Analisis Mendalam tentang Keseimbangan, Ihsan, dan Pencegahan Kerusakan
Simbol timbangan yang menyeimbangkan unsur Akhirat dan Dunia, mencerminkan perintah utama dalam Surah Al Qasas ayat 77.
Surah Al Qasas, yang berarti "Kisah-Kisah", adalah surah Makkiyah yang diturunkan pada periode awal dakwah Nabi Muhammad SAW. Mayoritas kandungannya berpusat pada kisah Nabi Musa AS, kontras antara kezaliman Firaun dan keadilan Ilahi, serta janji kemenangan bagi kaum yang tertindas. Namun, di tengah-tengah rentetan narasi kenabian yang agung tersebut, Allah SWT menyisipkan sebuah kisah yang sangat penting bagi umat manusia di segala zaman: kisah Qarun.
Kisah Qarun bukan sekadar catatan sejarah tentang seorang individu yang kaya raya. Ia adalah arketipe bagi setiap manusia yang diberikan harta, kekayaan, dan ilmu pengetahuan, namun menggunakannya untuk kesombongan dan penindasan. Qarun, yang awalnya termasuk kaum Musa, disublimasikan oleh harta benda. Ketika dinasihati, ia menjawab dengan pongah bahwa kekayaan itu adalah murni hasil kecerdasannya sendiri, tanpa campur tangan karunia Ilahi.
Ayat 77 dari Surah Al Qasas hadir sebagai klimaks moral setelah Allah menceritakan akhir tragis Qarun yang ditelan bumi bersama seluruh hartanya. Ayat ini berfungsi sebagai nasihat universal, sebuah teguran dan panduan bagi umat Islam agar tidak terperosok ke dalam lubang materialisme buta seperti Qarun. Ayat ini bukan hanya instruksi, tetapi sebuah manifesto filosofis yang menawarkan empat pilar fundamental bagi kehidupan yang seimbang dan bermakna.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qasas: 77)
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita harus membedah empat komponen perintah yang terkandung di dalamnya, masing-masing dimulai dengan kata kerja imperatif yang kuat:
Perintah pertama dalam ayat ini, meskipun Qarun adalah tokoh utama yang diceritakan, ditujukan kepada seluruh umat manusia. "Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat." Penempatan perintah ini di awal adalah indikasi yang jelas mengenai prioritas dalam pandangan hidup Islam.
Perintah mencari akhirat harus dilakukan *dengan* apa yang telah Allah berikan. Qarun keliru karena ia mengira karunia itu miliknya semata. Ayat ini mengingatkan bahwa segala sesuatu – harta, kekuasaan, waktu luang, kesehatan, ilmu, bakat, bahkan kesempatan bernapas – adalah anugerah (*ātāka*) dari Allah. Mencari akhirat berarti menginvestasikan anugerah ini sebagai bekal abadi.
Jika seseorang dianugerahi kekayaan, ia harus menggunakannya untuk membangun masjid, menolong fakir miskin, atau membiayai dakwah. Jika seseorang dianugerahi ilmu, ia harus mengajarkannya dan menggunakannya untuk kebaikan umat. Jika seseorang dianugerahi kekuatan fisik, ia harus menggunakannya untuk membela kebenaran. Akhirat dicari bukan dengan meninggalkan dunia, melainkan dengan mengubah aktivitas dunia menjadi sarana akhirat.
Dalam banyak ayat lain, Allah menggunakan metafora perdagangan. Dunia adalah pasar, dan amal saleh adalah barang dagangan. Mencari akhirat adalah sebuah investasi jangka panjang yang menghasilkan keuntungan tak terbatas (surga). Perintah ini menuntut seorang mukmin memiliki visi transenden. Ia tidak puas dengan keuntungan sesaat; ia selalu berpikir tentang dampak abadi dari setiap tindakannya. Ini menuntut kejujuran intelektual: apakah yang saya lakukan hari ini akan bermanfaat bagi saya ketika saya berdiri di hadapan Tuhan?
Para ulama tafsir menekankan bahwa pencarian akhirat ini harus melalui jalan yang telah ditentukan, yaitu mengikuti syariat. Ia mencakup tiga dimensi utama:
Ketiga dimensi ini harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan (istinbat). Akhirat adalah tujuan utama, poros tempat seluruh roda kehidupan berputar.
Setelah memerintahkan prioritas akhirat, ayat ini segera memberikan penyeimbang yang elegan: "Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi." Ini adalah penolakan tegas terhadap monastisisme dan sufisme ekstrem yang menganggap dunia sebagai penjara yang harus sepenuhnya dihindari.
Kata Nasīb berarti bagian yang ditetapkan atau porsi. Dalam konteks ini, ia merujuk pada hak-hak legitimate seorang manusia di dunia ini:
Ayat ini mengajarkan bahwa spiritualitas yang sejati tidak menuntut penindasan terhadap fitrah manusia. Seseorang yang mengabaikan kesehatannya, menolak kebahagiaan bersama keluarga, atau menjadi beban finansial bagi orang lain dengan dalih zuhud, sesungguhnya telah melanggar salah satu perintah dalam ayat 77 ini.
Konsep *Tawazun* (keseimbangan) adalah esensi dari perintah kedua ini. Ini bukan berarti membagi 50% untuk dunia dan 50% untuk akhirat, melainkan menempatkan dunia sebagai jembatan menuju akhirat.
Imam Mujahid menafsirkan *nasībaka minad-dunyā* sebagai: "Bagianmu di dunia adalah amal yang akan membawamu ke surga." Tafsir ini menegaskan bahwa bahkan bagian duniawi yang kita nikmati pun harus memiliki nilai investasi akhirat.
Namun, penafsiran yang lebih literal yang dipegang oleh banyak ulama kontemporer adalah bahwa manusia berhak menikmati rezeki yang halal dan baik. Kenikmatan duniawi menjadi sarana ibadah. Misalnya, menjaga kesehatan (kenikmatan fisik) memungkinkan seseorang shalat dengan khusyuk; mencari kekayaan halal (kenikmatan material) memungkinkan seseorang menunaikan zakat dan sedekah.
Perbedaan antara Qarun dan mukmin sejati adalah bahwa Qarun menjadikan dunia sebagai tujuan akhir (*ghāyah*), sementara mukmin sejati menjadikannya sebagai sarana (*wasīlah*).
Ayat ini berfungsi sebagai pencegah dua bahaya ekstrem:
Al Qasas 77 mewajibkan keterlibatan aktif dalam dunia sambil mempertahankan prioritas akhirat. Seorang muslim harus menjadi warga negara yang produktif, berinteraksi, dan berinovasi, namun hatinya tetap terikat pada masjid dan pada perhitungan hari akhir.
Pilar ketiga adalah tentang etika sosial dan moralitas transaksional. "Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." Ini adalah perintah untuk Ihsan yang didasarkan pada rasa syukur yang mendalam atas anugerah Ilahi.
Ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam Islam, lebih tinggi dari Islam (kepatuhan) dan Iman (keyakinan). Secara literal, Ihsan berarti "melakukan sesuatu dengan sempurna dan indah." Dalam konteks ayat ini, Ihsan memiliki dua dimensi:
Perintah ini secara eksplisit menghubungkan kebaikan yang kita lakukan kepada sesama dengan kebaikan yang telah Allah curahkan kepada kita. Ini adalah pengingat bahwa kita berbuat baik bukan karena kita kaya atau kita mampu, tetapi karena kita adalah penerima kebaikan tak terbatas dari Sang Pencipta.
Kebaikan yang dilakukan Allah kepada manusia meliputi:
Sebagai balasan dan wujud syukur atas kebaikan-kebaikan ini, kita diperintahkan untuk meniru sifat murah hati dan pemberi. Ini memunculkan konsep-konsep sosiologis dalam Islam:
Dengan menerapkan Ihsan, masyarakat muslim bergerak dari sekadar masyarakat yang taat hukum (adil) menjadi masyarakat yang penuh kasih sayang dan sempurna (muhsinīn).
Pilar penutup dari ayat 77 adalah larangan yang sangat tegas: "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." Larangan ini berfungsi sebagai benteng yang melindungi tiga pilar sebelumnya dari penyalahgunaan. Kerusakan (*Fasād*) adalah kebalikan dari Ihsan dan Tawazun.
Fasād adalah konsep yang sangat luas dalam Al-Qur’an. Secara bahasa, ia berarti hilangnya keseimbangan atau penyimpangan dari kondisi normal yang sehat. Fasād tidak hanya merujuk pada kerusakan fisik (seperti polusi atau pembakaran hutan), tetapi juga kerusakan yang lebih mendasar:
Ayat ini menghubungkan Fasād dengan penyelewengan kekayaan. Ketika seseorang menimbun harta (melupakan hak akhirat), enggan berbagi (melupakan Ihsan), dan hanya mementingkan diri sendiri (melupakan bagian orang lain), maka ia secara otomatis menciptakan Fasād. Kekayaan, yang seharusnya menjadi alat untuk berbuat baik dan mencari akhirat, berubah menjadi sumber kerusakan ketika dipegang oleh hati yang sombong, seperti Qarun.
Prinsip utama larangan Fasād adalah bahwa manusia adalah khalifah di bumi, bukan pemiliknya mutlak. Khalifah memiliki tanggung jawab untuk memelihara, bukan merusak. Fasād adalah pelanggaran terbesar terhadap amanah kekhalifahan ini.
Allah tidak menyukai *Al Mufsidīn* – sebuah penegasan yang membawa konsekuensi serius, karena kebencian Allah pasti diikuti dengan hukuman, baik di dunia maupun di akhirat.
Meskipun diturunkan ribuan tahun yang lalu, Surah Al Qasas 77 menawarkan solusi yang sangat relevan untuk tantangan peradaban modern, khususnya dalam isu globalisasi, krisis lingkungan, dan kesenjangan ekonomi.
Masyarakat modern didominasi oleh ideologi yang sering kali mengabaikan akhirat dan mendewakan konsumsi (kapitalisme konsumtif). Ayat 77 menawarkan kritik terhadap sistem ini: jika dunia dijadikan satu-satunya tujuan, maka Fasād pasti akan terjadi. Krisis mental, depresi, dan hilangnya makna hidup yang marak di negara-negara maju sering kali berakar pada hilangnya prioritas akhirat.
Al Qasas 77 memaksa kita untuk mengukur keberhasilan bukan dari akumulasi kekayaan (seperti Qarun), tetapi dari bagaimana kekayaan dan potensi itu digunakan untuk memberi manfaat dan mencapai Ihsan.
Larangan Fasād di muka bumi telah menjadi landasan bagi etika lingkungan Islam. Di tengah krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, ayat ini mengingatkan bahwa merusak lingkungan adalah dosa besar. Fasād ekologis terjadi ketika manusia melanggar batasan-batasan alam yang telah ditetapkan oleh Allah. Setiap polutan, setiap penebangan liar, setiap pemborosan air, adalah bentuk Fasād yang melanggar prinsip Ihsan kepada alam.
Pilar Ihsan menuntut kita untuk berinteraksi dengan lingkungan secara bertanggung jawab, memandang alam bukan sebagai objek eksploitasi tanpa batas, melainkan sebagai manifestasi kebaikan Allah yang harus dipelihara, sebagaimana Allah telah memelihara kita.
Ayat 77 adalah prinsip dasar ekonomi Islam. Ketika Qarun menolak untuk berbagi kekayaannya, ia melanggar tiga pilar sekaligus: ia melupakan akhirat (karena ia tidak tahu bahwa harta harus diinvestasikan), ia gagal berbuat Ihsan (karena ia sombong), dan ia menciptakan Fasād (karena ketidakadilan ekonomi). Islam tidak melarang kekayaan, tetapi mewajibkan distribusi kekayaan (melalui zakat dan sedekah) sebagai perwujudan Ihsan dan pencegahan Fasād.
Mencari 'bagian dunia' (nasībaka minad-dunyā) harus diiringi dengan kesadaran bahwa kekayaan tersebut harus digunakan untuk mencari 'bagian akhirat' (wabtaghi al-akhirah). Jika mekanisme ini gagal, hasil akhirnya adalah kerusakan sosial yang meluas, persis seperti yang terjadi pada banyak masyarakat yang kaya raya namun tidak adil.
Filosofi Al Qasas 77 bukanlah sekumpulan perintah terpisah, melainkan sebuah sistem terpadu yang menjamin *Falah* (kesuksesan/kemenangan sejati) bagi individu dan komunitas. Keempat pilar ini saling mengunci dan mendukung satu sama lain:
Visi utama memberikan arah dan makna. Tanpa visi akhirat, seluruh aktivitas duniawi akan runtuh menjadi kesia-siaan, dan manusia akan menjadi budak hawa nafsunya.
Perintah untuk menikmati bagian dunia memastikan bahwa manusia tidak meninggalkan medan jihad kehidupan. Dunia adalah ladang amal. Kesehatan, harta, dan waktu adalah modal yang harus dijaga dan dioptimalkan.
Ihsan memastikan bahwa interaksi manusia dengan Allah dan sesama dilakukan dengan kualitas moral tertinggi, didorong oleh rasa syukur. Ihsan mengubah transaksi menjadi ibadah.
Larangan Fasād menetapkan batas etis. Ia memastikan bahwa dalam proses mencari dunia dan akhirat, seseorang tidak melanggar hak orang lain atau merusak keharmonisan alam. Fasād adalah kegagalan total dari tiga pilar lainnya.
Seseorang yang mencari akhirat tetapi melupakan dunia akan menjadi asketik yang tidak produktif. Seseorang yang mencari dunia tetapi melupakan akhirat akan menjadi Qarun. Seseorang yang berhasil menyeimbangkan keduanya tetapi gagal berbuat Ihsan akan menjadi orang yang egois dan kurang kasih sayang. Dan yang paling penting, setiap pelanggaran terhadap tiga pilar pertama pasti akan mengarah pada Fasād di bumi.
Oleh karena itu, Surah Al Qasas ayat 77 adalah kurikulum lengkap bagi seorang muslim yang ingin menjalani kehidupan yang tidak hanya sukses secara material, tetapi juga kaya secara spiritual dan bermanfaat secara sosial. Ayat ini adalah kunci menuju peradaban yang seimbang, adil, dan lestari, sebuah peradaban yang dicintai oleh Allah SWT.
Kesempurnaan hidup terletak pada kemampuan kita untuk meniru kebaikan Allah (Ihsan) melalui karunia yang Dia berikan (Dunia), sambil mempertahankan fokus pada tujuan abadi (Akhirat), dan menghindari segala bentuk kekacauan dan kerusakan (Fasād).
Untuk memahami sepenuhnya bobot ayat 77, kita perlu memeriksa bagaimana empat pilar ini diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari fiqh hingga psikologi.
Perintah 'Wabtaghi al-Akhirah' melahirkan ilmu *Fiqh al-Awlawiyyat* (Fiqh Prioritas). Ini adalah ilmu tentang mendahulukan yang lebih penting dan lebih utama. Dalam konteks ayat 77, prioritas selalu diberikan kepada yang kekal (akhirat) di atas yang fana (dunia). Namun, hal ini tidak berarti mengabaikan kewajiban duniawi, melainkan mengintegrasikannya.
Kegagalan dalam menentukan prioritas ini akan menyebabkan apa yang disebut oleh para ulama sebagai "Fasād al-Niyyah" (kerusakan niat), di mana amal yang terlihat baik di duniawi dilakukan hanya untuk mendapatkan pujian manusia, bukan keridhaan Ilahi.
Penolakan terhadap *ghuluw* (ekstremitas) dalam beragama sangat ditekankan oleh perintah kedua. Sebagian kelompok pada masa lalu cenderung mengadopsi cara hidup para rahib yang meninggalkan pernikahan, mengasingkan diri, dan menolak kepemilikan. Islam menolak cara hidup ini. Nasīb (bagian duniawi) mencakup:
Konsep *nasīb* ini memastikan bahwa umat Islam adalah komunitas yang kuat, sehat, dan terlibat dalam peradaban, bukan komunitas yang mundur dan melarikan diri dari realitas kehidupan sosial dan ekonomi.
Ihsan yang diperintahkan dalam ayat ini melampaui batas-batas komunitas muslim. Ihsan adalah etika universal. Bagaimana ini diterapkan dalam interaksi global?
Ketika umat menerapkan Ihsan ini, mereka menjadi rahmat bagi semesta alam, sesuai dengan tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW.
Pada masa kini, Fasād tidak hanya berbentuk kerusakan fisik, tetapi juga kerusakan yang tak terlihat yang menyerang struktur sosial dan moral.
Ayat 77 mengajarkan bahwa setiap individu memiliki peran dalam mencegah Fasād. Kita bertanggung jawab tidak hanya atas Fasād yang kita lakukan, tetapi juga atas diamnya kita ketika Fasād terjadi di sekitar kita.
Selain implikasi fiqh dan sosiologis, ayat 77 juga menawarkan kerangka psikologis yang kokoh untuk mencapai kedamaian batin dan kesehatan mental.
Kecemasan modern sering kali bersumber dari pertanyaan eksistensial tentang makna hidup. Dengan menempatkan akhirat sebagai tujuan utama (Pilar 1), manusia menemukan makna transenden yang mengatasi kegagalan dan kesuksesan duniawi. Kegagalan di dunia tidak lagi menjadi akhir segalanya, melainkan hanya pengujian di jalan menuju tujuan abadi.
Ayat 77 melatih umat untuk menunda gratifikasi (kesenangan instan). Mencari akhirat memerlukan disiplin, kesabaran, dan pengendalian diri (*zuhud* yang benar). Kesenangan duniawi (nasībaka) dinikmati, tetapi tidak dikultuskan. Pola pikir ini membantu individu melawan kecanduan konsumsi, hutang, dan kenikmatan sesaat, yang semuanya merupakan bentuk Fasād pribadi.
Perintah Ihsan (berbuat baik) adalah obat mujarab untuk banyak penyakit mental. Ketika seseorang fokus pada memberi, membantu, dan menyempurnakan kebaikannya, ia melepaskan diri dari obsesi diri (self-obsession) dan kesombongan (seperti Qarun). Psikologi modern memvalidasi bahwa altruisme dan koneksi sosial yang kuat adalah kunci kebahagiaan sejati. Ihsan adalah altruisme yang diperintahkan secara Ilahi.
Sifat Qarun adalah sifat narsistik dan angkuh, yang menyatakan bahwa "Ini semua adalah hasil usahaku." Ayat 77 melawan sifat ini dengan mengingatkan bahwa segala sesuatu adalah karunia Allah. Pengakuan ini melahirkan kerendahan hati dan rasa syukur, dua pilar utama stabilitas emosional. Manusia yang bersyukur cenderung lebih tahan banting terhadap tekanan dan kegagalan.
Dengan demikian, Surah Al Qasas 77 adalah panduan komprehensif yang tidak hanya mengatur ibadah dan etika sosial, tetapi juga menjamin kesehatan jiwa dan stabilitas psikologis individu dalam menghadapi hiruk pikuk kehidupan dunia.
Penerapan utuh dari ayat ini membentuk individu yang secara lahiriah aktif dan produktif, namun secara batiniah tenang dan terikat pada keridhaan Sang Pencipta. Mereka adalah pribadi yang mencari kekayaan untuk berbagi, mencari ilmu untuk mengajar, dan hidup di dunia untuk membangun jembatan menuju akhirat, menjauhi Fasād dalam setiap tingkatan kehidupan mereka.