Surah Al-Isra' (Perjalanan Malam): Pilar-Pilar Moralitas dan Keajaiban Kenabian

Pendahuluan dan Latar Belakang Surah

Surah Al-Isra' adalah surah ke-17 dalam mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 111 ayat. Surah ini diturunkan di Mekkah (Makkiyah), menandai salah satu periode paling sulit dalam dakwah Nabi Muhammad ﷺ, sering disebut sebagai masa setelah 'Tahun Kesedihan'. Dinamakan Al-Isra' (Perjalanan Malam) karena ayat pembukaannya yang monumental menceritakan peristiwa Isra' Mi'raj, sebuah perjalanan spiritual dan fisik yang menakjubkan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Lebih dari sekadar menceritakan keajaiban fisik, Surah Al-Isra' berfungsi sebagai piagam etika dan moralitas bagi umat Islam. Ia menggarisbawahi fondasi tauhid (keesaan Allah) dan kemudian merinci serangkaian perintah etis—yang dikenal sebagai 'Sepuluh Perintah' dalam konteks Islam—mulai dari menghormati orang tua, menghindari pembunuhan, menjaga kehormatan, hingga menjauhi pemborosan. Ini adalah surah yang menyatukan mukjizat kenabian dengan petunjuk praktis kehidupan sehari-hari, menunjukkan bahwa mukjizat terbesar adalah penerapan hukum-hukum ilahi dalam masyarakat.

Konteks penurunannya sangat penting. Di tengah penolakan keras kaum Quraisy, peristiwa Isra' Mi'raj menjadi penegasan dari Allah atas kedudukan Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini juga secara eksplisit membahas sejarah Bani Isra'il, memberikan perbandingan dan peringatan, serta menegaskan bahwa kemuliaan diperoleh bukan dari keturunan, melainkan dari ketaatan terhadap perintah Allah.

Perjalanan Ilahi: Isra' Mi'raj dan Peringatan kepada Bani Isra'il (Ayat 1–8)

Ayat 1: Mukjizat Isra'

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.

Ayat pembuka ini adalah fondasi historis surah. Kata ‘Subhan’ (Maha Suci) digunakan untuk menunjukkan keagungan peristiwa yang melampaui nalar manusia. Ini bukan perjalanan biasa; ini adalah tindakan ilahi. Penyebutan 'Masjidil Aqsa' (Masjid Terjauh) menegaskan status suci tempat tersebut, yang merupakan kiblat pertama umat Islam dan titik pertemuan kenabian. Tujuan perjalanan ini bukanlah hiburan, melainkan untuk memperlihatkan 'tanda-tanda kebesaran' Allah (آيَاتِنَا) kepada Nabi ﷺ, yang memperkuat keyakinan beliau dalam menghadapi kesulitan dakwah di Mekkah.

Penggunaan kata 'hamba-Nya' (بِعَبْدِهِ) daripada 'Nabi-Nya' menekankan bahwa perjalanan ini terjadi pada dimensi spiritual dan fisik Nabi Muhammad sebagai manusia yang tunduk dan patuh sepenuhnya kepada kehendak Allah. Keajaiban ini menjadi bukti nyata bahwa Allah mampu melakukan apa pun, dan kekuasaan-Nya tidak terbatas oleh hukum alam. Perjalanan ini memberikan penghiburan dan validasi kenabian di saat-saat paling gelap.

Ilustrasi Perjalanan Malam (Isra')

Alt Text: Ilustrasi sederhana yang menggambarkan lintasan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, melambangkan Isra' Mi'raj.

Perbandingan dengan Bani Isra'il (Ayat 2–8)

Setelah mukjizat Isra', surah beralih ke kisah Nabi Musa dan Kitab Taurat. Ini adalah transisi yang kuat, menghubungkan mata rantai kenabian dan memberikan peringatan keras. Allah menceritakan bagaimana Bani Isra'il diberi Kitab (Taurat) sebagai petunjuk, namun mereka gagal dalam memelihara amanah tersebut, bahkan setelah mereka diangkat di atas bangsa-bangsa lain.

Ayat 4-8 meramalkan dua kali kerusakan besar (فساد) yang akan dilakukan Bani Isra'il di muka bumi. Dalam tafsir kontemporer, para ulama menafsirkan ini sebagai siklus kehancuran dan pembalasan ilahi yang dialami oleh mereka akibat pelanggaran perjanjian dan penyimpangan dari tauhid. Setelah setiap kerusakan, Allah mengirimkan hukuman yang keras melalui hamba-hamba-Nya yang gagah perkasa. Kisah ini berfungsi sebagai cermin bagi umat Nabi Muhammad ﷺ: memiliki Kitab Suci adalah anugerah, tetapi kegagalan untuk mengamalkannya akan membawa kehancuran yang sama.

Pelajaran yang ditarik adalah universal: kekuasaan dan anugerah Allah datang dengan tanggung jawab besar. Jika umat Islam meniru penyimpangan Bani Isra'il, mereka juga akan menghadapi konsekuensi yang serupa. Pengulangan tema ini dalam surah ini—dan dalam Al-Qur'an secara umum—menekankan bahwa sejarah adalah guru terbaik bagi mereka yang mau merenung.

Piagam Moralitas dan Etika Sosial (Ayat 23–40)

Inilah jantung etika sosial dan personal Surah Al-Isra'. Ayat 23 hingga 40 merangkum perintah-perintah moral yang harus menjadi ciri khas masyarakat beriman. Surah ini menetapkan prioritas yang jelas: Tauhid (Tuhan Yang Esa) harus diikuti segera oleh hubungan yang benar dengan sesama manusia, dimulai dari yang paling dekat—orang tua.

1. Penghormatan Terhadap Orang Tua (Ayat 23–24)

Allah menghubungkan ibadah kepada-Nya dengan berbuat baik kepada orang tua (إحسان). Ini menunjukkan bahwa kedudukan orang tua dalam Islam berada di level tertinggi setelah hak Allah. Ayat ini tidak hanya memerintahkan kebaikan materi, tetapi juga kebaikan verbal dan emosional. Larangan mengucapkan kata 'ah' (أُفٍّ) adalah peringatan agar kita menjaga ucapan kita bahkan dalam keadaan frustrasi. Perintah untuk merendahkan diri dan mendoakan mereka menunjukkan bahwa bakti tidak berhenti ketika mereka meninggal, melainkan berlanjut seumur hidup.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia, dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

2. Hak Kaum Kerabat dan Larangan Boros (Ayat 26–27)

Setelah orang tua, Surah Al-Isra' mengarahkan perhatian pada hak-hak kerabat dekat, orang miskin, dan musafir. Memberikan hak mereka adalah bentuk ibadah sosial. Ayat ini secara tegas melarang ‘tabdzir’ (pemborosan atau menghabiskan harta secara sia-sia). Pemboros disebut sebagai saudara setan (إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ). Ini bukan hanya larangan pemborosan harta, tetapi juga larangan membuang-buang potensi, waktu, dan sumber daya alam. Hidup seorang Mukmin haruslah seimbang, antara kedermawanan dan penghematan yang bijaksana.

3. Keseimbangan Ekonomi dan Rezeki (Ayat 29–30)

Perintah ini mengajarkan keseimbangan ekonomi: jangan kikir (tangan terbelenggu ke leher), tetapi jangan pula terlalu boros hingga tangan terentang habis. Rezeki harus dibelanjakan secara adil. Allah mengingatkan bahwa Dialah yang melapangkan dan menyempitkan rezeki (يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ). Pemahaman ini mencegah kekhawatiran yang berlebihan terhadap kemiskinan saat memberi, dan mencegah kesombongan saat berlimpah.

4. Fondasi Kehormatan Sosial (Ayat 31–37)

Bagian ini memberikan batasan keras terhadap dosa-dosa yang merusak fondasi masyarakat. Urutan larangan ini sangat instruktif, menunjukkan prioritas Allah dalam menjaga kehidupan, kehormatan, dan keadilan:

A. Larangan Pembunuhan Anak (Ayat 31)

Larangan pembunuhan anak (khususnya karena takut miskin) diletakkan di sini. Allah menegaskan bahwa Dialah yang memberi rezeki, baik kepada orang tua maupun anak-anak. Kekhawatiran ekonomi tidak pernah bisa menjadi alasan untuk menghilangkan nyawa yang telah dianugerahkan Allah.

B. Larangan Zina dan Perbuatan Mendekati Zina (Ayat 32)

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Larangan ini tidak hanya mencakup perbuatan zina itu sendiri, tetapi juga segala tindakan, pandangan, atau interaksi yang dapat mengarahkan kepada perzinaan (seperti khalwat atau pandangan yang tidak terjaga). Hal ini menunjukkan perlindungan Islam terhadap institusi keluarga dan kesucian masyarakat.

C. Larangan Pembunuhan yang Tidak Sah (Ayat 33)

Haramnya menumpahkan darah kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat. Ayat ini menggarisbawahi pentingnya hukum qisas dan hak wali korban untuk menuntut keadilan. Ini adalah perlindungan fundamental terhadap nyawa dan penegakan hukum yang adil.

D. Hak Anak Yatim dan Memenuhi Janji (Ayat 34)

Harta anak yatim harus dijaga dan diurus dengan cara yang terbaik, dan tidak boleh didekati kecuali untuk kebaikan, sampai mereka mencapai usia dewasa. Selain itu, perintah untuk menepati janji (الْعَهْدَ) adalah pilar kepercayaan sosial dan personal.

E. Keadilan dalam Timbangan dan Ucapan (Ayat 35)

Perintah untuk menyempurnakan takaran dan timbangan ketika berjual beli. Ini adalah perintah keadilan ekonomi yang mendasar. Keadilan harus diterapkan dalam setiap transaksi kecil, menunjukkan bahwa integritas adalah menyeluruh.

F. Menghindari Dugaan Tak Berdasar (Ayat 36)

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” Ini adalah landasan metodologi berpikir Islami, menekankan pentingnya sumber pengetahuan yang valid dan melarang menyebarkan rumor, fitnah, atau mengambil keputusan berdasarkan asumsi semata.

G. Menghindari Kesombongan (Ayat 37)

Manusia dilarang berjalan di muka bumi dengan sombong, karena kesombongan tidak akan dapat menembus bumi atau mencapai ketinggian gunung. Kerendahan hati (tawadhu') adalah sifat yang wajib dipegang oleh seorang Mukmin.

Timbangan Keadilan dan Moralitas

Alt Text: Ilustrasi timbangan keadilan, melambangkan pentingnya keseimbangan, integritas, dan moralitas dalam kehidupan sosial.

Keseluruhan ayat 23-40 merupakan fondasi etis (اخلاق) yang komprehensif. Perintah-perintah ini, yang diturunkan di Mekkah, jauh sebelum pembentukan negara Islam di Madinah, menunjukkan bahwa pembangunan karakter individu dan masyarakat adalah prasyarat mutlak bagi keberhasilan kolektif. Moralitas mendahului hukum formal.

Tauhid, Bantahan Syirik, dan Hakikat Kehidupan (Ayat 41–77)

Setelah menetapkan hukum moral, surah kembali menegaskan konsep tauhid dan membantah keras keyakinan syirik (penyekutuan Allah) yang dipegang teguh oleh kaum Quraisy. Surah Al-Isra' menggunakan argumen rasional dan kosmik untuk menunjukkan kemustahilan adanya tuhan lain.

Kemustahilan Tuhan Multipel (Ayat 42–43)

Allah menantang para musyrik: jika memang ada tuhan-tuhan lain, niscaya tuhan-tuhan tersebut akan mencari jalan untuk mengalahkan Tuhan Yang Maha Memiliki Arsy. Ayat ini menegaskan kesatuan manajemen alam semesta. Jika ada banyak pembuat keputusan, pasti akan terjadi kekacauan kosmik. Karena alam semesta berjalan harmonis, maka harus ada satu Pengatur yang tunggal (Tauhid Rububiyah).

Penyucian Diri dan Penyangkalan (Ayat 44–52)

Surah ini menyatakan bahwa tujuh lapis langit, bumi, dan semua yang ada di dalamnya selalu bertasbih (menyucikan) Allah. Namun, manusia yang ingkar tidak memahami tasbih tersebut. Ayat 45 menceritakan bagaimana Allah meletakkan ‘penghalang yang tertutup’ antara Nabi dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, sehingga mereka tidak dapat memahami risalah beliau. Ini adalah metafora untuk kebutaan spiritual yang disebabkan oleh kesombongan dan penolakan terhadap kebenaran yang jelas.

Kaum musyrik sering meremehkan kenabian, menanyakan mengapa Allah tidak mengutus malaikat. Allah menjawab bahwa jika para penghuni bumi adalah malaikat, maka Dia akan mengutus malaikat, tetapi karena penghuninya adalah manusia, utusan (rasul) haruslah manusia agar dapat diteladani dan dipahami. Pertukaran ini menekankan relevansi praktis dari kenabian manusia.

Kisah Iblis dan Ujian Kemanusiaan (Ayat 61–65)

Bagian ini mengulang kisah penciptaan Adam dan penolakan Iblis untuk bersujud. Iblis, yang dihukum karena kesombongan, meminta penangguhan waktu untuk menyesatkan anak cucu Adam. Kisah ini berfungsi sebagai peringatan bahwa musuh utama manusia sudah didefinisikan sejak awal waktu, dan ia menggunakan berbagai cara—termasuk ketakutan, bisikan, dan janji palsu—untuk menjauhkan manusia dari jalan yang lurus.

Allah memberikan jaminan: Iblis tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba Allah yang tulus, kecuali atas mereka yang rela mengikutinya. Ini mengajarkan pentingnya niat tulus (ikhlas) dan ketekunan (istiqamah) sebagai perisai terhadap godaan setan.

Keagungan Allah di Lautan (Ayat 66–70)

Untuk menumbuhkan rasa syukur, surah ini mengingatkan manusia akan kekuasaan Allah di lautan. Ketika manusia berada di kapal dan diterjang badai, mereka memohon hanya kepada Allah. Namun, ketika mereka diselamatkan dan kembali ke daratan, sebagian besar kembali ingkar. Ini adalah kritik tajam terhadap sifat manusia yang cenderung melupakan anugerah Allah saat kesulitan telah berlalu.

Ayat 70 mengakhiri bagian ini dengan pengakuan kemuliaan manusia (وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ). Manusia telah dimuliakan di atas banyak makhluk lain, diberi kemampuan berjalan di darat dan laut, diberi rezeki yang baik, dan diunggulkan secara signifikan. Kemuliaan ini menuntut pertanggungjawaban moral yang sepadan.

Inti dari bagian ini adalah: Tauhid adalah kebenaran yang ditunjukkan oleh harmoni kosmik, sejarah kenabian, dan bahkan pengalaman pribadi manusia (saat menghadapi bahaya). Penolakan terhadap Tauhid adalah penyimpangan yang merugikan diri sendiri dan masyarakat.

Prinsip Ibadah, Waktu Shalat, dan Roh (Ayat 78–96)

Waktu Shalat dan Shalat Malam (Ayat 78–79)

Surah Al-Isra' memberikan petunjuk spesifik mengenai waktu-waktu shalat fardhu dan anjuran shalat malam (Tahajjud). Perintah shalat mencakup rentang waktu dari tergelincir matahari (Dzuhur) hingga gelap malam (Isya'), serta waktu subuh. Shalat Subuh disebutkan secara khusus (قُرْآنَ الْفَجْرِ) karena disaksikan oleh para malaikat.

Ayat 79 menganjurkan shalat Tahajjud (وَزَادًا). Shalat malam ini dimaksudkan sebagai ibadah tambahan (نافل) agar Nabi ﷺ mencapai ‘maqaman mahmudan’ (tempat terpuji). Ini menunjukkan bahwa Tahajjud adalah sarana untuk meningkatkan kedudukan spiritual dan memperoleh dukungan ilahi untuk menghadapi tantangan dakwah.

Tentang Ruh (Ayat 85)

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Ayat ini adalah jawaban langsung terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Nabi oleh kaum musyrik (atau Yahudi, menurut beberapa riwayat). Jawaban Allah ini menetapkan batas pengetahuan manusia. Sementara manusia dapat mempelajari dan menguasai dunia fisik, hakikat roh—sumber kehidupan—tetap berada dalam otoritas dan rahasia Allah. Ini adalah pelajaran kerendahan hati ilmiah: meskipun manusia diberi akal, ada misteri ilahi yang melampaui kapasitas pemahaman kita.

Keagungan Al-Qur'an (Ayat 88–96)

Bagian ini secara dramatis memuji Al-Qur'an dan menegaskan bahwa ia adalah wahyu yang tidak tertandingi.

قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا

Katakanlah (Muhammad), “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan mampu membuatnya, meskipun sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.”

Ini adalah tantangan (Tahaddi) yang abadi. Tidak ada entitas, baik manusia maupun jin, yang mampu menghasilkan karya yang menyamai keindahan, konsistensi, hukum, dan mukjizat bahasa Al-Qur'an. Ini membuktikan bahwa Al-Qur'an bukan buatan manusia, melainkan Kalamullah (Firman Allah).

Kaum musyrik terus menuntut mukjizat fisik (Ayat 90-93), seperti mengalirkan mata air, memiliki kebun kurma, atau menjatuhkan langit. Allah memerintahkan Nabi ﷺ untuk menjawab bahwa beliau hanyalah seorang utusan manusia biasa. Tugas Nabi adalah menyampaikan wahyu, bukan memenuhi permintaan mukjizat yang didasari keingkaran. Allah menegaskan bahwa seandainya pun mukjizat itu diberikan, kaum ingkar tetap akan mencari alasan lain untuk menolak.

Penekanan pada Al-Qur'an di sini menunjukkan bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah mukjizat terbesar. Keajaiban perjalanan Isra' adalah penegasan status kenabian, sementara Al-Qur'an adalah petunjuk abadi yang harus diikuti.

Hari Perhitungan dan Penutup Surah (Ayat 97–111)

Kebenaran Hari Kebangkitan (Ayat 97–100)

Surah ini menyajikan adegan Hari Kiamat. Orang-orang kafir yang ingkar pada hari kebangkitan akan dikumpulkan dalam keadaan buta, bisu, dan tuli (wajah mereka diseret). Mereka yang menolak kebenaran di dunia ini akan menerima hukuman yang sesuai dengan penolakan mereka. Ayat-ayat ini memberikan gambaran yang menakutkan tentang siksaan neraka dan penyesalan yang tidak berguna.

Mereka yang mendustakan hari kebangkitan sering bertanya: apakah mungkin tulang-tulang yang telah menjadi debu dihidupkan kembali? Allah menjawab bahwa Dialah yang menciptakan mereka dari ketiadaan; menciptakan kembali adalah lebih mudah bagi-Nya, seandainya ada yang sulit bagi-Nya. Allah Mahakuasa untuk menciptakan kembali segala sesuatu.

Kisah Nabi Musa dan Firaun (Ayat 101–104)

Sebagai contoh sejarah yang menguatkan, Surah Al-Isra' mengisahkan Firaun yang menolak sembilan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa. Firaun bersikeras bahwa Musa telah disihir. Kisah ini menegaskan bahwa penolakan terhadap kebenaran seringkali didorong oleh keangkuhan dan kekuasaan, bukan karena kurangnya bukti. Akhirnya, Allah menenggelamkan Firaun dan Bani Isra'il diwariskan tanah (Palestina), tetapi mereka kemudian diusir karena pelanggaran mereka sendiri. Ini adalah pengulangan tema bahwa bumi diwariskan kepada hamba-hamba Allah yang saleh.

Turunnya Al-Qur'an Secara Bertahap (Ayat 105–107)

Allah menegaskan bahwa Al-Qur'an diturunkan secara bertahap (مُنَجِّمًا) agar Nabi dapat membacakannya perlahan kepada manusia, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dakwah. Proses bertahap ini berbeda dengan Taurat atau Injil yang diturunkan sekaligus. Hal ini membantu penerima wahyu untuk mencerna dan mengamalkan ajaran secara efektif, sekaligus memberikan peneguhan berkelanjutan kepada Nabi ﷺ.

Pentingnya Sujud dan Kepatuhan

Ayat 107-109 mencela mereka yang mendengarkan Al-Qur'an tetapi tidak bersujud. Sebaliknya, orang-orang beriman yang tulus, saat mendengarnya, bersujud dengan penuh kekhusyukan dan ketundukan. Mereka menangis karena takut dan harap kepada Allah. Ini menunjukkan respon yang benar terhadap wahyu ilahi adalah kepatuhan total (Sujud) dan emosi yang tulus.

Ayat Penutup (Ayat 110–111)

Surah ini diakhiri dengan perintah tentang tata cara berdoa dan pujian agung kepada Allah. Umat Islam diperintahkan untuk tidak mengeraskan atau merendahkan suara dalam doa, melainkan mencari jalan tengah (تَوَسُّطًا بَيْنَ ذَٰلِكَ). Ini adalah petunjuk praktis dalam adab beribadah.

وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا

Dan katakanlah, “Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya, dan Dia tidak memerlukan penolong karena kelemahan-Nya. Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.”

Ayat penutup ini merangkum seluruh tema surah: penolakan terhadap Trinitas atau kepercayaan anak Tuhan, penolakan terhadap sekutu dalam kekuasaan (Tauhid Uluhiyah), dan penegasan kesempurnaan dan keagungan Allah yang mutlak (Takbir). Ini memberikan kesimpulan yang kuat, menekankan bahwa di tengah semua hukum moral, mukjizat, dan sejarah, tujuan akhirnya adalah pengagungan Allah Yang Maha Esa.

Refleksi dan Pelajaran Abadi dari Surah Al-Isra'

Surah Al-Isra' adalah perjalanan ganda: perjalanan fisik Nabi Muhammad ﷺ ke Masjidil Aqsa, dan perjalanan spiritual bagi setiap Mukmin melalui piagam moralitas yang lengkap. Surah ini mengajarkan bahwa spiritualitas sejati tidak dapat dipisahkan dari etika sosial yang ketat.

Pelajaran utama yang dapat ditarik meliputi:

  1. Korelasi Ibadah dan Etika: Perintah untuk menyembah Allah (Tauhid) selalu diikuti oleh perintah berbuat baik kepada orang tua dan masyarakat (Ihsan).
  2. Keadilan dan Integritas: Islam menuntut keadilan mutlak dalam semua aspek kehidupan, dari timbangan pasar hingga integritas dalam berbicara dan bersaksi (menghindari mengikuti apa yang tidak diketahui).
  3. Perlindungan Hak Asasi: Surah ini menetapkan hak dasar atas kehidupan, kehormatan, dan harta, jauh sebelum konsep hak asasi modern muncul.
  4. Mukjizat Qur'ani: Bukti terbesar kenabian Muhammad ﷺ bukanlah mukjizat fisik temporer, melainkan Al-Qur'an itu sendiri, sebuah tantangan abadi bagi seluruh makhluk.
  5. Keseimbangan: Ajaran Surah ini mendorong keseimbangan dalam ekonomi (tidak boros, tidak kikir), dalam ibadah (tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan), dan dalam hidup (menghindari kesombongan).

Surah Al-Isra' adalah petunjuk yang sempurna untuk membangun masyarakat yang adil dan beradab, yang didirikan di atas keyakinan murni kepada Allah dan dihiasi dengan akhlak mulia, mencerminkan hikmah bahwa kekuasaan sejati datang dari kepatuhan dan kerendahan hati kepada Sang Pencipta.

***

Sebagai penegasan kembali terhadap kedalaman Surah Al-Isra’, kita perlu merenungkan bagaimana setiap ayat memberikan landasan filosofis yang sangat kuat. Misalnya, larangan untuk membunuh jiwa yang diharamkan Allah (Ayat 33) diikuti dengan pengecualian ‘kecuali dengan alasan yang benar’ (إِلَّا بِالْحَقِّ). Ini membuka pintu bagi konsep keadilan hukum, di mana masyarakat memiliki hak untuk mempertahankan dirinya melalui hukum qisas (pembalasan yang adil), namun harus dilakukan oleh otoritas yang sah, bukan main hakim sendiri. Analisis mendalam terhadap setiap frasa menunjukkan betapa cermatnya hukum Islam dalam mengatur kekacauan sosial.

Perluasan Tafsir mendalam ini harus mencakup perbandingan antara kisah Bani Isra'il di awal surah dengan perintah-perintah moral yang diberikan kepada umat Islam. Bani Isra'il diberikan kitab dan kekuasaan, tetapi mereka melanggar perjanjian moral dasar, yang menyebabkan hukuman ilahi. Umat Islam diberi Kitab yang lebih sempurna (Al-Qur'an) dan peringatan eksplisit tentang moralitas—jika mereka gagal mengikuti piagam etika di Ayat 23-40, mereka secara inheren meniru kegagalan Bani Isra'il dan akan menghadapi konsekuensi yang serupa, baik di dunia maupun akhirat.

Pada konteks modern, perintah untuk tidak menyebarkan apa yang tidak kita ketahui (Ayat 36) sangat relevan di era informasi. Surah ini secara efektif melarang penyebaran berita palsu, gosip, dan tuduhan tanpa bukti. Ini adalah panggilan untuk verifikasi dan tanggung jawab intelektual. Kewajiban moral yang diletakkan oleh Surah Al-Isra' ini melampaui batas waktu, menjadikannya pedoman abadi bagi umat manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dan keadilan sejati.

Surah ini juga membahas pentingnya kesaksian yang adil (Ayat 35). Keadilan dalam takaran dan timbangan mencakup semua bentuk pengukuran dalam kehidupan, termasuk dalam penilaian terhadap orang lain atau situasi. Jika seseorang tidak adil dalam transaksi bisnis kecil, bagaimana mungkin dia dapat adil dalam urusan besar negara atau masyarakat? Surah Al-Isra' mengajarkan bahwa integritas adalah sebuah sifat yang tidak dapat dibagi-bagi.

Penyebutan Tahajjud (Shalat Malam) di Ayat 79, yang bertujuan untuk mendapatkan ‘maqamam mahmudan’ (kedudukan yang terpuji), menunjukkan bahwa kesuksesan publik (dakwah) harus didukung oleh pengorbanan dan ibadah rahasia (Tahajjud). Kekuatan untuk menegakkan keadilan di siang hari berasal dari hubungan yang mendalam dengan Allah di sepertiga malam terakhir. Ini adalah pelajaran penting bagi para pemimpin dan juru dakwah: spiritualitas pribadi adalah fondasi dari efektivitas publik.

Kesempurnaan penutup surah (Ayat 111) adalah penekanan terakhir pada kemuliaan dan kekuasaan Allah yang tak tertandingi. Tidak ada kekurangan, tidak ada sekutu, dan tidak ada kelemahan. Pengagungan ini menjadi puncak dari perjalanan pemahaman, dari mukjizat Isra' hingga piagam moral, semua menunjuk kembali kepada Allah Yang Maha Kuasa. Pengulangan mendalam dari tema-tema ini dalam berbagai konteks surah memastikan bahwa pesan inti—Tauhid dan Ketaatan Moral—tertanam kuat dalam hati pembaca dan pendengar.

***

Menggali lebih dalam tentang Ayat 23 dan 24 mengenai orang tua, kita melihat bahwa Islam secara revolusioner meninggikan status mereka, terutama di masa tua. Kata ‘sayap kerendahan hati’ (وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ) adalah metafora yang kuat, menggambarkan seorang anak harus merendahkan dirinya, seolah-olah meletakkan sayapnya seperti burung yang melindungi anaknya. Ini adalah kebalikan dari sikap sombong atau membantah. Bahkan jika orang tua adalah non-Muslim, kewajiban untuk berbuat baik (Ihsan) tetap berlaku, selama mereka tidak memerintahkan syirik. Ini menunjukkan universalitas etika dalam Islam.

Selanjutnya, perhatikan Ayat 31, larangan membunuh anak karena takut miskin. Ini adalah respons langsung terhadap praktik jahiliyah dan mengatasi kekhawatiran ekonomi yang paling mendasar. Allah meyakinkan bahwa rezeki mereka (anak-anak) dan rezeki kita (orang tua) semuanya dijamin oleh-Nya. Kekhawatiran finansial tidak boleh mendikte moralitas. Dalam masyarakat modern, ini dapat diperluas sebagai larangan menelantarkan kewajiban terhadap anak karena alasan materi atau kenyamanan pribadi.

Tafsir mengenai larangan mendekati zina (Ayat 32) juga sangat ketat. Islam tidak hanya melarang tindakan akhir, tetapi melarang semua ‘muqaddimat’ (pendahuluan) yang mengarah ke sana. Hal ini mencakup interaksi bebas, pandangan yang tidak terjaga, dan segala bentuk romantisme yang tidak sah. Alasannya jelas: zina adalah keji (فَاحِشَةً) dan jalan yang buruk (سَاءَ سَبِيلًا) karena menghancurkan garis keturunan, keluarga, dan struktur sosial. Perlindungan terhadap kehormatan individu adalah perlindungan terhadap seluruh masyarakat.

Prinsip kehati-hatian intelektual dalam Ayat 36, yang memerintahkan agar kita tidak mengikuti apa yang kita tidak ketahui, adalah salah satu landasan epistemologi Islami. Ini menuntut kejujuran dalam mencari ilmu dan menahan lidah dari spekulasi atau tuduhan yang tidak terbukti. Hati (فُؤَادَ), pendengaran (السَّمْعَ), dan penglihatan (الْبَصَرَ) adalah alat pengetahuan yang harus dijaga dari penyalahgunaan. Ini adalah tanggung jawab sensorik yang akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya di hari kiamat.

Penolakan terhadap kesombongan (Ayat 37) menutup rangkaian perintah moral ini. Sombong (مَرَحًا) adalah akar dari banyak pelanggaran etika lainnya. Orang sombong cenderung meremehkan orang tua, memboroskan harta, dan menipu timbangan. Karena itu, Surah Al-Isra' mengajarkan bahwa kerendahan hati adalah pelindung moralitas. Sebagaimana manusia tidak mungkin menembus bumi atau mencapai ketinggian gunung dengan langkah sombongnya, demikian pula dia tidak akan mencapai kedudukan mulia di sisi Allah dengan hati yang angkuh.

***

Kembali ke bagian tentang Tauhid dan bantahan terhadap Syirik. Surah ini menggunakan pendekatan persuasif yang unik. Dalam Ayat 57, Surah ini menunjukkan bahwa bahkan makhluk-makhluk yang disembah selain Allah (seperti malaikat atau orang saleh) sedang berlomba-lomba mencari jalan mendekat kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya, serta takut akan azab-Nya. Ini adalah argumen yang kuat: mengapa menyembah perantara yang juga butuh perantara? Ini mengalihkan fokus ibadah kembali ke Tuhan Yang Maha Agung secara langsung.

Dalam konteks Isra’ Mi’raj, perjalanan ini sendiri adalah sebuah demonstrasi Tauhid. Dibawa ke Masjidil Aqsa, tempat para nabi Bani Isra'il (Musa, Isa, Ibrahim) berdakwah, lalu memimpin shalat mereka, menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah penutup dan pewaris semua risalah ilahi, yang kesemuanya berpusat pada pesan yang sama: Tauhid. Mukjizat tersebut menegaskan bahwa agama (dien) adalah satu, meskipun syariat (hukum) bervariasi.

Ayat-ayat yang membahas Al-Qur'an (88-96) menyajikan kritik terhadap mentalitas materialistik yang menuntut mukjizat fisik yang terus-menerus. Kaum Quraisy meminta agar Nabi mengubah Mekkah menjadi surga atau naik ke langit di depan mata mereka. Allah menolak permintaan ini karena mukjizat fisik hanya efektif sementara dan sering disalahartikan sebagai sihir. Sebaliknya, Al-Qur'an adalah mukjizat intelektual dan spiritual yang bertahan selamanya, relevan di setiap zaman, dan mengandung petunjuk yang transformatif. Ini adalah pergeseran dari ketergantungan pada demonstrasi kekuatan sesaat ke kepatuhan terhadap kebenaran abadi.

Akhirnya, penekanan pada sujud (Ayat 107-109) setelah mendengar Al-Qur'an menunjukkan bahwa wahyu tidak boleh diperlakukan sebagai materi bacaan belaka. Mendengarnya harus menghasilkan respons fisik dan emosional berupa ketundukan total (sujud) dan rasa takut yang mendalam terhadap Allah. Sujud adalah manifestasi tertinggi dari penghapusan kesombongan, yang sebelumnya dilarang dalam Ayat 37. Dengan demikian, Surah Al-Isra' membentuk lingkaran spiritual yang sempurna: dari mukjizat Isra', menuju piagam etika, pengajaran tentang Tauhid, pengagungan Al-Qur'an, dan diakhiri dengan ketundukan total kepada Allah.

🏠 Kembali ke Homepage