Prolog: Ngahudangkeun Nu Kapungkur (Membangkitkan Masa Lalu)
Hidup adalah untaian doa yang terajut dalam serat-serat waktu. Bagi saya, Dede Sasmita, kelahiran di lembah yang dikelilingi pegunungan berlumut di Jawa Barat bukanlah sekadar kebetulan geografis; itu adalah takdir yang menempatkan jiwa saya dalam bingkai tradisi Pasundan yang kaya dan menantang. Autobiografi ini bukan catatan kronologis belaka, melainkan upaya mendalam untuk memahami bagaimana nilai-nilai Sunda, yang sering kali tersembunyi di balik modernitas yang hingar-bingar, telah membentuk setiap tarikan napas dan setiap keputusan besar dalam hidup saya. Ini adalah perjalanan pulang, kembali ke sumber mata air kejernihan, yang dalam bahasa Sunda kami sebut “Cai Kahuripan”.
Saya menulis ini bukan untuk memuliakan diri sendiri, tetapi sebagai pertanggungjawaban kultural. Saya merasa berkewajiban untuk mendokumentasikan gema ajaran leluhur—ajaran tentang keseimbangan alam (Tri Tangtu di Buana), tentang kesopanan dan ketulusan hati (Cageur, Bageur, Pinter)—sebelum mereka benar-benar hilang tertelan laju pembangunan infrastruktur dan gelombang informasi digital. Saya ingin menelusuri kembali masa kecil saya yang diwarnai bau tanah basah, desiran bambu yang bergesekan, dan ritual-ritual sederhana yang penuh makna, yang kini mungkin hanya tersisa dalam ingatan para sesepuh.
Nama saya Dede, nama yang umum dan sederhana, namun saya berusaha hidup dengan makna Sasmita yang melekat di belakangnya: sebuah isyarat, sebuah pertanda. Sejak awal, hidup saya adalah pertanda—isyarat konflik antara desa yang sunyi dan kota yang bising, antara warisan tradisi dan tuntutan global. Bagaimana seorang anak lembah yang terbiasa hidup berdasarkan siklus padi dapat menemukan tempatnya di dunia yang bergerak secepat kilat?
Bagian I: Akar di Lembur Kidul (Masa Kecil dan Kasepuhan)
1.1. Geografis dan Spiritual Lembah Cikaso
Saya lahir di sebuah desa kecil yang tersembunyi di kaki Gunung Gede, jauh sebelum jalan aspal menyentuh wilayah kami. Desa kami, Cikaso, adalah kapsul waktu. Di sana, waktu diukur bukan dengan jam, melainkan oleh posisi matahari, suara kokok ayam di subuh hari, dan siklus musim tanam. Kehidupan kami sangat bergantung pada sawah dan leuweung (hutan). Interaksi dengan alam bukanlah pilihan, melainkan sebuah kontrak suci.
Rumah kami adalah rumah panggung tradisional, beratap ijuk dan berdinding bilik bambu. Aroma kayu tua dan masakan sambal oncom adalah pewangi permanen masa kecil saya. Di bawah lantai rumah panggung itulah, kearifan lokal bersemayam. Saya ingat betul bagaimana Ayah saya, yang dipanggil Abah, mengajarkan bahwa rumah kami harus menghadap ke Timur, menyambut matahari pagi sebagai sumber energi kehidupan, sebuah representasi dari ajaran Sunda Wiwitan yang meskipun telah berpadu dengan Islam, masih meninggalkan jejak kental dalam tata ruang dan tata krama.
Pendidikan pertama saya adalah tatakrama. Nenek saya, yang kami panggil Nini, adalah guru utama dalam hal ini. Ia mengajarkan bahwa berbicara harus menggunakan bahasa yang sesuai, yang dalam konteks Sunda berarti menguasai Undak Usuk Basa: membedakan antara bahasa Lemes (halus) untuk orang tua atau dihormati, dan bahasa Loma (biasa) untuk sebaya. Ini adalah fondasi etika: sebelum ilmu pengetahuan masuk, harus ada penghormatan.
1.2. Filsafat Padi dan Keseimbangan Hidup
Inti dari kehidupan desa adalah padi. Kami tidak hanya menanam padi; kami memuja spiritnya, Dewi Sri. Saya belajar membedakan aroma tanah yang siap dibajak, suara air yang mengalir ke irigasi bambu, dan gerakan harmoni saat menanam (tandur). Proses tandur ini adalah meditasi kolektif. Semua orang bergerak serempak, lagu-lagu rakyat (kawih) dilantunkan untuk meringankan beban dan menyelaraskan ritme. Saya ingat kata-kata Abah:
"Dede, lihatlah padi. Ia semakin berisi, semakin merunduk. Jangan pernah merasa lebih tinggi dari ilmunya. Filosofi padi adalah kunci dari kasundaan sejati."
Ajaran ini meresap dalam kebiasaan makan kami. Kami dilarang membuang sisa nasi. Setiap butir adalah keringat dan doa. Sikap ngarasa cukup (merasa cukup) ditanamkan sejak dini. Kami tidak mengejar kekayaan materi yang berlebihan, tetapi mengejar kekayaan jiwa: kajembaran haté (kelapangan hati). Kesederhanaan inilah yang kemudian menjadi jangkar ketika saya harus menghadapi gemerlap materialisme di masa dewasa.
1.3. Malam-Malam di Bale Riungan
Malam di Cikaso adalah saat pendidikan non-formal yang paling penting terjadi. Tidak ada televisi, hanya obor dan bintang. Kami berkumpul di balé riungan, mendengarkan dongeng, legenda lokal, dan terutama, cerita-cerita dari Panglima (Kepala Desa) atau Kokolot (tetua). Mereka membacakan rajah (mantra pembuka) sebelum memulai kisah Prabu Siliwangi atau Lutung Kasarung.
Dongeng-dongeng itu tidak hanya hiburan; mereka adalah buku sejarah etika kami. Misalnya, kisah Si Kabayan, yang mengajarkan bahwa kecerdasan tidak selalu berarti kepintaran akademis, tetapi juga kecerdikan praktis dan kemampuan untuk mentertawakan diri sendiri. Melalui tradisi ngawangkong (berbincang santai namun bermakna) ini, saya menyerap struktur narasi Sunda yang mengutamakan keluwesan, humor, dan penghormatan. Ini adalah fondasi pertama saya dalam seni berkomunikasi, yang kelak saya sadari sangat penting dalam karir profesional saya.
Bagian II: Pamanggih jeung Konflik Budaya (Pendidikan dan Penemuan)
2.1. Pintu Gerbang Kota dan Gegar Budaya
Ketika saya berusia 13 tahun, Abah memutuskan bahwa saya harus melanjutkan sekolah menengah di kota kabupaten, yang berjarak tiga jam perjalanan dengan bus reot. Keputusan ini didasari kesadaran bahwa untuk mempertahankan lemes saya di lingkungan sekolah formal yang didominasi oleh bahasa nasional dan, belakangan, bahasa Inggris. Konflik bahasa ini adalah konflik identitas: apakah saya harus melepaskan akar saya demi kemajuan, atau haruskah saya menjadi museum berjalan dari tradisi yang mulai usang?
Pergumulan ini mendorong saya untuk menggali lebih dalam warisan budaya saya, bukan sebagai penolakan terhadap modernitas, tetapi sebagai penyeimbang. Saya mulai membaca karya-karya sastra Sunda lama—puisi sisindiran, naskah kuno lontar, dan esai-esai tentang etimologi bahasa Sunda. Saya menyadari bahwa bahasa kami adalah gudang filsafat yang terbungkus rapi. Misalnya, kata ‘kanyaah’ (kasih sayang mendalam) jauh lebih kaya maknanya daripada terjemahan satu kata dalam bahasa lain.
2.2. Ajaran Tri Tangtu: Menyeimbangkan Ilmu
Ayah saya selalu menekankan konsep Tri Tangtu di Buana (Tiga Ketentuan di Dunia): alam semesta dikelola oleh tiga pilar. Dalam konteks hidup, ini berarti keseimbangan antara: 1) Ilmu (intelektualitas), 2) Agama/Spiritualitas, dan 3) Adat/Tradisi. Di bangku kuliah, saya mencoba mengaplikasikan Tri Tangtu ini. Ketika teman-teman saya mengejar ilmu sebatas nilai dan gelar, saya berusaha memastikan bahwa setiap pengetahuan yang saya peroleh harus bisa dipertanggungjawabkan secara etis dan bermanfaat bagi komunitas (paké-na).
Saya memilih studi di bidang komunikasi dan seni pertunjukan, sebuah pilihan yang tampak jauh dari desa saya. Namun, bagi saya, ini adalah alat untuk membawa pulang suara Cikaso ke panggung yang lebih besar. Saya mulai menciptakan karya-karya yang menggabungkan instrumen modern dengan degung, menggabungkan drama kontemporer dengan alur cerita wayang golek. Konflik budaya saya berubah menjadi proses kreatif; saya bukan menolak yang baru, tetapi menyaringnya melalui lensa kearifan lokal.
Salah satu momen paling transformatif adalah ketika saya bergabung dengan kelompok studi Karawitan di kampus. Di sana, saya bertemu dengan Guru Haji, seorang maestro kendang yang mengajarkan bahwa musik Gamelan bukan hanya kumpulan nada, tetapi sistem semesta di mana setiap instrumen (saron, bonang, kendang) memiliki tugas dan tempatnya sendiri, persis seperti masyarakat Sunda. Pemahaman ini mengajarkan saya tentang harmoni dalam keragaman, sebuah pelajaran politik dan sosial yang mendalam.
2.3. Rasa dan Logika: Dualitas Intelektual
Di masa studi, saya banyak berdebat dengan diri sendiri tentang dikotomi antara rasa (perasaan, intuisi, hati) dan logika (rasionalitas). Pendidikan Barat mengutamakan logika; tradisi Sunda, terutama dalam spiritualitas dan seni, sangat mengandalkan rasa. Orang Sunda sering mengutip, “Pinter teu bener, loba jalma nu cilaka.” (Pintar tapi tidak benar, banyak orang yang celaka). Ini menegaskan bahwa kecerdasan tanpa hati nurani (rasa) adalah berbahaya.
Saya memutuskan bahwa sebagai akademisi muda, tugas saya adalah menjembatani jurang ini. Saya harus menjadi rasional saat menganalisis masalah sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Sunda (seperti isu lahan dan modernisasi pertanian), tetapi saya juga harus menggunakan rasa untuk memahami penderitaan dan harapan mereka. Keseimbangan ini melahirkan empati, sebuah kualitas yang jauh lebih bernilai daripada sekadar sertifikat kelulusan.
Bagian III: Gelar Diri: Pengabdian dan Pilihan Hidup
3.1. Pulang ke Lembur dan Konteks Profesional
Setelah menyelesaikan pendidikan, godaan untuk menetap di ibu kota sangat besar. Gaji tinggi, fasilitas modern, dan peluang karier yang cepat. Namun, gema ajaran silih asih, silih asah, silih asuh (saling mengasihi, saling mengasah, saling mengasuh) dari kampung halaman terus memanggil. Saya memutuskan untuk kembali ke Jawa Barat, menetap di kota kecil dekat Cikaso, dan mendedikasikan diri pada bidang pendidikan dan pelestarian budaya.
Pilihan karier saya adalah menjadi pengajar dan pegiat budaya di tingkat komunitas. Ini adalah keputusan yang sering dipertanyakan teman-teman urban saya: mengapa memilih jalan yang sulit dan kurang menjanjikan secara finansial? Jawabannya terletak pada konsep Sunda tentang manusa sampurna (manusia sempurna): seseorang yang mencapai kemuliaan bukan dari harta, tetapi dari manfaatnya bagi sesama.
Saya mendirikan sebuah sanggar seni kecil yang fokus pada revitalisasi Kesenian Rakyat yang hampir punah, seperti Reog Dogdog dan tarian tradisional Ketuk Tilu. Tantangan terbesarnya adalah meyakinkan generasi muda bahwa budaya mereka adalah warisan yang keren dan relevan, bukan hanya peninggalan usang. Saya menggunakan media sosial dan teknologi digital untuk mendokumentasikan dan mempromosikan seni-seni ini, menjadikannya jembatan yang menghubungkan masa lalu yang otentik dengan masa depan yang serba cepat.
3.2. Mengimplementasikan Ajaran 'Tri Panca Tunggal'
Dalam kerja komunitas, saya menerapkan prinsip kepemimpinan ala Sunda: Tri Panca Tunggal (Tiga-Lima-Satu). Tiga komponen utama dalam setiap aksi adalah tekad (niat kuat), ucap (komunikasi yang baik), dan lampah (tindakan nyata). Sementara lima nilai yang harus dipegang adalah kejujuran, keberanian, kesetiaan, kerendahan hati, dan kasih sayang. Semua ini harus bersatu (tunggal) dalam satu tujuan: kemaslahatan bersama.
Saya belajar bahwa kepemimpinan Sunda sangat partisipatif dan berbasis musyawarah. Saya tidak bisa memaksakan ide baru; saya harus ngarasa (merasakan) suasana hati komunitas. Proses ini seringkali lambat, tetapi hasilnya lebih lestari. Saya menghabiskan waktu berjam-jam mendengarkan keluhan petani, cerita para pedagang pasar, dan kegelisahan para pemuda. Dalam setiap cerita, saya menemukan benang merah kearifan yang bisa dijadikan solusi. Ini adalah praktik nyata dari silih asah – saling mengasah pikiran.
3.3. Perkawinan dan Pembentukan Keluarga Sunda Modern
Kehidupan pribadi saya juga merupakan refleksi dari upaya menyeimbangkan tradisi dan modernitas. Ketika saya menikah dengan istri saya, Neng Ratna, kami sepakat untuk membangun rumah tangga yang menghormati nilai-nilai Sunda namun tetap adaptif. Kami melaksanakan akad nikah dengan prosesi yang sederhana namun sarat makna, mulai dari pabetot bakakak (tarik-menarik ayam bakar, simbol rezeki) hingga sawér (menaburkan koin dan beras, simbol harapan kemakmuran).
Dalam mendidik anak-anak, kami menghadapi tantangan terbesar. Bagaimana mengajarkan Undak Usuk Basa ketika bahasa Indonesia mendominasi sekolah, dan bahasa Inggris mendominasi internet? Kami membuat aturan sederhana: di rumah, komunikasi dengan orang tua wajib menggunakan bahasa Sunda lemes. Ini bukan hanya masalah bahasa, tetapi masalah menghormati hierarki dan etika. Kami ingin anak-anak kami memahami bahwa mereka memiliki warisan yang dalam, bukan hanya kulit luar yang bisa diganti-ganti seperti pakaian.
Kami sering membawa anak-anak pulang ke Cikaso, meskipun kini telah lebih mudah diakses. Tujuannya bukan untuk nostalgia, tetapi untuk ‘mengecas’ spiritualitas mereka. Ketika mereka berjalan di pematang sawah, merasakan dinginnya air sungai, dan mendengar adzan yang diselingi suara jangkrik, mereka terhubung kembali dengan alam, dan dengan demikian, terhubung kembali dengan jati diri mereka sebagai urang Sunda.
Bagian IV: Kontemplasi dan Spiritualitas Jati Diri
4.1. Mencari Jati Sunda: Antara Mistisisme dan Realitas
Seiring bertambahnya usia, fokus saya bergeser dari sekadar aktivitas pelestarian menjadi kontemplasi mendalam tentang makna menjadi seorang Jati Sunda (Sundanese sejati). Konsep ini bukan tentang suku, darah, atau bahkan kemampuan berbahasa; ini tentang sikap hidup. Itu adalah ajaran tentang sarende-ngan (hidup berdampingan) dan pék-pék (bertindak berdasarkan intuisi yang benar).
Perjalanan spiritual saya diperkaya oleh pemahaman bahwa Islam yang dianut mayoritas Sunda telah terinternalisasi secara harmonis dengan kearifan lokal. Tradisi Ngalaksa (upacara panen) atau Hajat Laut (syukuran nelayan) adalah contoh sempurna dari sinkretisme ini—ungkapan syukur kepada Tuhan yang disalurkan melalui ritual yang terikat kuat dengan alam dan budaya lokal. Saya menemukan kedamaian dalam menyadari bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang kaku, tetapi lentur seperti bambu yang tumbuh di Parahyangan.
Saya sering menyendiri ke tempat-tempat yang sunyi, seperti tepi sungai Citarum yang masih alami, untuk melakukan tapa (meditasi ringan) atau sekadar némbongkeun rasa (menunjukkan rasa). Di sana, saya merenungkan tiga pertanyaan kunci yang selalu diajarkan oleh guru spiritual saya:
- Ti mana asal urang? (Dari mana asal kita?) – Memahami akar dan leluhur.
- Keur naon urang di dunya? (Untuk apa kita di dunia?) – Menemukan tujuan hidup dan manfaat diri.
- Rek ka mana urang balik? (Ke mana kita akan kembali?) – Mengingat akhirat dan pertanggungjawaban.
Rangkaian pertanyaan ini, yang terdengar sederhana, membentuk kerangka filosofis bagi setiap keputusan besar saya. Mereka mencegah saya tersesat dalam ambisi yang dangkal atau kekecewaan yang berlebihan.
4.2. Penyangga Moral: Sopan Santun dan Kasatiaan
Salah satu pelajaran terberat yang saya terima adalah bahwa sopan santun (etiket) di mata orang Sunda seringkali disalahartikan sebagai kepasifan atau ketidakmampuan untuk bersaing. Padahal, sopan santun adalah benteng pertahanan terakhir terhadap kekejaman dunia modern. Ini adalah praktik hormat dan pengendalian diri. Saya melihat banyak anak muda Sunda yang berhasil di kota, tetapi kehilangan sopan santun mereka—mereka mungkin pinter (pintar) dan cageur (sehat), tetapi gagal menjadi bageur (baik hati).
Untuk itu, saya tekankan pentingnya Kasatiaan (kesetiaan)—kesetiaan pada janji, pada komunitas, dan pada diri sendiri. Dalam dunia yang serba mudah berubah, kesetiaan menjadi komoditas langka. Autobiografi ini, pada dasarnya, adalah sebuah upaya untuk mempertahankan kesetiaan itu: kesetiaan saya pada janji yang saya buat kepada leluhur saya di lembah Cikaso untuk tidak melupakan dari mana saya berasal, bahkan ketika saya berdiri di panggung global.
Bagian V: Menjadi Jembatan Dua Dunia (Epilog yang Berkelanjutan)
5.1. Refleksi tentang Waktu dan Perubahan
Saat saya melihat kembali perjalanan hidup saya, dari anak desa yang takut pada suara mesin traktor hingga menjadi pengajar yang mahir menggunakan teknologi digital, saya menyadari bahwa perubahan adalah hukum alam yang tidak terhindarkan. Namun, yang terpenting bukanlah seberapa cepat kita berubah, tetapi seberapa kuat akar kita menahan badai perubahan itu. Budaya Sunda, dengan segala kerendahan hati dan keluwesannya, adalah akar yang luar biasa kuat.
Kini, usia saya sudah memasuki fase sepuh (tua). Saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis dan membimbing generasi muda. Saya tidak lagi berjuang untuk 'melestarikan' budaya, karena pelestarian cenderung statis. Saya berjuang untuk ‘merevitalisasi’ dan ‘mengadaptasi’ budaya. Budaya harus hidup, bernapas, dan relevan. Misalnya, kami kini mengajarkan falsafah leuweung (hutan) sebagai etika konservasi lingkungan yang mendesak, bukan sekadar cerita mistis.
Saya melihat warisan Sunda bukan sebagai beban sejarah, melainkan sebagai peta jalan menuju masa depan yang lebih etis dan berkelanjutan. Di era krisis iklim dan isolasi sosial, konsep silih asih (kasih sayang antar sesama dan alam) adalah resep yang paling dibutuhkan dunia.
Pekerjaan terbesar yang masih menanti adalah memastikan bahwa narasi Sunda tidak hanya dilihat sebagai eksotisme, tetapi sebagai pengetahuan yang valid, setara dengan filsafat-filsafat besar dunia lainnya. Kita harus berani menarasikan diri kita sendiri—dengan bahasa kita sendiri, dengan perspektif kita sendiri, dan dengan kerendahan hati yang diajarkan oleh para leluhur.
"Ketika kita lupa siapa kita, kita kehilangan arah. Ketika kita ingat, kita menemukan peta. Dan peta itu, bagi saya, tercetak dalam setiap ukiran kayu rumah panggung di Cikaso, dalam setiap untai nada dari suling, dan dalam setiap kata lemes yang terucap penuh hormat."
Autobiografi ini adalah janji saya. Janji untuk selalu pulang ke dalam diri, ke jantung Pasundan yang abadi, di mana tanah dan jiwa menyatu dalam harmoni yang tak terpisahkan. Saya, Dede Sasmita, telah menemukan jati diri saya di antara sawah dan gunung, antara tradisi dan teknologi. Dan saya berharap, melalui kisah ini, orang lain juga dapat menemukan jati diri mereka sendiri, di mana pun mereka berada, dengan mengingat akar mereka yang sesungguhnya.
5.2. Penutup: Doa dan Harapan untuk Generasi Penerus
Kepada generasi penerus rasa, pertahankan undak usuk, dan jadilah pohon yang kokoh. Tumbuh tinggi menjulang, tetapi akarnya harus tetap teguh memeluk tanah Pasundan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, atau yang kami sebut Sang Hyang Widi, senantiasa membimbing langkah kalian.
Bagian VI: Detail Keseharian dan Ekspansi Filosofis
6.1. Detil tentang Paribasa (Peribahasa) sebagai Panduan Hidup
Untuk memahami kedalaman etika Sunda, seseorang harus memahami peran paribasa dalam komunikasi sehari-hari. Ini bukan sekadar pepatah; ini adalah kode etik yang ringkas. Contohnya, "Kawas cai dina daun taleus" (Seperti air di atas daun talas), yang menggambarkan seseorang yang tidak memiliki pendirian. Atau yang sering Abah ulang: "Hirup ulah nantung ka batur" (Hidup jangan menggantungkan diri pada orang lain), ajaran tentang kemandirian dan harga diri.
Saya menghabiskan masa remaja mencoba menguraikan lapisan makna dari setiap paribasa. Di sekolah, kami mungkin belajar tata bahasa formal, tetapi di rumah, kami belajar tata krama melalui bahasa kiasan. Kekayaan linguistik ini memastikan bahwa komunikasi Sunda jarang bersifat langsung dan konfrontatif. Kami lebih suka menyampaikan kritik melalui humor atau perumpamaan, menjaga karukunan (keharmonisan) komunitas di atas segalanya. Sifat ngalah (mengalah) sering disalahartikan sebagai kelemahan, padahal itu adalah kekuatan terbesar: kemampuan untuk menahan diri demi kedamaian kolektif.
6.2. Nilai-Nilai Estetika dalam Kesenian Sunda
Kesenian Sunda, bagi saya, adalah visualisasi dari filosofi hidup kami. Ambil contoh tari Jaipongan. Meskipun sering disalahpahami secara modern, gerakan Jaipongan yang dinamis dan sensual adalah cerminan dari semangat hidup dan kebebasan yang diizinkan dalam batas-batas etika. Itu adalah luapan energi yang dibingkai oleh kesopanan. Demikian pula dengan suara Kecapi Suling; melodi yang mendayu-dayu menggambarkan lanskap Parahyangan yang tenang, namun ritme kendangnya yang kadang tiba-tiba kencang adalah gambaran dari jiwa Sunda yang tetap teguh dan bersemangat.
Dalam seni rupa, kami selalu menghargai detail alam. Ukiran di rumah tradisional kami, yang disebut ragam hias, selalu mengambil bentuk daun pakis, bunga teratai, atau pucuk bambu. Ini mengingatkan kami bahwa keindahan sejati terletak pada kesederhanaan dan keterhubungan dengan Ibu Pertiwi. Estetika ini mengajarkan saya bahwa keindahan sejati tidak perlu dibuat-buat; ia harus tumbuh secara organik, sama seperti cara hidup yang baik harus tumbuh dari hati yang tulus.
6.3. Hubungan dengan Alam: Konsep Leuweung Larangan dan Konservasi
Konsep Leuweung Larangan (Hutan Terlarang) adalah inti dari hukum adat Sunda mengenai ekologi. Hutan ini dilarang disentuh, bukan karena alasan takhayul murni, melainkan karena ia berfungsi sebagai daerah resapan air, habitat satwa, dan bank genetik alami. Meskipun Cikaso tidak memiliki leuweung larangan formal, kami dibesarkan dengan rasa takut yang suci terhadap merusak hutan. Abah selalu berkata, "Jika kamu merusak air, air akan merusakmu."
Dalam pekerjaan saya belakangan ini, saya menghubungkan hukum adat ini dengan ilmu konservasi modern. Saya berargumen bahwa leluhur kita telah menjadi ahli ekologi berkelanjutan jauh sebelum istilah itu diciptakan di Barat. Kepatuhan mereka pada batas-batas alam bukanlah kebodohan, tetapi kecerdasan bertahan hidup. Ketika banjir bandang mulai sering terjadi di dekat Cikaso akibat penebangan liar, saya sadar betapa pentingnya konsep leuweung larangan dihidupkan kembali, kini dengan dasar rasionalitas ilmiah, namun dengan semangat penghormatan tradisional.
6.4. Perjuangan Mempertahankan Bahasa di Ranah Publik
Perjuangan bahasa adalah perjuangan yang tak pernah usai. Pada tahun-tahun terakhir karier saya, saya berfokus pada standardisasi dan penggunaan bahasa Sunda yang baik dan benar, terutama di media dan institusi pendidikan. Ada keraguan kolektif di kalangan masyarakat Sunda itu sendiri untuk menggunakan bahasa mereka. Mereka takut dihakimi karena salah menggunakan Undak Usuk Basa, atau takut dianggap kurang modern. Ironisnya, ketakutan inilah yang mempercepat kematian bahasa itu sendiri.
Untuk melawan ini, saya mempromosikan pendekatan yang lebih luwes: fokus pada semangat silih hargaan (saling menghargai) di atas kesempurnaan tata bahasa. Lebih baik berbicara Sunda loma (biasa) dengan bangga, daripada tidak berbicara sama sekali karena takut salah lemes (halus). Bahasa adalah kendaraan budaya, dan jika kendaraan itu mogok, maka seluruh penumpang (yaitu nilai-nilai kami) akan terdampar.
Saya menulis puluhan artikel, buku, dan kurikulum yang mengajarkan bahasa Sunda bukan sebagai mata pelajaran hafalan, tetapi sebagai kunci untuk membuka harta karun filosofis. Setiap kata Sunda yang kita ucapkan adalah jembatan menuju jiwa leluhur kita, sebuah gema dari Parahyangan purba yang menuntut untuk didengar di zaman serba digital ini. Dengan ini, saya menutup kisah diri saya, yang sesungguhnya hanyalah satu helai benang dalam permadani besar kehidupan Sunda.