Surah An-Naziat, surah ke-79 dalam Al-Qur’an, termasuk dalam kelompok surah Makkiyah. Ia diturunkan pada periode awal kenabian, di saat kaum musyrikin Makkah berada pada puncak penolakan terhadap konsep Hari Kebangkitan. Nama surah ini diambil dari ayat pertamanya, yang merujuk kepada malaikat-malaikat yang mencabut nyawa dengan keras, atau entitas yang menarik sesuatu dengan kuat.
Tema sentral Surah An-Naziat sangat jelas dan tegas: menegaskan kepastian terjadinya Hari Kiamat dan Hari Pembalasan, serta menunjukkan kontras tajam antara nasib orang yang durhaka (melalui kisah Firaun) dan orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya. Surah ini dimulai dengan serangkaian sumpah yang menggetarkan, yang tujuannya adalah membangkitkan kesadaran manusia akan betapa seriusnya proses kematian dan kebangkitan.
Sumpah-sumpah ini bukanlah sekadar retorika, melainkan penekanan ilahi yang menggunakan entitas agung sebagai saksi atas kebenaran janji kebangkitan. Penyelidikan mendalam terhadap Surah An-Naziat akan membawa kita pada pemahaman esensial tentang eksistensi, pertanggungjawaban, dan kekuasaan mutlak Sang Pencipta, serta memberikan kontras antara kemegahan dunia fana dan keabadian akhirat.
Ayat-ayat pembuka ini menawarkan salah satu konstruksi linguistik yang paling kuat dalam Al-Qur’an. Kata benda yang disumpahi (An-Naziat, An-Nashitat, dst.) adalah bentuk jamak feminin, yang sebagian besar ulama tafsir sepakati merujuk pada Malaikat. Sumpah ini berfungsi untuk menghilangkan keraguan tentang peristiwa yang akan datang (Kebangkitan) dengan bersaksi atas kekuatan kosmik yang telah diatur oleh Allah.
Kata Naz’ berarti mencabut atau menarik. Gharqan menunjukkan penarikan yang sangat dalam atau kuat, seperti orang yang tenggelam. Tafsir populer merujuk pada malaikat maut yang mencabut nyawa orang-orang kafir atau durhaka dengan sangat sulit, menyakitkan, dan keras. Proses ini menunjukkan betapa besar penolakan ruh orang kafir untuk meninggalkan jasadnya, atau betapa beratnya hukuman awal yang mereka terima saat kematian.
Nashth berarti menarik atau melepaskan dengan mudah, seperti melepaskan ikatan. Ini adalah kontras langsung dengan gharqa. Ayat ini menggambarkan malaikat maut yang mencabut nyawa orang-orang beriman dengan mudah, tenang, dan lembut. Ruh mereka keluar seolah-olah dilepaskan dari ikatan yang ringan. Kontras ini adalah penegasan pertama dalam surah ini tentang adanya pembalasan yang berbeda bahkan sejak momen kematian.
Perbedaan perlakuan ini menekankan pentingnya pilihan hidup di dunia. Seseorang yang memilih jalan keimanan dan ketakwaan akan diberi kemudahan dalam proses transisi terbesar—kematian—sementara penentang akan menghadapi kesulitan dan kepedihan yang menjadi awal dari siksa yang abadi.
Sabah berarti berenang atau mengalir dengan cepat. Ini merujuk pada gerakan malaikat yang sangat gesit dan cepat dalam melaksanakan perintah Allah di seluruh alam semesta, baik untuk membawa wahyu, mengatur awan, atau melaksanakan tugas lain. Kecepatan dan kelancaran gerakan mereka menandakan kesempurnaan dan keteraturan dalam sistem kosmik ilahi.
Ini mungkin merujuk pada malaikat yang berlomba-lomba dalam melaksanakan perintah, atau malaikat yang mendahului dalam membawa ruh ke tempatnya masing-masing. Ini menekankan sifat kompetitif (dalam kebaikan) dan ketepatan waktu dalam pelaksanaan tugas-tugas ilahi.
Penyebutan ini mencakup semua kelompok malaikat yang bertugas mengatur urusan alam semesta sesuai perintah Allah—termasuk Jibril yang membawa wahyu, Mikail yang mengurus rezeki dan hujan, dan malaikat lain yang mengawasi kehidupan dan kematian. Sumpah ini menegaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan; ia diatur dengan ketepatan oleh kekuatan tak terlihat yang tunduk pada kehendak Tunggal.
Kekuatan sumpah ini terletak pada fakta bahwa entitas-entitas yang disebutkan (Malaikat dan fungsi kosmik mereka) sudah pasti ada dan bekerja. Jika mekanisme pencabutan nyawa dan pengaturan alam semesta seakurat ini, maka janji Kebangkitan pun, yang merupakan bagian dari pengaturan ilahi, adalah suatu kepastian mutlak.
Setelah serangkaian sumpah, surah ini langsung mengalihkan fokus kepada subjek utama: Hari Kebangkitan. Ayat 6 dan 7 merujuk pada dua tiupan Sangkakala (Shaur). Ar-Rajifah adalah tiupan pertama yang menyebabkan guncangan dan kehancuran total di seluruh alam semesta, mematikan segala yang bernyawa. Ar-Radifah adalah tiupan kedua yang segera menyusul, membangkitkan semua makhluk dari kubur.
Penggunaan kata Rajifah (guncangan hebat) menunjukkan bahwa peristiwa Kiamat bukanlah proses perlahan, melainkan peristiwa kosmik yang tiba-tiba dan menghancurkan. Seluruh tatanan yang dikenal manusia akan runtuh. Deskripsi yang ringkas namun kuat ini dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut dan kesadaran bahwa kehidupan di dunia ini memiliki batas akhir yang dramatis.
Ayat ini menggambarkan kondisi psikologis dan fisik para penolak kebenaran saat Kiamat tiba. Wajifah berarti hati yang berdebar-debar hebat karena ketakutan yang mencekam. Ini adalah hati yang di dunia tidak pernah merasa takut kepada Allah, namun di akhirat terpaksa mengakui kekuasaan-Nya. Pandangan mata mereka khashi’ah, yaitu tertunduk hina dan penuh penyesalan. Mereka yang dahulu menatap dunia dengan angkuh kini tidak mampu mengangkat pandangan karena malu dan ngeri.
Ayat 10 hingga 12 mencatat skeptisisme dan ejekan kaum musyrikin Makkah. Mereka menanyakan dengan nada mustahil: "Apakah kami akan dikembalikan ke al-hafirah?" Al-Hafirah secara harfiah berarti "lubang" atau "jalan yang lama" yang sudah dilalui. Ini mengacu pada pengembalian ke kondisi hidup semula, setelah tubuh hancur menjadi tulang belulang yang nakhirah (lapuk dan rapuh).
Penolakan mereka didasarkan pada logika materialistis: bagaimana mungkin materi yang telah terurai sempurna dapat disatukan kembali? Mereka bahkan menganggap kebangkitan itu sebagai "pengembalian yang merugikan" (karratun khasirah), menunjukkan bahwa jika kebangkitan benar terjadi, itu hanya akan membawa mereka pada kebinasaan.
Allah menjawab keraguan mereka dengan sangat singkat dan definitif (ayat 13-14). Kebangkitan tidak membutuhkan proses evolusi atau waktu yang lama. Cukup dengan satu teriakan atau tiupan (zajratun wahidah), seketika itu juga mereka akan bangkit di As-Sahirah. As-Sahirah sering ditafsirkan sebagai permukaan bumi yang baru, atau padang Mahsyar, di mana semua manusia akan dikumpulkan. Ayat ini menghilangkan semua perdebatan tentang mekanisme kebangkitan; itu terjadi semata-mata karena kehendak dan kekuasaan Allah.
Pernyataan mereka bahwa kebangkitan adalah "kerugian" mengungkapkan kedangkalan pandangan hidup mereka. Mereka hanya melihat rugi untung berdasarkan keuntungan duniawi. Bagi mereka, kembali hidup hanya berarti menghadapi pertanggungjawaban atas dosa-dosa yang mereka nikmati di dunia. Ini adalah cerminan dari hati yang sepenuhnya terikat pada kesenangan fana dan menolak konsep tanggung jawab moral yang abadi. Surah ini memaksa pembaca untuk merenungkan: apakah hidup kita saat ini sedang mempersiapkan "keuntungan" atau "kerugian" di hari pertemuan nanti?
Setelah menegaskan kepastian Kebangkitan, surah ini memberikan ilustrasi sejarah paling kuat tentang apa yang terjadi pada orang yang menolak panggilan ilahi dan menganggap dirinya maha kuasa: kisah Nabi Musa (Moses) dan Firaun (Pharaoh).
Kisah ini disajikan sebagai fakta yang sudah pasti (hal ataka – apakah telah sampai kepadamu?). Ini menunjukkan bahwa kisah tersebut adalah bagian dari tradisi kenabian yang harus diambil pelajarannya. Allah memanggil Musa di Al-Wadi Al-Muqaddas Thuwa—Lembah Suci Thuwa. Kesucian lembah ini menegaskan bahwa misi yang akan diemban Musa adalah tugas suci dan agung, sebuah tugas yang berasal langsung dari sumber kemuliaan.
Perintahnya jelas: "Pergilah kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (thagha)." Kata thaghā (melampaui batas) adalah kunci utama kegagalan Firaun. Ini bukan sekadar durhaka biasa, tetapi keangkuhan yang melampaui batas kemanusiaan, yaitu mengklaim ketuhanan, menindas rakyat, dan menolak kebenaran mutlak.
Meskipun Firaun adalah simbol kedurhakaan, perintah kepada Musa menunjukkan bahwa pintu taubat dan petunjuk tetap terbuka baginya, bahkan bagi penguasa paling tiran sekalipun. Musa diperintahkan untuk mengajukan pertanyaan dengan lembut dan persuasif: "Adakah keinginanmu untuk tazakkā (membersihkan diri)?" Ini adalah tawaran untuk pemurnian spiritual dan moral. Tawaran ini menunjukkan rahmat Allah yang didahulukan sebelum azab.
Tujuan dari pembersihan ini adalah agar Firaun dapat dipimpin kepada Tuhannya, sehingga ia "takut" (fī-takhshā). Rasa takut di sini bukanlah teror fisik semata, tetapi ketakutan yang dilandasi pengetahuan dan pengakuan atas kebesaran Allah (khashyah), yang akan menghasilkan ketaatan dan kebaikan.
Musa menunjukkan al-Ayat al-Kubra (mukjizat terbesar)—kemungkinan tongkat yang menjadi ular raksasa atau mukjizat Tangan Putih. Namun, Firaun tidak hanya mendustakan, ia juga mendurhakai (ayat 21). Sikap ini menunjukkan bahwa penolakannya bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena kesombongan ideologis. Dia tidak mau tunduk pada otoritas lain.
Reaksi Firaun selanjutnya sangat dramatis: ia adbara yas'ā (berpaling dan berusaha keras). Ia mengumpulkan seluruh kekuasaannya (fahasara) dan mengeluarkan klaim kekuasaan yang paling ekstrem: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi" (ayat 24). Klaim ini adalah puncak dari thughyan. Ini adalah penolakan total terhadap realitas dan kebenaran, sebuah manifestasi dari ego yang membengkak hingga mencapai batas tertinggi kekufuran.
Hukuman Firaun adalah nakal al-akhirah wal-ūlā—hukuman di dunia dan akhirat. Hukuman dunia adalah tenggelamnya dia di Laut Merah, yang mengakhiri kekuasaannya secara instan dan memalukan. Hukuman akhirat adalah siksa neraka yang kekal. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada pelarian dari konsekuensi kesombongan, baik di kehidupan fana maupun abadi.
Ayat 26 adalah kesimpulan moral dari kisah ini. Kisah ini diceritakan bukan sekadar sebagai narasi sejarah, tetapi sebagai ‘ibrah (pelajaran) bagi man yakhshā (orang yang takut kepada Allah). Orang yang takut adalah mereka yang mampu menghubungkan peristiwa masa lalu dengan pertanggungjawaban masa depan. Jika Firaun, dengan segala kekuasaan dan kemegahannya, dihancurkan hanya dalam sekejap, maka manusia biasa pun tidak memiliki alasan untuk sombong dan menolak Kebangkitan.
Pelajaran Firaun adalah peringatan bagi setiap individu yang merasa kebal dari hukum ilahi, baik itu penguasa besar maupun individu yang sombong dalam lingkup kecilnya. Kedurhakaan akan selalu berujung pada kehancuran, dan kehancuran itu menjadi tanda peringatan bagi umat manusia sepanjang zaman.
Setelah mengajukan kasus Kebangkitan (Bagian 2) dan memberikan contoh sejarah (Bagian 3), Surah An-Naziat beralih ke argumen kosmik. Jika manusia meragukan kekuasaan Allah untuk membangkitkan, lihatlah ciptaan yang jauh lebih besar dan lebih kompleks yang telah diciptakan-Nya: langit dan bumi.
Ayat 27 menanyakan pertanyaan retoris yang sangat tajam: "Apakah penciptaan kamu lebih sulit daripada langit?" Jawabannya implisit: Tentu saja tidak. Penciptaan langit, dengan segala ukurannya, kerumitannya, dan kekokohannya (banāhā, rafa’a samkahā), jauh melampaui penciptaan seorang manusia. Jika Allah mampu menciptakan jagat raya yang tak terbatas, maka membangkitkan manusia dari tulang belulang adalah hal yang mudah bagi-Nya.
Surah ini menekankan kesempurnaan penciptaan langit:
Allah kemudian menunjuk pada pengaturan waktu (ayat 29): aghthasha lailahā (menjadikan malam gelap gulita) dan akhraja dhuhāhā (mengeluarkan siangnya terang benderang). Pergantian siang dan malam adalah tanda paling dasar dari keteraturan kosmik yang mengikat kehidupan manusia. Gelapnya malam memberi waktu istirahat, sementara terangnya siang memberi waktu berusaha. Keteraturan ini adalah bukti nyata kekuasaan yang terus menerus bekerja.
Ayat 30 menggunakan kata dahāhā, yang berarti menghamparkan, meluaskan, atau menjadikan bumi layak huni. Ini adalah proses menjadikan bumi yang semula padat dan panas menjadi tempat tinggal yang memiliki atmosfer dan sumber daya alam. Fokus ayat-ayat ini adalah pada penyediaan kebutuhan esensial:
Semua ciptaan agung ini, dari langit yang luas hingga rumput di bumi, disimpulkan dalam satu tujuan: matā’an lakum wa li-an’āmikum (untuk kesenanganmu dan untuk hewan-hewan ternakmu). Ini adalah penekanan bahwa manusia dikelilingi oleh karunia ilahi yang bertujuan untuk menunjang kehidupan dan memberikan kenyamanan. Jika Allah begitu detail dalam mengatur kehidupan dunia, bagaimana mungkin Ia melupakan pertanggungjawaban kehidupan setelahnya?
Argumen kosmik ini adalah jembatan logis. Orang yang merenungkan kekuasaan Allah dalam menciptakan alam semesta tidak akan meragukan kekuasaan-Nya untuk melakukan Kebangkitan. Keraguan muncul hanya dari mereka yang gagal melihat tanda-tanda kebesaran di sekeliling mereka.
Setelah membuktikan kekuasaan-Nya, surah ini kembali ke akhirat, kali ini merinci momen pembalasan akhir dan membagi manusia menjadi dua kelompok yang jelas.
At-Tammah Al-Kubra (Malapetaka Besar) adalah nama lain untuk Hari Kiamat. Ini menunjukkan sifatnya yang melingkupi dan melampaui semua bencana lain yang pernah dikenal manusia. Dalam menghadapi bencana kosmik ini, manusia, terlepas dari apakah mereka percaya atau tidak di dunia, akan dipaksa untuk mengingat segala sesuatu yang telah mereka kerjakan (mā sa’ā). Ingatan di hari itu bersifat sempurna dan tak terbantahkan, berfungsi sebagai buku catatan diri sendiri.
Ayat 36 menyatakan bahwa Neraka Jahim akan burrizat—disediakan dan diperlihatkan secara terang-terangan. Neraka tidak lagi menjadi konsep abstrak atau ancaman yang jauh, melainkan kenyataan yang dapat disaksikan. Pemandangan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kengerian dan kesadaran akan nasib yang akan segera menimpa.
Surah ini kembali menggunakan kata kunci yang sama dengan kisah Firaun: man thaghā (orang yang melampaui batas). Kedurhakaan ini berakar pada satu pilihan fundamental: mengutamakan kehidupan dunia (ātsara al-hayāta ad-dunyā). Mengutamakan dunia berarti menjadikan kesenangan, ambisi, dan kepentingan fana sebagai tujuan tertinggi, mengabaikan hukum ilahi dan tuntutan moral.
Seseorang yang memilih jalan ini telah membuat keputusannya sendiri. Karena ia memilih kelezatan fana, maka tempat kembalinya (al-ma'wā) adalah Jahim—Neraka yang menyala-nyala. Neraka adalah konsekuensi logis dari jiwa yang dipenuhi kotoran duniawi dan tidak mau dibersihkan.
Kontras yang indah ini menyajikan jalan keselamatan. Kriteria untuk keselamatan adalah dua hal yang saling terkait:
Orang yang berhasil dalam dua perjuangan ini—takut kepada Allah dan mengendalikan nafsu—maka al-jannata hiya al-ma'wā (Surga-lah tempat tinggalnya). Surga adalah hasil dari pemurnian diri (tazakkā) yang ditawarkan kepada Firaun namun ditolaknya. Ayat ini menunjukkan bahwa kunci Surga bukan terletak pada kekayaan atau kekuasaan, melainkan pada kualitas batin dan pengendalian diri.
Penting untuk membedakan antara rasa takut biasa dan khashyah yang disebutkan dalam ayat 40. Khashyah adalah rasa takut yang hanya muncul dari pengetahuan mendalam tentang keagungan Allah. Semakin seseorang mengenal Allah, semakin ia menyadari kekurangan dirinya dan kebesaran Pencipta, sehingga ia akan semakin takut untuk melanggar batas-batas-Nya. Rasa takut ini adalah motivator positif yang mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi maksiat, mengubah hidupnya dari duniawi menjadi orientasi abadi.
Surah ini ditutup dengan membahas pertanyaan yang paling sering diajukan oleh orang-orang kafir Makkah kepada Nabi Muhammad: kapan Kiamat akan tiba?
Pertanyaan tentang kapan Hari Kiamat (As-Sā’ah) tiba adalah pertanyaan yang sia-sia dan sering digunakan oleh kaum musyrikin untuk mencemooh Nabi. Allah memberikan jawaban yang tegas: pengetahuan tentang Kiamat adalah misteri yang sepenuhnya berada di sisi-Nya (ilā Rabbika muntahāhā).
Pesan kepada Nabi (dan juga kepada setiap mukmin) di ayat 43 sangat penting: fīma anta min dzikrāhā?—Apa urusanmu dengan penentuan waktunya? Tugas Nabi bukanlah menjadi peramal waktu, melainkan pemberi peringatan (mundzir). Fokus tidak seharusnya pada kapan, tetapi pada persiapan.
Ayat 45 membatasi peran kenabian. Nabi hanyalah mundzir (pemberi peringatan) bagi mereka yang memiliki potensi untuk takut (man yakhshāhā). Peringatan hanya efektif bagi hati yang terbuka dan siap menerima kebenaran; bagi hati yang tertutup seperti Firaun, peringatan tidak berguna.
Penutup surah (ayat 46) memberikan gambaran perspektif waktu di akhirat. Ketika Hari Kiamat benar-benar terjadi, seluruh kehidupan duniawi yang panjang, penuh perjuangan, dan disukai, akan terasa sangat singkat—seperti sore hari atau pagi harinya saja. Metafora ini menekankan bahwa waktu di dunia adalah sangat fana dibandingkan dengan keabadian di akhirat. Semua kesenangan dan penderitaan duniawi akan terhapus oleh singkatnya waktu tersebut.
Bagi orang-orang yang meragukan Kebangkitan, waktu yang terasa sangat singkat ini akan menjadi penyesalan terbesar. Mereka menyia-nyiakan keabadian demi kesenangan sesaat. Bagi orang yang beriman, kesingkatan waktu ini menjadi hiburan, karena semua kesulitan yang mereka hadapi dalam ketaatan akan segera berlalu, dan mereka akan memasuki kehidupan yang kekal.
Surah An-Naziat adalah mahakarya retorika Al-Qur'an dalam menegakkan keimanan terhadap Hari Akhir. Surah ini menggunakan pendekatan yang berlapis dan logis untuk melawan skeptisisme:
Kisah Musa dan Firaun, yang diletakkan di antara argumen Kebangkitan dan argumen Kosmik, berfungsi sebagai jantung moral surah. Firaun gagal dalam dua ujian: ia menolak otoritas ilahi (thaghā) dan ia tidak memiliki khashyah (rasa takut yang berdasar ilmu). Sebaliknya, keselamatan dijanjikan kepada mereka yang mampu mengendalikan hawa nafsu duniawi dan mendahulukan persiapan untuk pertemuan dengan Tuhan.
Surah An-Naziat pada dasarnya adalah panggilan mendesak untuk perubahan perspektif. Peringatan ini menantang pembaca untuk melepaskan diri dari pandangan hidup yang sempit, yang hanya berorientasi pada sore atau pagi hari kehidupan dunia, dan mulai berfokus pada keabadian yang akan segera tiba. Dengan memahami Surah An-Naziat, seorang mukmin diperkuat keyakinannya bahwa hidup di dunia adalah sebuah ujian singkat, dan akhir dari segala urusan akan kembali kepada Allah.
Umat manusia ditantang untuk merenungkan status diri: apakah kita termasuk orang yang sombong seperti Firaun yang menyangka dirinya maha tinggi, ataukah kita adalah orang yang takut kepada Allah dan sibuk menahan diri dari hawa nafsu, demi menyambut tempat kembali yang abadi.
***
Melanjutkan Pendalaman Filosofis dan Teologis An-Naziat:
Konsep khashyah (takut kepada Allah) yang disajikan dalam surah ini bukan sekadar emosi; ia adalah arsitek moralitas. Dalam konteks ayat 40, rasa takut ini berakar pada pemahaman maqām Rabbih (kedudukan Tuhannya). Kedudukan ini mencakup keadilan-Nya, kekuasaan-Nya untuk menghukum, dan kemuliaan-Nya yang tak terbatas. Seseorang yang merasakan khashyah hidup dalam kesadaran konstan bahwa setiap tindakan diawasi dan akan dipertanggungjawabkan. Ini menghasilkan disiplin diri yang jauh lebih efektif daripada hukum atau pengawasan sosial.
Jika kita membandingkan dengan Firaun, kegagalannya adalah karena ia tidak hanya tidak memiliki khashyah, tetapi ia memproyeksikan dirinya sebagai maqām yang paling tinggi ("Aku adalah tuhanmu yang paling tinggi"). Ia menggantikan rasa takut kepada Allah dengan rasa takut yang harus ditanamkan kepada rakyatnya. Inilah paradoks tiran: berusaha menjadi sumber ketakutan tertinggi di dunia, namun menjadi yang paling takut dan hina di Akhirat.
Bagian yang membahas penciptaan langit dan bumi (Ayat 27-33) seringkali hanya dilihat sebagai bukti kekuasaan, padahal ia juga berfungsi sebagai dasar etika. Keteraturan kosmik (pergantian siang-malam, pasak gunung, air yang dipancarkan) adalah karunia yang terus menerus. Ketika manusia mengakui bahwa segala sesuatu di sekelilingnya adalah anugerah yang diatur, maka muncul kewajiban untuk bersyukur dan tidak merusak tatanan tersebut. Melampaui batas (thughyan) adalah tindakan yang merusak, tidak hanya secara moral tetapi juga merusak keseimbangan yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Dengan menghubungkan ciptaan fisik dengan moralitas, Surah An-Naziat menegaskan bahwa kesombongan spiritual akan merusak tatanan fisik kehidupan seseorang.
Ayat 40 menggarisbawahi perjuangan melawan hawa nafsu sebagai prasyarat Surga. Al-Hawā merujuk pada keinginan yang cenderung menjauhkan seseorang dari kebenaran dan keadilan. Dalam masyarakat Makkah saat itu, hawā berwujud cinta harta, kekuasaan, dan penolakan untuk berbagi. Bagi Firaun, hawā-nya adalah ambisi untuk menjadi dewa. Menahan nafsu bukan berarti meniadakan keinginan, tetapi mengarahkannya sesuai panduan ilahi.
Pengendalian hawa nafsu adalah manifestasi praktis dari khashyah. Jika seseorang benar-benar takut kepada kedudukan Tuhannya, ia tidak akan membiarkan keinginan sesaat (yang hanya bernilai "sore atau pagi hari" dunia) merusak keabadiannya. Proses pengendalian diri inilah yang menjadikan seorang hamba layak mendapatkan kedamaian abadi di Surga.
Surah An-Naziat memiliki alur yang bergerak sangat cepat, mencerminkan kecepatan peristiwa Kiamat yang digambarkan dalam ayat 13-14 ("satu kali tiupan saja"). Dimulai dengan sumpah yang cepat, melompat ke sejarah Firaun (sebuah kisah yang selesai dengan cepat—ia melampaui batas, dihukum, selesai), beralih ke kosmos, dan ditutup dengan pengecilan waktu duniawi ("sore atau pagi hari").
Struktur ini berfungsi sebagai perangkat retoris untuk menyampaikan urgensi. Surah ini secara psikologis memaksa pendengar untuk merasakan bahwa Kebangkitan itu sangat dekat dan mendesak. Jeda waktu antara kematian dan kebangkitan akan terasa nihil. Oleh karena itu, persiapan harus dilakukan sekarang, tanpa menunda, karena penundaan adalah ilusi yang ditimbulkan oleh dominasi hawa nafsu duniawi.
***
Kisah Firaun menyediakan landasan anti-tiranisme yang kuat dalam Islam. Firaun adalah contoh ekstrem dari apa yang terjadi ketika kekuasaan duniawi dilepaskan dari kendali spiritual. Ayat-ayat ini memberikan harapan dan peringatan kepada setiap orang yang tertindas (seperti Bani Israil saat itu) bahwa kekuasaan tiran tidak akan pernah abadi. Pada saat yang sama, ia memperingatkan setiap pemimpin agar tidak jatuh ke dalam godaan thughyan, karena akhir mereka akan setragis Firaun, dengan azab di dunia dan akhirat.
Surah An-Naziat menjaga keseimbangan antara menakut-nakuti (tarhib) dengan janji (targib).
Meskipun diturunkan pada abad ke-7, Surah An-Naziat relevan dengan skeptisisme modern. Pertanyaan kaum kafir Makkah, "Bagaimana tulang-belulang yang hancur bisa hidup kembali?", adalah bentuk skeptisisme yang sama yang didasarkan pada fisika materialistis sempit. Jawaban surah ini—yaitu dengan menunjuk pada ciptaan kosmik yang jauh lebih besar dan kompleks (langit dan bumi)—adalah pengingat bahwa hukum alam yang kita ketahui hanyalah sebagian kecil dari kekuasaan Sang Pencipta. Bagi Dzat yang mengatur galaksi dan memancangkan gunung, menyatukan kembali atom hanyalah sebuah "teriakan tunggal" (zajratun wahidah).
Jika Surah An-Naziat harus diringkas dalam satu pelajaran, ia adalah pelajaran tentang prioritas abadi. Dunia adalah tempat yang fana, dan meskipun kita didorong untuk menikmati karunia yang disediakan (Ayat 33), tujuan utama kita harus selalu diarahkan pada maqām Rabbih. Setiap saat yang kita habiskan untuk mengejar hawā adalah pengurangan dari investasi kita untuk keabadian. Kiamat itu pasti, waktunya tidak penting, yang penting adalah kita telah mempersiapkan diri untuk saat itu seolah-olah waktu di dunia hanyalah sekejap mata.
Oleh karena itu, surah ini menuntut refleksi diri yang berkelanjutan: apakah kita hidup sebagai naziat gharqa (yang dicabut dengan keras) karena penolakan total, atau sebagai nashitat nashtha (yang dicabut dengan lembut) karena ketundukan hati yang takut kepada kebesaran-Nya?
***
Dalam ayat 10, kaum musyrikin bertanya, "Apakah sesungguhnya kami akan dikembalikan kepada Al-Hafirah?" (kehidupan semula). Analisis filologis kata ini penting. Al-Hafirah berasal dari kata hafara yang berarti menggali atau mengukir. Beberapa penafsiran menyebutkan bahwa Al-Hafirah adalah jalan lama yang sudah dilalui. Namun, Ibnu Abbas menafsirkan Al-Hafirah sebagai permulaan urusan atau kondisi awal seseorang, yaitu kehidupan yang pernah mereka miliki.
Penolakan mereka berakar pada ironi. Mereka menolak Kebangkitan, namun secara implisit mengakui bahwa hanya kondisi awal (ketika mereka pertama kali diciptakan) yang memungkinkan kehidupan. Mereka meremehkan bahwa Allah, yang mampu menciptakan mereka dari ketiadaan di awal, tidak akan mampu mengembalikan mereka dari tulang-belulang. Klaim ini menunjukkan kontradiksi logika kaum musyrikin yang hanya mengimani penciptaan pertama, tetapi menolak penciptaan kedua yang dianggap mustahil, padahal bagi Allah, keduanya sama mudahnya.
An-Naziat sering dibaca berdekatan dengan Surah An-Naba' (Berita Besar). An-Naba' dimulai dengan pertanyaan: "Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?" Jawabannya adalah tentang Berita Besar (Hari Kebangkitan) yang mereka perselisihkan. Surah An-Naziat memberikan detail dan penegasan atas berita tersebut. An-Naba' memberikan gambaran umum tentang kehancuran alam dan pembalasan, sementara An-Naziat memberikan detail operasional (malaikat, dua tiupan) dan studi kasus (Firaun). Keduanya bekerja sinergis untuk menguatkan tema sentral Makkiyah: Kebangkitan dan Pertanggungjawaban.
Ayat 31 ("Darinya Dia pancarkan mata airnya, dan Dia tumbuhkan tumbuh-tumbuhannya") berfungsi sebagai metafora halus untuk kebangkitan. Allah sering menggunakan proses kebangkitan bumi yang mati setelah hujan sebagai analogi untuk kebangkitan manusia. Bumi, yang mati dan tandus, diberi kehidupan melalui air, dan dari tanah yang sama muncul kembali kehidupan (tanaman). Demikian pula, tubuh manusia yang kembali ke tanah akan dibangkitkan kembali oleh perintah ilahi. Air, yang merupakan sumber kehidupan pertama, juga akan menjadi agen kebangkitan kedua.
Dengan demikian, Surah An-Naziat berdiri sebagai salah satu teks paling padat dan kuat dalam Al-Qur'an, yang secara efektif meruntuhkan argumen skeptisisme dan mendirikan fondasi keimanan yang kokoh, berdasarkan bukti sejarah, kosmik, dan spiritual.
Inti dari surah ini adalah panggilan untuk hidup dalam khashyah, sebuah ketakutan yang akan membebaskan manusia dari perbudakan nafsu dan kesombongan duniawi, memastikan bahwa perjalanan pulang mereka ke sisi Allah akan menjadi perjalanan yang lembut dan penuh rahmat, bukan pencabutan yang keras dan menyakitkan.
Surah An-Naziat adalah penegas kedaulatan Tuhan, dan pengingat abadi bahwa waktu adalah cepat, dan konsekuensi adalah kekal.
***
Setiap ayat dalam Surah An-Naziat adalah pilar yang menopang argumen tentang keesaan (Tauhid) dan Akhirat. Ketaatan terhadap risalah kenabian (yang diwakili oleh Musa) adalah ketaatan terhadap satu-satunya jalan menuju pembersihan diri (tazakkā). Sebaliknya, penolakan dan tughyan (seperti Firaun) adalah tindakan bunuh diri spiritual, yang azabnya dimulai sejak malaikat maut datang dan mencapai puncaknya di Hari Kiamat. Peringatan ini bersifat universal, melintasi zaman dan budaya.