Surah Al-Anbiya ayat 30 adalah salah satu ayat paling fundamental dalam Al-Qur'an yang membahas penciptaan alam semesta dan kehidupan di dalamnya. Ayat ini menyajikan dua pernyataan kosmik yang luar biasa, yang tidak hanya menegaskan kemahakuasaan Allah SWT tetapi juga memberikan isyarat mendalam mengenai asal-usul jagat raya dan biologi. Kajian terhadap ayat ini meliputi dimensi tafsir klasik, ilmu bahasa Arab (linguistik), serta tinjauan ilmu pengetahuan modern (kosmologi dan biologi).
Pilar utama ayat ini terletak pada dua kata kunci yang mendefinisikan keadaan alam semesta purba: Ratq (رَتْقًا) dan Fataq (فَفَتَقْنَاهُمَا). Memahami makna bahasa kedua kata ini sangat penting untuk membuka cakrawala tafsir.
Secara harfiah, Ratq berarti 'menyatukan', 'menyambung', 'menempelkan', atau 'menutup rapat'. Ratq merujuk pada suatu keadaan di mana dua benda atau lebih telah menjadi satu kesatuan yang padu, tidak ada celah, dan tidak dapat dibedakan. Dalam konteks ayat ini, langit (samāwāt) dan bumi (arḍ) berada dalam keadaan Ratq, yaitu sebagai satu kesatuan materi yang terpadu.
Lawan dari Ratq adalah Fataq, yang berarti 'memisahkan', 'membelah', 'mengoyak', 'membuka', atau 'memecah'. Fataq adalah proses aktif yang dilakukan oleh Dzat Yang Maha Kuasa untuk memecah kesatuan Ratq, sehingga terciptalah diferensiasi dan keteraturan.
Dalam era kontemporer, penafsiran ayat 30 Surah Al-Anbiya sering kali dikaitkan erat dengan penemuan ilmiah besar abad ke-20, terutama teori mengenai asal-usul alam semesta. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memuat isyarat-isyarat kebenaran yang melampaui pengetahuan manusia pada masa pewahyuan.
Deskripsi Ratq dan Fataq secara mengejutkan selaras dengan konsep Dentuman Besar (Big Bang). Teori ini menyatakan bahwa alam semesta pada mulanya adalah singularitas, sebuah titik yang sangat panas dan padat (Ratq), sebelum akhirnya mengalami ekspansi luar biasa dan memisah (Fataq) untuk membentuk ruang, waktu, dan materi seperti yang kita kenal sekarang.
Diagram Konsep Ratq (Massa Padu) dan Fataq (Pemisahan Kosmik) yang mengisyaratkan Dentuman Besar.
Fase awal alam semesta, sebelum pemisahan, adalah massa gas hidrogen dan helium yang sangat panas. Proses Fataq menghasilkan pendinginan, pemadatan, dan pembentukan struktur galaksi (langit) serta planet (bumi). Ayat ini secara ringkas menjelaskan proses diferensiasi kosmik yang memakan waktu miliaran tahun.
Pembukaan ayat: "Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui..." menunjukkan bahwa bukti penciptaan ini seharusnya menjadi tanda yang sangat jelas, bahkan bagi mereka yang ingkar. Allah menggunakan tanda-tanda penciptaan yang kasat mata (seperti fungsi hujan dan tanaman) dan yang tidak kasat mata (seperti asal-usul kosmik) untuk menantang akal dan keimanan manusia. Bukti ini adalah seruan universal yang melintasi zaman, dari tafsir tradisional hingga ilmu modern.
Bagian kedua dari ayat 30 Surah Al-Anbiya' beralih dari kosmik ke biologis: "Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup." Pernyataan ini adalah mukjizat ilmiah lainnya yang mendahului penemuan biologi modern mengenai peran fundamental air.
Penemuan ilmiah menunjukkan bahwa semua bentuk kehidupan—dari mikroba terkecil hingga makhluk paling kompleks—sebagian besar terdiri dari air. Protoplasma, zat dasar sel hidup, sebagian besar adalah larutan air. Secara persentase, tubuh manusia dewasa terdiri dari 50-75% air. Tanpa air, tidak ada metabolisme yang dapat terjadi.
Tafsir klasik dan modern memberikan beberapa dimensi pada frasa "Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air":
Ayat 30 Surah Al-Anbiya' ditutup dengan sebuah pertanyaan retoris yang penuh makna: "Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (أَفَلَا يُؤْمِنُونَ). Bagian penutup ini berfungsi sebagai puncak dari semua bukti yang telah disajikan.
Ayat ini mengajak manusia untuk menggunakan akal sehatnya. Jika manusia dapat menyaksikan keajaiban alam semesta—mulai dari asal-usul kosmik yang luas hingga ketergantungan biologis pada air—maka seharusnya tidak ada keraguan tentang eksistensi dan keesaan Sang Pencipta. Bukti-bukti ini adalah ‘ayat’ (tanda-tanda) yang telah tersebar di jagat raya.
Proses Ratq dan Fataq adalah bukti bahwa ada daya super-natural yang mengatur materi. Materi tidak muncul atau terpisah dengan sendirinya; ia tunduk pada kehendak ilahi. Orang-orang yang tidak beriman (kafir) adalah mereka yang menolak mengakui tanda-tanda yang begitu jelas ini, meskipun bukti-bukti tersebut terukir dalam sejarah alam semesta.
Ayat ini mengajarkan bahwa tidak ada pertentangan antara penemuan ilmiah sejati dan kebenaran wahyu ilahi. Sebaliknya, penemuan ilmiah modern tentang alam semesta justru memperkuat validitas pernyataan Al-Qur'an yang diturunkan 14 abad yang lalu. Semakin dalam manusia menyelami ilmu pengetahuan, semakin jelaslah desain yang sempurna dari Sang Khaliq. Tauhid (keesaan Allah) ditegakkan melalui pengamatan atas keindahan dan kerapian sistem penciptaan.
Untuk memahami kedalaman ayat ini, kita perlu merinci lebih lanjut berbagai interpretasi yang ditawarkan oleh ulama sepanjang sejarah, menunjukkan fleksibilitas dan universalitas makna ayat 30.
Mufassir terdahulu sangat fokus pada pemisahan fungsional. Sebelum Fataq, langit adalah 'tertutup' dari hujan, dan bumi 'tertutup' dari hasil panen. Setelah Fataq, langit 'dibuka' untuk menghasilkan berkah (hujan), dan bumi 'dibuka' untuk mengeluarkan berkah (tanaman).
Konsep ini memiliki implikasi teologis yang kuat: Penciptaan bukan hanya tentang keberadaan, tetapi tentang fungsi. Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan tujuan, dan proses Fataq adalah permulaan dari penetapan fungsi-fungsi tersebut yang diperlukan bagi eksistensi manusia. Ini adalah manifestasi Rahmat Allah yang diwujudkan melalui siklus hidrologi dan vegetasi.
Pemisahan fungsional ini, di mata ahli tafsir, adalah bukti kekuasaan Allah yang jauh lebih mudah dipahami oleh masyarakat agraris saat itu dibandingkan singularitas kosmik. Namun, keindahan ayat ini terletak pada kemampuannya mencakup kedua makna tersebut secara simultan.
Akar kata R-T-Q dan F-T-Q dalam bahasa Arab menunjukkan konsep yang sangat jelas. Ratq digunakan untuk menjahit atau menyambung sobekan pada kain atau kulit, menjadikannya padu kembali. Fataq adalah tindakan sebaliknya, yaitu merobek atau membelah. Pemilihan kata ini oleh Al-Qur'an menunjukkan bahwa proses penciptaan adalah tindakan pemisahan yang disengaja dan terukur dari kesatuan yang solid.
Pengulangan dan elaborasi linguistik Ratq:
Pengulangan dan elaborasi linguistik Fataq:
Pernyataan "Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup" membutuhkan analisis yang lebih komprehensif, menghubungkannya kembali dengan proses Fataq.
Bagaimana air muncul? Air (H₂O) adalah molekul yang terdiri dari Hidrogen, unsur paling melimpah di alam semesta, dan Oksigen, unsur yang terbentuk dalam bintang. Proses Fataq, yang mencakup pembentukan bintang (tempat Oksigen ditempa) dan pembentukan tata surya, secara tidak langsung menciptakan bahan baku air. Air kemudian dibawa ke bumi melalui komet, atau terbentuk dari gas dan debu di sekitar bumi purba.
Ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memisahkan langit dan bumi, tetapi juga mengatur komposisi kimia alam semesta sehingga molekul air, yang vital, dapat terbentuk di planet kita. Proses penciptaan ini merupakan rangkaian yang terstruktur dan terencana.
Tidak hanya komposisinya, sifat fisikokimia air itu sendiri adalah keajaiban yang mendukung kehidupan. Air memiliki panas jenis yang tinggi, yang memungkinkannya menyerap atau melepaskan energi panas tanpa perubahan suhu yang drastis. Hal ini melindungi sel hidup dari fluktuasi suhu yang merusak.
Selain itu, es (air padat) memiliki kepadatan yang lebih rendah daripada air cair, sehingga es mengapung. Jika es tenggelam, lautan akan membeku dari bawah, memusnahkan kehidupan akuatik. Kenyataan bahwa es mengapung menjaga ekosistem bawah air tetap hidup selama musim dingin. Ini adalah detail penciptaan yang sempurna yang terkandung dalam frasa "Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air."
Di luar peran biologisnya dalam sel, air juga merupakan penggerak utama peradaban. Semua peradaban besar dalam sejarah (Mesopotamia, Mesir, Lembah Indus) bermula di dekat sumber air (sungai). Ketergantungan manusia pada air, baik untuk minum, pertanian, maupun transportasi, menegaskan kembali klaim universal ayat ini.
Allah SWT menggunakan kata 'kullu shai’in hayyin' (segala sesuatu yang hidup), menunjukkan cakupan yang menyeluruh. Baik itu kehidupan yang membutuhkan air secara langsung (hewan dan tumbuhan) maupun kehidupan peradaban yang berputar di sekitar ketersediaan air.
Surah Al-Anbiya ayat 30 adalah salah satu ayat terpenting yang digunakan untuk berdialog dengan pemikiran modern. Ayat ini memuat pelajaran tak terhingga tentang hakikat alam semesta dan peran manusia di dalamnya. Proses penciptaan Ratq dan Fataq adalah tindakan transenden yang melampaui kemampuan makhluk.
Pelajaran utama yang dapat diambil dari pengkajian yang mendalam dan berulang atas ayat ini meliputi:
Pemisahan langit dan bumi adalah momen monumental dalam sejarah kosmik. Penyatuan semua materi menjadi Ratq adalah misteri yang hanya dapat diungkap oleh Ilmu Allah, dan Fataq adalah manifestasi pertama dari keteraturan. Dengan memperhatikan detail linguistik, tafsir klasik, dan keselarasan dengan ilmu pengetahuan modern mengenai Big Bang dan biologi air, keimanan seseorang diperkuat. Ayat ini adalah undangan abadi untuk merenungkan keagungan Sang Pencipta yang mengatur segala sesuatu, dari partikel atom terkecil hingga galaksi terjauh.
Rangkaian argumen dalam ayat 30 ini menunjukkan kemuliaan Al-Qur'an sebagai kitab yang melintasi ruang dan waktu, menyediakan petunjuk bagi umat manusia di setiap era. Baik saat manusia hanya memahami hujan dan tumbuhan, maupun saat mereka telah berhasil memetakan struktur kosmik dan molekul kehidupan, kebenaran ayat ini tetap tidak terbantahkan. Ayat ini adalah fondasi kokoh untuk memahami hubungan abadi antara Sang Pencipta, alam semesta, dan kehidupan itu sendiri.
Setiap detail yang terkandung dalam ayat ini, mulai dari diksi yang dipilih untuk Ratq hingga penekanan pada air, menunjukkan tingkat presisi ilahi yang tidak mungkin dicapai oleh manusia biasa pada masa wahyu. Ini adalah tanda-tanda yang harusnya mampu menembus hati yang paling keras sekalipun, dan meyakinkan bahwa alam semesta ini memiliki Awal, memiliki Tujuan, dan memiliki Pengatur Mutlak.
Proses Fataq bukan hanya pemisahan fisik, tetapi juga pemisahan teologis: memisahkan kebenaran dari kebatilan, memisahkan petunjuk dari kesesatan, dan memisahkan tanda-tanda yang jelas dari kebutaan hati. Kesatuan awal (Ratq) adalah misteri, sementara pemisahan (Fataq) adalah petunjuk yang nyata bagi setiap pengamat yang jujur. Allahu A'lam Bishawab.