Surah Al-Qiyamah, sebuah babak monumental dalam Al-Qur'an, menempati urutan ke-75 dan terdiri dari 40 ayat yang tegas. Surah ini diturunkan di Makkah, pada periode awal kenabian, sebuah fase di mana tantangan utama dakwah adalah menanamkan keyakinan fundamental: tauhid (keesaan Allah) dan Al-Yaumul Akhir (Hari Akhir). Nama surah ini sendiri, yang berarti 'Hari Kebangkitan', secara jelas menggarisbawahi fokus sentralnya—membuktikan realitas tak terbantahkan dari kehidupan setelah kematian dan pertanggungjawaban universal.
Dalam konteks Makkah, kaum musyrikin sering kali meremehkan atau bahkan menertawakan gagasan kebangkitan kembali tulang belulang yang telah hancur menjadi debu. Surah Al-Qiyamah hadir sebagai respons yang lugas, menggunakan gaya bahasa yang dramatis, sumpah yang agung, dan deskripsi yang mencekam tentang saat-saat terakhir kehidupan dunia dan permulaan kehidupan abadi. Surah ini bukan hanya membuktikan kemungkinan kebangkitan, tetapi juga menyingkap sifat dasar manusia, kecenderungan mereka untuk mencintai dunia fana, dan perjuangan batin mereka melawan hati nurani.
Struktur Surah Al-Qiyamah terbagi menjadi tiga bagian utama yang saling berkaitan: pertama, sumpah dan penetapan hari kiamat; kedua, deskripsi rinci tentang peristiwa Kiamat dan Hari Perhitungan, termasuk adab Nabi Muhammad ﷺ dalam menerima wahyu; dan ketiga, argumen penciptaan yang menguatkan kekuasaan Allah untuk menghidupkan kembali manusia dari tiada.
Pembukaan Surah Al-Qiyamah adalah salah satu pembukaan yang paling memukau dan kuat dalam seluruh Al-Qur'an. Allah SWT bersumpah dengan dua entitas yang sangat mendasar bagi eksistensi manusia, sekaligus menguji kesadaran spiritual mereka.
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2)
Terjemah: Aku bersumpah demi Hari Kiamat. Dan Aku bersumpah demi jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).
Sumpah dalam ayat ini mengandung lapisan makna yang mendalam. Frasa ‘لَا أُقْسِمُ’ (La Uqsimu) secara harfiah berarti ‘Aku tidak bersumpah’ atau ‘Aku tidak perlu bersumpah.’ Namun, dalam konteks bahasa Arab yang tinggi, khususnya dalam Al-Qur'an, banyak ulama tafsir (termasuk Al-Qurtubi dan Ath-Thabari) menafsirkannya sebagai bentuk penekanan yang luar biasa. Ini seolah-olah Allah mengatakan: "Meskipun Aku bersumpah demi Hari Kiamat—suatu hal yang sedemikian pasti—sebenarnya kebenarannya sudah terlalu jelas sehingga sumpah itu sendiri menjadi berlebihan, namun Aku tetap melakukannya untuk memperingatkan kalian." Sumpah ini dimaksudkan untuk menggetarkan hati dan pikiran pendengar, memastikan bahwa topik yang akan dibahas bukanlah sesuatu yang main-main.
Sumpah kedua, ‘بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ’ (Bin-Nafs al-Lawwamah), adalah inti filosofis yang brilian. *An-Nafs al-Lawwamah* adalah ‘Jiwa yang Mencela Diri Sendiri’. Ini adalah tingkatan jiwa dalam klasifikasi Qur’ani (setelah *Nafs al-Ammarah* - Jiwa yang Mengajak pada Kejahatan, dan sebelum *Nafs al-Muthmainnah* - Jiwa yang Tenang). Jiwa yang mencela adalah kesadaran moral yang ditanamkan Allah dalam diri setiap manusia, yang merasa bersalah setelah melakukan kesalahan atau kelalaian. Ini adalah rem internal, hati nurani yang terus-menerus mengoreksi dan mengingatkan. Allah bersumpah dengan jiwa ini karena ia merupakan bukti internal bahwa manusia diciptakan dengan kemampuan untuk membedakan kebenaran dan kesalahan—sebuah bukti yang mutlak diperlukan untuk adanya pertanggungjawaban di Hari Kiamat.
Mengapa Allah menggabungkan sumpah Hari Kiamat (eksternal dan universal) dengan Jiwa yang Mencela (internal dan personal)? Keduanya berfungsi sebagai saksi atas kebenaran janji Allah. Kiamat adalah penegasan eksternal bahwa keadilan harus ditegakkan, sementara Jiwa yang Mencela adalah penegasan internal bahwa manusia memiliki kesadaran moral yang menuntut keadilan tersebut. Tidak ada yang bisa lari dari perhitungan, baik dari penilaian eksternal Allah maupun dari pengadilan batin mereka sendiri.
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَلَّن نَّجْمَعَ عِظَامَهُ (3) بَلَىٰ قَادِرِينَ عَلَىٰ أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَهُ (4)
Terjemah: Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.
Ayat 3 mengajukan pertanyaan retoris yang mengejek sikap keraguan kaum kafir Makkah. Mereka berargumen bahwa mustahil tulang-tulang yang telah lapuk bisa dihidupkan kembali. Allah menjawab keraguan ini dengan penegasan yang dramatis pada Ayat 4. Jawabannya adalah *Bala* (Ya, tentu saja), diikuti oleh pernyataan kekuasaan yang luar biasa.
Penegasan bahwa Allah mampu menyusun kembali ‘بَنَانَهُ’ (Banānāhu)—jari-jemarinya—adalah titik fokus yang sangat spesifik dan kuat. Mengapa jari-jemari? Dalam konteks biologi modern, setiap sidik jari manusia adalah unik, bahkan di antara miliaran manusia. Namun, bahkan tanpa pengetahuan tentang sidik jari, struktur jari-jemari adalah bagian tubuh yang paling rumit, detail, dan halus. Jika Allah mampu menciptakan kembali bagian yang paling detail dan rumit dari tubuh manusia hingga ke tingkat jari-jemari, maka mengumpulkan tulang belulang yang lebih besar adalah perkara yang jauh lebih mudah. Ini adalah bukti kekuasaan (Qudrah) Allah yang bersifat mutlak, yang tidak dibatasi oleh logika pemikiran manusiawi.
Pesan utama dari bagian awal ini adalah menghilangkan keraguan. Hari Kiamat adalah kepastian, dan dasar dari kepastian itu terletak pada kesadaran moral manusia (*Nafs al-Lawwamah*) dan Kekuasaan Pencipta (*Qadirun*). Tidak ada alasan yang sah bagi manusia untuk meragukan janji kebangkitan.
Setelah menetapkan kepastian Kebangkitan, Surah Al-Qiyamah beralih untuk menyingkap alasan psikologis di balik penolakan manusia, serta konsekuensi mengerikan dari penolakan tersebut. Keraguan mereka bukan didasarkan pada logika atau bukti, melainkan didorong oleh keinginan untuk hidup tanpa batas pertanggungjawaban.
بَلْ يُرِيدُ الْإِنسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ (5)
Terjemah: Bahkan manusia itu bermaksud hendak berbuat maksiat terus-menerus di hadapannya.
Ayat ini adalah diagnosis psikologis yang mendalam terhadap jiwa yang menolak Hari Akhir. ‘لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ’ (Liyafjura Amamahu) diterjemahkan sebagai ‘berbuat maksiat terus-menerus’ atau ‘membiarkan dirinya bebas berbuat dosa ke depan’. Penolakan terhadap Kiamat bukanlah hasil dari penyelidikan filosofis, melainkan justifikasi yang dicari oleh nafsu. Jika tidak ada hari perhitungan, maka tidak ada batasan moral; manusia merasa bebas untuk memuaskan hasratnya tanpa takut akan konsekuensi abadi. Inilah motif tersembunyi para penentang Kebangkitan: mereka ingin hidup tanpa rasa bersalah yang diwakili oleh *Nafs al-Lawwamah*.
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ (6) فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ (7) وَخَسَفَ الْقَمَرُ (8) وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ (9) يَقُولُ الْإِنسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ (10)
Terjemah: Ia bertanya: "Kapankah Hari Kiamat itu?" Maka apabila mata terbelalak (karena ketakutan), dan bulan pun telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: "Ke mana tempat lari?"
Manusia yang fasik bertanya dengan nada mengejek, "Kapan Hari Kiamat itu?" Ayat-ayat berikutnya memberikan jawabannya—bukan dalam bentuk tanggal, melainkan dalam bentuk deskripsi peristiwa kosmik dan fisik yang mengerikan. Peristiwa yang dijelaskan sangat dramatis:
Saat kengerian ini terjadi, pertanyaan manusia berubah dari ejekan menjadi keputusasaan: ‘Aynal Mafarru’ (Ke mana tempat lari?). Tidak ada benteng, tidak ada kekayaan, tidak ada kekuasaan yang bisa menyelamatkannya dari perhitungan yang akan datang. Deskripsi ini menekankan betapa sia-sianya keraguan mereka selama hidup di dunia.
كَلَّا لَا وَزَرَ (11) إِلَىٰ رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ (12) يُنَبَّأُ الْإِنسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ (13) بَلِ الْإِنسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (14) وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ (15)
Terjemah: Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.
Ayat 11 dengan tegas menjawab pertanyaan tentang tempat lari: ‘Kallā Lā Wazara’ (Sekali-kali tidak, tidak ada tempat berlindung). Satu-satunya tempat yang tersisa adalah ‘Al-Mustaqarru’ (tempat menetap atau kembali) kepada Rabb, Sang Pencipta. Ini menegaskan bahwa otoritas Allah adalah mutlak dan tak terhindarkan. Segala sesuatu yang ada akan kembali kepada sumbernya, yaitu Allah.
Ayat 13 memperkenalkan proses perhitungan. Manusia akan diberitahu tentang 'mā qaddama wa akhkhara' (apa yang telah dikerjakan dan apa yang dilalaikannya). *Qaddama* merujuk pada amal perbuatan baik maupun buruk yang telah dikirimnya ke depan (dilakukan secara aktif), sementara *Akhkhara* merujuk pada jejak buruk yang ditinggalkannya, sunnah yang menyesatkan, atau kewajiban yang diabaikannya (kelalaian pasif).
Puncak dari bagian ini terletak pada Ayat 14: ‘Balil Insānu ‘Alā Nafsihi Baṣīrah’ (Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri). Ini adalah penguatan bagi konsep *Nafs al-Lawwamah*. Pada Hari Kiamat, manusia tidak membutuhkan saksi eksternal, karena hati nurani (basirah) mereka, yang telah mereka coba bungkam di dunia, akan bersuara lantang. Mereka memiliki pandangan tajam (*baṣīrah*) terhadap perbuatan mereka sendiri. Bahkan jika mereka berusaha memberikan 'Ma'ādhīrahu' (alasan-alasan/pembelaan) (Ayat 15), alasan itu akan ditolak karena bukti internal sudah lebih dari cukup. Ini adalah pertanggungjawaban diri yang paling murni dan adil.
Di tengah deskripsi kengerian Kiamat dan pertanggungjawaban, surah ini tiba-tiba menyela dengan instruksi penting yang ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ mengenai cara menerima wahyu dari Jibril.
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)
Terjemah: Janganlah engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Qur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya. Karena itu, apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.
Ayat-ayat ini adalah intervensi ilahi yang menenangkan Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Jibril menyampaikan wahyu, Nabi ﷺ karena semangatnya yang luar biasa, sering tergesa-gesa mengulangi ayat-ayat tersebut sebelum Jibril selesai, khawatir akan lupa. Allah menegaskan bahwa Nabi tidak perlu tergesa-gesa:
Meskipun ayat ini ditujukan secara langsung kepada Nabi, peletakannya di tengah surah tentang Kiamat berfungsi sebagai pengingat universal: Urusan yang paling mendesak bagi manusia adalah Al-Qur'an. Jika Rasulullah, yang paling sempurna di antara manusia, pun membutuhkan perhatian khusus agar tidak tergesa-gesa dalam urusan wahyu, apalagi umatnya. Ketenangan dalam menerima wahyu diperlukan untuk menghadapi kengerian Kiamat yang baru saja dijelaskan.
Setelah interupsi mengenai wahyu, surah kembali ke subjek utamanya, mengkritik sikap manusia yang menjadi penyebab utama mereka mengabaikan Hari Akhir: kecintaan buta terhadap dunia.
كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ (20) وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ (21) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ (22) إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (23) وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ (24) تَظُنُّ أَن يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (25)
Terjemah: Sekali-kali tidak. Bahkan kamu mencintai kehidupan duniawi yang cepat (dunia) dan meninggalkan (kehidupan) akhirat. Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri, memandang kepada Tuhannya. Dan wajah-wajah pada hari itu muram, mereka yakin akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.
Ayat 20 dan 21 menjadi paku penutup diagnosis psikologis. Alasan mereka menolak Kiamat: ‘Tuhibbūnal ‘Ājilah’ (mereka mencintai yang cepat/segera), yaitu dunia, dan ‘Tadzharūnal Ākhirah’ (mereka meninggalkan Akhirat). Dunia disebut sebagai *‘Ājilah* (yang tergesa-gesa, cepat berlalu) untuk menunjukkan sifatnya yang sementara dan tidak bernilai dibandingkan keabadian Akhirat.
Kemudian surah beralih menggambarkan kontras mencolok antara dua kelompok manusia di Hari Kiamat, melalui ekspresi wajah mereka:
(Visualisasi Mizan: Timbangan Keadilan di Hari Perhitungan)
Surah Al-Qiyamah mencapai puncaknya dengan deskripsi yang sangat kuat dan mengharukan tentang momen kematian, saat manusia berpindah dari dunia yang dicintai menuju Akhirat yang mereka abaikan.
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27)
Terjemah: Sekali-kali tidak! Apabila nyawa telah sampai ke tenggorokan (tulang selangka), dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan?"
Ayat ini menggambarkan momen *sakaratul maut* (goncangan kematian). ‘Balaghatit Tarāqī’ berarti nyawa (roh) telah mencapai tulang selangka/tenggorokan, titik di mana roh ditarik keluar dari tubuh. Ini adalah titik tanpa kembali.
Pada momen ini, orang-orang di sekitar atau malaikat dipertanyakan, ‘Man Rāq’ (Siapakah yang dapat menyembuhkan/mengobati?). Pertanyaan ini mencerminkan keputusasaan total. Di dunia, manusia mencari dokter, obat, atau penyembuh. Namun, pada detik ini, semua penyembuh duniawi menjadi tidak berdaya. Pertanyaan retoris ini menekankan bahwa urusan ini kini sepenuhnya di tangan Allah, dan tidak ada lagi yang bisa membalikkan keputusan Ilahi.
وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَىٰ رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30)
Terjemah: Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertautlah betis (kaki kiri) dengan betis (kaki kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu dihalau (manusia).
Pada Ayat 28, manusia yang sekarat menyadari bahwa ‘Al-Firāqu’—perpisahan—telah tiba. Perpisahan ini bukan hanya dengan harta atau keluarga, tetapi perpisahan abadi dengan alam dunia. Semua kecintaan pada *‘Ājilah* (dunia yang cepat berlalu) kini sia-sia.
Ayat 29, ‘Wal Taffatis Sāqu bis Sāq’, adalah gambaran yang sangat puitis dan mencekam tentang kondisi fisik saat kematian. Secara literal berarti ‘betis bertaut dengan betis’. Para mufassir memberikan interpretasi berbeda:
Ayat 30 menyimpulkan perjalanan: ‘Ilā Rabbika Yawma’idzin Al-Masāq’ (Kepada Tuhanmulah pada hari itu dihalau). *Al-Masāq* adalah tempat penggiringan atau penghalauan. Manusia yang tadinya berlari menghindari Kiamat kini digiring menuju perhitungan. Tidak ada pilihan, hanya kepatuhan total kepada kehendak Allah. Kematian adalah pintu gerbang menuju perhitungan yang tak terhindarkan.
Bagian berikutnya secara spesifik mengecam perilaku orang-orang kafir yang menolak Kiamat. Peringatan keras ini menjelaskan mengapa mereka digiring menuju Al-Masāq (tempat penghalauan).
فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّىٰ (31) وَلَٰكِن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ (32)
Terjemah: Maka ia tidak mau membenarkan (Al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat. Tetapi ia mendustakan dan berpaling.
Ayat ini mengidentifikasi dua pilar kegagalan spiritual orang kafir: kegagalan dalam keyakinan (iman) dan kegagalan dalam ibadah (amal). Mereka ‘Lā Ṣaddaqa’ (tidak membenarkan) wahyu atau kebenaran Hari Akhir, dan ‘Lā Ṣallā’ (tidak mengerjakan salat). Salat disebut secara spesifik karena salat adalah tiang agama dan manifestasi nyata dari ketundukan kepada Allah.
Sebagai gantinya, mereka melakukan dua hal yang merusak: ‘Kadzdzaba’ (mendustakan) kebenaran yang datang dari Allah, dan ‘Tawallā’ (berpaling) dari perintah dan dakwah Nabi. Ini adalah gambaran lengkap dari kegagalan spiritual: tidak adanya penerimaan kebenaran di hati, dan tidak adanya praktik ibadah di kehidupan sehari-hari.
ثُمَّ ذَهَبَ إِلَىٰ أَهْلِهِ يَتَمَطَّىٰ (33) أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَىٰ (34) ثُمَّ أَوْلَىٰ لَكَ فَأَوْلَىٰ (35)
Terjemah: Kemudian ia pergi kepada keluarganya dengan berlagak sombong (dengan angkuh). Kecelakaan besarlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaan besarlah bagimu. Kemudian kecelakaan besarlah bagimu dan kecelakaan besarlah bagimu.
Ayat 33 menggambarkan kesombongan mereka. *Yatamaṭṭā* (berlagak sombong) menunjukkan cara berjalan yang angkuh dan congkak di tengah keluarganya, merasa puas dengan penolakan mereka terhadap kebenaran. Sikap ini kontras dengan orang yang takut Kiamat, yang berjalan rendah hati. Orang ini, yang menolak kebenaran dan salat, kembali ke zona nyamannya dengan rasa superioritas yang salah.
Ayat 34 dan 35 adalah ancaman Ilahi yang paling keras dan berulang dalam surah ini: ‘Awlā Laka Fa’awlā’ (Celaka bagimu, maka celakalah kamu). Pengulangan yang intens ini (beberapa ulama tafsir menganggap frasa ini diulang empat kali) adalah penekanan dramatis tentang betapa parahnya konsekuensi kesombongan dan penolakan mereka. Ini menunjukkan murka Allah yang meluap atas keangkuhan manusia di hadapan Kebenaran yang nyata.
Sebagai penutup yang logis, surah Al-Qiyamah kembali ke awal—argumen tentang penciptaan dan kebangkitan—menghadirkan bukti yang tidak terbantahkan dari alam penciptaan manusia itu sendiri.
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى (36) أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَىٰ (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّىٰ (38) فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنثَىٰ (39)
Terjemah: Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke rahim)? Kemudian mani itu menjadi segumpal darah (alaqah), lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan.
Ayat 36 mengajukan pertanyaan fundamental: Apakah manusia mengira ‘An Yutrak Suda’ (bahwa ia akan dibiarkan begitu saja/tanpa tujuan)? Konsep *Suda* berarti sia-sia, tanpa tanggung jawab, dan tanpa tujuan akhir. Jika manusia tidak dibangkitkan, seluruh eksistensi ini tidak adil dan tidak berarti.
Ayat 37–39 memberikan bukti balasan yang kuat, mengingatkan manusia akan asal-usulnya yang sederhana dan hina: setetes air mani (*nuṭfah*). Jika Allah mampu mengambil substansi yang paling sederhana, mengubahnya menjadi segumpal darah (*‘alaqah*), kemudian menciptakannya (*khalaqa*), dan menyempurnakannya (*sawwā*), memberinya bentuk, pikiran, jiwa, dan bahkan jenis kelamin (*az-zawjayni*—laki-laki dan perempuan)—apakah masuk akal jika kekuatan yang sama ini tidak mampu mengumpulkan kembali tulang belulang yang telah mati?
Ini adalah argumen *a fortiori* (dari yang kecil ke yang besar). Penciptaan awal, dari ketiadaan dan materi sederhana, jauh lebih kompleks daripada penciptaan kembali (*re-creation*). Siapa yang mampu melakukan yang pertama, pasti mampu melakukan yang kedua.
أَلَيْسَ ذَٰلِكَ بِقَادِرٍ عَلَىٰ أَن يُحْيِيَ الْمَوْتَىٰ (40)
Terjemah: Bukankah (Tuhan) yang berbuat demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang-orang mati?
Ayat penutup ini adalah kesimpulan logis dari seluruh surah, yang disajikan sebagai pertanyaan retoris terakhir: *Alaisa Dzalika Biqādirin ‘Alā An Yuḥyiyal Mawtā?* (Bukankah itu—Dzat yang melakukan semua penciptaan yang kompleks—mampu menghidupkan orang mati?). Jawabannya, yang tersirat dan tak terhindarkan, adalah: Ya, tentu saja. Dengan ini, surah menyelesaikan tugasnya untuk membuktikan kepastian Hari Kebangkitan.
Surah Al-Qiyamah menawarkan lebih dari sekadar deskripsi peristiwa; ia menyajikan pelajaran filosofis dan spiritual yang mendalam mengenai hubungan manusia dengan waktu, kesadaran, dan pertanggungjawaban. Untuk mencapai pemahaman yang komprehensif, kita perlu mendalami tiga konsep tematik utama: Nafs al-Lawwamah, Al-Ajilah vs Al-Akhirah, dan Konsep Basirah.
Sumpah Allah dengan *Nafs al-Lawwamah* (Ayat 2) mengangkat subjek psikologi moral ke tingkat teologis. Ini adalah pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kapasitas intrinsik untuk introspeksi. Jiwa yang Mencela adalah jembatan antara tindakan buruk dan penyesalan. Fungsi utamanya adalah memastikan bahwa setiap manusia, jauh di lubuk hatinya, memiliki saksi internal yang menuntut keadilan. Jika Kiamat tidak ada, maka *Nafs al-Lawwamah* menjadi tidak relevan—ia hanya akan menjadi sumber penderitaan psikologis tanpa makna teologis.
Namun, dengan adanya Hari Kebangkitan, *Nafs al-Lawwamah* menjadi bukti sah bahwa manusia telah diperingatkan. Jika seseorang melakukan dosa dan jiwanya mencela, itu berarti Allah telah memberikan mekanisme peringatan. Dengan bersumpah atas jiwa ini, Allah menekankan bahwa tanggung jawab bukan diletakkan semata-mata pada wahyu eksternal, tetapi juga pada panduan moral yang melekat pada setiap fitrah manusia.
Dalam konteks modern, konsep ini sangat relevan. Walaupun seseorang menolak agama, ia tetap merasakan penyesalan atau rasa malu. Surah ini menjelaskan bahwa rasa penyesalan itu adalah bagian dari rancangan ilahi yang bertujuan untuk mengarahkan manusia kembali kepada kebenaran sebelum terlambat. Di Hari Kiamat, *Nafs al-Lawwamah* akan berubah menjadi *Baṣīrah* yang tajam (Ayat 14), di mana manusia tidak lagi dapat menyangkal perbuatannya, karena saksi utama adalah dirinya sendiri.
Inti dari kritik Surah Al-Qiyamah adalah konflik antara ‘Al-Ājilah’ (dunia yang cepat berlalu) dan ‘Al-Ākhirah’ (kehidupan abadi) (Ayat 20-21). Surah ini menuduh para penentang Kiamat tidak menolak kebangkitan karena bukti logis, tetapi karena mereka terlalu terikat pada kenikmatan yang cepat dan segera yang ditawarkan dunia. Cinta dunia membutakan mereka dari kepastian masa depan.
Penyebutan dunia sebagai ‘Ājilah’ memiliki tujuan linguistik dan didaktik. Kata ini mengandung konotasi tergesa-gesa, sementara Akhirat (*Ākhirah*) berarti yang ‘terakhir’ atau ‘terakhir dan abadi’. Pilihan kata ini menantang hierarki nilai manusia. Apakah mereka akan mengorbankan yang abadi demi yang fana, yang substansial demi yang sekejap? Ini adalah pertanyaan pilihan fundamental yang dihadapi setiap individu. Ketika manusia lebih memilih *Al-Ājilah*, mereka secara sadar atau tidak sadar mencari pembenaran untuk *Liyajfura Amamahu* (berbuat maksiat terus-menerus), karena pertanggungjawaban di Akhirat menjadi ancaman terbesar bagi gaya hidup mereka.
Ayat 31 yang mengecam orang kafir, "ia tidak membenarkan dan tidak salat," menunjukkan betapa pentingnya kedudukan salat. Dari semua praktik ibadah, salat dipilih sebagai tolok ukur amal. Mengapa? Karena salat adalah wujud penundukan fisik dan mental. Ia memaksa manusia untuk menghentikan kecintaan mereka pada dunia sejenak (*Al-Ājilah*) dan fokus pada pertanggungjawaban ilahi (*Al-Ākhirah*). Orang yang menolak salat adalah orang yang secara praktis menolak gagasan tentang perhitungan dan pertanggungjawaban kepada Rabb mereka, sehingga kegagalan dalam salat secara sempurna mencerminkan kegagalan dalam keyakinan (iman).
Surah Al-Qiyamah memiliki dampak spiritual yang sangat kuat. Selain penegasan teologis, surah ini memberikan panduan praktis tentang bagaimana seorang mukmin harus menjalani hidup mereka, dengan kesadaran penuh akan kepastian akhirat.
Pelajaran terpenting dari Surah Al-Qiyamah adalah panggilan untuk memelihara *Nafs al-Lawwamah* dan mengembangkan *Baṣīrah* (pandangan batin yang tajam). Seorang mukmin harus senantiasa melakukan *muhasabah* (introspeksi) karena mereka tahu bahwa pada Hari Kiamat, mereka tidak akan bisa menipu diri sendiri. Hati nurani mereka akan menjadi jaksa penuntut dan saksi utama. Oleh karena itu, tugas spiritual terbesar adalah membersihkan *basirah* dari kerak-kerak dosa duniawi, sehingga ketika Kebangkitan tiba, pengadilan batin sejalan dengan kebenaran mutlak.
Pesan kepada Nabi Muhammad ﷺ mengenai adab menerima wahyu (Ayat 16-19) mengajarkan umat Islam untuk mendekati ilmu dan kebenaran dengan ketenangan dan ketundukan. Tergesa-gesa dalam mencari pengetahuan, apalagi dalam mengamalkannya, dapat menyebabkan kesalahan. Keyakinan bahwa Allah akan menjamin pemahaman (*Bayānahu*) seharusnya memberikan ketenangan batin, membebaskan mukmin dari kecemasan dan mendorong mereka untuk fokus pada kualitas, bukan hanya kuantitas, amal dan ilmu.
Deskripsi dramatis tentang *sakaratul maut* (Ayat 26-30) berfungsi sebagai pencegah yang kuat terhadap keangkuhan dan kecintaan berlebihan pada dunia. Setiap mukmin harus hidup dengan kesadaran bahwa momen *al-firāq* (perpisahan) akan datang tanpa peringatan, di mana semua harta, kekuasaan, dan penyembuh duniawi menjadi sia-sia. Kesadaran ini mendorong urgensi dalam beramal saleh. Setiap waktu yang terbuang adalah waktu yang seharusnya digunakan untuk mengirimkan bekal ke depan (*mā qaddama*) sebelum digiring ke hadapan Rabb (*Al-Masāq*).
Surah Al-Qiyamah, seperti kebanyakan surah Makkiyah, sangat kaya dalam penggunaan bahasa untuk menciptakan dampak emosional dan intelektual yang maksimal. Pemilihan kata dan ritme (fasilah) surah ini memiliki peran kunci dalam menegaskan pesannya.
Mayoritas ayat dalam Surah Al-Qiyamah berakhir dengan suku kata berirama panjang yang sama (misalnya, *Qiyamah*, *Lawwamah*, *Athamah*, *Banānāh*). Penggunaan rima yang konsisten dan dramatis ini menciptakan efek seperti pukulan genderang, menekankan urgensi dan kepastian peristiwa Kiamat. Ritme yang cepat dan tegas ini membuat pendengar tidak mungkin mengabaikan pesan surah.
1. **Baṣīrah (Ayat 14):** Kata ini jauh lebih kuat daripada sekadar ‘penglihatan’ (*naẓar*). *Baṣīrah* berarti penglihatan batin, wawasan, atau hati nurani yang tajam. Dengan menggunakan kata ini, Al-Qur'an menunjukkan bahwa perhitungan Kiamat akan didasarkan pada tingkat kesadaran terdalam manusia, bukan hanya pada tindakan yang terlihat.
2. **Nāḍirah dan Nāẓirah (Ayat 22-23):** Keindahan linguistik terjadi pada perbandingan kedua kata ini. *Nāḍirah* (berseri/bercahaya) merujuk pada kualitas wajah, yang merupakan hasil dari kebahagiaan batin. *Nāẓirah* (memandang) merujuk pada aktivitas visual itu sendiri. Perbedaan satu huruf (Ḍād dan Ẓā) menciptakan efek puitis yang luar biasa, memisahkan sifat fisik dari pengalaman spiritual tertinggi—memandang Dzat Allah.
Surah ini dibangun di atas serangkaian kontras yang tajam:
***
Sebagai kesimpulan, Surah Al-Qiyamah adalah salah satu surah yang paling efektif dalam menanamkan keyakinan akan Hari Kebangkitan. Ia tidak hanya menyajikan bukti-bukti eksternal dari kekuasaan Allah, tetapi juga memaksa manusia untuk menghadapi saksi internal: hati nurani mereka sendiri. Dengan menyentuh asal-usul manusia, momen sakaratul maut, dan nasib abadi di akhirat, surah ini memberikan peringatan yang lengkap dan mendalam. Bagi orang beriman, ia adalah sumber motivasi untuk introspeksi, penundukan diri melalui salat, dan pengabaian terhadap godaan dunia yang cepat berlalu, demi meraih kenikmatan abadi memandang wajah Rabb mereka.