Surah Al-A'raf: Menyingkap Kisah Para Nabi dan Perjanjian Abadi
Surah Al-A'raf (Tempat yang Tertinggi) merupakan surah ketujuh dalam Al-Qur'an, yang diturunkan di Mekah (Makkiyah) dan memiliki jumlah 206 ayat. Surah ini memiliki kedudukan yang sangat penting karena menjadi jembatan antara fase pewahyuan Mekah awal dan fase Mekah akhir, menyajikan rangkaian narasi sejarah kenabian yang paling detail, sekaligus menetapkan pondasi fundamental tauhid dan pertanggungjawaban di hari perhitungan.
Pondasi Wahyu dan Peringatan Awal (Ayat 1-40)
Pembukaan Surah Al-A'raf, yang dimulai dengan huruf muqatta'ah Alif, Lam, Mim, Shad (الٓمٓص), segera membawa pembaca pada inti dari wahyu: ia adalah Kitab yang diturunkan untuk memperingatkan manusia dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang beriman. Fokus utama di awal surah ini adalah menegaskan otoritas Al-Qur'an dan memperingatkan kaum musyrikin di Mekah tentang konsekuensi penolakan. Ayat-ayat awal ini menekankan bahwa sumber kebahagiaan sejati terletak pada mengikuti apa yang diturunkan dari Tuhan, dan bukan mengikuti sekutu-sekutu lain selain-Nya.
Representasi Visual Simbol Wahyu dan Pedoman Ilahi.
Kisah Adam, Iblis, dan Kebanggaan (Ayat 11-27)
Surah Al-A'raf menyajikan kisah penciptaan manusia dan kejatuhan Iblis dengan detail teologis yang mendalam, terutama berfokus pada sifat kesombongan. Setelah menciptakan Adam dan memerintahkan malaikat untuk bersujud, Iblis menolak. Penolakannya didasarkan pada anggapan superioritas materi—bahwa ia diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah. Ayat 13 menggambarkan tanya jawab Allah dengan Iblis: "Apa yang menghalangimu untuk sujud (kepada Adam) ketika Aku memerintahkanmu?" Iblis menjawab dengan alasan yang murni logis tetapi fatal: kesombongan.
Pelajaran dari narasi ini adalah bahwa kesombongan (kibir) bukan hanya dosa psikologis, melainkan dosa teologis pertama yang menghancurkan hubungan dengan Tuhan. Iblis tidak menolak eksistensi Tuhan, tetapi menolak perintah-Nya. Konsekuensinya, Iblis dilaknat dan meminta penangguhan waktu hingga Hari Kiamat untuk menyesatkan anak cucu Adam. Ini menjadi peringatan abadi bagi manusia, terutama tentang muslihat syaitan dalam menggunakan hawa nafsu dan tipu daya.
Surah ini kemudian mengisahkan bagaimana Iblis berhasil menggoda Adam dan Hawa di surga, menyebabkan mereka melanggar larangan memakan buah terlarang. Ayat 26, yang sering disebut sebagai ayat pakaian, menyampaikan pelajaran penting: "Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik." Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pakaian bukan sekadar menutup fisik, tetapi juga sebagai simbol perlunya pengendalian diri (takwa) sebagai pertahanan spiritual dari godaan Iblis.
Keseimbangan Timbangan dan Hari Perhitungan (Ayat 41-58)
Setelah membahas kejatuhan Iblis, surah beralih pada penggambaran kontras antara penduduk surga (Al-Jannah) dan penduduk neraka (An-Nar). Ayat 44 menceritakan dialog antara penghuni surga dan penghuni neraka, di mana penghuni surga bersyukur karena janji Tuhan telah terbukti benar, sementara penghuni neraka memohon setetes air atau rezeki dari surga, namun ditolak.
Al-A'raf: Tempat yang Tertinggi
Inti dari surah ini terletak pada penggambaran Al-A'raf (Ayat 46-49). Al-A'raf adalah tembok tinggi, atau tempat perbatasan, yang memisahkan surga dan neraka. Di tempat ini berdiri sekelompok manusia yang 'mengenal' (yaitu, mereka dapat membedakan) penghuni surga dan penghuni neraka dari ciri-ciri mereka. Para Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai siapa penghuni Al-A'raf ini. Beberapa berpendapat mereka adalah orang-orang yang amalan baik dan buruknya seimbang, sehingga nasib mereka ditangguhkan. Pendapat lain menyatakan bahwa mereka adalah para Nabi atau martir yang diberi kehormatan untuk menjadi saksi.
Penghuni Al-A'raf akan menyapa penghuni neraka yang mereka kenali, mengingatkan mereka bahwa harta benda dan kesombongan mereka tidak berguna lagi. Kemudian, mereka berpaling ke surga, berdoa agar diizinkan masuk dan tidak dijadikan bagian dari kaum yang zalim. Kisah Al-A'raf ini adalah gambaran paling dramatis tentang keadilan absolut Ilahi, di mana setiap jiwa mendapatkan tempat yang layak berdasarkan timbangan amalnya.
Bagian ini ditutup dengan penegasan kembali tauhid (Ayat 54), menekankan bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi dalam enam masa, dan yang mengatur segala urusan. Ini adalah panggilan bagi manusia untuk merenungkan kebesaran kosmis Tuhan, sebuah argumen yang kuat melawan praktik kemusyrikan.
Rangkaian Kisah Para Rasul: Pola Penolakan dan Pembalasan Ilahi (Ayat 59-171)
Bagian terluas dan terpenting dalam Surah Al-A'raf adalah serangkaian kisah para nabi (disebut juga ‘Qasasul Anbiya’) yang memiliki tema sentral yang sama: pengiriman utusan dengan pesan tauhid yang murni, penolakan oleh kaumnya dengan kesombongan dan permintaan mukjizat, dan akhirnya, pembalasan (azab) yang menimpa kaum yang menolak tersebut. Kisah-kisah ini berfungsi sebagai peringatan langsung kepada kaum Quraisy di Mekah yang menolak Nabi Muhammad ﷺ.
1. Nabi Nuh dan Kaumnya (Ayat 59-64)
Kisah Nuh AS disajikan ringkas, menyoroti penolakan kaumnya yang menganggap Nuh hanyalah manusia biasa, sama seperti mereka, yang mencari keunggulan (kepemimpinan). Nuh menyeru mereka untuk beribadah hanya kepada Allah. Penolakan mereka berujung pada banjir besar (tufan). Pelajaran utamanya adalah bahwa kesombongan terhadap status sosial seorang rasul tidak akan pernah bisa menjadi alasan untuk menolak pesan Ilahi.
2. Nabi Hud dan Kaum Ad (Ayat 65-72)
Hud AS diutus kepada kaum Ad, yang dikenal karena kekuatan fisik dan pembangunan struktur monumental mereka. Mereka hidup dalam kemakmuran, namun menyembah berhala. Kaum Ad menuduh Hud sebagai orang yang kurang waras (safih). Ayat-ayat ini menekankan bagaimana kaum Ad, dengan keangkuhan atas kekuasaan dan kekuatan materi mereka, justru meremehkan peringatan dari seorang Rasul yang lemah secara fisik. Pembalasan untuk kaum Ad adalah angin dingin yang mematikan (disebut dalam surah lain), yang menghancurkan semua yang mereka banggakan.
3. Nabi Salih dan Kaum Tsamud (Ayat 73-79)
Tsamud adalah kaum yang mendiami lembah-lembah berbatu, yang pandai memahat rumah dari gunung. Nabi Salih AS diutus kepada mereka, membawa mukjizat berupa unta betina (naqatullah) sebagai ujian. Mereka diperintahkan untuk membiarkan unta itu minum dan makan. Namun, mereka melanggar perjanjian ini, menyembelih unta itu sebagai tanda penolakan terang-terangan. Konsekuensinya, mereka dihantam oleh gempa bumi yang dahsyat (rajfah), yang membuat mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah yang mereka pahat dengan susah payah. Pesan yang disampaikan: penolakan terhadap mukjizat adalah penolakan terhadap Tuhan itu sendiri.
4. Nabi Lut dan Kaum Sodom (Ayat 80-84)
Kisah Nabi Lut AS memfokuskan pada kerusakan moral yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu praktik homoseksual yang dilakukan secara terbuka dan tanpa rasa malu. Lut menyeru mereka untuk meninggalkan perbuatan keji tersebut. Jawaban kaumnya adalah ancaman untuk mengusir Lut dan pengikutnya karena dianggap ‘orang-orang yang menyucikan diri’. Kaum Sodom akhirnya dibinasakan dengan hujan batu yang membalikkan negeri mereka. Kisah ini adalah peringatan terhadap kerusakan moral yang melampaui batas dan penolakan terhadap fitrah manusia.
5. Nabi Syu'aib dan Penduduk Madyan (Ayat 85-93)
Syu'aib AS diutus kepada penduduk Madyan, yang terkenal karena kecurangan mereka dalam timbangan dan takaran (korupsi ekonomi) dan perampasan hak orang lain. Syu'aib mengingatkan mereka akan keadilan dan tauhid. Kaum Madyan, yang juga angkuh dengan kekayaan mereka, mengancam akan mengusir Syu'aib. Akhirnya, mereka ditimpa oleh guncangan dahsyat dan gempa bumi yang membuat mereka binasa. Pelajaran yang ditekankan adalah bahwa kezaliman sosial dan ekonomi juga termasuk dosa besar yang dapat mendatangkan azab Ilahi.
Kisah Nabi Musa dan Fir'aun: Klimaks Narasi Sejarah (Ayat 103-171)
Kisah Nabi Musa (AS) di dalam Surah Al-A'raf disajikan dengan detail yang luar biasa panjang, berfungsi sebagai perbandingan langsung antara kegigihan tauhid dan keangkuhan kekuasaan. Kisah ini mengambil porsi terbesar karena ia merupakan prototipe perjuangan antara kebenaran (Tawhid) dan kebatilan (Sombong dan Syirik).
Konfrontasi Awal dan Mukjizat
Musa diutus kepada Fir'aun dan para pembesar Mesir. Fir'aun, yang mengklaim dirinya sebagai tuhan (seperti yang disebutkan dalam surah lain), menolak Musa dan menuduhnya sebagai penyihir yang ingin mengusir penduduk Mesir. Musa menunjukkan dua mukjizat utama: tongkatnya berubah menjadi ular besar dan tangannya menjadi putih bercahaya (Yadul Baidha').
Untuk melawan mukjizat ini, Fir'aun mengumpulkan para ahli sihir terbaik dari seluruh negerinya. Pertemuan ini digambarkan sebagai ‘Hari Perayaan’ (Yaumuz Zinah). Para penyihir melemparkan tali dan tongkat mereka, yang terlihat seperti ular-ular yang merayap. Namun, ketika Musa melempar tongkatnya, ia menelan semua tipu daya mereka. Kemenangan mukjizat atas sihir ini adalah momen paling menentukan. Para penyihir segera tersungkur bersujud (Ayat 120), mengakui bahwa mereka telah beriman kepada Tuhan semesta alam, Tuhan Musa dan Harun.
Keimanan tiba-tiba dari para penyihir ini menjadi pukulan telak bagi Fir'aun. Dalam kemarahan dan keangkuhannya, Fir'aun menuduh Musa dan para penyihir telah bersekongkol. Ia mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang dan menyalib mereka. Para penyihir yang baru beriman menunjukkan keteguhan iman yang luar biasa, memilih siksaan dunia daripada azab akhirat (Ayat 126).
Siklus Ujian dan Azab
Setelah konfrontasi ini, Fir'aun dan kaumnya ditimpa serangkaian azab (Ayat 130-136) sebagai ujian:
- Kekeringan dan Kelaparan: Untuk menguji kesabaran mereka.
- Banjir Besar (Tufan): Menghancurkan tanaman mereka.
- Belalang (Jarad): Menghabiskan hasil bumi.
- Kutu (Qummal): Menyebabkan penderitaan fisik.
- Katak (Dhafadi'): Memenuhi rumah dan makanan mereka.
- Darah (Dam): Air minum mereka berubah menjadi darah.
Pemusnahan dan Pewarisan Negeri
Puncak kisah ini adalah pemusnahan Fir'aun dan pengikutnya di Laut Merah dan pewarisan bumi. Setelah Allah menyelamatkan Bani Israil, mereka diperintahkan untuk mewarisi negeri-negeri yang diberkahi. Namun, bahkan setelah menyaksikan mukjizat besar, Bani Israil menunjukkan kelemahan dan kecenderungan untuk kembali pada syirik. Mereka meminta Musa untuk membuatkan tuhan-tuhan bagi mereka seperti yang dimiliki oleh kaum penyembah berhala yang mereka lewati (Ayat 138).
Gunung Thur dan Patung Anak Sapi
Musa kemudian pergi selama empat puluh malam untuk menerima Taurat di Gunung Thur. Selama ketidakhadirannya, Samiri berhasil menggoda Bani Israil untuk menyembah patung anak sapi yang terbuat dari emas. Peristiwa ini, yang dijelaskan secara rinci (Ayat 148-154), menunjukkan sifat Bani Israil yang mudah terpengaruh dan kecenderungan mereka terhadap materialisme dan penyimpangan. Ketika Musa kembali dan melihat apa yang terjadi, ia sangat murka dan menegur Harun. Setelah Tobat, Bani Israil diperintahkan untuk memilih 70 orang pemimpin untuk bersaksi atas perjanjian mereka, namun mereka ditimpa gempa dahsyat karena permintaan mereka yang angkuh untuk ‘melihat Allah secara langsung’ (Ayat 155).
Kisah Musa dalam Al-A'raf tidak hanya tentang Fir'aun, tetapi juga tentang hubungan perjanjian Allah dengan Bani Israil, dan bagaimana mereka berulang kali melanggarnya. Hal ini menjadi peringatan bagi umat Islam, agar tidak mengulangi kesalahan serupa dengan bersikap keras kepala atau menolak petunjuk yang jelas.
Perjanjian di Gunung Thur dan Hancurnya Gunung (Ayat 171)
Ayat 171, sering disebut sebagai ‘Ayat Pembuka Surah’, menggambarkan momen dramatis ketika Allah mengangkat Gunung Thur ke atas kepala Bani Israil sebagai pengesahan perjanjian (mithaq) mereka untuk menerima Taurat. Ini adalah simbol kuat dari kekuasaan Ilahi dan tuntutan ketaatan yang mutlak. Ketika mereka melihat gunung itu seolah-olah akan menimpa mereka, barulah mereka bersujud dan menerima kitab suci.
Hukum, Perjanjian Primordial, dan Kesesatan (Ayat 172-187)
Setelah menyelesaikan narasi sejarah kenabian yang masif, surah ini kembali pada fokus teologis: asal mula fitrah manusia dan hukum-hukum fundamental.
Mithaq: Perjanjian Primordial (Ayat 172)
Ayat 172 adalah salah satu ayat terpenting dalam teologi Islam, dikenal sebagai ‘Ayatul Mithaq’ (Ayat Perjanjian). Allah bertanya kepada seluruh keturunan Adam (yang dikeluarkan dari tulang sulbi mereka) di alam arwah: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Dan mereka semua menjawab, "Ya (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi."
Ayat ini menjelaskan mengapa manusia secara alami memiliki kecenderungan terhadap tauhid (fitrah). Manusia diciptakan dengan kesaksian bawaan (shahadah) bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Tujuan dari wahyu (Al-Qur'an) dan para rasul adalah untuk ‘mengingatkan’ manusia akan perjanjian yang telah mereka buat di alam sebelum kehidupan dunia. Dengan demikian, di Hari Kiamat, manusia tidak bisa beralasan bahwa mereka tidak tahu (jahil) tentang tauhid. Ini adalah penolakan terhadap konsep dosa warisan dan penegasan tanggung jawab pribadi.
Namun, Surah Al-A'raf juga menggambarkan bagaimana banyak manusia yang gagal menghormati perjanjian ini, digambarkan seperti anjing yang menjulurkan lidahnya (Ayat 176). Perumpamaan ini menggambarkan betapa rendahnya derajat orang yang diberi petunjuk dan tanda-tanda, namun melepaskan diri darinya karena mengikuti hawa nafsu dan duniawi.
Nama-Nama Indah Allah (Ayat 180)
Ayat 180 menyerukan penggunaan Asmaul Husna (Nama-Nama Indah Allah) dalam berdoa, dan memperingatkan orang-orang yang menyimpang dalam memahami atau menggunakan nama-nama tersebut. Ini menekankan pentingnya mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya yang sempurna, dan menjauhi praktik syirik yang seringkali menyamakan makhluk dengan sifat-sifat Ilahi.
Pertanyaan tentang Hari Kiamat (Ayat 187)
Ayat 187 menyinggung pertanyaan kaum musyrikin Mekah tentang kapan Hari Kiamat akan terjadi. Allah berfirman bahwa pengetahuan tentang Kiamat hanya milik-Nya semata. Nabi Muhammad ﷺ sendiri tidak tahu kapan waktunya. Jawaban ini berfungsi sebagai penolakan terhadap desakan manusia untuk mengetahui hal gaib, dan mengalihkan fokus dari ‘kapan’ ke ‘kesiapan’. Kiamat akan datang secara tiba-tiba dan menjadi beban bagi langit dan bumi, menekankan betapa pentingnya bersiap setiap saat.
Simbol Timbangan Amal di Hari Perhitungan.
Penutup: Perintah Menjawab Wahyu (Ayat 199-206)
Ayat-ayat penutup Surah Al-A'raf memberikan perintah-perintah praktis dan etika kepada Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya, yang merangkum pelajaran moral dari seluruh surah.
Memaafkan dan Mengendalikan Diri (Ayat 199)
Ayat 199 dikenal sebagai Ayat Akhlak, memberikan tiga perintah penting: "Jadilah pemaaf (ambil maaf); dan suruhlah berbuat kebaikan (amar ma'ruf); serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (jahil)."
- Al-Afwu (Pemaaf): Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ini berarti mengambil yang mudah dan memaafkan kesalahan orang lain, tidak menuntut balasan yang berlebihan.
- Amar Ma'ruf: Mengajak pada kebaikan.
- Al-Jahilin (Orang Bodoh): Menghindari perdebatan sia-sia dengan orang-orang yang tidak mau menggunakan akal sehat atau bersikap keras kepala.
Berlindung dari Syaitan
Ayat 200 dan 201 mengajarkan cara menghadapi godaan syaitan. Jika timbul godaan jahat dari syaitan, seorang mukmin harus segera berlindung kepada Allah. Ini adalah pengakuan bahwa manusia rentan terhadap bisikan, tetapi perlindungan Ilahi selalu tersedia bagi mereka yang bertakwa. Mereka yang bertakwa, ketika diganggu oleh syaitan, akan segera ingat kepada Allah dan kembali melihat kebenaran.
Perintah Mendengarkan Al-Qur'an (Ayat 204)
Ayat 204 adalah perintah khusus yang sangat penting: "Dan apabila Al-Qur'an dibacakan, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat." Ayat ini menetapkan etika mendengarkan Al-Qur'an, baik dalam salat berjemaah maupun di luar salat. Ini mengajarkan pentingnya fokus total dan penghormatan terhadap Kalamullah (Firman Allah). Mendengarkan dengan khusyuk adalah kunci untuk memahami dan menerima rahmat dari wahyu tersebut.
Kesimpulan Surah
Surah Al-A'raf ditutup dengan perintah untuk berzikir (mengingat Allah) di dalam hati dengan kerendahan dan rasa takut, bukan dengan suara keras, serta perintah untuk bertasbih (mensucikan Allah). Ini adalah puncak dari tema tauhid dan ketaatan. Surah ini dimulai dengan keangkuhan Iblis dan ditutup dengan kerendahan hati para malaikat yang tidak pernah sombong dalam menyembah Tuhan mereka (Ayat 206). Kontras antara keangkuhan Iblis yang menolak sujud dan ketaatan murni malaikat menjadi penutup yang sempurna bagi surah yang menekankan bahaya kesombongan dan kemuliaan ketaatan.
Refleksi Teologis dan Intisari Pesan
Secara keseluruhan, Surah Al-A'raf adalah sebuah karya naratif dan instruktif yang sangat kaya. Fokus utamanya adalah membuktikan kenabian Muhammad ﷺ melalui pola sejarah yang konsisten: setiap penolakan terhadap Nabi di masa lalu selalu berujung pada azab, dan setiap penerimaan berujung pada keselamatan. Surah ini secara efektif mempersiapkan mental dan spiritual umat Islam di Mekah untuk menghadapi penolakan yang keras.
Tema kunci yang terus berulang adalah *Tauhid* versus *Kibir* (kesombongan). Dari keangkuhan Iblis, hingga keangkuhan Fir'aun, kaum Ad yang bangga dengan kekuatan mereka, dan kaum Madyan yang sombong dengan kekayaan mereka, surah ini menunjukkan bahwa kesombongan adalah akar dari semua syirik dan penolakan. Hanya dengan kerendahan hati (tawadhu') dan ketaatan yang tulus (takwa) manusia dapat menghormati perjanjian primordial mereka dengan Sang Pencipta.
Pesan Surah Al-A'raf bukan hanya cerita lama, melainkan peta jalan abadi bagi umat manusia untuk kembali pada fitrah yang suci, menjauhi kezaliman, menuntut keadilan sosial dan ekonomi, serta menyiapkan diri menghadapi Hari Perhitungan yang digambarkan secara dramatis di Al-A'raf. Ia adalah panggilan untuk mendengarkan, merenungkan, dan mengambil pelajaran dari nasib mereka yang mendahului kita.
Kajian yang mendalam terhadap setiap kisah nabi dalam surah ini mengungkapkan detail linguistik dan kronologis yang memperkaya pemahaman kita tentang kontinuitas pesan ilahi. Misalnya, dalam kisah Musa, tekanan diberikan pada kesabaran dan keteguhan (tsabat), yang kontras dengan sifat Fir’aun yang arogan dan Bani Israil yang labil. Detail-detail ini menegaskan bahwa keberanian dalam menyampaikan kebenaran, menghadapi tiran, dan menahan godaan, adalah karakter wajib bagi setiap Muslim yang berpegang teguh pada tauhid.
Hubungan erat antara perintah etika (Ayat 199) dan perintah spiritual (Ayat 204) menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengintegrasikan moralitas publik dan praktik ibadah personal. Memaafkan orang lain (etika sosial) dan berzikir di dalam hati (ibadah pribadi) adalah dua sisi mata uang yang menjamin kesempurnaan takwa. Kegagalan dalam salah satunya dapat membuka celah bagi syaitan untuk menyesatkan. Oleh karena itu, Al-A’raf menjadi manual komprehensif tentang bagaimana menjalani hidup yang berpedoman pada perjanjian, menghindari kesesatan, dan berakhir di surga, bukan di tempat yang tinggi di antara keduanya, atau bahkan di neraka.