Surah Al-Anbiya (Para Nabi) menempati posisi sentral dalam susunan mushaf, dikenal sebagai salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada fase kritis dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Mekah. Surah ini bertujuan utama untuk mengikis keraguan kaum musyrikin terhadap tiga pilar akidah Islam: Tauhid (Keesaan Allah), Kenabian (Kebenaran Risalah), dan Kebangkitan (Hari Perhitungan). Dinamika surah ini luar biasa, mengalirkan kisah-kisah historis para utusan Allah untuk menegaskan bahwa pesan Muhammad adalah kelanjutan dari risalah universal yang telah disampaikan sejak Nuh.
Kajian ini akan membedah secara rinci struktur, tema-tema kunci, dan tafsir mendalam (tafsir tahlili) dari 112 ayat Surah Al-Anbiya, menyoroti pelajaran abadi dari kehidupan para nabi agung dan relevansinya bagi kehidupan spiritual di masa modern.
Nama surah ini diambil dari penekanan kuatnya pada rangkaian kisah para nabi, yang dimulai dari Musa dan Harun, hingga Ibrahim, Luth, Nuh, Daud, Sulaiman, Ayyub, Ismail, Idris, Dzulkifli, Yunus, Zakariya, Yahya, dan Isa. Meskipun banyak nabi dibahas, struktur naratifnya berbeda dari Surah Yusuf atau Surah Hud; di sini, kisah-kisah tersebut disajikan secara padat dan berurutan, layaknya sebuah galeri bukti kenabian.
Sebagai surah Makkiyah, diturunkan di tengah-tengah tekanan dan penolakan keras di Mekah, suasana surah ini dipenuhi dengan peringatan tegas tentang kedekatan Hari Kiamat. Ayat-ayat awalnya berfungsi sebagai lonceng alarm, membangunkan mereka yang lalai dan mendebat mereka yang menolak bukti-bukti nyata keberadaan dan kekuasaan Allah.
Seluruh Surah Al-Anbiya berputar pada tiga poros argumentasi:
Surah ini dibuka dengan nada yang sangat mendesak. Ayat 1 mengingatkan bahwa manusia seringkali menjalani hidup dalam keadaan lalai, padahal momen pertanggungjawaban mereka semakin mendekat. Ini adalah teguran keras terhadap mentalitas hedonis dan materialistis yang mengabaikan Hari Akhir.
Penolakan manusia (Ayat 2-3) digambarkan sebagai kebiasaan yang berpura-pura mendengarkan Nabi, padahal hati mereka disibukkan dengan permainan dan kesenangan duniawi. Mereka menuduh Al-Qur'an sebagai karangan Muhammad, sihir, atau mimpi yang kacau. Ini adalah taktik pengecut untuk menghindari kebenaran yang menuntut perubahan perilaku.
Allah kemudian membalas tuduhan ini dengan menegaskan bahwa semua rasul sebelum Muhammad juga makan, minum, dan berjalan di pasar (Ayat 7-8). Kenabian bukanlah klaim keilahian, melainkan tugas yang diemban oleh manusia pilihan. Setiap kaum yang mendustakan nabi mereka pada akhirnya dihancurkan (Ayat 11-15), sebuah peringatan historis yang menjadi ancaman bagi kaum Quraisy.
Setelah peringatan temporal (Kiamat), surah beralih ke argumen logis mengenai penciptaan. Allah berfirman (Ayat 16): "Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main." Penciptaan adalah suatu keseriusan, bukan main-main (la'b).
Salah satu ayat terpenting dalam sejarah kosmogoni Al-Qur'an muncul di sini, menegaskan ke-Esa-an Allah dalam penciptaan:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulu menyatu (ratq), kemudian Kami pisahkan keduanya (fataq)? Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman?” (QS. Al-Anbiya: 30)
Ayat ini, yang dikenal sebagai 'Ayat Pembelah', sering ditafsirkan sebagai merujuk pada pemisahan langit dan bumi dari keadaan tunggal (seperti Big Bang) dan pentingnya air sebagai asal mula kehidupan. Ini adalah bukti kekuasaan Allah yang melampaui kemampuan berhala-berhala buatan manusia.
Ayat-ayat berikutnya menyajikan hukum-hukum alam (sunnatullah) sebagai tanda-tanda kebesaran: gunung-gunung sebagai pasak (Ayat 31), peredaran matahari dan bulan di orbitnya (Ayat 33), dan kepastian bahwa setiap jiwa akan merasakan kematian (Ayat 35).
Ayat 36 mencatat ejekan kaum musyrikin terhadap Nabi Muhammad, menuduhnya gila. Ini menunjukkan betapa beratnya perjuangan seorang rasul yang harus menghadapi fitnah pribadi. Allah mengingatkan mereka bahwa penolakan ini akan berujung pada azab mendadak (Ayat 39-40).
Blok ini ditutup dengan penegasan bahwa tidak ada yang dapat melindungi manusia dari azab Allah selain Dia sendiri (Ayat 43-44). Orang-orang musyrik, meskipun menikmati kemakmuran sementara, akan melihat wilayah mereka berkurang sedikit demi sedikit (Ayat 44), sebuah ramalan yang terwujud dalam perluasan kekuasaan Islam.
Inti dari surah ini adalah presentasi kisah para nabi. Tujuan utamanya bukan sekadar narasi sejarah, tetapi untuk menghubungkan rantai kenabian, menegaskan kesatuan risalah, dan memberikan penghiburan serta teladan bagi Nabi Muhammad ﷺ dan para pengikutnya.
Kisah Musa dan Harun disajikan singkat namun padat, disebut sebagai penerima Al-Furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah), cahaya, dan peringatan. Fokusnya adalah pada warisan mereka bagi orang-orang bertakwa. Penyebutan mereka di awal galeri kenabian menekankan bahwa Taurat dan Al-Qur'an memiliki akar yang sama.
Kisah Ibrahim adalah narasi paling panjang dan paling filosofis dalam surah ini. Kisahnya mengajarkan perjuangan melawan tradisi dan otoritas yang salah.
Setelah diselamatkan, Allah menganugerahkan Ishak dan Ya’qub, menjadikan mereka imam yang memberi petunjuk (Ayat 72-73). Kisah Ibrahim menetapkan standar keberanian dalam Tauhid.
Nuh disebutkan sebagai yang berdoa di saat kesulitan besar. Permohonan Nuh untuk diselamatkan dari kaum yang zalim diijabah, dan Allah menghancurkan orang-orang yang mendustakannya. Ini menekankan pentingnya doa yang tulus di tengah penderitaan dan penegasan bahwa Allah selalu mendengar hamba-hamba-Nya yang teraniaya.
Daud dan Sulaiman disajikan sebagai model pemimpin yang bijaksana dan diberi karunia pengetahuan (Ayat 79). Mereka memiliki keunikan karena kenabian mereka digabungkan dengan kekuasaan politik (kerajaan).
Bagian ini adalah studi kasus tentang ketahanan spiritual (sabar) dan kekuatan doa dalam menghadapi bencana, penyakit, dan keputusasaan.
Kisah Ayyub disajikan secara ringkas, berfokus pada puncak kesabarannya saat ditimpa penyakit yang parah. Doanya adalah contoh kesopanan dan penyerahan total:
أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
“Sesungguhnya aku telah ditimpa kemudaratan, dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83)
Ayyub tidak menuntut kesembuhan, tetapi hanya menyatakan kondisinya kepada Allah dengan pengakuan atas kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Sebagai balasannya, Allah menghilangkan penderitaannya dan memberinya keluarga dan harta dua kali lipat, sebagai rahmat dari sisi Allah dan sebagai pelajaran bagi hamba-hamba yang beribadah (Ayat 84).
Ketiga nabi ini disebut sebagai orang-orang yang sabar dan dimasukkan ke dalam rahmat Allah. Mereka adalah contoh ketabahan dalam menjalankan perintah ilahi, meskipun detail kisah mereka disajikan sangat ringkas.
Kisah Yunus, yang dikenal sebagai 'Dzu al-Nun' (pemilik ikan), adalah pelajaran tentang konsekuensi ketergesaan dan pentingnya bertobat dalam kegelapan (perut ikan).
Ayat ini mengajarkan tentang doa teragung di saat putus asa:
لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Tidak ada tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 87)
Allah menyelamatkannya karena ia bertasbih, menunjukkan bahwa pengakuan atas dosa (inni kuntu minazh zhalimin) dan penegasan tauhid (la ilaha illa Anta) adalah kunci pelepasan dari kesulitan. Kisah ini menjadi sumber optimisme bagi setiap mukmin yang merasa terperangkap dalam kesusahan.
Penutupan galeri nabi diakhiri dengan tiga figur yang sangat istimewa:
Kesatuan pesan para nabi adalah jelas: meskipun cara mereka berdakwah dan mukjizat yang mereka bawa berbeda, misi mereka sama—menegakkan Tauhid dan menyeru kepada kebenaran.
Setelah kisah para nabi, surah ini kembali ke tema universalitas. Ayat 92 menyatakan bahwa risalah ini, yang dibawa oleh semua nabi, adalah satu umat (ummatan wahidah), dan Allah adalah Tuhan yang sama. Namun, ayat 93 mengecam perpecahan yang terjadi di antara umat-umat tersebut akibat fanatisme dan kesombongan. Mereka memecah belah urusan agama mereka menjadi kelompok-kelompok yang saling berselisih (Ayat 93).
Ayat 94 memberikan jaminan kepada mereka yang beramal saleh (baik dari umat terdahulu maupun umat Muhammad) bahwa amal mereka tidak akan disia-siakan dan akan dicatat.
Peringatan keras Kiamat kembali ditekankan (Ayat 96-97) dengan menyebutkan munculnya Ya'juj dan Ma'juj sebagai tanda besar Hari Akhir. Ketika pintu-pintu mereka terbuka, manusia akan berhamburan dari setiap bukit, dan janji Allah telah dekat. Ini adalah penutup yang kuat untuk peringatan yang dimulai pada Ayat 1.
Surah ini menyajikan adegan kontras di Hari Kiamat. Orang-orang yang mendustakan akan dilemparkan ke Neraka Jahanam bersama dengan tuhan-tuhan palsu yang mereka sembah (Ayat 98-99). Mereka akan merintih dan tidak bisa mendengar apa-apa karena keputusasaan (Ayat 100).
Namun, segera setelah gambaran horor itu, Surah Al-Anbiya memberikan pengecualian yang menghibur (Ayat 101-103): Mereka yang telah ditetapkan mendapat kebaikan dari Allah (para nabi, orang saleh, dan pengikut mereka) akan dijauhkan dari api. Mereka tidak akan mendengar sedikit pun suara api neraka dan akan kekal dalam kenikmatan yang mereka inginkan. Mereka akan disambut oleh para malaikat dengan ucapan, "Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu."
Blok penutup surah ini adalah salah satu yang paling berpengaruh secara teologis, terutama mengenai pembaharuan alam semesta dan warisan kekuasaan.
Allah menggambarkan Hari Kiamat sebagai proses pembaruan kosmik:
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ ۚ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيدُهُ ۚ وَعْدًا عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ
"(Ingatlah) hari (ketika) Kami menggulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran catatan. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. (Itu adalah) janji yang pasti Kami tepati; sungguh, Kami pasti akan melaksanakannya." (QS. Al-Anbiya: 104)
Ayat ini berfungsi sebagai penegasan akhir atas konsep kebangkitan: jika Allah mampu menciptakan dari ketiadaan, mengulanginya adalah hal yang jauh lebih mudah bagi-Nya. Langit akan digulung, dan kehidupan baru akan dimulai.
Ini adalah ayat kunci yang memberikan harapan dan kepastian kemenangan bagi orang-orang yang beriman, menyentuh isu keadilan dan kepemimpinan di bumi:
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِن بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (ditulis) di dalam Adz-Dzikr, bahwasanya bumi ini diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS. Al-Anbiya: 105)
Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan (khilafah) di bumi, baik secara spiritual maupun temporal, pada akhirnya akan jatuh ke tangan hamba-hamba Allah yang bertakwa dan beramal saleh. Ini bukan janji kekuasaan instan, tetapi hukum ilahi yang berlaku sepanjang sejarah.
Di akhir rangkaian bukti dan janji, Allah merangkum tujuan utama pengutusan Nabi Muhammad ﷺ:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Pernyataan ini menunjukkan bahwa inti dari risalah Nabi Muhammad adalah kasih sayang (rahmat). Meskipun surah ini penuh dengan peringatan, tujuan akhirnya adalah membawa manusia kepada jalan yang benar agar mereka mendapatkan rahmat abadi. Kelembutan ini sangat kontras dengan tuduhan bahwa beliau adalah penyihir atau orang gila.
Surah ini ditutup dengan perintah untuk menyatakan Tauhid secara tegas (Ayat 108) dan diakhiri dengan pujian kepada Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (Ayat 111-112).
Surah Al-Anbiya secara unik menggunakan konsep kedekatan Hari Kiamat (Iqtaraba) sebagai alat motivasi. Kelalaian (ghafilah) adalah musuh spiritual utama yang disoroti surah ini. Kelalaian bukan sekadar lupa, tetapi sikap hidup yang mengabaikan prioritas abadi demi kesenangan sesaat. Dengan terus mengulang janji hari perhitungan, surah ini menuntut perubahan segera dalam perilaku dan akidah.
Penyajian kisah para nabi di Al-Anbiya bersifat argumentatif. Tidak ada kisah yang diceritakan tanpa tujuan teologis langsung. Setiap nabi menghadapi tantangan serupa (penolakan, ejekan, ancaman), namun semua diselamatkan dan diberi kemenangan (najjaahu). Ini memberikan keyakinan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya bahwa jika mereka bertahan di jalan yang benar (Tauhid), mereka juga akan diselamatkan dan diwariskan kekuasaan di bumi.
Surah ini memberikan pelajaran praktis yang mendalam tentang sabr (kesabaran) dan kekuatan doa (supplication).
Dalam setiap kasus, doa yang dipanjatkan para nabi bersifat universal dan menunjukkan kerendahan hati yang ekstrem, pengakuan atas kezaliman diri sendiri (Yunus), atau pengakuan atas rahmat Allah (Ayyub). Ini mengajarkan bahwa mukmin sejati harus menggunakan senjata spiritual ini sebelum mengandalkan kekuatan duniawi.
Surah Al-Anbiya secara efektif memadukan argumen Tauhid Rububiyah (Kekuasaan Allah dalam penciptaan) dan Tauhid Uluhiyah (Hak Allah untuk disembah). Setelah Ayat 30 (penciptaan langit dan bumi), tidak ada ruang bagi manusia untuk menyangkal bahwa Allah adalah Pencipta. Jika Dia adalah Pencipta yang Agung, logis bahwa hanya Dia yang layak disembah, membatalkan semua patung dan dewa-dewa palsu yang dihancurkan oleh Ibrahim.
Ayat 105, tentang pewarisan bumi oleh hamba-hamba yang saleh, merupakan fondasi teologis bagi khilafah (kepemimpinan) yang berlandaskan moral dan spiritual. Ini bukan janji kekayaan material semata, tetapi penegasan bahwa kekuasaan sejati harus berada di tangan mereka yang menegakkan keadilan dan ketakwaan. Ini memberikan visi jangka panjang bagi umat Islam, melampaui kesulitan yang mereka hadapi di Mekah saat surah ini diturunkan.
Peringatan awal surah (Ayat 1-3) tentang manusia yang lalai di tengah kedekatan perhitungan sangat relevan di era modern. Kelalaian di masa kini seringkali diwujudkan dalam konsumerisme yang berlebihan, pengejaran status, dan kecanduan hiburan yang mengalihkan perhatian dari tujuan eksistensial. Surah Al-Anbiya berfungsi sebagai koreksi spiritual, mengingatkan bahwa hidup ini serius, bukan permainan.
Ayat 30 tentang pemisahan langit dan bumi, dan Ayat 33 tentang orbit tata surya, sering menjadi titik diskusi antara ilmuwan Muslim dan tafsir modern. Meskipun Al-Qur'an bukanlah buku sains, ayat-ayat kosmik ini mendorong refleksi mendalam mengenai keteraturan alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa iman dan nalar tidak bertentangan; justru, keajaiban penciptaan adalah bukti keesaan Sang Pencipta.
Dalam dunia yang penuh tekanan mental dan penyakit, kisah Ayyub dan Yunus menawarkan model penanggulangan stres yang berdasarkan spiritualitas. Doa Yunus mengajarkan bahwa dalam kesulitan tergelap sekalipun, kita harus mengakui ketidaksempurnaan diri sambil secara mutlak menegaskan keagungan Allah. Mengucapkan, "Lā ilāha illā Anta, subḥānaka innī kuntu minaẓ-ẓālimīn," bukan hanya memohon, tetapi juga terapi spiritual untuk mengembalikan fokus kepada Tauhid murni.
Kecaman terhadap perpecahan (Ayat 93) menjadi teguran abadi bagi umat yang terus terfragmentasi berdasarkan sekte, ideologi, atau politik. Surah ini menekankan bahwa semua umat Islam adalah satu umat yang memiliki tujuan tunggal. Tantangan terbesar adalah bagaimana umat Islam dapat mengatasi perbedaan minor untuk mencapai warisan kepemimpinan saleh yang dijanjikan dalam Ayat 105.
Surah Al-Anbiya adalah sebuah mahakarya sastra dan teologis yang menggabungkan peringatan keras tentang masa depan dengan keindahan kisah-kisah masa lalu. Surah ini mengajarkan bahwa sejarah bukanlah siklus acak, melainkan sebuah pola ilahi yang berulang: Kebenaran akan selalu menang atas kebatilan, dan ujian adalah bagian integral dari jalan menuju kesalehan.
Dari keberanian Ibrahim di hadapan api, kesabaran Ayyub di tengah penderitaan, hingga pengakuan Yunus di perut ikan, setiap kisah berfungsi sebagai peta jalan menuju kemenangan spiritual. Inti pesan surah ini adalah agar manusia segera tersadar dari kelalaian mereka, menolak berhala modern maupun kuno, dan memeluk risalah Tauhid yang universal, yang puncaknya termanifestasi dalam kasih sayang (rahmat) yang dibawa oleh Nabi terakhir, Muhammad ﷺ.
Kepastian tentang Kebangkitan (Ayat 104) dan janji kekuasaan bagi yang saleh (Ayat 105) adalah jaminan abadi bagi mereka yang teguh memegang tali agama Allah, mengakhiri Surah Al-Anbiya dengan harapan yang kuat di tengah peringatan yang mendesak.