Ilustrasi jalur perjalanan malam (Isra') yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa.
Surah Al-Isra, yang juga dikenal sebagai Surah Bani Israil, adalah surah ke-17 dalam Al-Qur'an. Ia dinamai berdasarkan peristiwa luar biasa yang diceritakan pada ayat pertamanya, yaitu Isra' (perjalanan malam) Nabi Muhammad ﷺ. Ayat pertama surah ini bukan sekadar narasi sejarah; ia adalah fondasi teologis yang menegaskan keagungan Allah, kemuliaan Rasulullah sebagai hamba yang terpilih, dan posisi sentral Baitul Maqdis (Masjidil Aqsa) dalam Islam.
Ayat pembuka ini, dengan keindahan dan ketepatan bahasanya, telah menjadi sumber kajian yang tak pernah habis selama berabad-abad. Peristiwa Isra' Mi'raj terjadi pada masa yang sangat kritis dalam sejarah dakwah, dikenal sebagai Tahun Kesedihan (Amul Huzni), memberikan penegasan spiritual dan fisik dari Allah SWT kepada Nabi-Nya setelah serangkaian cobaan berat.
Untuk memahami kedalaman pesan ini, kita harus menyelami setiap kata, menelusuri konteks historis, dan menarik hikmah spiritual yang relevan untuk setiap Muslim di setiap zaman. Ayat ini adalah bukti kekuasaan mutlak Allah untuk melampaui hukum-hukum alam yang dikenal manusia.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra [17]: 1)
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata yang sangat tepat dan sarat makna. Setiap frasa membuka jendela menuju pemahaman yang lebih luas tentang hakikat mukjizat ini.
Ayat ini dibuka dengan kata ‘Subhana’ (Maha Suci). Dalam bahasa Arab, ‘Subhana’ adalah kata benda yang berfungsi sebagai seruan (disebut mashdar) yang mengekspresikan penyucian dan pengagungan Allah dari segala kekurangan atau sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya. Penggunaan ‘Subhana’ pada awal ayat yang menceritakan mukjizat luar biasa ini memiliki fungsi ganda:
Kata 'asra' secara spesifik merujuk pada ‘perjalanan yang dilakukan pada waktu malam’. Ini berbeda dengan ‘sara’ yang berarti perjalanan biasa. Pemilihan kata 'asra' menegaskan elemen waktu (malam hari), yang merupakan bagian integral dari mukjizat tersebut.
Allah menggunakan istilah 'abdih' (hamba-Nya) untuk merujuk kepada Nabi Muhammad ﷺ, bukan ‘Nabi-Nya’ (Nabiyyih) atau ‘Rasul-Nya’ (Rasulih). Ini adalah poin tafsir yang sangat penting. Ibnu Katsir dan para mufassir lainnya menjelaskan bahwa gelar 'hamba' (abd) adalah gelar kemuliaan tertinggi dalam Islam, terutama ketika disandingkan dengan Allah.
“Penyebutan ‘hamba-Nya’ pada konteks ini menandakan bahwa keberhasilan Nabi Muhammad dalam perjalanan Isra’ Mi’raj adalah buah dari pengabdian totalnya kepada Allah. Hanya dengan status sebagai hamba yang tunduk sepenuhnya, ia layak menerima kehormatan dan mukjizat sebesar ini.”
Ini juga membantah segala bentuk penafsiran yang mengkultuskan Nabi Muhammad ﷺ ke taraf ketuhanan, menjaga tauhid tetap murni di tengah kemuliaan yang luar biasa. Nabi adalah hamba yang diangkat derajatnya melalui ketundukan sempurna.
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan batas waktu dan tempat:
Ayat tersebut tidak berhenti hanya pada penyebutan nama, tetapi menambahkan deskripsi yang mendalam: “yang telah Kami berkahi sekelilingnya.” Keberkahan ini bersifat multidimensi:
Penghubungan Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa melalui perjalanan malam ini secara teologis menegaskan bahwa Islam adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari risalah samawi sebelumnya, mempersatukan pusat-pusat wahyu kenabian.
Bagian akhir ayat ini menjelaskan tujuan fundamental dari mukjizat ini:
لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَٰتِنَآ (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami)
Kata ‘ayatina’ (tanda-tanda Kami) mencakup segala sesuatu yang dilihat dan dialami Nabi Muhammad ﷺ, baik dalam perjalanan Isra’ (di bumi) maupun Mi’raj (di langit). Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan edukasi dan penguatan spiritual yang intensif.
Selama perjalanan dari Makkah ke Yerusalem, Nabi ﷺ melihat berbagai penampakan yang berfungsi sebagai peringatan dan kabar gembira. Penampakan ini seringkali dihubungkan dengan gambaran neraka bagi orang-orang yang melanggar hukum syariat, seperti pemakan riba atau para pengumpat. Tujuannya adalah untuk memperjelas konsekuensi amal perbuatan di dunia.
Meskipun ayat 1 hanya berfokus pada Isra’ (perjalanan bumi), peristiwa ini tak terpisahkan dari Mi’raj (kenaikan ke langit). Di langit, Nabi melihat:
Keseluruhan pengalaman ini adalah penguatan batin yang sangat dibutuhkan Nabi pada masa-masa paling sulit dakwah di Makkah. Ia kembali dengan keyakinan penuh akan janji dan perlindungan Allah.
Ayat ditutup dengan penegasan nama Allah: “Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Frasa penutup ini memberikan jaminan dan kesimpulan: Allah telah mendengar penderitaan Nabi Muhammad dan umatnya (Maha Mendengar), dan Allah telah melihat semua kondisi yang dialami Nabi (Maha Melihat). Mukjizat Isra’ Mi’raj adalah respons ilahi terhadap situasi tersebut, menegaskan bahwa semua tindakan Allah dilakukan dengan pengetahuan dan hikmah yang sempurna.
Sejak awal peristiwa ini diceritakan, muncul perdebatan di kalangan ulama mengenai hakikat perjalanan Isra’ Mi’raj. Apakah perjalanan ini dilakukan secara fisik (dengan jasad dan ruh) atau hanya secara spiritual (dengan ruh saja)?
Mayoritas ulama salaf dan khalaf, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Katsir, dan Al-Thabari, berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan fisik (jasad dan ruh) dan terjadi dalam keadaan sadar. Argumen utama mereka didasarkan pada:
Beberapa ulama, seperti Aisyah RA dan Muawiyah RA, berpendapat bahwa perjalanan tersebut adalah spiritual atau dalam mimpi. Namun, pandangan ini dianggap minoritas dan sering ditafsirkan sebagai pandangan yang mungkin berlaku sebelum Mi’raj atau merujuk pada peristiwa mimpi visioner lainnya, bukan Mi’raj yang agung.
Kesimpulan yang dipegang teguh adalah bahwa Isra’ Mi’raj adalah mukjizat, dan ciri khas mukjizat adalah melampaui batas-batas hukum alam. Perjalanan ini terjadi secara fisik dan ruhani, atas kehendak Allah SWT yang Maha Kuasa.
Perlu ditekankan bahwa Surah Al-Isra Ayat 1 secara spesifik hanya menyebutkan perjalanan Isra’ (dari Makkah ke Yerusalem). Adapun Mi’raj (kenaikan ke langit) dijelaskan oleh hadis-hadis sahih dan beberapa isyarat dalam surah lain (seperti An-Najm).
Meskipun demikian, kedua peristiwa ini terjadi dalam satu malam yang utuh, menunjukkan kesinambungan perjalanan mukjizat yang bertujuan untuk mempersiapkan Nabi Muhammad ﷺ untuk memimpin umat manusia.
Ayat 1 mengabadikan Masjidil Aqsa bukan hanya sebagai tujuan, tetapi sebagai tanah yang diberkahi. Peran Al-Aqsa dalam Isra’ Mi’raj sangatlah fundamental.
Selama periode awal dakwah di Makkah dan tahun-tahun pertama di Madinah, Nabi Muhammad ﷺ shalat menghadap Masjidil Aqsa. Ini menunjukkan koneksi historis dan spiritual yang mendalam antara Islam dan tradisi kenabian yang berpusat di sana.
Setibanya di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad ﷺ memimpin shalat berjamaah yang diikuti oleh seluruh Nabi terdahulu (seperti Adam, Musa, dan Isa). Peristiwa ini adalah proklamasi formal bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah Imamul Anbiya’ (Pemimpin para Nabi) dan risalahnya adalah yang terakhir dan paling sempurna.
Shalat berjamaah di Baitul Maqdis bukan sekadar simbolis; ia adalah pemindahan estafet kenabian. Dari sinilah, Mi’raj (kenaikan) dimulai, melambangkan bahwa risalah Islam mengambil akar dari tradisi suci yang agung sebelum mencapai puncak ilahiah.
Frasa “yang Kami berkahi sekelilingnya” (barakna hawlahu) memiliki implikasi geopolitik dan eskatologis yang penting. Wilayah Syam (Levant) selalu menjadi pusat perhatian kenabian dan akhir zaman. Keberkahan ini mencakup:
Ayat ini mewajibkan umat Islam untuk memahami dan menjaga kesucian Masjidil Aqsa, menjadikannya bukan sekadar situs sejarah, tetapi bagian integral dari akidah.
Ayat pertama Surah Al-Isra mengandung pelajaran mendalam bagi kehidupan setiap Muslim, melampaui keajaiban fisiknya.
Jika Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil. Mukjizat ini menegaskan bahwa kekuasaan Allah tidak terikat oleh hukum fisika. Bagi seorang Muslim, ini adalah pengingat untuk menyerahkan segala urusan kepada Sang Pencipta yang mampu melakukan segalanya.
Isra’ Mi’raj terjadi setelah Tahun Kesedihan (wafatnya Khadijah dan Abu Thalib) dan penolakan keras dari penduduk Thaif. Ayat ini mengajarkan bahwa setelah kesulitan yang paling parah, Allah akan memberikan anugerah dan jalan keluar yang tidak terduga. Kehambaan (al-‘ubudiyyah) adalah kunci untuk mendapatkan pertolongan ilahi.
Meskipun perintah shalat diterima saat Mi’raj, fakta bahwa perjalanan Isra’ dimulai dari satu Masjid (Haram) dan berakhir di Masjid lainnya (Aqsa), dan Nabi memimpin shalat di sana, menekankan bahwa ibadah, khususnya shalat, adalah poros utama risalah ini. Shalat menjadi ‘Mi’raj’ bagi setiap Muslim, jembatan komunikasi antara hamba dan Rabb-nya.
Ayat 1 mengikat risalah Muhammad ﷺ dengan garis kenabian yang panjang. Ini memberikan identitas universal pada Islam, bukan sekadar agama lokal Arab, melainkan penyempurna dari semua wahyu yang diturunkan sebelumnya. Muslim harus menghormati seluruh Nabi dan Rasul.
Mukjizat kecepatan perjalanan ini mengajarkan bahwa Allah bertindak dengan ketepatan waktu yang sempurna. Bagi Nabi Muhammad ﷺ, yang merasa putus asa, solusi ilahi datang seketika dan dengan cara yang paling spektakuler.
Memahami waktu terjadinya Isra’ Mi’raj adalah kunci untuk mengapresiasi pentingnya ayat ini. Peristiwa ini terjadi kira-kira tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah, pada periode yang sangat sulit, yang dikenal sebagai ‘Amul Huzni’ (Tahun Kesedihan).
Pada tahun ini, Nabi Muhammad ﷺ kehilangan dua sosok pelindung utama:
Setelah wafatnya kedua sosok ini, tekanan dari Quraisy meningkat drastis. Nabi Muhammad ﷺ bahkan mencari perlindungan ke Thaif, namun disambut dengan penghinaan dan pelemparan batu. Secara fisik dan emosional, Nabi berada di titik terendah dalam dakwahnya.
Dalam kondisi keputusasaan di bumi, Allah memberikan ‘Wisata Spiritual’ yang luar biasa ke langit. Surah Al-Isra Ayat 1, yang menceritakan perjalanan ini, berfungsi sebagai ‘hadiah’ dan ‘hiburan’ ilahi yang memulihkan kekuatan Nabi, menegaskan bahwa meskipun manusia menolaknya, Allah tetap mengundangnya ke hadirat-Nya.
Ketika Nabi menceritakan perjalanannya, kaum Quraisy menjadikannya bahan tertawaan dan fitnah terbesar. Hal ini menyebabkan banyak Muslim yang imannya lemah menjadi murtad. Namun, bagi para sahabat yang imannya kuat, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, mukjizat ini justru semakin mengokohkan keyakinan mereka terhadap kebenaran Nabi. Ini menunjukkan bahwa mukjizat berfungsi sebagai pemisah tajam antara orang beriman sejati dan orang munafik/ragu-ragu.
Meskipun Surah Al-Isra Ayat 1 tidak menyebutkan nama Buraq, hadis-hadis sahih memberikan rincian tentang kendaraan yang digunakan Nabi ﷺ dalam perjalanan Isra’. Buraq (yang namanya berasal dari kata ‘barq’ atau kilat) adalah kendaraan khusus surga.
Diriwayatkan, Buraq adalah seekor hewan putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bagal. Ciri utamanya yang paling mencengangkan adalah kecepatannya. Langkah Buraq mencapai batas pandangan matanya. Artinya, ia dapat melintasi jarak yang sangat jauh hanya dalam satu langkah, yang menjelaskan bagaimana perjalanan ribuan kilometer dapat diselesaikan dalam sekejap malam.
Kehadiran Buraq adalah representasi lain dari kekuasaan ilahi untuk menyediakan sarana yang melampaui logika duniawi. Ini bukan sekadar penerbangan cepat; ini adalah perpindahan dimensi ruang dan waktu yang diatur oleh Allah semata. Buraq adalah salah satu ‘tanda kebesaran Kami’ (min ayatina) yang Nabi lihat di malam itu.
Ayat pertama Surah Al-Isra berfokus pada Isra’ (perjalanan bumi). Untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang Mi’raj (kenaikan ke langit), kita harus merujuk pada Surah An-Najm (Surah ke-53), terutama ayat 1-18.
Surah An-Najm menceritakan penglihatan Nabi ﷺ di Sidratul Muntaha, tempat di mana Jibril menampakkan wujud aslinya dan Nabi melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang terbesar.
“Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihatnya (Jibril) pada kali yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm [53]: 13-18)
Keterkaitan ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memiliki struktur yang saling melengkapi. Ayat 1 Surah Al-Isra meletakkan fondasi geografis dan historis (Makkah-Yerusalem), sementara Surah An-Najm menyediakan detail klimaks spiritual (Perjumpaan Ilahi).
Para ulama tafsir berpendapat bahwa fokus pada Isra’ dalam ayat 1 memiliki tujuan tertentu: untuk memberikan penghormatan khusus kepada Masjidil Aqsa dan memperkuat hubungan antara Islam dan warisan Ibrahim AS. Perjalanan ke Baitul Maqdis adalah langkah penting sebelum kenaikan ke langit. Ini seperti tangga; Isra’ adalah anak tangga pertama yang mengarah pada Mi’raj.
Meskipun fokus ayat adalah naratif dan teologis, peristiwa yang dikandungnya memiliki konsekuensi hukum yang abadi bagi umat Islam.
Perintah shalat yang diterima selama Mi’raj adalah implikasi hukum paling signifikan. Shalat lima waktu menjadi tiang agama, yang diberikan secara langsung, tanpa perantara Jibril. Ini menekankan pentingnya shalat sebagai ibadah utama dalam Islam.
Peristiwa ini menegaskan status khusus tiga masjid yang sangat dianjurkan untuk dikunjungi dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi:
Ayat 1 mengukuhkan dua dari tiga masjid tersebut sebagai poros spiritual, memberikan dasar syariah bagi keutamaan Masjidil Aqsa dibandingkan masjid-masjid lainnya di dunia, kecuali Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Penyebutan ‘yang Kami berkahi sekelilingnya’ mengajarkan Muslim bahwa ada tempat-tempat tertentu di bumi yang mendapatkan anugerah khusus dari Allah (keberkahan). Fiqh mengakui bahwa shalat di tanah yang diberkahi memiliki nilai pahala yang lebih tinggi. Keberkahan di sekitar Masjidil Aqsa bukan hanya soal geografis, tetapi juga spiritual yang mendorong umat untuk memelihara kesuciannya.
Setiap kali Surah Al-Isra Ayat 1 dibaca, kewajiban untuk memperhatikan dan memelihara Masjidil Aqsa diperbarui. Ayat ini menghubungkan iman seorang Muslim secara fundamental dengan Baitul Maqdis.
Baitul Maqdis bukanlah masalah politik semata, melainkan masalah akidah, karena ia termaktub dalam Al-Qur’an sebagai ‘tempat yang diberkahi’ dan titik awal Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ. Mengabaikan Masjidil Aqsa berarti mengabaikan bagian dari narasi kenabian yang diabadikan oleh Allah SWT.
Dalam konteks modern, penafsiran kontemporer terhadap ayat ini selalu menekankan pentingnya kesadaran umat Muslim global terhadap status Masjidil Aqsa. Peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi pengingat abadi bahwa Al-Aqsa adalah tanah wakaf Islam yang sakral dan tak terpisahkan dari dua kota suci lainnya.
Mempelajari secara mendalam Surah Al-Isra Ayat 1 bukan hanya sekadar menambah pengetahuan historis, tetapi merupakan langkah esensial untuk memahami hierarki spiritual dalam Islam dan posisi Nabi Muhammad ﷺ sebagai hamba yang paling mulia, yang diangkat derajatnya melalui perjalanan malam yang menakjubkan ini. Peristiwa ini melambangkan harapan, kekuatan, dan janji abadi Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bersabar dan taat.
Ayat ini adalah pilar yang kokoh, menopang keyakinan bahwa meskipun tantangan duniawi terasa berat, pertolongan ilahi selalu dekat, menanti untuk mengangkat hamba-Nya menuju kemuliaan yang tak terbayangkan.
Penelitian mendalam terhadap ayat ini terus berlanjut. Para ilmuwan modern sering mencoba menganalisis konsep kecepatan dan waktu dalam konteks ilmu fisika, meskipun mereka selalu menyimpulkan bahwa mukjizat ini melampaui kemampuan deskripsi sains saat ini. Namun, hal tersebut tidak mengurangi keyakinan; sebaliknya, menegaskan sifat ilahiah dari perjalanan Isra’.
Kita kembali pada inti ayat, yaitu pengagungan Allah (Subhana), yang telah memilih hamba-Nya (Bi-Abdih) untuk menyaksikan ayat-ayat kebesaran-Nya (Min Ayatina). Ini adalah kisah tentang kekuasaan tanpa batas dan anugerah tanpa tandingan.
Seluruh ayat ini—dari kata penyucian ‘Subhana’ hingga penutup ‘Sami’ul Bashiir’—adalah undangan untuk merenungkan keagungan Allah dan untuk meniru ketundukan dan kesabaran Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi kesulitan. Perjalanan ini adalah cetak biru keimanan yang sempurna.
Memahami Surah Al-Isra ayat 1 adalah memahami bahwa Allah menempatkan nilai tertinggi pada kehambaan dan ketaatan. Itu adalah puncak kehormatan yang diberikan kepada seorang manusia untuk menembus batas-batas alam fisik dan spiritual, hanya karena ia adalah ‘hamba-Nya’ yang paling tulus.
Dalam setiap lafaz dan makna yang terkandung dalam ayat ini, terdapat samudera hikmah yang tak bertepi. Ia adalah pengingat bahwa tujuan akhir seorang Muslim bukanlah keberhasilan duniawi semata, melainkan kedekatan dan pandangan langsung terhadap tanda-tanda kebesaran Ilahi, yang hanya dapat dicapai melalui jalan kehambaan sejati.
Dengan demikian, Al-Isra Ayat 1 berfungsi sebagai sumbu naratif dan spiritual yang tak hanya menghubungkan dua masjid suci di bumi, tetapi juga menghubungkan bumi dengan Sidratul Muntaha, mewujudkan jembatan antara yang fana dan yang kekal, melalui sosok hamba pilihan-Nya.
Keagungan perjalanan tersebut tercermin dalam setiap detail tafsir, mulai dari pemilihan kata ‘laylan’ yang mengesankan misteri dan kecepatan, hingga penegasan bahwa semua ini dilakukan demi memperlihatkan ‘tanda-tanda kebesaran’ yang menguatkan hati Nabi dan umatnya. Ini adalah janji bahwa di tengah kegelapan malam cobaan, cahaya mukjizat akan selalu datang bagi mereka yang setia dalam kehambaan.
Kajian mendalam terhadap Surah Al-Isra Ayat 1 ini mengajak kita untuk tidak hanya terpaku pada keajaiban fisik Buraq atau kecepatan perjalanan, tetapi lebih kepada keajaiban transformasi spiritual dan penguatan kenabian yang dihasilkan darinya. Pengalaman ini adalah persiapan vital bagi Nabi Muhammad ﷺ sebelum ia memimpin pembentukan masyarakat Islam di Madinah, sebuah tugas besar yang membutuhkan keyakinan sekuat baja.
Inti dari ayat ini mengajarkan umat bahwa ada dimensi realitas yang melampaui kemampuan indra manusia. Ketika Allah berkehendak, hukum alam tunduk. Hal ini seharusnya meningkatkan rasa takjub dan ketaatan kita kepada Dzat yang ‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ segala upaya dan penderitaan hamba-hamba-Nya di bumi.