Gambar: Ilustrasi hidangan yang turun dari langit, melambangkan mukjizat Al-Maidah.
Surah Al-Maidah (Hidangan) menempati posisi yang unik dalam Al-Qur'an, diturunkan di Madinah pada periode akhir kenabian, dan mengandung banyak hukum serta kisah yang menjadi landasan syariat Islam. Ayat 114 dari surah ini secara khusus menyingkap dialog spiritual yang mendalam antara Nabi Isa Alaihissalam (Yesus) dengan para murid setianya, yang dikenal sebagai Al-Hawariyyun, serta respons dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Ayat ini bukan sekadar narasi tentang permintaan makanan, melainkan ujian keimanan, manifestasi mukjizat, dan pelajaran abadi tentang batasan permintaan manusia terhadap perkara ghaib dan kekuasaan Ilahi. Untuk memahami kedalaman makna ini, kita perlu membedah konteks historis, linguistik, dan pandangan para ahli tafsir klasik dan kontemporer.
Ayat 114 merupakan puncak dari dialog yang dimulai di ayat 110, di mana Allah mengingatkan Isa AS tentang karunia-Nya yang luar biasa, termasuk kemampuan untuk menghidupkan orang mati atas izin-Nya. Dalam suasana penuh mukjizat inilah, para murid Isa AS mengajukan permintaan yang sangat spesifik:
Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu. Berilah kami rezeki, Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Al-Maidah: 114)
Sebelum permintaan ini diajukan, Hawariyyun (para pengikut setia) telah menyaksikan serangkaian mukjizat yang luar biasa yang dianugerahkan kepada Nabi Isa AS. Ayat-ayat sebelumnya (111-113) mencatat bahwa Hawariyyun telah menyatakan keimanan mereka dan meminta Isa AS untuk memohon kepada Allah agar diturunkan hidangan, dengan tujuan utama untuk menenangkan hati mereka dan meyakinkan mereka bahwa apa yang mereka saksikan adalah kebenaran mutlak yang berasal dari sisi Allah.
Para ulama tafsir sepakat bahwa permintaan hidangan ini lahir dari beberapa motivasi yang kompleks, mencakup kebutuhan fisik sekaligus spiritual:
Pemahaman mendalam terhadap terminologi yang digunakan dalam ayat ini esensial untuk menangkap maknanya yang luas:
Kata Ma'idah adalah nama surah itu sendiri. Secara harfiah, ia berarti "meja yang di atasnya ada makanan." Ini bukan sekadar makanan (*tha'am*), tetapi meja yang telah diisi dan disajikan. Penggunaan kata ini mengindikasikan bahwa yang diminta adalah penyajian yang sempurna dan siap santap, sebuah manifestasi kemewahan dan kekuasaan Ilahi.
Kata 'Iyd berarti kembali, atau festival/hari raya yang berulang. Hawariyyun meminta agar hari itu menjadi hari raya bagi "orang-orang yang bersama kami (generasi pertama)" dan "yang datang sesudah kami (generasi mendatang)." Hal ini menekankan fungsi sosial dan historis dari mukjizat tersebut—ia harus menjadi pilar perayaan keagamaan yang mengikat komunitas.
Permintaan agar hidangan itu menjadi "tanda dari-Mu" menekankan bahwa mukjizat ini harus secara eksplisit menunjukkan kekuasaan Allah yang tak tertandingi, melampaui kemampuan sihir atau tipuan manusia. Ini adalah permintaan agar Allah memproklamirkan otoritas-Nya melalui peristiwa tersebut.
Penutup doa Isa AS, "Engkaulah sebaik-baik Pemberi Rezeki," adalah pengakuan Tauhid yang murni. Ini menegaskan bahwa sumber rezeki sejati, baik yang bersifat biasa maupun mukjizat, hanyalah Allah SWT. Pengakuan ini memberikan penekanan teologis bahwa permintaan tersebut tidak ditujukan kepada Isa AS secara independen, melainkan murni melalui perantaraan doa kepada Sang Pencipta.
Ayat 114 sering dibahas secara ekstensif dalam kitab-kitab tafsir utama. Terdapat perbedaan narasi mengenai detail kejadian, tetapi mayoritas ulama sepakat bahwa doa Nabi Isa AS dikabulkan oleh Allah SWT.
Ibnu Katsir mengumpulkan banyak riwayat (atsar) yang menggambarkan apa yang terkandung dalam hidangan yang turun. Meskipun riwayat-riwayat tersebut berbeda-beda, ada beberapa kesamaan:
Imam Al-Qurtubi menyoroti perdebatan penting di kalangan ulama salaf: Apakah hidangan itu benar-benar turun dan dimakan? Atau apakah permintaan itu ditarik kembali karena adanya peringatan keras dari Allah (yang tercantum di ayat 115)?
Namun, pandangan yang dominan dalam tradisi Islam adalah bahwa hidangan itu turun, menjadikannya salah satu mukjizat terbesar Nabi Isa AS.
Imam Ar-Razi, dengan pendekatan rasionalnya, berfokus pada hikmah di balik permintaan dan respons Ilahi. Ia menjelaskan bahwa permintaan hidangan adalah tindakan yang memiliki risiko besar. Permintaan mukjizat material yang eksplisit seperti ini adalah pedang bermata dua:
Ayat 114 tidak dapat dipisahkan dari ancaman keras yang diberikan Allah pada ayat 115:
Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menurunkannya kepadamu, tetapi barang siapa di antara kamu kafir (tidak mempercayai hidangan itu) setelah (turunnya hidangan itu), maka sungguh, Aku akan mengazabnya dengan azab yang belum pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia (seluruh alam).” (QS. Al-Maidah: 115)
Ancaman ini menunjukkan betapa seriusnya permintaan Hawariyyun tersebut. Mukjizat ini bukan lagi sekadar tanda bagi orang luar, melainkan ujian akhir bagi hati mereka yang telah mengaku beriman. Ada beberapa pelajaran teologis penting dari korelasi kedua ayat ini:
Ketika seseorang meminta bukti yang melampaui batas (*khariq al-'adah*), ia memikul beban tanggung jawab yang lebih besar. Setelah melihat kebenaran secara visual dan empiris, tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Kekafiran setelah menyaksikan kebenaran yang tak terbantahkan adalah bentuk keangkuhan dan pengkhianatan spiritual yang paling parah.
Ayat ini mengajarkan bahwa rezeki dan mukjizat dari Allah adalah ujian. Mereka diuji tidak hanya saat kelaparan, tetapi juga saat kelimpahan. Ujian terbesar bagi Hawariyyun bukanlah saat mereka kelaparan, melainkan saat mereka diberi karunia yang begitu besar (Ma'idah) namun dituntut untuk tetap teguh dan tidak mengingkarinya, apalagi menjadikannya sarana kesombongan atau ketamakan.
Ungkapan "azab yang belum pernah Aku timpakan kepada seorang pun di antara umat manusia" menunjukkan kekejaman dan kekhususan azab bagi orang yang mengingkari mukjizat yang mereka sendiri minta. Hal ini menggarisbawahi hukum Allah: semakin besar karunia, semakin besar pula pertanggungjawabannya.
Selain tafsir literal, beberapa ahli tasawuf dan filosof Muslim melihat Ma'idah sebagai simbolisme yang lebih dalam, melampaui hidangan fisik:
Dalam perspektif sufistik, Ma'idah dapat diinterpretasikan sebagai rezeki spiritual (Rizqan Ma'nawiyyan), yaitu pengetahuan (Ma'rifah) dan hikmah yang diturunkan langsung dari langit. Permintaan Hawariyyun adalah permohonan agar hati mereka disajikan dengan pengetahuan Ilahi yang membuat mereka tidak lagi bergantung pada pengetahuan duniawi.
Hidangan ini adalah ajaran hakiki yang menjadi "hari raya" bagi hati, karena dengan pengetahuan tersebut, jiwa merasa tenteram dan mencapai kedekatan tertinggi dengan Allah. Kekafiran setelah menerima "hidangan spiritual" berarti mengingkari kebenaran yang telah dirasakan hati, yang merupakan dosa terbesar bagi seorang sufi.
Isa AS, meskipun seorang Rasul yang memiliki kedudukan tinggi, menunjukkan adab yang luar biasa dalam doanya. Ia menggunakan nama Allah, Allahumma Rabbana (Ya Allah, Tuhan kami), sebuah kombinasi yang menunjukkan kerendahan hati dan pengakuan otoritas. Doa Isa AS mengajarkan bahwa permintaan kita harus selalu diakhiri dengan pujian kepada Allah (wa Anta Khairu al-Raziqin), menempatkan kehendak Ilahi di atas kebutuhan pribadi.
Kisah tentang Hawariyyun dan hidangan Ilahi adalah kisah yang unik dalam narasi Al-Qur'an dan tidak ditemukan secara persis dalam kanon Alkitab yang ada. Namun, ada beberapa elemen yang memiliki resonansi tematik:
Meskipun tidak ada "meja yang turun dari langit" secara harfiah, tema pemberian makanan ajaib sangat kuat dalam ajaran Isa/Yesus, seperti mukjizat penggandaan roti dan ikan, yang memberi makan ribuan orang. Kedua kisah tersebut menekankan bahwa Isa AS adalah perantara dari rezeki Ilahi yang melimpah dan tak terduga.
Perbedaan utamanya terletak pada tujuan. Mukjizat penggandaan roti berfungsi untuk memenuhi kebutuhan mendesak khalayak luas, sedangkan *Ma'idah* berfungsi sebagai tanda spiritual dan penetapan hari raya yang abadi bagi sekelompok orang tertentu (Hawariyyun), dengan konsekuensi azab yang sangat spesifik jika mereka mengingkari.
Beberapa penafsir kontemporer mencoba menarik paralel simbolis. Perjamuan Terakhir, di mana Isa memecah roti dan berbagi anggur sebagai lambang tubuh dan darahnya, adalah inti dari peribadatan Kristen. Sementara *Ma'idah* adalah hidangan yang turun dari langit sebagai tanda kekuasaan Allah yang ekstrem, Perjamuan Terakhir adalah penetapan ritual yang menjadi pengingat pengorbanan Isa AS. Kedua peristiwa tersebut menempatkan makanan sebagai titik fokus spiritual, pengingat, dan 'Iyd bagi komunitas mereka.
Permintaan Hawariyyun agar hari turunnya Ma'idah menjadi 'Iyd memiliki signifikansi yang luar biasa dalam pemahaman Islam tentang perayaan.
'Iyd dalam Islam (seperti Idul Fitri dan Idul Adha) adalah hari kebahagiaan, syukur, dan pengulangan ibadah. Permintaan Hawariyyun menunjukkan bahwa mereka ingin peristiwa mukjizat ini menjadi sumber kebahagiaan dan syukur yang berkelanjutan, yang terstruktur dalam kalender keagamaan mereka.
Hari raya berfungsi sebagai mekanisme memori kolektif. Dengan menetapkan hari turunnya hidangan sebagai 'Iyd, mereka memastikan bahwa generasi mendatang tidak akan melupakan kekuasaan Allah dan kenabian Isa AS. Itu adalah upaya untuk mengikat sejarah dan teologi ke dalam praktik komunal.
Para ulama juga mencatat bahwa setiap hari di mana umat Islam berhasil menyelesaikan ibadah besar (seperti shalat Jumat atau haji) memiliki aspek 'Iyd karena mengandung syukur atas rezeki spiritual. Dengan demikian, hidangan fisik dari langit menjadi metafora bagi rezeki yang memungkinkan ibadah dan syukur.
Kisah ini adalah salah satu dari banyak contoh di mana umat/murid meminta bukti atau keringanan dari nabi mereka. Dalam Al-Qur'an, kita menemukan:
Setiap permintaan ini menunjukkan naluri manusia untuk mencari kepastian di tengah ketidakpastian iman. Namun, kisah *Ma'idah* memiliki batas risiko tertinggi, karena permintaannya bersifat mukjizat material yang ekstrem, sehingga konsekuensi jika diingkari juga ekstrem.
Nabi Isa AS bertindak sebagai perantara yang tulus dan penuh harap, tetapi Ia juga menyadari bahwa dengan meminta mukjizat yang begitu besar, ia meletakkan umatnya di tepi jurang ujian. Doanya yang penuh kerendahan hati ("Ya Tuhan kami, turunkanlah...") menunjukkan bahwa ia memahami betapa dahsyatnya kekuasaan yang ia mintakan untuk ditampilkan.
Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Katsir, riwayat tentang isi hidangan sangat beragam, yang mencerminkan keragaman tradisi naratif Bani Israil. Namun, keberagaman ini justru memperkuat poin utamanya:
Beberapa riwayat mengatakan hidangan itu berisi segala jenis makanan yang diinginkan manusia, mulai dari ikan, roti, buah-buahan, hingga daging. Ini menyiratkan kesempurnaan rezeki dari Allah. Hidangan tersebut melambangkan bahwa Allah mampu menyediakan bukan hanya yang dibutuhkan, tetapi juga yang paling didambakan, secara instan dan sempurna.
Dalam banyak riwayat, dua elemen yang paling konsisten disebut adalah ikan dan roti. Dalam konteks budaya Semitik, roti melambangkan kebutuhan dasar kehidupan (sebagaimana doa "berikanlah kami rezeki hari ini"), sementara ikan melambangkan rezeki dari alam yang dalam, sesuatu yang memerlukan usaha. Ketika keduanya diturunkan dari langit, ia menandakan kemudahan rezeki yang tak terbatas.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa hidangan itu memiliki kemampuan menyembuhkan. Siapa pun yang sakit atau cacat, jika memakan sebagian dari hidangan itu, akan sembuh. Jika riwayat ini benar, *Ma'idah* adalah mukjizat ganda: manifestasi rezeki dan penyembuhan, memperkuat status Isa AS sebagai penyembuh atas izin Allah.
Kisah *Ma'idah* memiliki relevansi besar bagi umat Islam modern. Seringkali, manusia berpikir bahwa ujian terberat datang saat kelaparan atau kesulitan. Namun, ayat ini menunjukkan bahwa kelimpahan, kemudahan, dan rezeki yang tak terduga (*ghani*) juga merupakan ujian yang berat.
Bagi Hawariyyun, hidangan tersebut menjadi sumber godaan—apakah mereka akan menggunakannya dengan rasa syukur dan untuk menegakkan kebenaran, ataukah mereka akan menyimpannya, menyalahgunakannya, atau mengingkari asalnya? Dalam dunia modern yang serba materi, harta benda dan kekayaan yang berlimpah seringkali menjadi 'Ma'idah' kita. Pertanyaannya, apakah kita bersyukur dan menggunakan rezeki itu sebagai 'Ayatun Minka' (tanda dari-Nya), ataukah kita melupakan Pemberi Rezeki? Kekafiran modern sering kali berbentuk materialisme yang melupakan sumber rezeki spiritual.
Kisah ini juga mengajarkan bahwa iman sejati tidak boleh bergantung terus-menerus pada mukjizat yang kasat mata. Begitu mukjizat dipertanyakan atau hilang, iman akan runtuh. Tugas seorang mukmin adalah beriman kepada yang ghaib (*iman bi al-ghayb*), berdasarkan petunjuk dan akal, bukan semata-mata berdasarkan sensasi fisik yang berulang. Permintaan Hawariyyun, meskipun dikabulkan, membawa risiko spiritual yang tinggi karena mereka meminta hal yang keluar dari sunnatullah secara ekstrem.
Surah Al-Maidah ayat 114 adalah pilar narasi yang mengajarkan tentang kekuasaan Allah yang mutlak dalam memberikan rezeki, baik yang biasa maupun yang luar biasa. Ia adalah cerita tentang kerinduan manusia akan kepastian spiritual, yang diwujudkan melalui permintaan makanan dari langit.
Melalui respons Nabi Isa AS yang bijaksana dan tanggapan Allah yang tegas dan penuh ancaman, kita belajar bahwa mukjizat adalah amanah. Hidangan yang turun dari langit bukanlah akhir dari perjalanan spiritual, melainkan awal dari ujian yang jauh lebih berat. Ujian terbesar bukanlah lapar, melainkan menjaga syukur saat kenyang; menjaga iman saat bukti telah terpampang jelas di hadapan mata.
Sebagai penutup, ayat ini mengukuhkan keagungan Allah sebagai Khairu al-Raziqin—sebaik-baik Pemberi Rezeki, yang karunia-Nya melimpah bagi yang meminta, namun azab-Nya sangat pedih bagi yang mengingkari karunia tersebut.
Untuk memahami mengapa Hawariyyun berani mengajukan permintaan sedahsyat ini, penting untuk meninjau karakter mereka sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an. Kata Hawariyyun secara linguistik dapat berarti 'pemutih' (seperti yang mencuci pakaian) atau 'teman sejati'. Mereka adalah kelompok elite, orang-orang yang pertama kali beriman kepada Isa AS, membersihkan diri mereka dari keraguan, dan berkomitmen untuk menolong agama Allah.
Dalam ayat-ayat sebelumnya, Hawariyyun menyatakan, "Kami adalah penolong-penolong agama Allah" (QS. Al-Maidah: 111). Ini menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi. Namun, permintaan Ma'idah di ayat 114 menunjukkan kelemahan manusiawi yang mendasar: kebutuhan akan kepastian materiil. Walaupun mereka telah melihat mukjizat penyembuhan dan menghidupkan orang mati, hal-hal tersebut mungkin terasa jauh dan tak terulang. Hidangan yang turun, sebaliknya, adalah sesuatu yang dapat mereka sentuh, rasakan, dan bagi, menjadikannya 'bukti' yang lebih intim dan nyata bagi kehidupan sehari-hari.
Para ulama seperti Qatadah berpendapat bahwa permintaan ini bukan muncul karena keraguan akan kenabian Isa AS, melainkan karena keinginan untuk menambah keyakinan (ziyadat al-yaqin). Keyakinan memiliki tingkatan, dari 'ilm al-yaqin (ilmu yakin), 'ayn al-yaqin (melihat langsung), hingga haqq al-yaqin (kebenaran yang mendalam). Mereka mencari tingkat keyakinan tertinggi, meskipun hal itu membawa risiko besar seperti yang diungkapkan di ayat 115.
Nabi Isa AS pada awalnya dilaporkan dalam beberapa riwayat merasa keberatan atau memperingatkan mereka tentang konsekuensinya, tetapi karena kegigihan mereka, ia akhirnya memenuhi permintaan tersebut dengan berdoa kepada Allah. Ini adalah pelajaran penting bagi para pemimpin agama: terkadang, meskipun permintaan umat berisiko, pemimpin diwajibkan untuk memohon rahmat Ilahi asalkan permintaan itu tidak melanggar batasan syariat atau tauhid. Isa AS tidak mengabulkan permintaan itu atas kekuatannya sendiri, tetapi dengan bersandar sepenuhnya kepada Allah.
Pola ini menunjukkan harmoni antara kehendak manusia dan kekuasaan Ilahi. Manusia meminta, Nabi menjadi perantara doa, dan Allah menentukan respons, lengkap dengan syarat dan konsekuensi yang menyertainya.
Doa Isa AS di ayat 114 adalah model kesempurnaan dalam memohon kepada Allah. Mari kita telaah setiap bagiannya:
«اللَّهُمَّ رَبَّنَا» (Allahumma Rabbana): Kombinasi 'Allahumma' (Ya Allah) dan 'Rabbana' (Tuhan kami) adalah bentuk seruan yang paling mendalam. Ini menempatkan permintaan di bawah otoritas Ilahi yang meliputi penciptaan, pemeliharaan, dan kepemilikan. Isa AS mengakui bahwa hanya Allah yang memegang kuasa untuk mengirimkan hidangan dari langit, menolak segala bentuk kemitraan atau kemampuan mandiri.
«أَنزِلْ عَلَيْنَا مَآئِدَةً مِّنَ ٱلسَّمَآءِ» (Anzil 'alainaa Ma'idatan minas-Samaa'): Permintaan harus jelas. Mereka meminta hidangan (meja lengkap dengan makanan) dan sumbernya harus jelas: dari langit. Penekanan pada 'dari langit' menegaskan bahwa ini adalah mukjizat, bukan hasil dari proses bumiwi.
«تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا وَءَاخِرِنَا وَءَايَةً مِّنكَ» (Takuunu lanaa 'Iydan li'awwalinaa wa aakhirinaa wa Aayatan minka): Doa Isa AS tidak hanya berfokus pada kebutuhan perut, tetapi juga pada warisan spiritual. Ia meminta agar hidangan itu berfungsi sebagai: hari raya bagi semua generasi (sosial) dan tanda kekuasaan Ilahi (spiritual). Ini menunjukkan visi kenabian yang melampaui masa kini.
«وَٱرْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلرَّٰزِقِينَ» (Warzuqnaa wa Anta Khairu ar-Raziqin): Bagian 'Warzuqnaa' (dan berilah kami rezeki) mengulang permintaan kebutuhan fisik. Namun, ia segera diimbangi dengan pujian tauhid, 'wa Anta Khairu ar-Raziqin' (Engkaulah sebaik-baik Pemberi Rezeki). Penutup ini berfungsi sebagai penegasan bahwa hasil dari permintaan tersebut, baik makanan itu turun atau tidak, hanya bergantung pada kehendak dan kemurahan Allah, menyempurnakan adab seorang nabi dalam berdoa.
Meskipun kisah *Ma'idah* adalah mukjizat yang spesifik bagi umat Nabi Isa AS, para fuqaha dan ahli ushul fiqh mengambil pelajaran dari ayat ini mengenai etika permintaan dan intervensi Ilahi:
Secara umum, dalam Islam disarankan untuk memohon rezeki yang wajar sesuai sunnatullah (hukum alam) yang berlaku. Meminta mukjizat yang ekstrem, seperti meminta makanan langsung dari langit, diperbolehkan hanya oleh para nabi (karena memiliki jaminan wahyu) atau dalam keadaan darurat yang luar biasa. Namun, bagi umat biasa, hal ini sebaiknya dihindari, mengingat risiko azab yang disebutkan di ayat 115.
Ayat ini membenarkan praktik menjadikan hari di mana karunia besar diterima sebagai hari perayaan atau syukur. Hal ini mendukung dasar penetapan hari-hari besar Islam yang berkaitan dengan peristiwa penting (seperti Nuzulul Qur'an atau hari-hari setelah Ramadhan). 'Iyd adalah penanda kebahagiaan kolektif atas rahmat Ilahi.
Jika riwayat yang menyebutkan larangan menyimpan hidangan *Ma'idah* untuk keesokan hari adalah benar, ini mengajarkan etika penggunaan rezeki Ilahi: rezeki yang datang secara mukjizat harus digunakan segera dan sepenuhnya untuk tujuan yang benar, tanpa kerakusan atau upaya untuk menimbunnya. Hal ini menekankan bahwa rezeki tersebut adalah anugerah sementara dan ujian, bukan sumber kekayaan abadi duniawi.
Kisah Surah Al-Maidah 114, oleh karena itu, tetap menjadi salah satu ayat yang paling kaya dalam Al-Qur'an, menyediakan pelajaran tentang iman, risiko, dan keagungan Dzat Yang Maha Memberi Rezeki. Ia memaksa kita untuk merenungkan: apakah iman kita mampu bertahan tanpa terus-menerus disajikan bukti visual, dan bagaimana kita memperlakukan "hidangan" rezeki (baik materi maupun spiritual) yang Allah turunkan kepada kita dalam kehidupan sehari-hari.