pada dunia, hutamam adalah penutup yang menyakitkan pada sebuah permainan yang mereka anggap nyata, hanya untuk menyadari bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kelelahan. Perumpamaan ini memberikan kepastian matematis: hasil dari kehidupan dunia adalah nol, kecuali amal saleh yang mengubah nilai nol itu menjadi kekayaan abadi.
Ayat 20 kemudian beralih secara tajam dari deskripsi kefanaan dunia ke gambaran kepastian Akhirat, menyajikan dua hasil yang kontras dan final. Tidak ada jalan tengah setelah kehidupan dunia; setiap jiwa akan menghadapi salah satu dari dua takdir abadi.
Pilihan pertama adalah azab yang keras (azabun syadid). Ini adalah nasib bagi mereka yang membiarkan lima fase dunia (permainan, senda gurau, perhiasan, berbangga, dan kompetisi harta) menjadi tujuan utama mereka. Mereka yang menukar petunjuk Allah dengan kesenangan sementara dan yang menolak untuk 'mengetahui' hakikat dunia, akan menghadapi konsekuensi yang bersifat permanen.
Azab yang keras bukan hanya hukuman fisik, tetapi juga penyesalan spiritual yang tak terhingga. Mereka akan menyadari kebodohan abadi mereka dalam mengorbankan kekal demi fana. Konsep azabun syadid adalah penyeimbang spiritual terhadap daya tarik yang kuat dari takaatsur dan zinatun. Jika kenikmatan dunia dirasa sangat memikat, maka Allah mengingatkan bahwa hukuman bagi mereka yang memilih kenikmatan itu secara eksklusif juga sama-sama ekstrem dalam kepedihannya. Peringatan ini berfungsi untuk menanamkan rasa takut (khauf) yang diperlukan agar manusia dapat menahan diri dari godaan yang merusak dan menyesatkan.
Alternatif yang diberikan adalah ampunan dari Allah (maghfirah) dan keridaan-Nya (ridwan). Ini adalah hadiah bagi mereka yang berhasil melewati lima fase dunia dengan kesadaran akan keabadian. Mereka yang menggunakan dunia, bukan diperbudak olehnya, yang menjadikan kekayaan sebagai alat untuk beramal, dan yang memandang anak serta status sebagai amanah, merekalah yang berhak atas karunia ini.
Penyebutan maghfirah (ampunan) mendahului ridwan (keridaan) karena manusia, meskipun berusaha keras, tidak luput dari kesalahan dan kekurangan dalam menjalankan tugas duniawi mereka. Ampunan Allah berfungsi untuk menutupi kekurangan dan dosa tersebut. Namun, hadiah tertinggi, yang melampaui surga itu sendiri, adalah ridwan—keridaan Allah. Keridaan adalah keadaan kebahagiaan tertinggi di mana Sang Pencipta merasa puas dengan hamba-Nya. Ini adalah keamanan, kedamaian, dan kenikmatan abadi yang tidak dapat disamai oleh perhiasan, harta, atau status apa pun di dunia.
Kontras antara azabun syadid dan maghfirah wa ridwan memberikan kejelasan moral yang mutlak: setiap detik di dunia adalah investasi. Pilihan terletak pada individu untuk memutuskan apakah investasi tersebut akan menghasilkan kehancuran yang keras atau keridaan yang abadi. Ayat ini menghilangkan ambiguitas moral tentang tujuan hidup.
Ayat ditutup dengan kalimat penegas yang berfungsi sebagai kesimpulan universal: “Wa ma al-hayatu ad-dunya illa mata'ul ghurur”—"Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."
Kata Mata' berarti barang-barang yang dinikmati untuk sementara waktu. Dunia bukanlah barang yang abadi; ia adalah barang pakai buang. Kenikmatan yang ditawarkan terbatas dalam durasi dan intensitasnya. Setiap kesenangan duniawi mengandung benih kepunahan. Makanan seenak apa pun akan berakhir di perut, pakaian termewah akan usang, dan pujian tertinggi akan dilupakan. Menggenggam dunia seolah-olah ia adalah harta abadi adalah kesalahan fundamental yang coba diperbaiki oleh ayat ini.
Aspek terpenting adalah al-Ghurur, penipuan. Dunia menipu karena ia menjanjikan hal-hal yang tidak mampu ia penuhi: kebahagiaan abadi, keamanan total, dan kepuasan mutlak. Penipuan ini seringkali diorkestrasi oleh hawa nafsu dan bisikan setan yang membisikkan bahwa hari esok akan selalu ada untuk bertaubat, atau bahwa akumulasi material adalah satu-satunya sumber martabat. Kesenangan ini menipu karena ia mengalihkan perhatian dari persiapan untuk perjalanan yang lebih penting, yaitu perjalanan menuju Akhirat.
Penipuan ini sangat halus karena ia menggunakan hal-hal yang sah (seperti harta, keluarga, dan keindahan) sebagai umpan. Dunia tidak menipu dengan keburukan yang jelas, melainkan dengan kebaikan yang dikemas ulang sebagai tujuan akhir, padahal ia hanya alat. Orang yang tertipu adalah mereka yang melihat perhiasan itu sebagai substansi, bukan sekadar refleksi sementara dari cahaya yang segera akan padam.
Pemahaman mendalam terhadap Al-Hadid 20 seharusnya menghasilkan perubahan paradigma radikal dalam cara seorang Muslim menjalani hidup. Ini adalah cetak biru untuk mencapai keseimbangan antara tuntutan duniawi dan persiapan spiritual.
Jika dunia adalah permainan dan senda gurau, maka waktu adalah modal yang tidak dapat diperbarui. Ayat ini menuntut audit yang jujur terhadap alokasi waktu. Berapa banyak jam yang dihabiskan untuk Lahw (hiburan yang melalaikan) versus berapa banyak yang dihabiskan untuk tugas-tugas yang akan menghasilkan Maghfirah wa Ridwan? Ayat ini mengajarkan bahwa aktivitas duniawi harus dilihat melalui prisma akhirah. Bekerja keras untuk mencari rezeki adalah ibadah jika niatnya adalah untuk menghidupi keluarga dan berinfak; namun, jika niatnya adalah Takaatsur semata, maka itu adalah permainan yang sia-sia.
Manusia modern seringkali terjebak dalam siklus kelelahan yang ironis: mereka bekerja tanpa henti untuk membeli waktu luang, yang kemudian dihabiskan dalam Lahw dan La’ib. Kesadaran akan kefanaan dunia memutus siklus ini, membebaskan individu untuk fokus pada kualitas daripada kuantitas kepemilikan. Waktu yang dibebaskan dari perlombaan material harus segera dialihkan untuk pengembangan spiritual, pendidikan diri, dan pelayanan kepada masyarakat.
Ayat 20 menantang definisi kekayaan yang dominan. Kekayaan sejati tidak diukur dengan saldo bank (yang hanya akan menjadi hutamam), tetapi dengan tabungan amal saleh di sisi Allah. Takaatsur bukanlah sumber kebahagiaan, melainkan sumber kecemasan, karena semakin banyak yang dimiliki, semakin besar ketakutan untuk kehilangan.
Kebahagiaan yang dijanjikan dunia adalah ilusi, sedangkan ketenangan yang timbul dari ketaatan adalah nyata. Seorang individu yang memahami ayat ini akan memandang harta sebagai alat (wasilah) untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, bukan sebagai tujuan itu sendiri (ghayah). Mereka tidak akan terintimidasi oleh Tafakhur orang lain, karena mereka tahu bahwa nilai sejati seseorang tidak terletak pada apa yang ia miliki, tetapi pada hubungan batinnya dengan Sang Pencipta.
Inti dari Tafakhur dan Takaatsur adalah ego yang haus pengakuan. Ayat ini adalah seruan untuk mempraktikkan kerendahan hati dan zuhud. Zuhud di sini tidak berarti meninggalkan dunia sama sekali, tetapi meninggalkan keterikatan hati pada dunia. Seseorang dapat memiliki kekayaan, tetapi hatinya tetap terikat pada Allah. Sebaliknya, seseorang bisa saja miskin, tetapi hatinya terikat kuat pada cita-cita materialistis dan iri terhadap harta orang lain.
Penting untuk diingat bahwa kompetisi yang sehat hanya diizinkan dalam urusan kebaikan, sebagaimana firman Allah di tempat lain, "berlomba-lombalah dalam kebaikan." Perlombaan untuk mengumpulkan harta dan status adalah perlombaan menuju kehancuran, sedangkan perlombaan menuju ampunan Allah dan surga adalah perlombaan yang hasilnya pasti memuaskan. Ayat ini menjadi pemisah tegas antara dua jenis kompetisi ini.
Pesan Al-Hadid 20 memperkuat konsep bahwa seluruh kehidupan di bumi adalah sebuah ujian. Lima fase duniawi adalah elemen-elemen ujian tersebut. Allah menciptakan dunia dengan segala daya tariknya untuk menguji siapa di antara manusia yang mampu membedakan antara yang permanen dan yang sementara.
Jika dunia tidak diciptakan dengan zinatun (perhiasan) yang menarik, maka ujian tidak akan efektif. Setan memanfaatkan Mata'ul Ghurur ini untuk menyesatkan manusia. Tugas manusia adalah melihat melampaui keindahan vegetasi yang hijau di awal dan mengingat kepastian penguningan dan kehancuran yang akan datang. Dengan demikian, dunia menjadi laboratorium spiritual, tempat kita melatih kesabaran, syukur, dan keikhlasan.
Kehidupan yang benar-benar Islami adalah kehidupan yang diselaraskan dengan kenyataan abadi. Ia menghargai aset duniawi (kesehatan, kekayaan, keluarga) bukan karena nilai inherennya, tetapi karena potensi mereka sebagai alat ibadah. Seseorang yang menghayati Al-Hadid 20 akan hidup di dunia dengan penuh keseriusan, tidak menganggapnya sebagai permainan, tetapi menganggap setiap tindakan sebagai batu bata untuk membangun rumah abadi di Akhirat. Ini adalah keseriusan yang membuahkan kedamaian, bukan kecemasan, karena ia didasarkan pada kebenaran yang tidak akan pernah pudar, yaitu janji Allah akan ampunan dan keridaan-Nya.
Memahami Al-Hadid ayat 20 adalah memegang peta kehidupan. Peta itu menunjukkan bahwa jalan yang dipenuhi dengan la’ib dan takaatsur berakhir pada jurang penyesalan, sedangkan jalan yang ditempuh dengan kesadaran akan akhirat akan berakhir pada pelukan ampunan dan keridaan Ilahi yang kekal abadi. Oleh karena itu, bagi setiap jiwa yang mencari kebenaran, ayat ini adalah panggilan yang harus disikapi dengan kerendahan hati dan keseriusan maksimal.
Perenungan mendalam terhadap perumpamaan vegetasi juga mengajarkan tentang hukum sebab akibat spiritual. Sama seperti tanaman yang membutuhkan air untuk tumbuh, jiwa membutuhkan ibadah dan dzikir untuk berkembang. Namun, jika pertumbuhan itu hanya untuk tujuan pameran (seperti mengagumkan petani), ia akan layu. Pertumbuhan spiritual haruslah diarahkan pada kualitas batin dan konsistensi, bukan pada hasil luar yang dapat dibanggakan. Siklus dunia adalah siklus yang selalu berputar, selalu memberikan harapan palsu, dan selalu berakhir dengan kekecewaan bagi mereka yang mengandalkannya. Hanya jiwa yang tercerahkan yang menyadari bahwa stabilitas sejati hanya ditemukan di luar perbatasan materi dan waktu.
Pelajaran yang terkandung dalam Surah Al-Hadid [57]: 20 ini merupakan fondasi bagi setiap mukmin untuk membangun integritas moral dan spiritual yang kokoh. Ketika godaan untuk membanding-bandingkan harta, status, atau keturunan (Tafakhur) datang, ayat ini menjadi penyeimbang, mengingatkan bahwa semua itu hanyalah bagian dari permainan yang akan berakhir. Ketika kita merasa lelah dalam pengejaran duniawi yang tak berkesudahan (Takaatsur), ayat ini memberikan jeda paksa untuk bertanya: apakah hasil akhir dari semua ini sepadan dengan risiko kehilangan Ridwan Allah? Jawabannya jelas: dunia ini adalah jebakan visual, sebuah kesenangan yang dirancang untuk menipu, dan hanya mereka yang berpegang teguh pada tali keimanan yang akan lolos dari jeratnya.
Setiap orang memiliki fase-fase kehidupan yang berbeda. Remaja mungkin lebih cenderung pada La’ib, dewasa muda pada Zinatun dan Tafakhur, dan orang tua pada Takaatsur (melalui kekayaan yang terakumulasi atau kebanggaan pada keturunan). Ayat ini tidak membatasi fase-fase ini pada usia tertentu, melainkan pada kecenderungan hati. Bahkan seorang yang tua renta bisa saja masih terperangkap dalam La’ib dunia melalui hobi yang melalaikan, sementara seorang anak muda bisa saja mencapai tingkat kesadaran spiritual yang mengatasi godaan Zinatun. Ujian kefanaan dunia ini bersifat universal dan berkelanjutan sepanjang rentang kehidupan manusia.
Oleh karena itu, kewajiban kita setelah ‘mengetahui’ hakikat ini adalah melakukan migrasi spiritual secara internal. Migrasi ini bukan berarti pindah lokasi fisik, melainkan memindahkan keterikatan hati dari dunia ke Akhirat. Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segalanya, termasuk harta dan anak, adalah manifestasi tertinggi dari pemahaman ayat ini. Pemahaman ini menciptakan kemerdekaan sejati; kemerdekaan dari ketakutan akan kehilangan harta dan kemerdekaan dari kehausan akan validasi sosial yang ditawarkan oleh Tafakhur. Pada akhirnya, semua pergerakan dan diamnya seorang mukmin harus dikendalikan oleh visi yang jelas tentang Azab Syadid dan harapan yang mendalam akan Maghfirah wa Ridwan.
Refleksi mendalam terhadap ayat ini juga membuka pintu menuju sikap kedermawanan dan kemurahan hati. Mengapa seseorang harus menimbun harta (Takaatsur) jika ia tahu bahwa ia akan segera menjadi hutamam? Kebijaksanaan menuntut bahwa aset yang fana ini diinvestasikan ke dalam rekening abadi, yaitu amal saleh, infak, dan sedekah. Kekayaan yang dibagikan adalah satu-satunya kekayaan yang terselamatkan dari kehancuran dunia. Kekayaan yang ditimbun akan menjadi beban di hari perhitungan. Dengan mengubah fokus dari akumulasi (Takaatsur) menjadi kontribusi (Infak), kita secara efektif membalikkan matriks duniawi yang menipu.
Ayat ini juga memberikan penghiburan bagi mereka yang diuji dengan kekurangan materi. Mereka yang miskin, atau yang tidak memiliki kekuatan sosial untuk berbangga (Tafakhur), harus menyadari bahwa mereka justru berada di posisi yang kurang rentan terhadap godaan duniawi yang menghancurkan. Ujian mereka adalah ujian kesabaran dan syukur, yang seringkali lebih ringan dibandingkan ujian yang dialami oleh mereka yang memiliki kekayaan dan kekuasaan, di mana ujian mereka adalah ujian pengelolaan dan pengendalian diri dari kesombongan.
Dalam konteks modern yang sarat dengan media sosial dan budaya konsumerisme, di mana setiap individu didorong untuk memamerkan Zinatun dan terlibat dalam Tafakhur virtual, pesan dari Al-Hadid 20 menjadi lebih mendesak. Platform-platform ini adalah manifestasi paling modern dari permainan dan senda gurau (La'ib wa Lahw), menciptakan ilusi kesuksesan yang sangat rapuh. Mereka yang bijak akan menggunakan alat-alat ini untuk tujuan yang produktif secara spiritual, sementara mereka yang melalaikan akan tenggelam dalam perbandingan dan kecemasan, mengorbankan waktu spiritual mereka demi validasi yang hanya berlangsung beberapa detik sebelum disapu oleh banjir informasi berikutnya.
Sebagai penutup, seluruh konstruksi ayat 20 ini, dari seruan I'lamu hingga kesimpulan Mata'ul Ghurur, adalah sebuah undangan untuk hidup dengan sadar. Ia adalah peringatan bahwa akhir dari ilusi dunia adalah kekecewaan, dan satu-satunya hasil yang pasti dan memuaskan adalah yang telah dipersiapkan untuk hari di mana kita akan kembali kepada-Nya. Pilihlah keridaan Allah (Ridwan) atas kenikmatan yang menipu (Ghurur), dan selaraskanlah setiap langkah di dunia dengan tujuan abadi di Akhirat.
Keseriusan dalam mengamalkan ayat ini menuntut revisi total terhadap motivasi batin. Setiap pagi, ketika seorang hamba bangun, ia harus menyadari bahwa ia baru saja memasuki kembali arena permainan yang disamarkan. Ia harus bersumpah untuk tidak membiarkan dirinya ditipu oleh kilau Zinatun, tidak terganggu oleh kebisingan Lahw, dan tidak tergoda untuk bersaing dalam Takaatsur. Sebaliknya, ia harus mengarahkan energinya pada investasi spiritual yang akan berbuah abadi, yakin bahwa di ujung jalan fana ini menanti salah satu dari dua takdir, dan satu-satunya yang patut dipertaruhkan adalah Maghfirah wa Ridwan.
Hakikat hidup yang sesungguhnya adalah bagaimana kita merespons pengingat abadi ini. Dunia adalah jembatan, dan jembatan tidak dimaksudkan untuk dihuni. Ia dimaksudkan untuk dilewati dengan cepat dan bijaksana. Siapa yang berhenti dan mencoba membangun rumah di atas jembatan yang bergerak, ia akan kehilangan tujuan, membuang sumber daya, dan akhirnya hanyut oleh air bah kefanaan. Sebaliknya, mereka yang berjalan dengan penuh kesadaran dan mata tertuju pada tujuan akhir akan mencapai keselamatan abadi. Ini adalah esensi dari pemahaman Surah Al-Hadid ayat 20, sebuah kebenaran yang harus diukir dalam hati setiap manusia yang mendambakan keselamatan sejati.
Kajian yang berlarut-larut tentang lima aspek duniawi—permainan, senda gurau, perhiasan, berbangga, dan berlomba-lomba—menggarisbawahi betapa mudahnya manusia menyia-nyiakan seluruh hidupnya tanpa disadari. Permainan (La’ib) melambangkan aktivitas yang tidak memiliki hasil serius; senda gurau (Lahw) adalah pengalihan perhatian dari yang esensial; perhiasan (Zinatun) adalah obsesi terhadap penampilan; berbangga (Tafakhur) adalah penyakit hati yang mencari pengakuan dari yang lemah; dan berlomba-lomba (Takaatsur) adalah siklus akumulasi tanpa batas yang mematikan spiritualitas. Masing-masing fase ini mewakili lapisan penjara yang mengurung jiwa dari potensi spiritualnya yang sebenarnya. Melepaskan diri dari rantai-rantai ini adalah jalan menuju kemerdekaan yang dijanjikan oleh keridaan Ilahi.
Ayat ini adalah dakwaan terhadap materialisme murni, yang berpendapat bahwa nilai sesuatu hanya diukur dari kuantitas dan kegunaan fisiknya di dunia ini. Al-Qur'an menawarkan matriks nilai yang berlawanan: semakin fana sesuatu, semakin rendah nilainya; semakin abadi sesuatu, semakin tinggi nilainya. Cinta pada Allah, amal saleh, dan ilmu yang bermanfaat adalah aset yang nilainya meningkat setelah hutamam (kehancuran duniawi) terjadi. Sementara itu, rumah mewah, mobil cepat, dan kekuasaan sementara, nilainya turun drastis menjadi nol saat seseorang menghembuskan napas terakhir. Transaksi yang paling cerdas adalah menukar mata uang yang tidak valid (dunia) dengan mata uang yang diterima secara universal di Akhirat.
Pentingnya perumpamaan vegetasi juga terletak pada aspek universalitasnya. Setiap orang, dari petani hingga raja, memahami siklus pertumbuhan, kejayaan, dan pembusukan. Alam semesta sendiri berfungsi sebagai kitab terbuka yang menegaskan pesan kenabian ini. Musim gugur selalu mengikuti musim semi; usia tua selalu mengikuti masa muda. Tidak ada pengecualian terhadap hukum kefanaan ini. Mereka yang menolak hukum ini, dan hidup seolah-olah musim semi akan abadi, merekalah yang ditipu oleh Ghurur (penipuan) dunia.
Oleh karena itu, kewaspadaan adalah kunci. Kewaspadaan terhadap diri sendiri agar tidak terjebak dalam La’ib yang melalaikan, dan kewaspadaan terhadap masyarakat agar tidak terperangkap dalam spiral Tafakhur yang destruktif. Kehidupan yang berpegang pada ayat ini adalah kehidupan yang terukur, tenang, dan memiliki tujuan yang jelas: untuk melewati jembatan dunia dengan membawa bekal yang paling ringan dan paling berharga, yaitu taqwa dan amal saleh, demi mencapai hadiah utama: ampunan dan keridaan dari Allah Yang Maha Kekal.