Surah Al Mulk (الملك) adalah surah ke-67 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 30 ayat. Nama Al Mulk sendiri berarti ‘Kerajaan’ atau ‘Kekuasaan’. Surah Makkiyah ini diturunkan di Makkah, fokus utama bahasannya adalah tentang keagungan dan kekuasaan mutlak Allah SWT atas seluruh ciptaan-Nya, serta memberikan peringatan keras mengenai akhirat, siksa neraka, dan janji bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Salah satu keutamaan paling masyhur dari surah ini adalah perannya sebagai pencegah atau pelindung dari azab kubur (sikap kubur). Para ulama menganjurkan umat Islam untuk rutin membaca dan memahami maknanya, terutama sebelum tidur, sebagai bentuk ikhtiar spiritual untuk mendapatkan perlindungan Allah di alam barzakh.
Kajian berikut ini akan membedah secara lengkap setiap ayat dari Surah Al Mulk, menyajikan teks Arab, transliterasi, terjemah, serta tafsir mendalam yang meliputi aspek teologis, hukum alam, dan pelajaran praktis kehidupan.
Tafsir: Pengantar Kekuasaan Absolut
Ayat pembuka ini langsung menegaskan hakikat keberadaan Allah SWT. Kata "Tabaraka" (Mahasuci, Mahatinggi, Penuh Berkah) adalah penekanan atas keagungan yang tidak dapat disandingkan. Dialah Yang di tangan-Nya lah kekuasaan (Al Mulk) itu berada. Ini bukan sekadar kekuasaan politik atau fisik, melainkan kekuasaan mutlak yang mencakup penciptaan, pengaturan, pemeliharaan, dan penentuan segala sesuatu di semesta. Penutup ayat, "wa huwa ‘alā kulli syai'in qadīr" (dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu), merupakan fondasi tauhid yang menjelaskan bahwa tidak ada batasan bagi kemampuan-Nya. Allah memegang kendali penuh atas takdir, rezeki, kehidupan, dan kematian.
Tafsir: Tujuan Penciptaan dan Ujian Amal
Ayat ini adalah inti filosofi kehidupan dalam Islam. Allah menegaskan bahwa Dia tidak hanya menciptakan ‘hidup’ (al-ḥayāt) tetapi juga ‘mati’ (al-maut). Kematian disebutkan terlebih dahulu karena ia adalah pintu menuju kehidupan abadi dan seringkali lebih menakutkan bagi manusia, padahal ia adalah sebuah ciptaan dan keniscayaan. Tujuan dari siklus hidup dan mati ini hanyalah satu: “li yabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā” (untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya). Fokusnya bukanlah pada kuantitas amal, melainkan pada kualitas (ahsan), yang mencakup keikhlasan niat (hanya karena Allah) dan kesesuaian dengan syariat. Meskipun Allah Mahaperkasa (Al-‘Aziz) yang mampu menghukum, Dia juga Maha Pengampun (Al-Gafūr), membuka pintu taubat bagi hamba yang menyadari kesalahannya dalam ujian dunia.
Tafsir: Kesempurnaan Ciptaan Kosmik
Setelah membahas kekuasaan-Nya, Allah mengajak manusia untuk merenungkan ciptaan-Nya, khususnya langit. Frasa “sab‘a samāwātin ṭibāqā” (tujuh langit berlapis-lapis) menunjukkan tatanan kosmik yang terstruktur dan berlapis, sebuah konsep yang hingga kini terus dikaji oleh ilmu pengetahuan. Titik penekanan utama adalah “mā tarā fī khalqir-raḥmāni min tafāwut(in)”, artinya tidak ada ketidakseimbangan, kekurangan, atau cacat sedikit pun dalam ciptaan-Nya. Ini adalah bukti nyata keesaan dan kesempurnaan Sang Pencipta. Allah menantang akal dan mata manusia: lihatlah berulang kali (farji‘il-baṣara), apakah engkau menemukan keretakan (fuṭūr)? Ayat ini menginspirasi ilmu pengetahuan, menuntut observasi, dan menegaskan bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum yang sempurna.
Tafsir: Keterbatasan Akal dalam Menggugat Kesempurnaan
Ayat ini adalah kelanjutan dari tantangan pada ayat sebelumnya. Perintah untuk mengulangi pandangan (karratain—dua kali, yang berarti berkali-kali) menekankan bahwa semakin teliti manusia mengkaji alam semesta, semakin jelas terbukti kesempurnaannya. Hasil dari pengamatan yang berulang adalah: pandangan itu akan kembali dalam keadaan "khāsi'an" (hina, gagal, tidak berhasil) dan "ḥasīr" (payah, letih). Ini menunjukkan bahwa kemampuan akal dan indra manusia terbatas untuk menemukan kelemahan atau cela pada ciptaan Ilahi. Ini adalah sindiran halus kepada mereka yang meragukan kekuasaan Allah; upaya mereka untuk mencari cela hanya akan menghasilkan kepayahan dan pengakuan atas keterbatasan diri sendiri.
Tafsir: Fungsi Ganda Bintang dan Batasan Setan
Ayat ini menyebutkan dua fungsi utama bintang (maṣābīḥ) di langit terdekat (langit dunia):
Tafsir: Pernyataan Konsekuensi Kekafiran
Setelah menunjukkan bukti-bukti kekuasaan dan kesempurnaan-Nya di alam semesta, Allah beralih pada konsekuensi bagi mereka yang menolak bukti-bukti tersebut. Kata ‘kafir’ di sini mencakup penolakan terhadap kebenaran yang dibawa oleh para nabi. Hukuman yang menanti mereka adalah ‘Azab Jahannam’, yang digambarkan sebagai “wa bi’sal-maṣīr”—seburuk-buruknya tempat kembali. Ini adalah kontras yang tajam dengan tatanan kosmik yang sempurna; kekafiran adalah ketidakseimbangan spiritual yang berakhir pada tempat yang penuh penderitaan dan penyesalan abadi. Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bahwa keindahan dunia hanyalah ilusi jika di dalamnya terdapat penolakan terhadap Sang Pencipta.
Tafsir: Deskripsi Suara dan Kegejolakan Neraka
Ayat ini menyajikan gambaran yang sangat mengerikan mengenai neraka Jahannam melalui indra pendengaran. Ketika orang-orang kafir dilemparkan ke dalamnya (ulqū fīhā), mereka mendengar suara “syahīqan”—yaitu suara tarikan nafas yang keras, seperti ringkikan keledai atau suara orang yang kehabisan nafas, sebuah deskripsi yang menunjukkan penderitaan yang luar biasa. Selain itu, neraka tersebut digambarkan sedang “tafūr”—bergejolak, mendidih, atau meluap-luap. Ini adalah visualisasi energi panas yang ekstrem, menegaskan bahwa neraka bukanlah tempat yang statis, melainkan entitas hidup yang dipenuhi kemarahan Ilahi. Kontras antara kemegahan langit yang tenang dan sempurna (ayat 3) dengan kekacauan dan gejolak neraka (ayat 7) menunjukkan dua takdir yang sangat berbeda.
Tafsir: Kemarahan Neraka dan Interogasi Penjaga
Ekspresi “takādu tamayyazu minal-gaiẓi” (hampir-hampir terpecah karena marah) adalah personifikasi neraka itu sendiri, menggambarkan amarah hebatnya yang seolah-olah ingin meledak dan memakan penghuninya. Ini adalah representasi kemarahan Allah yang termanifestasi pada api neraka. Bagian kedua ayat ini adalah interogasi yang memilukan. Penjaga neraka (Malaikat Zabaniyah) akan bertanya kepada setiap rombongan yang dilempar: “alam ya'tikum nażīr?” (Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?). Pertanyaan ini bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menegaskan bahwa keadilan telah ditegakkan. Allah tidak pernah menyiksa suatu kaum tanpa mengirimkan pembawa peringatan (rasul) terlebih dahulu. Ini menghilangkan alasan apa pun bagi kekafiran mereka.
Tafsir: Pengakuan dan Penyesalan Atas Pendustaan
Orang-orang kafir di neraka terpaksa mengakui kebenaran. Jawaban mereka, “Balā qad jā’anā nażīrun” (Benar, sungguh telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan), menghapus segala keraguan tentang keadilan Ilahi. Mereka mengakui bahwa mereka tidak hanya mendustakan rasul (fakazżabnā), tetapi juga bersikap sombong dengan mengklaim bahwa Allah tidak menurunkan apa pun, dan bahkan menuduh para rasul berada dalam kesesatan besar. Pengakuan ini sangat menyakitkan karena datang terlambat, setelah semua kesempatan telah hilang. Ayat ini menjadi peringatan bahwa mendustakan utusan Allah sama dengan mendustakan Allah dan menempatkan diri dalam kesesatan yang nyata.
Tafsir: Fungsi Hilangnya Pendengaran dan Akal Sejati
Penyesalan orang kafir mencapai puncaknya di sini. Mereka menyalahkan kegagalan penggunaan dua karunia terbesar yang diberikan Allah: pendengaran (nasma‘u) dan akal (na‘qilu). Mereka memiliki telinga fisik, tetapi tidak mendengarkan dengan penerimaan. Mereka memiliki otak, tetapi tidak menggunakan akal sehat untuk merenungkan kebenaran. Dalam konteks ayat ini, mendengar berarti patuh dan menerima, sementara berpikir berarti merenungkan bukti-bukti kekuasaan Allah yang tersebar di alam semesta. Kegagalan fungsi spiritual pendengaran dan akal inilah yang membuat mereka terjerumus ke dalam api Sa'ir. Ini mengajarkan bahwa iman membutuhkan kombinasi antara menerima wahyu dan menggunakan nalar untuk memverifikasi kebenaran.
Tafsir: Pengakuan yang Sia-Sia
Ayat ini menutup dialog di neraka dengan pengakuan penuh dari para pendusta, “Fa‘tarafū biżambihim” (Maka mereka mengakui dosa-dosa mereka). Namun, pengakuan ini datang di saat yang sudah tidak ada gunanya, karena pintu taubat telah tertutup. Kemudian diikuti dengan penegasan hukuman: “Fa suḥqal li’aṣḥābis-sa‘īr” (Jauhlah, atau celakalah, bagi penghuni neraka Sa‘ir). Kata ‘suḥqan’ adalah ungkapan yang menunjukkan penolakan dan pengusiran yang sangat jauh dari rahmat Allah. Pesan utamanya adalah pentingnya pengakuan dan taubat saat hidup di dunia, sebelum datangnya hari di mana penyesalan hanya akan menambah penderitaan.
Tafsir: Ganjaran Bagi Takwa dalam Kesendirian
Ayat ini menyajikan kontras yang indah dengan nasib orang-orang kafir. Ini adalah janji bagi mereka yang beriman. Inti dari ayat ini adalah “yakhsyauna rabbahum bil-gaibi” (mereka yang takut kepada Tuhan mereka, padahal mereka tidak melihat-Nya). Takut (khashyah) di sini berarti rasa gentar yang didasari ilmu dan pengenalan terhadap keagungan Allah. Melakukan ibadah dan menjauhi maksiat karena takut kepada Allah, bahkan di tempat tersembunyi, tanpa pengawasan manusia (bil-ghaib), menunjukkan tingkat keikhlasan tertinggi. Imbalan bagi mereka adalah “magfiratuw wa ajrun kabīr” (ampunan dan pahala yang besar). Ayat ini memuliakan ibadah yang dilakukan secara tersembunyi dan murni, yang merupakan kualitas terbaik dari seorang mukmin.
Tafsir: Pengetahuan Allah yang Tak Terbatas
Ayat ini adalah penekanan universal terhadap ke-Mahatahuan Allah (Al-‘Alim). Baik manusia berbicara secara rahasia (asirrū qaulakum) maupun secara terang-terangan (awijharū bihī), hal itu tidak mengubah sedikit pun bagi Allah. Bahkan, pengetahuan-Nya melampaui ucapan, karena Dia “‘alīmum biżātiṣ-ṣudūr” (Maha Mengetahui segala isi hati, atau apa yang tersembunyi dalam dada). Isi hati meliputi niat, rencana, keraguan, dan keyakinan terdalam. Hal ini menumbuhkan kesadaran diri yang ekstrem bagi mukmin, bahwa setiap niat, bahkan yang belum terucap, sudah berada dalam pengawasan Ilahi. Ini berhubungan langsung dengan keutamaan beramal secara tersembunyi (ayat 12).
Tafsir: Logika Sang Pencipta dan Sifat Al-Latif
Ayat ini menyajikan sebuah pertanyaan retoris yang kuat: “Alā ya‘lamu man khalaqa?” (Apakah Dia yang menciptakan tidak mengetahui?). Tentu saja, Dia mengetahui! Secara logis, mustahil seorang pencipta tidak mengetahui detail dari apa yang telah Dia ciptakan. Jika seorang manusia mengetahui detail mesin yang ia buat, betapa lebihnya Allah mengetahui detail terkecil dari makhluk-Nya. Allah menutup ayat ini dengan dua nama indah-Nya: Al-Laṭīf (Mahahalus/Maha Lembut) dan Al-Khabīr (Maha Mengetahui/Maha Waspada). Al-Latif menunjukkan pengetahuan-Nya yang menjangkau hal-hal yang paling tersembunyi, halus, dan tak terjangkau oleh indra manusia, sedangkan Al-Khabir menekankan pengetahuan-Nya yang komprehensif atas segala sesuatu, baik yang tampak maupun yang gaib.
Tafsir: Bumi yang Ditundukkan dan Kewajiban Berusaha
Ayat ini mengalihkan perhatian dari langit ke bumi, membahas karunia Allah kepada manusia. Bumi digambarkan sebagai “żalūlan” (ditundukkan, jinak, mudah). Jika bumi bergejolak atau tidak stabil, manusia tidak akan bisa hidup dan memanfaatkannya. Kondisi bumi yang stabil dan mengandung sumber daya adalah rahmat Ilahi. Oleh karena itu, Allah memerintahkan: “famsyū fī manākibihā” (maka jelajahilah di segala penjurunya). Ini adalah perintah untuk berusaha, bekerja keras, melakukan perjalanan, dan mencari rezeki (wa kulū mir rizqihī). Islam menuntut aktivisme dalam mencari penghidupan. Ayat ini menutup dengan pengingat penting: meskipun kita bebas menjelajah bumi, pada akhirnya, “wa ilaihin-nusyūr” (hanya kepada-Nyalah kita dibangkitkan), menghubungkan kerja keras di dunia dengan pertanggungjawaban di akhirat.
Tafsir: Menggoyahkan Rasa Aman yang Semu
Setelah mengingatkan bahwa bumi itu jinak (żalūlan), Allah segera menanyakan: apakah kalian merasa aman dari Dzat yang menguasai langit (Allah) untuk mengubah bumi yang jinak itu menjadi sumber bencana? Pertanyaan retoris ini bertujuan untuk menggoyahkan kesombongan manusia. “Man fis-samā'i” merujuk kepada Allah, yang kekuasaan-Nya meliputi seluruh alam. Ancaman yang disebutkan adalah “an yakhsifa bikumul-arḍa” (membenamkan bumi bersama kamu). Peristiwa gempa dan pergeseran lempeng yang menyebabkan bumi bergoncang (tamūr) adalah bukti bahwa ‘jinaknya’ bumi hanyalah izin sementara dari Allah. Keseimbangan alam hanya bisa dipertahankan oleh-Nya, dan sewaktu-waktu bisa ditarik kembali sebagai hukuman.
Tafsir: Ancaman Bencana Alam dan Kepastian Peringatan
Ancaman kedua datang dari langit. Setelah ancaman dari bawah (bumi terbenam), kini ancaman datang dari atas, yaitu “ḥāṣibā” (badai batu atau hujan kerikil). Ini merujuk pada azab yang pernah menimpa kaum-kaum terdahulu yang mendustakan nabi mereka, seperti kaum Nabi Luth. Inti dari ayat 16 dan 17 adalah bahwa manusia sepenuhnya bergantung pada Allah untuk menjaga keselamatan mereka, baik di daratan maupun di bawah langit. Penutup ayat, “fa sata‘lamūna kaifa nażīr” (Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana peringatan-Ku itu), adalah janji dan peringatan bahwa hukuman pasti akan datang, dan pada saat itu, para pendusta akan menyadari kebenaran dari pesan yang disampaikan oleh para rasul.
Tafsir: Pelajaran dari Sejarah Umat Terdahulu
Ayat ini berfungsi sebagai bukti historis terhadap ancaman-ancaman yang baru saja disebutkan. Allah mengingatkan orang-orang Quraisy (dan setiap umat) bahwa pendustaan bukanlah hal baru. Kaum-kaum sebelum mereka (seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan Firaun) juga mendustakan utusan Allah. Pertanyaan retoris “fa kaifa kāna nakīr?” (Maka alangkah hebatnya kemurkaan-Ku!) menekankan betapa dahsyatnya hukuman dan pembalasan Allah. ‘Nakīr’ di sini berarti pengingkaran Allah terhadap kelakuan hamba-Nya dengan cara menurunkan azab yang menghancurkan. Ayat ini mengajak pembaca untuk merenungkan reruntuhan peradaban masa lalu sebagai bukti nyata dari kekuatan Ilahi, dan sebagai peringatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Tafsir: Keajaiban Burung sebagai Bukti Rahmat
Setelah membahas kehancuran, Allah beralih ke salah satu fenomena alam yang paling sering dilihat manusia: burung. Burung-burung terbang di atas mereka, kadang mengembangkan sayap (ṣāffāt) dan kadang mengatupkannya (wayaqbiḍn). Pertanyaan kuncinya adalah: apa yang menahan mereka di udara melawan gravitasi? Jawabannya tegas: “mā yumsikuhunna illar-raḥmān” (Tidak ada yang menahan mereka kecuali Yang Maha Pengasih). Keajaiban aerodinamika burung adalah bukti nyata Rahmat (Ar-Rahman) Allah yang menundukkan hukum fisika untuk makhluk-Nya. Ini juga merupakan kritik terhadap mereka yang hanya percaya pada hukum sebab-akibat fisik tanpa mengakui pemelihara spiritual di belakangnya. Penutup ayat, “innahū bikulli syai’im baṣīr” (Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu), menegaskan bahwa Allah mengawasi detail terkecil dari ciptaan-Nya.
Tafsir: Keterbatasan Kekuatan Manusia dan Bala Bantuan
Ayat ini mengajukan tantangan teologis: jika Allah ingin menghukum, siapa yang dapat menjadi pasukan (jundun) yang dapat menyelamatkanmu? Siapakah yang bisa memberikan pertolongan selain Allah Yang Maha Pengasih? Ini adalah pukulan telak terhadap kesombongan kaum musyrik yang bergantung pada berhala, kekayaan, atau kekuatan suku mereka. Ayat ini menyatakan bahwa semua sumber pertolongan di dunia ini—kekuatan militer, aliansi, atau harta—adalah sia-sia di hadapan kehendak Ilahi. Orang-orang kafir (kāfirūn) disebut berada dalam “gurūr” (tipuan, ilusi, atau kesombongan) karena menganggap ada entitas selain Allah yang dapat melindungi mereka dari murka-Nya. Mereka menipu diri sendiri dengan meyakini kemandirian mereka.
Tafsir: Kontrol Mutlak Atas Rezeki dan Penolakan Keras
Jika ayat 20 berbicara tentang pertolongan, ayat 21 berbicara tentang rezeki. Siapa yang dapat memberikan rezeki (yarzuqukum) jika Allah menahannya (in amsaka rizqahū)? Jelas, tidak ada. Rezeki mencakup segala hal, mulai dari hujan, kesuburan tanah, kesehatan, hingga peluang kerja. Ketergantungan manusia pada Allah adalah total. Meskipun demikian, Allah mencela orang-orang kafir yang “lajjū fī ‘utuwwiw wa nufūr”—terus-menerus tenggelam dalam kesombongan (‘utuww) dan menjauhkan diri (nufūr) dari kebenaran. Mereka menikmati rezeki Allah, namun menyangkal Sang Pemberi Rezeki. Sifat ‘utuww (melampaui batas) dan nufūr (enggan/membangkang) adalah akar dari semua kekafiran.
Tafsir: Perbandingan Petunjuk dan Kesesatan
Ayat ini menggunakan perumpamaan visual yang sangat tajam untuk membedakan antara orang kafir dan orang beriman. Orang kafir digambarkan sebagai orang yang berjalan “mukibban ‘alā wajhihī” (terjungkal, tersungkur di atas wajahnya). Ini adalah gambaran kekacauan, kurangnya arah, dan kehinaan—mereka tidak dapat melihat ke mana mereka pergi karena menolak petunjuk. Sebaliknya, orang beriman digambarkan sebagai orang yang berjalan “sawiyyan ‘alā ṣirāṭim mustaqīm” (tegak, seimbang di atas jalan yang lurus). Jalan yang lurus (Sirāṭul Mustaqīm) adalah petunjuk dari Allah. Ayat ini menunjukkan bahwa kekafiran adalah penyimpangan yang merusak martabat dan tujuan hidup, sementara iman memberikan keseimbangan, arah, dan kemuliaan.
Tafsir: Tiga Karunia Utama dan Sedikitnya Syukur
Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengingatkan manusia tentang tiga karunia utama yang merupakan sarana pengenalan terhadap kebenaran: pendengaran (as-sam‘a), penglihatan (al-abṣār), dan hati nurani atau akal (al-af’idah). Pendengaran adalah alat untuk menerima wahyu, penglihatan adalah alat untuk mengamati bukti-bukti alam, dan hati nurani adalah pusat pemahaman dan penentuan niat. Ketiga indra ini, jika digunakan dengan benar, akan membawa manusia pada keimanan. Namun, Allah menyayangkan bahwa manusia hanya “qalīlam mā tasykurūn” (sedikit sekali bersyukur). Kurangnya rasa syukur ini ditunjukkan dengan penyalahgunaan indra-indra tersebut untuk hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Ilahi, seperti yang dilakukan oleh penghuni neraka (ayat 10).
Tafsir: Proses Penyebaran dan Pengumpulan Kembali
Ayat ini merangkum siklus eksistensi manusia di bumi. Allah adalah Dzat yang menyebarkan (żara’akum—menciptakan dan menyebar luaskan) umat manusia di seluruh penjuru bumi, memungkinkan pertumbuhan dan peradaban. Ini adalah pengulangan tema bahwa hidup adalah fase sementara di mana manusia melaksanakan peran mereka sebagai khalifah. Namun, ayat ini ditutup dengan penegasan tentang Hari Kebangkitan: “wa ilaihi tuḥsyarūn” (dan hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan). Setelah tersebar dan menjalani kehidupan, semua manusia akan dihimpunkan kembali di hadapan-Nya untuk dipertanggungjawabkan. Ayat ini menghubungkan takdir individu dengan rencana penciptaan yang lebih besar.
Tafsir: Ejekan Mengenai Waktu Kiamat
Setelah pengingat tentang pengumpulan (Hari Kiamat) pada ayat 24, ayat ini mencatat respons sinis dari orang-orang kafir Makkah. Mereka bertanya dengan nada menantang dan meremehkan: “matā hāżal-wa‘du in kuntum ṣādiqīn?” (Kapan janji ini—kebangkitan dan hukuman—akan datang, jika kamu orang yang benar?). Ejekan ini muncul karena ketidaksabaran dan keraguan mereka terhadap hal ghaib. Mereka menganggap janji Hari Kiamat sebagai dongeng karena belum terwujud di hadapan mata mereka. Pertanyaan ini mencerminkan mentalitas manusia yang terikat pada waktu dan materi, gagal memahami bahwa waktu Ilahi berbeda dengan waktu manusia.
Tafsir: Rahasia Waktu Hanya Milik Allah
Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap tantangan pada ayat sebelumnya. Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menegaskan bahwa pengetahuan tentang waktu pasti Hari Kiamat (al-‘ilmu) adalah mutlak dan eksklusif milik Allah (‘indal-lāh). Nabi tidak mengetahui hal itu, dan pengetahuan tersebut tidak relevan bagi tugasnya. Tugas utama Nabi hanyalah “nażīrum mubīn” (seorang pemberi peringatan yang jelas). Artinya, pesan tersebut telah disampaikan secara gamblang, dan kepastian kedatangannya sudah cukup. Yang penting bukanlah kapan ia datang, tetapi bagaimana manusia mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Pengetahuan tentang waktu yang pasti adalah bagian dari kekuasaan (Al Mulk) Allah yang mutlak.
Tafsir: Wajah yang Muram Saat Janji Terwujud
Ayat ini menggambarkan momen ketika Kiamat benar-benar terjadi dan azab (yang mereka ejek) terlihat “zulfatan” (dekat, di depan mata). Reaksi mereka adalah wajah menjadi muram (sī'at wujūhuhum)—dihitamkan, sedih, dan penuh penyesalan, kontras dengan wajah orang beriman yang berseri-seri. Ironi terbesar adalah ketika mereka diingatkan: “Hāżal-lażī kuntum bihī tadda‘ūn” (Inilah yang dahulu kamu minta/tuntut agar disegerakan). Tantangan mereka di dunia kini menjadi kenyataan yang menghancurkan. Ayat ini menekankan bahwa keraguan mereka akan berubah menjadi kepastian yang menyakitkan pada hari yang telah ditentukan.
Tafsir: Kekuatan dan Kelemahan Manusiawi
Ayat ini diturunkan sebagai jawaban terhadap ejekan orang kafir yang mengharapkan kehancuran Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Allah memerintahkan Nabi untuk menjawab: Kematian atau rahmat bagi kami (orang beriman) adalah urusan Allah (ahlakaniyallāhu wa mam ma‘iya au raḥimanā). Intinya adalah bahwa takdir individu tidak relevan dengan kebenaran pesan. Pertanyaan balik yang menyengat adalah: “fa may yujīrul-kāfirīna min ‘ażābin alīm?” (Siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?). Jika para penentang Allah menganggap kehancuran Nabi sebagai kemenangan, mereka harus merenungkan nasib mereka sendiri. Kehancuran musuh tidak menjamin keselamatan mereka dari hukuman Allah. Perlindungan hanya milik Allah.
Tafsir: Deklarasi Iman dan Tawakal
Ini adalah deklarasi tegas dari orang-orang beriman. Mereka menyatakan bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Ar-Raḥmān (Maha Pengasih), yang menunjukkan bahwa iman mereka didasarkan pada harapan Rahmat, bukan hanya ketakutan. Mereka menegaskan dua pilar iman: āmannā bihī (kami beriman kepada-Nya) dan ‘alaihi tawakkalnā (hanya kepada-Nya kami bertawakal). Tawakal adalah penyerahan diri total setelah berusaha keras. Ayat ini kemudian mengarahkan ancaman kembali kepada orang kafir: “fa sata‘lamūna man huwa fī ḍalālim mubīn” (maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata). Kepastian ini akan terbukti jelas pada Hari Akhir, membenarkan posisi orang beriman dan menghinakan para pendusta.
Tafsir: Kekuasaan Atas Sumber Kehidupan (Air)
Surah Al Mulk ditutup dengan tantangan yang sangat relevan dan mendasar: air. Air adalah sumber kehidupan; tanpanya, tidak ada rezeki, tidak ada pertanian, dan tidak ada kelangsungan hidup. Allah bertanya: bagaimana jika air kalian (mā’ukum) menjadi “gauran” (surut ke dalam tanah, sangat dalam, atau hilang sama sekali)? Siapa yang akan mengembalikan air yang mengalir (mā’im ma‘īn) itu? Tidak ada. Ayat ini menutup keseluruhan surah dengan pengingat yang kuat tentang kekuasaan (Al Mulk) Allah atas kebutuhan hidup yang paling mendasar. Kekuasaan-Nya bukan hanya di langit dan di akhirat, tetapi juga di setiap tetes air yang menopang eksistensi manusia di bumi. Jika Allah menahan air, semua kekuatan manusia menjadi sia-sia. Hal ini menegaskan kembali kedaulatan mutlak Allah dari awal surah hingga akhir.
Surah Al Mulk memiliki keutamaan luar biasa yang disebutkan dalam banyak hadis sahih. Keutamaan ini tidak hanya terbatas pada bacaan, tetapi juga pada penghayatan dan pengamalannya sebagai bagian dari rutinitas seorang Muslim.
Inilah keutamaan Surah Al Mulk yang paling terkenal. Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya ada satu surah dalam Al-Qur'an, (terdiri) dari tiga puluh ayat, surah itu akan memberikan syafaat (pertolongan) kepada pemiliknya (pembacanya) hingga ia diampuni, yaitu: Tabaarakalladzii biyadhihil mulku (Surah Al Mulk).” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Syafaat ini secara khusus dikaitkan dengan alam kubur. Surah Al Mulk datang pada hari kiamat dan di alam barzakh sebagai pembela yang menghalangi siksa kubur, sebuah fase kehidupan yang seringkali terlupakan oleh manusia. Pengamalan surah ini merupakan benteng spiritual dari kegelapan dan sempitnya alam barzakh.
Dianjurkan membaca Surah Al Mulk setiap malam sebelum tidur. Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak akan tidur sampai beliau membaca Alif Lam Mim Tanzil (Surah As-Sajdah) dan Tabaarakalladzii biyadhihil mulku (Surah Al Mulk). Kebiasaan ini menunjukkan betapa pentingnya surah ini dalam kehidupan harian Rasulullah SAW. Dengan membiasakannya, seorang Muslim menutup harinya dengan merenungkan kekuasaan Allah dan mempersiapkan diri untuk kemungkinan kematian yang datang saat tidur.
Syafaat Surah Al Mulk pada hari kiamat memastikan bahwa pembacanya akan mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Karena setiap ayatnya mengingatkan akan kekuasaan-Nya, kengerian akhirat, dan kemurahan rahmat-Nya, orang yang menghayatinya akan termotivasi untuk bertaubat dan memperbaiki amal. Ayat 12 secara spesifik menjanjikan ampunan (magfirah) dan pahala besar (ajrun kabir) bagi mereka yang takut kepada Tuhan mereka di saat tidak ada yang melihat.
Surah ini secara tematik berputar pada konsep Tauhid Uluhiyah (keesaan dalam peribadatan) dan Tauhid Rububiyah (keesaan dalam penciptaan dan pemeliharaan). Dengan membaca dan merenungkannya, seorang Muslim secara terus menerus diingatkan bahwa:
Penguatan tauhid ini adalah pondasi untuk semua amal saleh, memastikan bahwa setiap ibadah dilakukan dengan keikhlasan yang murni dan jauh dari kesyirikan.
Surah Al Mulk adalah panggilan keras untuk merenung dan bertindak. Dari tantangan mengenai kesempurnaan lapisan langit, ancaman bencana alam sebagai manifestasi murka Ilahi, hingga keajaiban seekor burung yang ditahan di udara, surah ini menyajikan bukti yang tak terbantahkan mengenai Kekuasaan Agung (Al Mulk) milik Allah SWT.
Pelajaran terpenting dari Surah Al Mulk adalah bahwa kehidupan dunia adalah arena ujian (Ayat 2). Ujian ini diukur bukan dari kesuksesan materi, melainkan dari kualitas amal (ahsanul ‘amala). Seseorang harus memanfaatkan karunia pendengaran, penglihatan, dan akal (Ayat 23) untuk berjalan di atas jalan yang lurus (Ayat 22), daripada berjalan tersungkur dalam kesesatan.
Mengamalkan Surah Al Mulk secara rutin, terutama dengan memahami maknanya, adalah bentuk tawakal yang sesungguhnya. Itu adalah bentuk pengakuan bahwa kita sepenuhnya bergantung pada Dzat yang mengendalikan rezeki (Ayat 21) dan air (Ayat 30), serta satu-satunya yang mampu melindungi kita dari azab yang pedih (Ayat 28). Semoga kita termasuk golongan yang mendapatkan syafaat dari Surah Al Mulk ini di alam barzakh dan di akhirat kelak.