Surah ke-45 dalam Al-Qur'an, terdiri dari 37 Ayat (Makkiyah)
Visualisasi Langit dan Bumi sebagai Ayat (Tanda) bagi Kaum yang Beriman.
Surah Al Jatsiyah, yang berarti "Yang Berlutut" atau "Yang Berjongkok," adalah surah ke-45 dalam susunan mushaf Al-Qur'an dan termasuk dalam kelompok Surah Makkiyah. Ia diturunkan pada periode pertengahan dakwah Nabi Muhammad ﷺ di Makkah, di mana perdebatan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin mencapai puncaknya terkait masalah Tauhid (keesaan Allah), kenabian, dan terkhusus, Hari Kebangkitan (Yaumul Ba'ats).
Penamaan Al Jatsiyah diambil dari gambaran mengerikan yang disajikan pada ayat ke-28, di mana seluruh umat manusia digambarkan akan datang dan berlutut di hadapan Allah SWT, menunggu keputusan dan hisab (perhitungan amal). Ini adalah penekanan dramatis tentang kepastian dan keadilan Hari Kiamat.
Secara keseluruhan, Surah Al Jatsiyah dapat dibagi menjadi tiga tema besar yang saling terkait:
Kajian mendalam surah ini mengharuskan kita untuk tidak hanya memahami terjemahan harfiahnya, tetapi juga meresapi koneksi logis antara tanda-tanda penciptaan dan kepastian akhirat, sebuah koneksi yang sering diabaikan oleh mereka yang hanya hidup dalam kekinian duniawi.
حمٓ تَنزِيلُ ٱلۡكِتَٰبِ مِنَ ٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَكِيمِ
Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur'an) dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
Ayat pembuka ini menggunakan huruf muqatta'ah (huruf-huruf terpisah) yang maknanya hanya diketahui oleh Allah, diikuti dengan penegasan sumber wahyu: Al-Qur'an berasal dari Allah. Penggunaan sifat Al-'Aziz (Mahaperkasa) menunjukkan bahwa Kitab ini memiliki otoritas mutlak dan tidak dapat ditantang, sementara Al-Hakim (Mahabijaksana) menegaskan bahwa setiap hukum dan ajaran di dalamnya adalah sempurna dan didasarkan pada hikmah yang mendalam. Penekanan sumber ilahi ini penting untuk membantah klaim kaum musyrikin yang menuduh Nabi mengarangnya.
إِنَّ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَءَايَٰتٖ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ
Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang mukmin.
Inilah inti dari pesan kosmik surah ini. Allah menyatakan bahwa penciptaan langit dan bumi bukanlah kebetulan atau permainan, melainkan dipenuhi dengan ayat (tanda-tanda) yang jelas. Namun, tanda-tanda ini hanya dapat diserap dan dipahami secara mendalam oleh al-mu'minin (orang-orang yang beriman), yang menggunakan akal dan hati mereka untuk menyimpulkan adanya Sang Pencipta. Bagi yang tidak beriman, tanda-tanda itu hanyalah fenomena alam biasa, tanpa pesan spiritual di baliknya. Keajaiban tata surya, hukum fisika yang presisi, hingga siklus kehidupan di bumi, semuanya menunjuk pada satu realitas: Tauhid.
وَفِي خَلۡقِكُمۡ وَمَا يَبُثُّ مِن دَآبَّةٍ ءَايَٰتٞ لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ
Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak (bernyawa) yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda bagi kaum yang meyakini.
Fokus beralih dari kosmos besar ke detail terdekat: penciptaan manusia itu sendiri. Proses kompleks dari setetes air hina menjadi manusia yang sempurna, memiliki akal, indra, dan kesadaran, adalah mukjizat yang terjadi setiap hari. Selain itu, keanekaragaman dan distribusi makhluk hidup (dābbah) di bumi—dari lautan hingga padang pasir—juga merupakan bukti kekuasaan Allah. Ayat ini ditujukan kepada qaumun yūqinūn (kaum yang meyakini), menekankan bahwa keyakinan sejati (yaqin) harus didasarkan pada observasi dan refleksi terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar.
وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن رِّزۡقٖ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ ءَايَٰتٞ لِّقَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
Dan pada pergantian malam dan siang, dan rezeki (berupa air hujan) yang diturunkan Allah dari langit, lalu dengan (air hujan) itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati, dan pada perkisaran angin. Semuanya itu adalah tanda-tanda bagi kaum yang berakal.
Ayat ini merangkum empat fenomena alam penting: (1) Pergantian malam dan siang yang teratur, yang memungkinkan istirahat dan penghidupan; (2) Air hujan (rezeki dari langit) yang memberikan kehidupan; (3) Bumi yang dihidupkan setelah kekeringan, yang menjadi metafora kuat untuk kebangkitan; dan (4) Perkisaran atau pergerakan angin (tashrīfir-riyāh) yang membawa manfaat atau azab. Ayat ini secara spesifik ditujukan kepada qaumun ya'qilūn (kaum yang berakal). Tujuannya jelas: jika Allah mampu mengatur siklus kosmik yang sedemikian masif dan menghidupkan bumi yang mati, maka kebangkitan kembali manusia jauh lebih mudah bagi-Nya. Akal harus digunakan untuk menyimpulkan implikasi spiritual dari observasi fisik.
تِلۡكَ ءَايَٰتُ ٱللَّهِ نَتۡلُوهَا عَلَيۡكَ بِٱلۡحَقِّۖ فَبِأَيِّ حَدِيثِۭ بَعۡدَ ٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ يُؤۡمِنُونَ
Itulah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan benar; maka dengan perkataan mana lagi mereka akan beriman setelah (kebenaran) Allah dan ayat-ayat-Nya?
Setelah menyebutkan tanda-tanda (ayat) Allah di alam semesta, Allah kini menyebut ayat-ayat-Nya yang diwahyukan (Al-Qur'an). Keduanya—kitab penciptaan dan kitab suci—adalah bukti kebenaran. Pertanyaan retoris yang sangat kuat ini menantang para pendusta: jika mereka tidak beriman pada kebenaran yang datang langsung dari Allah, yang didukung oleh bukti-bukti kosmik yang tak terbantahkan, lalu kebenaran apalagi yang mereka cari? Ini menekankan bahwa tidak ada sumber kebenaran yang lebih tinggi daripada firman Ilahi.
وَيۡلٞ لِّكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٖ ٧ يَسۡمَعُ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِ ثُمَّ يُصِرُّ مُسۡتَكۡبِرٗا كَأَن لَّمۡ يَسۡمَعۡهَاۖ فَبَشِّرۡهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٖ
Celakalah bagi setiap pendusta yang banyak berdosa, (7) yang mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya kemudian dia tetap (keras kepala) dan menyombongkan diri seakan-akan dia belum mendengarnya. Maka berilah dia kabar gembira berupa azab yang pedih.
Ayat ini memberikan hukuman berat (wail—lembah di neraka atau celaka) bagi affak athim (pendusta yang berdosa). Gambaran yang disajikan adalah orang yang telah mendengar wahyu, namun responsnya bukan keraguan atau ketidakpahaman, melainkan penolakan yang angkuh (mustakbiran). Mereka menolak kebenaran bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena kesombongan. Mereka berpura-pura tuli. Ancaman "kabar gembira berupa azab yang pedih" adalah sindiran tajam (ironi) yang menekankan kepastian hukuman bagi orang yang dengan sengaja menutup hati dan telinganya.
وَإِذَا عَلِمَ مِنۡ ءَايَٰتِنَا شَيًۡٔا ٱتَّخَذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ ٩ مِن وَرَآئِهِمۡ جَهَنَّمُۖ وَلَا يُغۡنِي عَنۡهُم مَّا كَسَبُواْ شَيۡٔٗا وَلَا مَا ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوۡلِيَآءَۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan apabila dia mengetahui sedikit tentang ayat-ayat Kami, (ayat-ayat itu) dijadikan olok-olok. Mereka itu akan mendapat azab yang menghinakan. (9) Di hadapan mereka neraka Jahanam dan tidak akan berguna bagi mereka sedikit pun apa yang telah mereka usahakan, dan tidak (pula) pelindung-pelindung yang mereka jadikan (sesembahan) selain Allah. Dan bagi mereka azab yang besar.
Kaum musyrikin Makkah sering mengolok-olok Al-Qur'an dan Nabi ﷺ. Ayat ini menggambarkan mereka yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai bahan tertawaan (huzuwan). Balasan bagi penghinaan ini adalah azab yang juga menghinakan (adzābun muhīn), kebalikan dari kesombongan mereka di dunia. Ayat 10 menegaskan bahwa Jahanam menanti mereka (min warā'ihim Jahannam—di belakang atau di hadapan mereka), dan tidak ada satu pun dari harta benda, kekuatan, atau sembahan yang mereka andalkan selain Allah (awliyā') yang dapat menyelamatkan mereka dari hukuman tersebut. Ini menghancurkan seluruh sistem kepercayaan materialistik dan politeistik mereka.
هَٰذَا هُدٗىۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَِٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ لَهُمۡ عَذَابٞ مِّن رِّجۡزٍ أَلِيمٌ
Inilah petunjuk. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka, bagi mereka azab berupa siksaan yang sangat pedih.
Ayat ini berfungsi sebagai kesimpulan kontras antara dua kelompok yang dijelaskan sebelumnya: Al-Qur'an adalah petunjuk (hudā) bagi orang beriman, sementara bagi yang kafir, yang menolak ayat-ayat Allah, disediakan hukuman yang menyakitkan (adzābun min rijzin alīm). Ini menekankan bahwa pilihan ada di tangan manusia, dan konsekuensi dari pilihan itu abadi.
ٱللَّهُ ٱلَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡبَحۡرَ لِتَجۡرِيَ ٱلۡفُلۡكُ فِيهِ بِأَمۡرِهِۦ وَلِتَبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِهِۦ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٢ وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعٗا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ
Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. (12) Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Ayat ini kembali ke tema kosmik, tetapi kini berfokus pada manfaat praktis (teleologis) dari penciptaan alam bagi manusia. Allah menundukkan lautan (sakhkhara lakumul bahr) agar manusia dapat berdagang dan mencari rezeki. Kata kunci di sini adalah sakhkhara (menundukkan). Seluruh alam semesta, dari bintang-bintang di langit hingga mineral di bumi, ditundukkan untuk melayani kepentingan manusia, sebagai karunia (fadhl) dari Allah. Tujuan dari penundukan ini adalah agar manusia bersyukur (tasykurūn). Ayat ini ditujukan kepada qaumun yatafakkarūn (kaum yang berpikir), menuntut refleksi mendalam: jika segala sesuatu diciptakan untukmu, bukankah Sang Pencipta berhak atas penyembahanmu?
قُل لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ يَغۡفِرُواْ لِلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ أَيَّامَ ٱللَّهِ لِيَجۡزِيَ قَوۡمَۢا بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ
Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang yang beriman, hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut kepada hari-hari (pembalasan) Allah, karena Dia akan membalas suatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan.
Ayat ini memberikan perintah penting bagi komunitas Muslim awal yang tertindas di Makkah. Mereka diperintahkan untuk memaafkan (yaghfirū) orang-orang kafir yang menyiksa mereka. Kata ayyāmillāh (hari-hari Allah) merujuk pada hari pembalasan atau hukuman. Ini adalah strategi dakwah dan ketahanan spiritual: biarkan kezaliman mereka berlalu, karena pembalasan sejati adalah urusan Allah di akhirat. Perintah ini mengajarkan kesabaran, pengendalian diri, dan keyakinan mutlak pada keadilan ilahi yang akan datang, yang kontras dengan hasrat duniawi untuk membalas dendam segera.
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا فَلِنَفۡسِهِۦۖ وَمَنۡ أَسَآءَ فَعَلَيۡهَاۖ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُمۡ تُرۡجَعُونَ
Barang siapa mengerjakan kebajikan, maka itu adalah untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa berbuat kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri; kemudian kepada Tuhanmu kamu akan dikembalikan.
Ayat ini menegaskan prinsip dasar tanggung jawab individu dalam Islam: setiap jiwa bertanggung jawab atas amalnya sendiri (laysa lahā illā mā sa’at). Amal saleh menghasilkan kebaikan bagi pelakunya, dan kejahatan menimpa pelakunya sendiri. Tidak ada transfer dosa atau pahala. Penutup ayat ini, "kemudian kepada Tuhanmu kamu akan dikembalikan," kembali menegaskan tema sentral surah ini: kepastian Hari Kebangkitan dan penghisaban yang adil.
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحُكۡمَ وَٱلنُّبُوَّةَ وَرَزَقۡنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلۡنَٰهُمۡ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ
Dan sungguh, telah Kami berikan kepada Bani Israil Kitab (Taurat), kekuasaan, dan kenabian, dan Kami anugerahi mereka dengan rezeki yang baik, serta Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada masa itu).
Allah mengingatkan kaum musyrikin Makkah dan juga kaum Muslimin tentang sejarah Bani Israil. Mereka adalah umat yang dipilih Allah pada masanya (faddhalnāhum 'alal-'alamīn) dan dianugerahi tiga nikmat besar: Kitab (Taurat), Al-Hukm (kebijaksanaan atau otoritas hukum), dan kenabian (banyak nabi diutus dari kalangan mereka). Penyebutan sejarah Bani Israil di sini adalah peringatan implisit: anugerah Ilahi yang besar membawa tanggung jawab besar. Jika mereka gagal memenuhi tanggung jawab ini, mereka akan dicabut haknya, sebagaimana yang terjadi ketika mereka menolak ajaran Nabi Muhammad ﷺ.
وَءَاتَيۡنَٰهُم بَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِۖ فَمَا ٱخۡتَلَفُوٓاْ إِلَّا مِنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلۡعِلۡمُ بَغۡيَۢا بَيۡنَهُمۡۚ إِنَّ رَبَّكَ يَقۡضِي بَيۡنَهُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ فِيمَا كَانُواْ فِيهِ يَخۡتَلِفُونَ
Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang jelas tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. Sungguh, Tuhanmu akan memutuskan di antara mereka pada Hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan.
Ironi tragis Bani Israil adalah mereka berselisih (ikhtalafū) bukan karena ketidaktahuan, melainkan *setelah* ilmu (pengetahuan tentang kebenanan) datang kepada mereka. Motif perselisihan mereka bukan pencarian kebenaran, melainkan kedengkian (baghyan), iri hati, dan perebutan kekuasaan. Ayat ini menjadi peringatan bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Allah menegaskan bahwa semua perselisihan dan perdebatan yang didorong oleh hawa nafsu akan diadili secara tuntas pada Hari Kiamat.
ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah syariat itu dan janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Ayat ini adalah titik balik penting dalam surah, secara langsung berbicara kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan secara tidak langsung kepada seluruh umatnya, menetapkan Syariat Islam sebagai jalan yang harus diikuti. Kata syarī’ah merujuk pada jalan yang jelas menuju sumber air. Perintahnya tegas: ikutilah Syariat yang telah ditetapkan dan hindari hawa nafsu (ahwā’) kaum yang jahil (tidak mengetahui). Mengikuti syariat berarti mengikuti petunjuk yang pasti, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah mengikuti keinginan yang berubah-ubah dan tidak berdasar, yang menjadi sumber kesesatan Bani Israil sebelumnya dan kaum musyrikin Makkah saat itu. Syariat adalah pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
إِنَّهُمۡ لَن يُغۡنُواْ عَنكَ مِنَ ٱللَّهِ شَيۡٔٗاۚ وَإِنَّ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۖ وَٱللَّهُ وَلِيُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٢٠ هَٰذَا بَصَٰٓئِرُ لِلنَّاسِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٞ لِّقَوۡمٖ يُوقِنُونَ
Sungguh, mereka tidak akan dapat menolong engkau sedikit pun dari (azab) Allah. Dan sungguh, orang-orang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, sedangkan Allah adalah Pelindung bagi orang-orang yang bertakwa. (19) Al-Qur'an ini adalah pedoman yang nyata bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.
Ayat 19 memperingatkan Nabi agar tidak terpengaruh oleh tekanan kaum musyrikin, karena mereka tidak akan mampu melindunginya dari Allah sedikit pun. Ini menegaskan konsep al-walā' wal-barā' (loyalitas dan penolakan): orang-orang zalim (kaum kafir) saling melindungi dalam kebatilan, sementara Allah adalah satu-satunya Pelindung (Walī) bagi orang-orang yang bertakwa. Ayat 20 kembali mengagungkan Al-Qur'an, menyebutnya sebagai bashā'ir (pedoman yang nyata/penjelasan yang membuka mata), yang menjadi petunjuk dan rahmat khusus bagi mereka yang memiliki keyakinan mendalam (yūqinūn).
أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجۡتَرَحُواْ ٱلسَّئَِّاتِ أَن نَّجۡعَلَهُمۡ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَوَآءٗ مَّحۡيَاهُمۡ وَمَمَاتُهُمۡۚ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ
Apakah orang-orang yang berbuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, yaitu sama kehidupan dan kematiannya? Alangkah buruknya anggapan mereka itu.
Ini adalah pertanyaan retoris yang menggugah fitrah manusia tentang keadilan. Bagaimana mungkin orang yang sepanjang hidupnya berbuat jahat (ijtarahus-sayyi’āt) dan orang yang beriman dan beramal saleh (‘amilus-shālihāt) memiliki nasib yang sama dalam hidup maupun setelah mati? Jika demikian, maka tidak ada keadilan dan tidak ada tujuan penciptaan. Keyakinan bahwa semua orang berakhir sama (nihilisme) adalah asumsi yang paling buruk (sā’a mā yahkumūn), karena meniadakan keberadaan Hari Perhitungan yang menjadi fondasi moralitas dan keadilan ilahi.
وَخَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّ وَلِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسِۭ بِمَا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ
Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran, dan agar setiap jiwa diberi balasan terhadap apa yang telah dikerjakannya, dan mereka tidak dizalimi.
Ayat ini memberikan jawaban terhadap keraguan pada ayat 21. Allah tidak menciptakan alam semesta ini secara sia-sia, melainkan bil-haqq (dengan kebenaran, keadilan, dan tujuan). Tujuan fundamental dari penciptaan adalah untuk memungkinkan setiap jiwa mendapatkan balasan yang sempurna atas amalnya, memastikan tidak ada yang dizalimi (lā yuzhlamūn). Penciptaan yang adil meniscayakan adanya Hari Pembalasan.
أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah berdasarkan pengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (memutuskan demikian)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Ini adalah salah satu penggambaran terkuat dalam Al-Qur'an tentang kesesatan ekstrem. Pelaku kesesatan ini adalah mereka yang menjadikan hawa nafsunya (hawāhu) sebagai tuhan (ilāhahu). Orang seperti ini tidak tunduk pada kebenaran eksternal, melainkan pada keinginan internal yang berubah-ubah. Karena penolakan yang terus-menerus meskipun mereka tahu kebenaran (‘alā ‘ilm), Allah membiarkan mereka dalam kesesatan. Hati, pendengaran, dan penglihatan mereka ditutup (dikunci), sehingga mereka tidak lagi mampu menerima petunjuk. Ayat ini menunjukkan bahwa penutupan hati adalah konsekuensi dari pilihan buruk dan kesombongan manusia itu sendiri.
وَقَالُواْ مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنۡيَا نَمُوتُ وَنَحۡيَا وَمَا يُهۡلِكُنَآ إِلَّا ٱلدَّهۡرُۚ وَمَا لَهُم بِذَٰلِكَ مِنۡ عِلۡمٍۖ إِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata, "Hidup ini tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia; kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu (Dahr)." Padahal mereka tidak mempunyai ilmu sedikit pun tentang itu; mereka hanyalah menduga-duga (berprasangka).
Ayat ini secara eksplisit mengutip ucapan para penganut materialisme Makkah atau ad-Dahriyyah (fatalis zaman). Keyakinan mereka ringkas: (1) Tidak ada kehidupan selain dunia ini; (2) Kematian dan kehidupan adalah siklus alami; dan (3) Waktu (Ad-Dahr) adalah satu-satunya entitas yang bertanggung jawab atas kehancuran. Mereka menolak Tuhan dan menempatkan kekuatan pada faktor impersonal (waktu). Allah membantah keras klaim ini, menyatakan bahwa pandangan mereka sama sekali tidak didasarkan pada ilmu (‘ilm) atau bukti, melainkan hanyalah dugaan semata (yazhunnūn). Mereka mendasarkan pandangan hidup mereka pada spekulasi, berbeda dengan iman yang didasarkan pada wahyu dan bukti kosmik yang telah disajikan di awal surah.
وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُنَا بَيِّنَٰتٖ مَّا كَانَ حُجَّتَهُمۡ إِلَّآ أَن قَالُواْ ٱئۡتُواْ بَِٔابَآئِنَآ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٢٥ قُلِ ٱللَّهُ يُحۡيِيكُمۡ ثُمَّ يُمِيتُكُمۡ ثُمَّ يَجۡمَعُكُمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ لَا رَيۡبَ فِيهِ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka dengan jelas, tidak ada alasan mereka selain berkata, "Datangkanlah (kembali) nenek moyang kami, jika kamu orang yang benar." (25) Katakanlah (Muhammad), "Allah yang menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, lalu mengumpulkan kamu pada Hari Kiamat yang tidak ada keraguan padanya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Ayat 25 menunjukkan kelemahan argumentasi kaum musyrikin. Ketika dihadapkan pada bukti yang jelas (bayyināt), satu-satunya "alasan" (hujjah) mereka adalah tantangan yang mustahil secara fisik: kembalikan nenek moyang mereka. Ini adalah bentuk penolakan yang didasarkan pada kekeraskepalaan, bukan logika. Ayat 26 adalah jawaban tegas Nabi: Kebangkitan adalah urusan Allah. Allah adalah Yang memulai kehidupan, Yang mengakhirinya, dan Yang mengumpulkannya kembali pada Hari Kiamat (lā rayba fīhi—tidak ada keraguan sedikit pun). Ketidaktahuan (lā ya’lamūn) mayoritas manusia tidak membatalkan kebenaran fakta ini.
وَلِلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَيَوۡمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ يَوۡمَئِذٖ يَخۡسَرُ ٱلۡمُبۡطِلُونَ
Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dan pada hari (ketika) terjadi Kiamat, pada hari itu rugilah orang-orang yang berpegang pada kebatilan.
Ayat ini berfungsi sebagai jembatan menuju deskripsi Hari Kiamat. Allah adalah Pemilik mutlak (mulku) segala sesuatu. Ketika Kiamat (As-Sā'ah) terjadi, maka orang-orang yang berpegang pada kebatilan (al-mubthilūn), yaitu mereka yang hidup dalam kepalsuan, akan berada dalam kerugian total (yakhsar), karena investasi hidup mereka—materialisme dan hawa nafsu—ternyata tidak bernilai.
وَتَرَىٰ كُلَّ أُمَّةٖ جَاثِيَةٗۚ كُلُّ أُمَّةٖ تُدۡعَىٰٓ إِلَىٰ كِتَٰبِهَا ٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Dan (pada hari itu) engkau akan melihat setiap umat berlutut (Jātsiyah). Setiap umat dipanggil menuju Kitab (catatan amal)-nya. (Dikatakan kepada mereka), "Pada hari ini kamu diberi balasan atas apa yang dahulu kamu kerjakan."
Inilah ayat yang menjadi nama surah ini. Kata jātsiyah berarti berlutut, berjongkok, atau merangkak karena ketakutan dan menunggu keputusan. Seluruh umat, tanpa kecuali (Yahudi, Nasrani, umat Muhammad, musyrikin), akan dikumpulkan dalam keadaan gentar dan tunduk. Setiap umat akan dipanggil menuju "kitab" mereka—yaitu catatan amal (Kitāb)—yang telah dicatat di dunia. Tidak ada yang tersembunyi. Pengadilan Ilahi akan terjadi berdasarkan amal yang telah dikumpulkan, menghilangkan semua klaim dan dugaan sia-sia yang mereka miliki di dunia.
هَٰذَا كِتَٰبُنَا يَنطِقُ عَلَيۡكُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّا كُنَّا نَسۡتَنسِخُ مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Inilah Kitab Kami (catatan amal) yang berbicara kepadamu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah mencatat (menyalin) semua yang telah kamu kerjakan.
Catatan amal (Kitab) yang disaksikan oleh para malaikat kini dihadirkan. Disebutkan bahwa Kitab itu "berbicara" (yanthiqu), mungkin secara metaforis, karena isinya sangat jelas dan otentik sehingga sama kuatnya dengan saksi yang berbicara. Konsep nastansikh (Kami telah mencatat/menyalin) menunjukkan akurasi dan kesempurnaan pencatatan Ilahi. Tidak ada peluang bagi siapa pun untuk menyangkal apa yang telah mereka lakukan.
فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَيُدۡخِلُهُمۡ رَبُّهُمۡ فِي رَحۡمَتِهِۦۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡمُبِينُ ٣٠ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَفَلَمۡ تَكُنۡ ءَايَٰتِي تُتۡلَىٰ عَلَيۡكُمۡ فَٱسۡتَكۡبَرۡتُمۡ وَكُنتُمۡ قَوۡمٗا مُّجۡرِمِينَ
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan mereka memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surga). Itulah kemenangan yang nyata. (30) Dan adapun orang-orang yang kafir (maka dikatakan kepada mereka), "Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu, namun kamu menyombongkan diri dan kamu adalah kaum pendosa?"
Ayat 30 adalah gambaran kebahagiaan bagi orang beriman: mereka masuk surga melalui rahmat Allah (fī rahmatihī), yang merupakan kemenangan sejati (al-fawzul mubīn). Ayat 31 beralih ke kaum kafir. Pertanyaan yang diajukan kepada mereka adalah interogasi tentang tanggung jawab: "Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu?" Pertanyaan ini menekankan bahwa mereka tidak punya alasan untuk tidak tahu. Kesalahan utama mereka adalah kesombongan (istakbartum) yang membuat mereka menolak kebenaran, menjadikan mereka kaum pendosa (mujrimīn).
وَإِذَا قِيلَ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞ وَٱلسَّاعَةُ لَا رَيۡبَ فِيهَا قُلۡتُم مَّا نَدۡرِي مَا ٱلسَّاعَةُ إِن نَّظُنُّ إِلَّا ظَنّٗا وَمَا نَحۡنُ بِمُسۡتَيۡقِنِينَ
Dan apabila dikatakan (kepadamu), "Sesungguhnya janji Allah itu benar dan Hari Kiamat itu tidak ada keraguan padanya," niscaya kamu menjawab, "Kami tidak tahu apakah hari Kiamat itu, kami hanya menduga-duga saja dan kami tidak meyakini."
Ayat ini merefleksikan kembali ucapan kaum musyrikin di dunia (seperti pada Ayat 24). Ketika dihadapkan pada kepastian janji Allah, mereka berlindung di balik ketidakpastian ("kami hanya menduga-duga"). Mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki keyakinan (lam mustayqinīn) terhadap Hari Kiamat. Ironisnya, pengakuan inilah yang menjadi penghukum mereka di hari itu, menunjukkan bahwa mereka sengaja memilih keraguan daripada kepastian yang ditawarkan oleh wahyu.
وَبَدَا لَهُمۡ سَئَِّاتُ مَا عَمِلُواْ وَحَاقَ بِهِم مَّا كَانُواْ بِهِۦ يَسۡتَهۡزِءُونَ ٣٣ وَقِيلَ ٱلۡيَوۡمَ نَنسَىٰكُمۡ كَمَا نَسِيتُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَا وَمَأۡوَىٰكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّٰصِرِينَ ٣٤ ذَٰلِكُم بِأَنَّكُمُ ٱتَّخَذۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوٗا وَغَرَّتۡكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَاۚ فَٱلۡيَوۡمَ لَا يُخۡرَجُونَ مِنۡهَا وَلَا هُمۡ يُسۡتَعۡتَبُونَ
Dan tampaklah bagi mereka kejahatan (balasan) dari apa yang telah mereka kerjakan, dan mereka diliputi oleh azab yang dahulu mereka olok-olok. (33) Dan dikatakan (kepada mereka), "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan pada hari ini (Kiamat); tempat tinggalmu ialah neraka dan sekali-kali tidak ada penolong bagimu. (34) Yang demikian itu karena kamu telah menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olok dan kamu telah tertipu oleh kehidupan dunia." Maka pada hari itu mereka tidak dikeluarkan dari (neraka) dan tidak (pula) diterima permintaan maafnya.
Ayat-ayat ini menggambarkan kengerian penghukuman. Semua kejahatan (sayyi’āt) yang tersembunyi kini tampak jelas, dan azab yang dahulu mereka olok-olok (Ayat 9) kini meliputi mereka. Hukuman yang paling menyakitkan adalah "dilupakan" oleh Allah (nansākum). Tentu saja, Allah tidak benar-benar lupa, tetapi frasa ini berarti Allah memperlakukan mereka sebagai sesuatu yang tidak penting, meninggalkan mereka dalam azab, sebagai balasan yang setimpal karena mereka telah melupakan janji pertemuan pada Hari Kiamat. Penyebab hukuman mereka disimpulkan dalam dua hal: (1) Menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olok, dan (2) Tertipu oleh kehidupan dunia (gharratkumul-hayātud-dunyā). Akibatnya, mereka kekal di neraka, dan kesempatan untuk bertaubat (yusta'tabūn) ditutup.
فَلِلَّهِ ٱلۡحَمۡدُ رَبِّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَرَبِّ ٱلۡأَرۡضِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٣٦ وَلَهُ ٱلۡكِبۡرِيَآءُ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
Maka segala puji hanya bagi Allah, Tuhan langit dan bumi, Tuhan seluruh alam. (36) Dan bagi-Nyalah segala keagungan di langit dan di bumi, dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Surah ini ditutup dengan kesimpulan yang kuat, mengembalikan fokus kepada keagungan Allah. Setelah menggambarkan kengerian Hari Kiamat dan keadilan penghisaban, Allah menutupnya dengan penegasan bahwa segala puji (al-hamd) hanya milik-Nya. Dialah Pemilik dan Penguasa (Rabb) dari seluruh alam semesta, yang meliputi langit, bumi, dan segala isinya. Sifat Al-Kibriyā’ (keagungan, kemuliaan, superioritas mutlak) adalah milik-Nya semata. Pengulangan sifat Al-‘Azīz (Mahaperkasa) dan Al-Hakīm (Mahabijaksana), sebagaimana pada ayat pembuka (Ayat 2), memberikan struktur melingkar yang sempurna pada surah, menegaskan bahwa kekuasaan, keadilan, dan hikmah Allah adalah abadi dan tak tertandingi.
Surah Al Jatsiyah menggunakan pendekatan yang sangat efektif dalam berargumen dengan kaum musyrikin. Ia tidak memulai dengan perintah atau larangan, melainkan dengan observasi. Lima ayat pertama (3-5) menyajikan fenomena alam sebagai bukti logis: penciptaan diri, hewan yang bertebaran, siklus siang-malam, hujan, dan pergerakan angin. Pengulangan frasa "tanda-tanda bagi kaum yang beriman," "kaum yang meyakini," dan "kaum yang berakal" menunjukkan bahwa iman bukanlah lompatan buta, tetapi hasil logis dari pemikiran yang sehat (Ayat 3, 4, 5).
Hubungan antara tanda-tanda kosmik dan Hari Kiamat sangat eksplisit dalam surah ini. Bagaimana Allah mampu menghidupkan bumi yang mati dengan air hujan (Ayat 5) dijadikan sebagai analogi dan bukti primer bahwa Allah juga mampu menghidupkan kembali tubuh manusia yang telah menjadi tanah. Penolakan terhadap Kebangkitan sama dengan menolak kekuatan yang mengatur seluruh kosmos yang mereka saksikan setiap hari.
Surah ini sangat fokus pada akar kesesatan, yang mana bukanlah kurangnya bukti, melainkan keengganan hati dan kesombongan. Ini tergambar jelas dalam Ayat 7-8, di mana pendusta digambarkan menyombongkan diri (mustakbiran) meskipun telah mendengar ayat-ayat Allah. Puncak dari gambaran kesesatan ini adalah Ayat 23, di mana individu digambarkan menjadikan hawa nafsunya (hawāhu) sebagai tuhan. Jika seseorang menjadikan keinginan pribadinya sebagai standar kebenaran tertinggi, tidak ada lagi ruang bagi wahyu. Ini adalah kritik terhadap hedonisme dan egoisme yang telah mendarah daging dalam masyarakat Makkah saat itu, yang mana relevan hingga saat ini.
Ayat 24 memberikan wawasan filosofis yang sangat penting mengenai pandangan dunia materialis kuno. Ungkapan "Tidak ada yang membinasakan kita selain waktu (Dahr)" adalah esensi dari fatalisme atau skeptisisme yang menolak intervensi ilahi. Bagi mereka, keberadaan hanyalah siklus tanpa tujuan, dan waktu adalah agen penghancur yang tidak memiliki kesadaran. Al-Qur'an secara radikal menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa waktu dan segala sesuatu di dalamnya berada di bawah kendali Allah, bukan sebaliknya. Kehidupan memiliki tujuan, dan tujuan itu adalah menuju Hari Penghisaban.
Nama surah, Al Jatsiyah (Yang Berlutut), muncul di Ayat 28. Pemandangan kolektif di mana setiap umat (kullu ummah) berlutut di hadapan Kitab catatan amal mereka adalah salah satu gambaran Kiamat yang paling kuat dan merendahkan dalam Al-Qur'an. Berlutut melambangkan kepatuhan total dan keputusasaan setelah semua dalih runtuh. Ini adalah kontras dramatis dengan kesombongan (istakbartum) yang ditunjukkan oleh kaum kafir di dunia (Ayat 8 dan 31). Di dunia mereka berdiri tegak dalam penolakan, tetapi di akhirat mereka dipaksa berlutut dalam penyesalan.
Struktur ayat-ayat akhir (33-35) menyajikan konsep keadilan timbal balik. Karena mereka melupakan pertemuan Hari Kiamat, mereka ‘dilupakan’ di hari itu. Karena mereka mengolok-olok kebenaran dan tertipu oleh kehidupan dunia, mereka kehilangan kesempatan untuk keluar dari neraka atau diterima taubatnya. Ini menegaskan bahwa hukuman di akhirat adalah cerminan dari pilihan dan kelalaian yang dilakukan di dunia.
Perintah kepada Nabi ﷺ untuk mengikuti Syariat (Ayat 18) adalah perintah untuk mempertahankan kemurnian ajaran dari kompromi duniawi. Latar belakangnya adalah tekanan kaum musyrikin agar Nabi meninggalkan sebagian ajarannya sebagai ganti pengakuan mereka. Ayat 18 menegaskan garis pemisah yang tegas: Syariat Allah adalah jalan yang mutlak dan tidak boleh ditukar dengan hawa nafsu kaum jahil. Ini membangun fondasi bagi umat Islam untuk menjadi umat yang fokus pada kebenaran Ilahi, bukan pada popularitas atau politik duniawi.
Kajian menyeluruh terhadap Surah Al Jatsiyah adalah undangan untuk merenungkan koneksi antara alam semesta yang teratur dan Kitab Suci yang teratur. Keduanya adalah Ayat Allah yang menuntut respons yang sama: keyakinan, kepatuhan (Syariat), dan penolakan terhadap kesombongan dan hawa nafsu. Surah ini menekankan bahwa kegagalan untuk melihat tanda-tanda Allah di dunia adalah penyebab utama kegagalan total di akhirat, di mana semua akan dipaksa berlutut.
Setiap tanda kekuasaan Allah yang disebutkan dalam surah ini—dari pergerakan bintang hingga jatuhnya hujan—menarik perhatian kepada fakta bahwa alam semesta beroperasi di bawah hukum yang presisi. Hukum inilah yang menegaskan keesaan Sang Pencipta. Jika alam patuh, mengapa manusia—yang dianugerahi akal—memilih untuk tidak patuh? Pertanyaan ini menjadi landasan moral dan spiritual yang disampaikan Al Jatsiyah. Konteks Makkiyah surah ini, di tengah penganiayaan dan penolakan, memberikan kekuatan moral yang sangat dibutuhkan oleh kaum Muslimin saat itu, meyakinkan mereka bahwa pertarungan ini bukan tentang popularitas dunia, melainkan tentang janji abadi di Hari Kiamat.
Surah ini membimbing pembaca melalui serangkaian kontradiksi: kehidupan dan kematian, ilmu dan dugaan, mukmin dan kafir, kebenaran dan kebatilan, Syariat dan hawa nafsu. Di setiap kontradiksi, surah ini menawarkan kejelasan, menetapkan bahwa satu-satunya jalan menuju kemenangan nyata (al-fawzul mubīn) adalah melalui keyakinan yang didasarkan pada akal dan ketaatan pada Syariat Ilahi.
Lebih jauh lagi, penggunaan kata yagfirū (memaafkan) pada Ayat 14 menunjukkan keseimbangan sempurna antara keadilan dan kasih sayang. Meskipun kaum kafir bersalah, kaum mukmin diinstruksikan untuk menahan diri dari pembalasan segera. Tindakan memaafkan di dunia adalah bentuk penyerahan kepada Allah, keyakinan bahwa Allah sendiri akan menjalankan keadilan-Nya pada Hari Pembalasan. Ini memperkuat pesan bahwa otoritas dan perhitungan tertinggi berada di tangan Allah, bukan manusia.
Refleksi mendalam terhadap Surah Al Jatsiyah mengajarkan bahwa keimanan sejati berakar pada kesadaran mendalam akan tanggung jawab pribadi di hadapan Allah, dan kesadaran bahwa waktu di dunia ini hanyalah persiapan menuju pertemuan di mana setiap umat akan berlutut, menunggu catatan amalnya dibaca dengan akurat dan adil.
Setiap elemen linguistik dalam surah ini dirancang untuk mencapai dampak maksimal. Misalnya, pengulangan kata "ayat" (tanda-tanda) sebanyak 14 kali dalam berbagai konteks (ayat kosmik, ayat wahyu, ayat yang diolok-olok) menciptakan rantai bukti yang tak terputus. Ini menekankan bahwa Al-Qur'an tidak hanya mengklaim kebenaran, tetapi juga menunjuk ke mana-mana untuk verifikasi klaim tersebut. Bukti ada di dalam diri, di alam semesta, dan di dalam Kitab. Penolakan, oleh karena itu, adalah tindakan yang disengaja dan tidak beralasan.
Penghubungan antara langit dan bumi (Ayat 3, 22, 36) yang diulang-ulang secara konsisten menempatkan kekuasaan Allah pada skala yang tidak terbayangkan oleh manusia. Kedaulatan-Nya melampaui batas-batas duniawi dan temporal. Hal ini sangat penting untuk melawan pandangan materialistik yang membatasi realitas hanya pada apa yang bisa dilihat dan diukur.
Pada akhirnya, Al Jatsiyah adalah seruan untuk bangun dari kelalaian duniawi. Ia adalah peta jalan yang menunjukkan bahwa jalan menuju kebenaran adalah Syariat, dan bahwa tujuan akhir adalah pertemuan di mana keagungan Allah akan terwujud dalam bentuk penghisaban universal, yang tidak seorang pun akan luput darinya. Orang-orang yang beriman akan menyambut rahmat, sementara orang-orang yang sombong akan menemui konsekuensi dari kesombongan yang mereka pertahankan hingga akhir hayat.