Ilustrasi timbangan keadilan (Mizan), melambangkan perintah Surah Al-An'am ayat 152.
Surah Al-An'am adalah salah satu surah Makkiyah yang diturunkan pada periode kritis dakwah Nabi Muhammad ﷺ. Surah ini secara fundamental menegaskan tauhid (keesaan Allah), menolak syirik, dan meletakkan dasar-dasar akidah yang kokoh. Di penghujung surah, Allah SWT menurunkan serangkaian ayat (151-153) yang dikenal oleh para mufassir sebagai "Sepuluh Perintah" (Mirip dengan Dekalog), merangkum etika sosial, ekonomi, dan moral yang menjadi pondasi peradaban Islam.
Di antara rangkaian perintah agung tersebut, Surah Al-An'am Ayat 152 hadir sebagai pedoman yang detail dan spesifik, mengatur interaksi manusia dalam aspek ekonomi, hukum, dan komunikasi. Ayat ini secara khusus menyoroti tiga pilar utama: perlindungan hak anak yatim, keadilan dalam timbangan dan takaran, serta kejujuran mutlak dalam perkataan dan persaksian.
Ayat 152 ini terbagi menjadi empat perintah utama yang disisipi satu prinsip universal (Taysir, kemudahan). Pemahaman terhadap setiap frasa adalah kunci untuk mengaplikasikan keadilan yang dituntut oleh Islam.
Ayat ini menggunakan frasa "Wa la taqrabu" (Janganlah kamu dekati). Larangan 'mendekati' lebih tegas daripada sekadar larangan 'memakan' atau 'mengambil.' Ini menyiratkan pencegahan terhadap segala bentuk muqaddimah (pendahuluan) yang dapat mengarah pada penyalahgunaan harta. Para wali atau pengurus harta yatim diperingatkan untuk menjaga jarak etis dan hukum dari harta tersebut, memastikan integritas dan transparansi mutlak.
Seorang yatim adalah seseorang yang ayahnya meninggal sebelum ia mencapai usia baligh. Harta yang dimaksud adalah warisan atau kepemilikan lain yang ditinggalkan oleh ayah atau diperoleh anak tersebut.
Larangan ini tidak bersifat mutlak. Allah memberikan pengecualian yang merupakan tuntutan manajemen harta yang bijak: pengelolaan harta yatim harus dilakukan "illa billati hiya ahsan" (kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat). Para mufassir menjelaskan bahwa 'cara yang lebih bermanfaat' ini mencakup:
Imam Al-Qurtubi menekankan bahwa niat wali harus murni untuk maslahat (kebaikan) anak yatim, bukan untuk keuntungan pribadi.
Kewajiban perwalian berakhir ketika anak yatim mencapai dua kriteria utama: baligh (dewasa secara fisik) dan rushd (dewasa secara mental, mampu mengelola harta dengan baik). Frasa "yablugha ashuddah" mencakup kematangan fisik dan intelektual. Berdasarkan Surah An-Nisa Ayat 6, wali harus melakukan uji coba (menguji kecerdasan finansial) sebelum menyerahkan harta sepenuhnya. Jika seorang anak sudah baligh namun belum rushd (boros atau tidak bertanggung jawab), perwalian tetap harus dipertahankan demi melindungi harta tersebut.
Perintah kedua berfokus pada keadilan ekonomi fundamental, yang merupakan prasyarat stabilitas dan kepercayaan masyarakat.
"Wa awfu" berarti menunaikan atau menyempurnakan. Ayat ini menuntut agar segala bentuk transaksi jual-beli yang melibatkan pengukuran (kail, seperti volume) dan penimbangan (mizan, seperti berat) harus dilakukan "bil-qist" (dengan adil dan setara). Keadilan di sini berarti memberikan hak penuh kepada pembeli dan penjual, tanpa mengurangi takaran sedikit pun, sebagaimana pernah ditekankan dalam kisah Nabi Syuaib dan kaum Madyan (QS. Hud: 84-86).
Meskipun ayat ini merujuk pada timbangan fisik di pasar, prinsip ini meluas hingga keadilan dalam sistem ekonomi modern. Ini mencakup:
Mengurangi timbangan dianggap sebagai dosa besar karena merusak fondasi kepercayaan, memiskinkan masyarakat, dan mengundang azab ilahi.
Ayat ini menyisipkan sebuah kaidah fikih dan teologi yang sangat penting, dikenal sebagai prinsip Taysir (kemudahan): "La nukallifu nafsan illa wus'aha" (Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya).
Penyisipan prinsip ini di tengah-tengah perintah keadilan memiliki makna ganda:
Prinsip ini adalah rahmat yang menjamin bahwa hukum Islam realistis dan dapat diterapkan oleh semua manusia, terlepas dari latar belakang atau keterbatasan mereka.
Perintah ini membawa keadilan dari ranah materi ke ranah verbal dan hukum, yang seringkali lebih sulit untuk dipraktikkan.
"Wa idha qultum fa'dilu" (Apabila kamu berkata, hendaklah kamu berlaku adil). Ini mencakup semua bentuk ucapan: persaksian di pengadilan, keputusan hukum, fatwa, nasehat, bahkan komunikasi sehari-hari. Keadilan verbal menuntut kejujuran dan objektivitas, menjauhkan diri dari kebohongan, fitnah, dan penyebaran berita bohong.
Ayat ini menambahkan tantangan moral tertinggi: keadilan harus ditegakkan "walaw kana dha qurba" (sekalipun dia kerabatmu). Ini adalah ujian integritas yang sesungguhnya. Dalam konteks persaksian, jika seorang saksi mengetahui bahwa kerabatnya bersalah atau berhak atas sesuatu yang merugikan kerabat lain, ia wajib bersaksi secara jujur. Kerabat atau hubungan emosional tidak boleh menjadi penghalang untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan.
Ini sejalan dengan perintah dalam Surah An-Nisa: 135, yang menuntut berdiri tegak demi keadilan, bahkan terhadap diri sendiri atau orang tua.
Perintah terakhir ini merangkum dan mengukuhkan semua perintah sebelumnya dalam satu kesatuan spiritual.
'Ahdullah' atau Janji Allah memiliki interpretasi yang sangat luas:
Dengan memenuhi janji Allah, seseorang secara otomatis akan memenuhi keadilan terhadap sesama manusia. Sebab, keadilan sosial dan ekonomi (perintah 1, 2, 4) adalah bagian integral dari ketaatan kepada Allah.
Ayat 152 bukan sekadar daftar perintah, melainkan representasi dari arsitektur moral dan hukum Islam. Ayat ini menggabungkan hak individu, tanggung jawab sosial, dan integritas pribadi menjadi satu sistem yang koheren.
Kewajiban melindungi harta anak yatim (mal al-yatim) memiliki dimensi ganda:
A. Perlindungan Ekonomi: Tujuan utama adalah memastikan bahwa ketika anak yatim mencapai kematangan, ia memiliki modal finansial untuk memulai hidupnya. Islam melihat penyalahgunaan harta yatim sebagai kejahatan sosial-ekonomi yang paling serius, setara dengan memakan api, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nisa Ayat 10.
B. Perlindungan Psikososial: Perintah ini juga menuntut perlindungan terhadap kehormatan dan martabat anak yatim. Perlakuan yang 'lebih bermanfaat' (ahsan) tidak hanya mencakup investasi uang, tetapi juga investasi emosional dan pendidikan yang membentuk karakter mereka agar siap secara spiritual dan mental saat mengambil alih harta mereka.
Perintah "wa awfu l-kaila wal-mizan bil-qist" adalah fondasi dari Fiqh Muamalah (Hukum Transaksi). Ia secara langsung memerangi praktik ghasy (penipuan) dan gharar (ketidakpastian yang berlebihan) dalam perdagangan. Dalam konteks modern, implikasi ini meluas ke:
Al-Ghazali, dalam Ihya Ulumiddin, memasukkan kecurangan dalam timbangan sebagai bentuk perusakan terhadap tatanan sosial yang dilarang keras, karena menghancurkan kepercayaan kolektif.
Keadilan dalam perkataan (Adl fil Qawl) jauh melampaui persaksian di pengadilan. Ini adalah etika komunikasi yang meliputi:
A. Penegasan Fakta: Setiap informasi yang disampaikan harus diverifikasi (tabayyun). Menyebarkan gosip atau tuduhan yang belum pasti (terutama di era digital) melanggar prinsip keadilan ini.
B. Netralitas Opini: Ketika memberikan penilaian atau kritik, seseorang harus memisahkan emosi atau kepentingan pribadi dari fakta yang ada, terutama jika ia berperan sebagai penasehat atau pembuat keputusan.
C. Konsekuensi Hukum Persaksian: Dalam Fiqh Jinayat (Hukum Pidana), persaksian palsu (sumpah palsu) dianggap sebagai dosa besar yang merusak nyawa dan harta orang lain, dan merupakan pelanggaran langsung terhadap "fa'dilu wa law kana dha qurba."
Ayat 152 tidak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari tiga ayat (151, 152, 153) yang membentuk "Wasiat Allah" yang komprehensif. Ayat-ayat ini menghubungkan tauhid (151) dengan keadilan sosial (152) dan jalan lurus (153).
Ayat 151 menetapkan larangan-larangan fundamental yang berhubungan dengan akidah dan hak dasar kemanusiaan: tidak menyekutukan Allah, berbuat baik kepada orang tua, tidak membunuh anak karena takut miskin, dan menjauhi perbuatan keji. Ayat 152 kemudian mengambil alih, bergerak dari larangan umum (jangan bunuh) ke kewajiban positif yang detail (lindungilah harta yatim, adililah). Artinya, Tauhid harus termanifestasi dalam etika publik dan muamalah.
Ayat 151 didominasi oleh larangan (la taqulu, la taqrabu). Sementara itu, Ayat 152 berimbang antara larangan (jangan dekati harta yatim) dan kewajiban positif (wa awfu, fa'dilu, awfu). Ini menunjukkan transisi dari pencegahan dosa besar ke pembangunan masyarakat yang aktif dan berkeadilan.
Ayat 153 menutup rangkaian ini dengan perintah untuk mengikuti Shirathal Mustaqim (Jalan yang Lurus) dan menghindari jalan-jalan lain yang menyesatkan. Ayat 152 mengajarkan bahwa Jalan yang Lurus itu bukan hanya ritual, tetapi juga mencakup integritas moral dalam mengurus harta yatim, berdagang, dan berbicara. Keadilan sosial adalah jalan yang lurus itu sendiri.
Mengamalkan Ayat 152 adalah bentuk dari Tazkiyatun Nafs (penyucian jiwa). Ketaatan terhadap perintah ini membutuhkan pengendalian diri (mujahadah) yang intensif, karena perintah-perintah ini sering kali bertentangan dengan dorongan ego (nafs) dan keserakahan.
Harta anak yatim sering kali berada dalam posisi rentan tanpa pengawasan langsung. Godaan untuk mengambilnya memerlukan tingkat taqwa yang tinggi. Para ulama tasawuf melihat perlakuan terhadap harta yatim sebagai indikator kualitas iman seseorang. Jika seseorang mampu menjaga harta yang bukan miliknya, apalagi yang milik orang yang lemah, ia telah mencapai tingkat zuhud dan amanah yang paripurna.
Penutup ayat 152, "Dzalikum washshakum bihi la'allakum tadhakkarun" (Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat), menunjukkan bahwa keadilan adalah bentuk zikir (mengingat Allah). Ketika seseorang menimbang dengan adil, ia mengingat Allah. Ketika ia berbicara jujur meski pahit, ia mengingat janji Allah. Keadilan bukan sekadar perilaku sosial, melainkan ibadah yang mengaktifkan kesadaran ilahi.
Penyisipan prinsip "Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya" memberikan motivasi spiritual. Ini menghilangkan keputusasaan dari tuntutan moral yang tinggi. Seorang mukmin didorong untuk berjuang mencapai keadilan optimal, namun diyakinkan bahwa usaha tulusnya akan dihitung, dan Allah Maha Pengampun terhadap kesalahan yang tidak disengaja.
Meskipun diturunkan pada abad ke-7, prinsip-prinsip dalam Surah Al-An'am Ayat 152 sangat relevan dengan isu-isu tata kelola (governance), hukum korporasi, dan etika profesional di masa kini.
Perintah melindungi harta yatim dapat diterjemahkan menjadi etika perwalian (fiduciary duty) dalam manajemen korporat. Seorang CEO, komisaris, atau manajer dana investasi adalah 'wali' atas aset pemegang saham, termasuk saham yang mungkin dimiliki oleh dana pensiun, yayasan, atau individu yang lemah (analog anak yatim).
Kewajiban menyempurnakan timbangan dan takaran adalah dasar hukum perlindungan konsumen (consumer protection).
"Fa'dilu wa law kana dha qurba" menjadi prinsip etika dalam jurnalisme dan kebijakan publik.
Kekuatan ayat ini terletak pada pilihan kata yang presisi (balaghah), yang memperkuat makna moral dan hukum.
Seperti disebutkan, penggunaan kata "taqrabu" (mendekati) daripada "ta'kulu" (memakan) sangat kuat. Dalam bahasa Arab, larangan mendekati sesuatu menyiratkan larangan total terhadap setiap langkah yang mengarah pada pelanggaran. Ini menutup pintu (sadd adz-dzara'i') bagi segala celah yang bisa digunakan wali untuk memanipulasi harta yatim, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ayat ini menggunakan dua kata yang sering diterjemahkan sebagai 'adil':
Pemisahan ini menunjukkan bahwa keadilan ekonomi harus terukur, sedangkan keadilan verbal harus didasarkan pada objektivitas moral.
Ayat 152 merupakan rangkaian perintah yang terikat secara logis. Perintah perlindungan harta yatim (privasi/individu yang rentan) diikuti oleh keadilan pasar (publik/transaksi), yang kemudian disempurnakan dengan keadilan perkataan (hukum/moralitas). Penutupnya, Janji Allah, menyatukan semua ini, menegaskan bahwa semua bentuk keadilan adalah satu kesatuan ibadah.
Sepanjang sejarah Islam, Surah Al-An'am Ayat 152 telah menjadi pedoman utama dalam pembentukan lembaga hukum dan etika publik.
Kisah tentang Umar bin Khattab ra. sering dijadikan contoh penerapan ketat Ayat 152. Umar sangat tegas dalam pengawasan pasar, memastikan bahwa para pedagang menggunakan timbangan yang akurat. Ia juga dikenal karena ketegasan dalam kasus-kasus persaksian, menuntut keadilan mutlak tanpa kompromi, bahkan jika pihak yang bersalah adalah petinggi negara atau kerabat dekat. Keadilan Umar dalam perkataan (Adl fil Qawl) menjadi legenda.
Sistem Baitul Mal (kas negara) pada masa awal Islam memiliki mekanisme ketat untuk memisahkan dana publik dari dana khusus yang merupakan amanah, termasuk harta anak yatim dan dana wakaf. Prinsip illa billati hiya ahsan diterapkan melalui investasi harta yatim dalam proyek-proyek yang berisiko rendah namun menghasilkan keuntungan, seperti perdagangan yang terjamin keamanannya.
Ayat ini adalah sumpah jabatan bagi setiap hakim (Qadi) dalam peradilan Islam. Tugas seorang Qadi adalah memastikan keadilan dalam persaksian dan keputusan (Adl fil Qawl), bahkan ketika menghadapi tekanan politik atau ikatan sosial. Keadilan dalam pengucapan adalah penentu keabsahan sebuah sistem hukum.
Surah Al-An'am Ayat 152 adalah manifesto etika yang tak lekang oleh zaman. Ia menanamkan kepekaan sosial terhadap yang lemah (anak yatim), menuntut kejujuran absolut dalam setiap transaksi ekonomi, dan mewajibkan integritas moral dalam setiap perkataan.
Ayat ini mengajarkan bahwa iman sejati tidak hanya diukur dari ritual, tetapi dari bagaimana seorang individu berinteraksi dengan harta, kekuasaan, dan kebenaran. Keadilan adalah perintah kolektif (wasiyah) dari Allah, yang tujuan utamanya adalah agar manusia senantiasa mengingat (tadhakkarun) asal-usul, kewajiban, dan tujuan hidup mereka di dunia. Dengan menjalankan perintah ini, umat Islam membangun masyarakat yang kokoh, terpercaya, dan dirahmati, sebuah masyarakat yang menjalankan amanah ilahi secara paripurna.
Ketaatan terhadap prinsip-prinsip Surah Al-An'am Ayat 152 adalah jaminan bagi terciptanya keseimbangan, kedamaian, dan keberkahan, baik di tingkat individu, sosial, maupun negara.