Surah Al-Maidah, yang berarti 'Hidangan,' merupakan salah satu surah Madaniyah yang diturunkan pada periode akhir kenabian. Ayat-ayatnya sering kali membahas tatanan hukum (syariat), kewajiban sosial, dan penyempurnaan ajaran Islam. Ayat kedua dari surah ini memiliki kedudukan yang sangat fundamental, karena ia tidak hanya mengulang perintah-perintah yang bersifat ritual, tetapi juga meletakkan dasar etika sosial yang mengatur hubungan antar individu dalam sebuah komunitas, yaitu prinsip kerjasama (ta'awun) dalam kebaikan dan ketakwaan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadiah-hadiah (hewan kurban), dan jangan pula (mengganggu) orang-orang yang mengalungi (hewan kurban), dan jangan (pula mengganggu) orang-orang yang mengunjungi Baitul Haram sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhan mereka. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Dan jangan sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya." (QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini terbagi menjadi tiga bagian utama yang saling berkaitan, menggambarkan bagaimana hukum ritual (fiqh), etika perang (siyar), dan etika sosial (akhlak) berinteraksi dalam bingkai keimanan.
Bagian pertama ayat ini, "يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ", menekankan pentingnya menghormati syiar-syiar Allah. Syiar (Sya'a'ir) adalah segala sesuatu yang dijadikan tanda pengenal agama, khususnya yang terkait dengan ibadah haji dan umrah. Ini mencakup larangan melanggar kehormatan:
Perintah ini menunjukkan toleransi dan perlindungan yang universal terhadap jamaah dan ritual, bahkan di tengah permusuhan politik. Setelah selesainya ibadah haji (halal), umat Islam diperbolehkan kembali berburu (faṣṭādū), menandai akhir dari pembatasan ihram.
Bagian kedua memuat pelajaran etika yang kritis: "وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا". Ayat ini diturunkan setelah peristiwa Hudaibiyah atau merujuk pada kekejaman kaum Quraisy terhadap Muslim. Allah SWT memperingatkan agar kebencian historis atau dendam karena dihalangi dari Masjidil Haram tidak boleh mendorong umat Islam untuk melanggar batas atau berbuat aniaya.
Ini adalah prinsip keadilan universal dalam Islam: permusuhan tidak menghapus kewajiban untuk berlaku adil dan tidak melanggar hak orang lain. Keadilan harus ditegakkan tanpa memandang status pertemanan atau permusuhan.
Puncak dari ayat ini terletak pada perintah dan larangan yang membentuk fondasi etika sosial: "وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ". Kata kunci di sini adalah Ta'awun (tolong-menolong, kerjasama), yang diperintahkan dalam dua konteks positif (Al-Birr dan At-Taqwa) dan dilarang dalam dua konteks negatif (Al-Ithm dan Al-'Udwan).
Visualisasi prinsip Ta'awun 'Alal Birri Wat Taqwa
Konsep Al-Birr (Kebaikan) dalam Islam jauh lebih luas daripada sekadar amal kebaikan biasa. Para ulama tafsir mendefinisikannya sebagai kumpulan semua sifat dan tindakan terpuji, baik yang wajib maupun sunnah, yang mencakup hak Allah (huqūq Allāh) dan hak sesama manusia (huqūq al-‘ibād).
Imam Al-Razi dan Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Al-Birr mencakup ketaatan secara menyeluruh. Ini mencakup dimensi spiritual dan material. Kerjasama dalam Al-Birr berarti kita harus menjadi bagian aktif dalam memajukan kebaikan secara kolektif di masyarakat.
Membantu seseorang dalam dimensi spiritual adalah bagian fundamental dari Ta'awun. Ini meliputi:
Ta’awun dalam konteks ini menuntut keberanian moral untuk menegakkan kebenaran dan menjadi teladan. Misalnya, mendirikan institusi pendidikan agama yang baik, membangun masjid, atau membentuk majelis ilmu.
Ini adalah area yang paling nyata dalam Ta'awun. Kerjasama sosial mencakup upaya kolektif untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera:
Dalam pandangan ulama kontemporer, Birr juga meluas ke ranah kewarganegaraan, seperti bekerja sama untuk menjaga ketertiban umum, menaati peraturan yang adil, dan berpartisipasi dalam proses pembangunan bangsa. Kerjasama ini adalah wujud nyata dari tanggung jawab kolektif (fardhu kifayah) yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tolong-menolong harus dimulai dari lingkaran terdekat. Birr kepada orang tua (birrul walidain) adalah kewajiban individu, namun membantu saudara atau tetangga untuk menjalankan kewajiban Birr ini juga termasuk Ta'awun 'Alal Birr. Contohnya, menyediakan perawatan bersama untuk orang tua yang sudah lanjut usia, atau membantu kerabat yang sedang kesulitan keuangan.
Kesimpulannya, Al-Birr adalah payung besar yang mencakup setiap langkah, niat, dan tindakan yang mendekatkan individu dan masyarakat kepada keridhaan Allah. Tanpa kerja sama, Al-Birr akan tetap menjadi idealisme yang sulit diwujudkan; Ta'awun mengubah idealisme ini menjadi realitas sosial yang dinamis.
Jika Al-Birr fokus pada melakukan kebaikan, At-Taqwa (Ketakwaan) lebih fokus pada menghindari keburukan. Ketakwaan adalah kesadaran dan kehati-hatian (hithr) agar tidak melanggar batasan-batasan Allah. Kerjasama dalam At-Taqwa berarti saling membantu agar masing-masing individu dan kelompok terlindungi dari dosa dan maksiat.
Secara individu, takwa adalah menjadikan batasan Allah sebagai benteng (wiqayah). Namun, dalam konteks sosial, takwa membutuhkan lingkungan yang mendukung. Tidak mungkin seseorang sepenuhnya bertakwa jika lingkungannya terus-menerus mendorongnya kepada kemaksiatan.
Ta'awun 'Alat Taqwa menuntut upaya kolektif untuk mengendalikan lingkungan sosial dari hal-hal yang dapat merusak moralitas dan spiritualitas. Contohnya:
Dalam konteks modern, Ta'awun 'Alat Taqwa memiliki relevansi yang sangat besar dalam bidang ekonomi dan politik. Bekerja sama untuk memastikan bahwa sistem ekonomi terbebas dari riba, penipuan (ghish), dan perjudian adalah wujud Ta'awun 'Alat Taqwa.
Secara politik, Ta'awun menuntut umat Islam untuk bekerja sama dalam memilih pemimpin yang jujur, amanah, dan takut kepada Allah. Membiarkan kezaliman dan korupsi tanpa ada upaya kolektif untuk mencegahnya berarti melanggar perintah Ta'awun 'Alat Taqwa.
Para mufasir menekankan bahwa Birr dan Taqwa adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Birr adalah hasil atau buah dari Taqwa, sementara Taqwa adalah prasyarat untuk menghasilkan Birr yang murni. Kerjasama yang efektif harus memadukan kedua unsur ini: melakukan kebaikan (Birr) sambil menjaga diri dari keburukan (Taqwa).
Ayat ini tidak hanya memberikan perintah positif (Ta'awun 'Alal Birr Wat Taqwa) tetapi juga memberikan larangan negatif yang mutlak: "وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ". Larangan ini adalah batasan moral dan hukum yang berfungsi sebagai penjaga (hadd) agar kerjasama sosial tidak menyimpang menjadi kejahatan terorganisir.
Al-Ithm secara harfiah berarti dosa atau kesalahan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak Allah (dosa ritual atau moral pribadi) dan pelanggaran terhadap larangan syariat. Kerjasama dalam Al-Ithm berarti membantu orang lain dalam melakukan maksiat, meskipun dampaknya tidak langsung merugikan orang lain.
Contoh Ta'awun 'Alal Ithm meliputi:
Dalam konteks modern, ini mencakup kolaborasi dalam penyebaran konten yang merusak moral, skema penipuan digital, atau memfasilitasi perilaku yang jelas-jelas dilarang oleh agama, meskipun itu menguntungkan secara material.
Al-'Udwan berarti permusuhan, melampaui batas, atau kezaliman (penindasan) terhadap hak-hak orang lain. Jika Ithm lebih fokus pada pelanggaran vertikal (terhadap Allah), Udwan lebih fokus pada pelanggaran horizontal (terhadap sesama manusia).
Kerjasama dalam Al-'Udwan adalah tindakan kolektif yang bertujuan untuk menzalimi, menindas, atau melanggar hak-hak orang lain. Ini adalah bentuk kerja sama yang paling merusak tatanan sosial. Contohnya:
Larangan ini memberikan panduan etika profesional yang sangat ketat. Seorang Muslim, apapun profesinya, tidak boleh menggunakan keahliannya (apakah itu hukum, teknologi, atau manajemen) untuk memfasilitasi dosa atau kezaliman. Jika sebuah perusahaan bergerak dalam bisnis yang haram (Ithm) atau menindas pekerja (Udwan), maka bekerjasama dalam perusahaan tersebut, bahkan pada bagian yang "netral," harus ditinjau ulang berdasarkan prinsip Ta'awun ini.
Kerja sama dalam kejahatan adalah salah satu akar utama kehancuran masyarakat. Ketika dosa dan kezaliman dilembagakan dan didukung oleh jaringan, maka penyimpangan tersebut menjadi sulit diberantas. Oleh karena itu, larangan ini merupakan perlindungan ilahi terhadap integritas moral umat.
Ayat Al-Maidah 2 bukan sekadar nasihat moral, tetapi fondasi bagi banyak hukum Islam, baik dalam ibadah maupun muamalah.
Bagian awal ayat menetapkan hukum yang berkaitan dengan Haji dan Umrah. Ini menggarisbawahi keharusan untuk melindungi orang yang sedang beribadah dan menghormati batas-batas temporal dan spasial yang disucikan oleh Allah. Prinsip dasarnya adalah bahwa ibadah harus dilakukan dalam suasana damai, dan setiap gangguan terhadap pelaksana ibadah adalah pelanggaran Syi’ar Allah.
Prinsip Ta'awun 'Alal Birr Wat Taqwa memiliki dampak besar pada hukum kontrak dan kemitraan:
Ayat ini memberikan dasar bagi etika politik dan hubungan internasional. Perintah untuk tidak membiarkan kebencian memicu kezaliman (melanggar hak) adalah dasar dari prinsip keadilan politik Islam. Bahkan terhadap musuh perang, keadilan harus ditegakkan. Kerjasama politik harus senantiasa diarahkan pada tegaknya Birr dan Taqwa, bukan demi kepentingan kekuasaan atau permusuhan belaka.
Untuk memahami kedalaman Birr yang harus kita dukung, perluasan maknanya dalam tradisi Islam sangat penting. Al-Birr bukanlah sekadar sedekah uang tunai; ia adalah kesempurnaan perilaku. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi, Rasulullah SAW mendefinisikan Birr sebagai "Akhlak yang baik" (husnul khuluq).
Jika Birr adalah akhlak yang baik, maka Ta'awun 'Alal Birr mencakup kerjasama dalam menyebarkan dan menerapkan akhlak mulia secara kolektif:
Menciptakan budaya kejujuran dalam segala aspek, dari berdagang hingga bersaksi di pengadilan. Jika masyarakat bekerja sama untuk menoleransi kebohongan, itu adalah Ta'awun 'Alal Ithm. Sebaliknya, saling menuntut kejujuran adalah Ta'awun 'Alal Birr.
Rahmah adalah fondasi. Ta'awun dalam Rahmah terlihat ketika komunitas secara kolektif menanggapi bencana, merawat yatim piatu, atau memberikan dukungan kepada janda dan kaum rentan. Ini adalah manifestasi Birr yang paling murni, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa tidak menyayangi, ia tidak akan disayangi."
Dalam konflik sosial, Ta'awun yang diperlukan adalah membantu kedua belah pihak untuk bersabar, menahan diri dari kemarahan (Udwan), dan mencari jalan tengah melalui pemaafan (ishlah). Para mediator dalam perselisihan keluarga atau masyarakat yang bekerja untuk perdamaian sedang menjalankan Ta'awun 'Alal Birr.
Ibnu Taimiyah menekankan bahwa Al-Birr dan At-Taqwa adalah dasar dari setiap hukum yang diridhai Allah, sedangkan Al-Ithm dan Al-'Udwan adalah dasar dari setiap hukum yang dilarang. Ini menempatkan ayat ini sebagai kaidah induk (al-qā'idah al-umm) bagi seluruh etika bermasyarakat Islam.
Dalam konteks global, Ta'awun 'Alal Birr berarti bekerja sama dengan semua umat manusia—terlepas dari perbedaan agama atau ras—untuk tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal: memerangi kelaparan, menjaga perdamaian, dan melestarikan lingkungan. Ini adalah bentuk Birr yang tidak mengenal batas geografis, selama tujuannya sejalan dengan nilai-nilai kebaikan.
Perintah Ta’awun bukanlah konsep abstrak yang hanya berlaku di masa lalu, melainkan cetak biru untuk organisasi sosial yang efektif hari ini. Untuk mencapai skala kebaikan yang besar, Ta'awun harus dilembagakan.
Ta'awun yang efektif memerlukan struktur. Ini dapat diwujudkan melalui:
Di era digital, Ta'awun dapat dimanfaatkan melalui teknologi. Platform digital untuk donasi, pembiayaan mikro syariah (crowdfunding), atau jaringan relawan online adalah contoh Ta'awun 'Alal Birr yang melintasi batas fisik. Namun, perlu kehati-hatian agar teknologi tidak digunakan untuk Ta'awun 'Alal Ithm Wal 'Udwan (misalnya, penyebaran hoaks atau penipuan online).
Salah satu ancaman terbesar bagi Ta'awun adalah apatisme, yaitu ketidakpedulian terhadap penderitaan orang lain. Ayat ini menolak ideologi individualisme ekstrem yang mengklaim bahwa urusan orang lain bukanlah tanggung jawab kita. Islam mengajarkan bahwa kita adalah 'satu tubuh', dan kegagalan membantu dalam Birr adalah dosa kolektif.
Upaya Ta'awun harus proaktif. Tidak menunggu diminta, tetapi mencari peluang untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Saling mengingatkan tentang keutamaan sedekah, puasa, atau kejujuran dalam berbisnis adalah bentuk Ta'awun 'Alat Taqwa yang sederhana namun berdampak besar.
Prinsip Ta'awun telah dipraktikkan sejak awal peradaban Islam, menjadi pilar dalam pembentukan Madinah sebagai negara-kota. Contoh paling monumental adalah Ta'awun antara Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar.
Ketika umat Islam berhijrah dari Mekah ke Madinah, mereka meninggalkan harta dan kekayaan mereka. Kaum Anshar (penduduk asli Madinah) menerima mereka bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai saudara. Ta'awun ini melampaui bantuan materi.
Kerjasama ini adalah model utama yang diwariskan oleh Islam: sebuah komunitas yang didirikan atas dasar altruisme, di mana kepentingan kolektif dan spiritual diutamakan daripada keuntungan pribadi.
Dalam sejarah klasik, para ulama sering menafsirkan Ta'awun 'Alal Ithm Wal 'Udwan dalam konteks membantu penguasa zalim. Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal berpegang teguh pada prinsip bahwa Ta'awun dilarang jika melibatkan dukungan terhadap kezaliman penguasa, meskipun dukungan tersebut tampaknya kecil, seperti menjahit pakaian untuk tentara zalim atau menjadi juru tulis yang mencatat keputusan zalim. Ini menunjukkan betapa seriusnya larangan terlibat dalam Udwan.
Ayat Al-Maidah 2 ditutup dengan peringatan yang tegas: "وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ" (Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya).
Peringatan keras ini ditempatkan tepat setelah perintah Ta'awun. Hal ini menggarisbawahi bahwa prinsip kerjasama dalam Birr dan Taqwa, serta larangan kerjasama dalam Ithm dan Udwan, bukanlah pilihan moral semata, melainkan perintah wajib yang akan dimintai pertanggungjawabannya.
Kehancuran umat sering kali dimulai ketika prinsip Ta'awun 'Alal Birr Wat Taqwa ditinggalkan, dan digantikan oleh Ta'awun 'Alal Ithm Wal 'Udwan. Ketika masyarakat mulai bersatu dan berkolaborasi hanya demi kepentingan kelompok, keuntungan haram, atau untuk menindas pihak lain, maka teguran keras dari Allah pasti akan tiba.
Sebagai kesimpulan mendalam, Surah Al-Maidah Ayat 2 adalah pondasi hukum dan etika Islam yang universal. Ia memerintahkan umat untuk membangun masyarakat yang didasarkan pada dua pilar abadi: pelaksanaan kebaikan secara proaktif dan pencegahan keburukan secara kolektif. Menjalankan perintah Ta'awun ini adalah wujud nyata dari keimanan, memastikan keberlanjutan peradaban yang adil, bertakwa, dan diridhai Allah SWT.