Tafsir Komprehensif: Sumpah Kuda Perang dan Ingratitude Manusia
Visualisasi Sumpah Kuda Perang yang Berlari Kencang
Surah Al-Adiyat adalah surah ke-100 dalam Al-Qur'an, yang terdiri dari 11 ayat. Surah ini tergolong dalam kelompok Makkiyah, yang berarti ia diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad ﷺ ke Madinah. Meskipun demikian, terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai konteks spesifiknya. Pandangan yang paling kuat dan umum menyatakan ia adalah Makkiyah, menekankan prinsip-prinsip dasar iman, termasuk pengingat akan Hari Kiamat dan sifat dasar manusia.
Meskipun klasifikasi Makkiyah seringkali bersifat umum, sebagian riwayat menyebutkan konteks yang lebih spesifik, terutama riwayat yang dikaitkan dengan Ali bin Abi Thalib ra. Riwayat ini mengaitkan surah ini dengan sebuah ekspedisi militer (sariyyah) yang gagal mencapai musuh tepat waktu. Namun, riwayat ini sering dianggap kurang kuat dibandingkan penafsiran umum yang menekankan bahwa surah ini lebih berfokus pada sifat kemanusiaan dan konsekuensi Hari Kiamat.
Pesan Inti Surah: Al-Adiyat membagi pesannya menjadi tiga bagian utama:
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
وَٱلْعَٰدِيَٰتِ ضَبْحًا ﴿١﴾
1. Wal-‘ādiyāti ḍabḥā
1. Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah,
فَٱلْمُورِيَٰتِ قَدْحًا ﴿٢﴾
2. Fal-mūriyāti qadḥā
2. dan kuda yang memercikkan api (dari hentakan kuku kakinya),
فَٱلْمُغِيرَٰتِ صُبْحًا ﴿٣﴾
3. Fal-mugīrāti ṣubḥā
3. dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba pada waktu pagi,
فَأَثَرْنَ بِهِۦ نَقْعًا ﴿٤﴾
4. Fa asarna bihi naq’ā
4. sehingga menerbangkan debu,
فَوَسَطْنَ بِهِۦ جَمْعًا ﴿٥﴾
5. Fawasaṭna bihi jam’ā
5. lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.
إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لِرَبِّهِۦ لَكَنُودٌ ﴿٦﴾
6. Innal-insāna lirabbihī lakanūd
6. Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya,
وَإِنَّهُۥ عَلَىٰ ذَٰلِكَ لَشَهِيدٌ ﴿٧﴾
7. Wa innahū ‘alā żālika lasyahīd
7. dan sesungguhnya dia (manusia) menyaksikan (mengakui) keingkarannya.
وَإِنَّهُۥ لِحُبِّ ٱلْخَيْرِ لَشَدِيدٌ ﴿٨﴾
8. Wa innahū liḥubbil-khayri lasyadīd
8. Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benda benar-benar berlebihan.
أَفَلَا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِى ٱلْقُبُورِ ﴿٩﴾
9. Afalā ya’lamu iżā bu’sira mā fil-qubūr
9. Maka apakah dia tidak mengetahui apabila apa yang ada di dalam kubur dibongkar?
وَحُصِّلَ مَا فِى ٱلصُّدُورِ ﴿١٠﴾
10. Wa ḥuṣṣila mā fiṣ-ṣudūr
10. Dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan?
إِنَّ رَبَّهُم بِهِمْ يَوْمَئِذٍ لَّخَبِيرٌ ﴿١١﴾
11. Inna rabbahum bihim yauma’iżil lakhabīr
11. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka.
Lima ayat pertama Surah Al-Adiyat adalah serangkaian sumpah yang diambil oleh Allah SWT menggunakan gambaran kuda perang yang sedang beraksi. Sumpah ini sangat kuat dan dinamis, menggambarkan kecepatan, energi, dan dedikasi.
Makna Linguistik:
Al-'Adiyat (الْعَادِيَاتِ): Berasal dari kata kerja ‘adaa (عدا), yang berarti lari dengan cepat, melompat, atau menyerbu. Secara harfiah, ia merujuk pada kuda-kuda yang berlari kencang.
Dhabhan (ضَبْحًا): Merupakan suara yang keluar dari dada kuda ketika ia berlari kencang dan mulai kelelahan, yakni nafas yang terengah-engah dan berat. Ini adalah deskripsi auditif yang menunjukkan intensitas dan kecepatan yang luar biasa.
Pesan Tafsir: Allah bersumpah dengan makhluk yang menunjukkan kepatuhan dan ketekunan yang ekstrem dalam menjalankan tugas. Kuda-kuda ini, yang digunakan dalam jihad atau perjuangan mulia, menunjukkan kegigihan yang tidak kenal lelah, bahkan saat nafas mereka memberat. Sumpah ini mengaitkan keberanian, pengorbanan, dan dedikasi dalam pertempuran suci.
Makna Linguistik:
Al-Mūriyāt (الْمُورِيَاتِ): Yang menyalakan atau memercikkan.
Qadḥan (قَدْحًا): Percikan api yang dihasilkan dari gesekan atau benturan. Dalam konteks ini, ini adalah percikan api yang keluar dari hentakan kuku (sepatu besi kuda) yang membentur batu di malam hari atau fajar saat berlari.
Pesan Tafsir: Ayat ini menambahkan elemen visual ke dalam sumpah. Kuda-kuda ini bergerak dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga gesekan kuku mereka dengan tanah keras menciptakan kilatan api. Ini menekankan daya dorong, kecepatan ekstrim, dan keberanian yang tidak terpengaruh oleh kegelapan atau medan sulit. Sumpah ini mewakili dampak fisik dari dedikasi.
Makna Linguistik:
Al-Mughīrāt (الْمُغِيرَاتِ): Yang menyerang atau menggerebek secara tiba-tiba. Serangan subuh adalah taktik perang yang paling efektif dan mematikan di masa lalu.
Ṣubḥan (صُبْحًا): Waktu subuh atau pagi hari.
Pesan Tafsir: Serangan subuh menunjukkan perencanaan yang matang, ketepatan waktu, dan kejutannya. Kuda-kuda ini tidak hanya berlari kencang, tetapi mereka adalah bagian dari strategi tempur yang terencana. Allah bersumpah dengan momen puncak kepatuhan, di mana seluruh energi dan kecepatan digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Makna Linguistik:
Naq’ā (نَقْعًا): Debu yang tebal dan beterbangan, hasil dari kuku yang menghantam bumi.
Wasaṭna (وَسَطْنَ): Menyerbu ke tengah-tengah.
Jam’an (جَمْعًا): Kumpulan atau kerumunan (yakni, musuh).
Pesan Tafsir: Ayat 4 dan 5 menyimpulkan adegan ini. Kuda-kuda ini bergerak begitu cepat dan bertenaga sehingga mereka menciptakan awan debu yang menyelimuti area tersebut, menunjukkan skala serangan yang besar. Akhirnya, mereka berhasil menembus jantung pertahanan musuh (jam’an). Sumpah ini melukiskan gambaran kesuksesan yang dicapai melalui kekuatan, ketekunan, dan kepatuhan mutlak terhadap perintah penunggangnya.
Mengapa Allah bersumpah dengan kuda perang? Para ulama tafsir menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan ciptaan-Nya yang menunjukkan dedikasi, kepatuhan, dan pengorbanan yang ekstrem, yang kesemuanya diarahkan pada kebaikan (jihad). Kontras antara dedikasi kuda (makhluk tanpa akal) dengan sifat manusia (makhluk berakal) yang disebutkan di ayat berikutnya adalah kunci dari surah ini. Kuda yang patuh, sementara manusia seringkali ingkar.
Setelah serangkaian sumpah yang menggugah, Allah langsung beralih ke subjek utama: sifat dasar manusia. Inilah "jawaban sumpah" (jawab al-qasam) yang ingin disampaikan oleh Allah SWT.
Makna Linguistik:
Al-Insān (الْإِنسَٰنَ): Manusia (dalam konteks ini, manusia yang tidak dihiasi oleh iman).
Kūnūd (لَكَنُودٌ): Kata sifat yang sangat kuat, bermakna sangat ingkar, tidak berterima kasih, atau orang yang suka menghitung-hitung musibah dan melupakan nikmat. Imam Al-Hasan Al-Bashri mendefinisikan *kūnūd* sebagai orang yang "mengingat kesulitan dan melupakan kemudahan."
Pesan Tafsir: Ini adalah inti dari surah. Allah menyatakan bahwa sifat dasar manusia, tanpa bimbingan ilahi, adalah keengganan untuk bersyukur kepada Tuhannya. Manusia cenderung melihat apa yang kurang, bukan apa yang telah diberikan. Meskipun kuda perang (yang Allah jadikan subjek sumpah) menunjukkan dedikasi total, manusia yang diberi akal dan nikmat tak terhitung, justru menunjukkan kebalikannya: keengganan untuk mengakui sumber nikmat tersebut.
Interpretasi Ayat: Ada dua tafsir utama mengenai siapa yang menjadi saksi:
Tafsir pertama (bahwa manusia menjadi saksi atas dirinya) lebih kuat dalam konteks psikologis surah. Manusia hidup dalam negasi, namun ia tidak dapat sepenuhnya menipu dirinya sendiri mengenai kurangnya rasa syukur yang ia miliki.
Makna Linguistik:
Al-Khayr (الْخَيْرِ): Secara harfiah berarti kebaikan, tetapi dalam konteks ini, kebanyakan ulama (termasuk Mujahid dan Qatadah) menafsirkannya sebagai harta benda (mal).
Lasyaḍīd (لَشَدِيدٌ): Benar-benar kuat, berlebihan, atau keras.
Pesan Tafsir: Ayat ini menjelaskan akar dari sifat *kūnūd* (ingkar). Keingkaran timbul dari kecintaan yang amat sangat pada harta dunia. Kecintaan ini membuat manusia menjadi rakus, pelit, dan lupa akan kewajibannya kepada Allah. Ketika harta (khayr) diletakkan sebagai tujuan utama, maka ucapan syukur (yang merupakan bentuk kepatuhan) akan menjadi sekunder. Harta yang seharusnya menjadi sarana kebaikan, justru menjadi tembok penghalang antara manusia dan Tuhannya.
Kūnūd bukan sekadar tidak bersyukur, tapi adalah sikap batin yang menolak mengakui kebaikan yang diterima. Ini memiliki dimensi teologis yang serius:
Surah ini memperingatkan bahwa jika dedikasi manusia dalam mencari harta dunia sama kuatnya dengan dedikasi kuda perang yang berlari sampai terengah-engah, maka ia harus mengarahkan dedikasi itu kembali kepada Tuhannya, bukan pada harta yang fana.
Tiga ayat penutup ini berfungsi sebagai peringatan keras (ancaman) bagi mereka yang memiliki sifat *kūnūd* dan cinta harta yang berlebihan. Ayat-ayat ini menggeser fokus dari kehidupan duniawi yang cepat dan dinamis (kuda perang) menuju realitas akhirat yang permanen.
Makna Linguistik:
Afalā ya’lamu (أَفَلَا يَعْلَمُ): Tidakkah dia mengetahui? Ini adalah pertanyaan retoris yang menyindir kelalaian manusia.
Bu’sira (بُعْثِرَ): Dibongkar, digali, dikeluarkan. Kata ini memberikan gambaran yang kuat tentang pengangkatan kembali jasad dari kubur.
Pesan Tafsir: Setelah membahas keasyikan manusia dengan dunia dan harta, Allah bertanya, "Apakah dia lupa akan Hari Kiamat?" Ketika tubuh dibangkitkan dari kubur, ini adalah permulaan dari perhitungan. Ayat ini mengingatkan bahwa semua harta yang dicintai dan dipertahankan dengan sifat kūnūd tidak akan berguna sedikit pun, karena perhatian utama pada hari itu adalah pada jasad yang dibangkitkan.
Makna Linguistik:
Ḥuṣṣila (وَحُصِّلَ): Dilahirkan, diungkapkan, atau dikumpulkan dan dipisahkan (misalnya, biji dari sekamnya).
Aṣ-Ṣudūr (ٱلصُّدُورِ): Dada, yang merupakan simbol tempat penyimpanan niat, rahasia, keyakinan, dan motif yang tersembunyi.
Pesan Tafsir: Ini adalah klimaks dari peringatan tersebut. Jika ayat 9 fokus pada kebangkitan fisik, ayat 10 fokus pada kebangkitan spiritual dan psikologis. Semua motif tersembunyi, kebencian, cinta terlarang, niat riya', atau kesombongan yang disimpan rapat-rapat di dalam hati (dada) akan diungkap dan dianalisis. Pada hari itu, fokus perhitungan bukanlah pada amal lahiriah semata, tetapi pada kualitas hati dan niat. Cinta harta yang berlebihan (syadīd) yang disinggung di ayat 8, yang merupakan kondisi hati, akan tampak jelas.
Makna Linguistik:
Khabīr (لَّخَبِيرٌ): Maha Mengetahui, atau yang memiliki pengetahuan mendalam tentang detail terkecil (sama dengan ahli).
Pesan Tafsir: Ayat penutup ini berfungsi sebagai penegasan dan ancaman terakhir. Allah Maha Tahu secara detail tentang kondisi batin manusia, baik yang tersembunyi di dalam kubur maupun yang tersimpan di dalam dada. Ungkapan "Yauma'iżin" (pada hari itu) menekankan bahwa pada Hari Kiamat, pengetahuan Allah akan diwujudkan dalam bentuk perhitungan yang adil dan sempurna. Manusia tidak dapat menyembunyikan sifat *kūnūd* atau kecintaan berlebihannya pada harta dari Sang Pencipta.
Penggunaan kuda perang (*Al-Adiyat*) sebagai sumpah Ilahi bukan sekadar deskripsi pertempuran, melainkan metafora yang sangat dalam. Kuda-kuda ini adalah simbol dari:
Kuda, meskipun hewan, menunjukkan kepatuhan tanpa syarat kepada penunggangnya. Mereka berlari hingga kelelahan (dhabhan) dan siap menghadapi bahaya. Ini kontras dengan manusia yang, meskipun memiliki akal, seringkali menolak perintah Tuhannya.
Energi kuda yang luar biasa (lari, percikan api, serangan subuh) digunakan untuk tujuan jihad (perjuangan di jalan Allah). Ayat ini secara implisit menanyakan: Jika manusia memiliki energi dan kemampuan yang jauh lebih besar daripada kuda, mengapa energi tersebut dialihkan seluruhnya untuk mengumpulkan harta (duniawi) dan bukan untuk ketaatan kepada Allah?
Meskipun tafsir mayoritas merujuk pada kuda perang, beberapa ulama (seperti Ibn Mas'ud dan Ibn Abbas dalam riwayat lain) menafsirkan *Al-Adiyat* sebagai:
Namun, detail linguistik seperti *dhabhan* (nafas kuda) dan *al-mūriyāt* (percikan api dari kuku) sangat mendukung interpretasi kuda perang. Apapun interpretasinya, pesan utamanya tetap sama: Allah bersumpah dengan pergerakan yang berdedikasi dan cepat menuju tujuan suci, untuk mengkontraskan sifat lamban dan ingkar manusia.
Surah Al-Adiyat menelanjangi dua penyakit spiritual utama yang diderita manusia yang lalai:
Sifat *kūnūd* bukan hanya sekadar lupa, melainkan sebuah penolakan aktif terhadap kebaikan Tuhan. Manusia dalam keadaan *kūnūd* cenderung melihat nikmat sebagai hak, bukan karunia. Tafsir Qurtubi menjelaskan bahwa *kūnūd* adalah orang yang sedikit syukurnya dan banyak keluhannya. Ini memunculkan sifat buruk lain seperti:
Ayat 8, "Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benda benar-benar berlebihan," adalah diagnosa yang menunjukkan mengapa manusia bisa menjadi *kūnūd*. Harta (al-khayr) dalam jumlah yang wajar tidak dilarang, namun kecintaan yang "berlebihan" (syadīd) mengubah harta dari sarana menjadi Tuhan yang dipuja. Ketika harta menjadi fokus utama, manusia mulai:
Penggunaan kata *al-khayr* (kebaikan) untuk merujuk pada harta menunjukkan ironi: sesuatu yang secara hakikat adalah baik dan dapat digunakan untuk kebaikan, justru menjadi sumber bencana spiritual ketika dicintai secara ekstrim.
Surah Al-Adiyat memiliki keunikan karena fokusnya beralih dari fisik (kuda, debu) ke psikologis dan spiritual (hati, niat). Ayat 7 dan 10 secara khusus menyoroti pentingnya kondisi batin.
Ayat 7 ("Wa innahū ‘alā żālika lasyahīd") mengajarkan konsep moralitas internal dalam Islam. Manusia, yang cenderung lalai, pada dasarnya memiliki kesadaran moral bawaan (*fitrah*). Meskipun ia mencoba membenarkan perbuatannya di dunia, hati nuraninya tahu bahwa ia ingkar dan serakah. Pada Hari Kiamat, kesaksian ini akan diwujudkan secara harfiah.
Implikasi Teologis:
Ayat 10 ("Wa ḥuṣṣila mā fiṣ-ṣudūr") adalah fokus utama Hari Penghisaban. Kata *ḥuṣṣila* (dilahirkan/dipisahkan) menunjukkan proses pemurnian dan pengungkapan yang teliti. Pada hari itu, Allah akan memisahkan niat yang tulus (emas murni) dari niat yang tercemar (sekam).
Yang Akan Dibongkar dari Dada:
Surah Al-Adiyat mengajarkan bahwa ibadah dan amal tanpa kualitas batin yang benar (ikhlas, syukur, zuhud) adalah sia-sia. Kebangkitan bukan hanya fisik, tetapi juga kebangkitan rahasia batin yang terpendam.
Perbandingan antara kuda dan manusia dalam surah ini sangatlah tajam. Perhatikan poin-poin kontras berikut:
| Kuda Perang (Al-Adiyat) | Manusia (Al-Insan) |
|---|---|
| Dedikasi total (berlari kencang, terengah-engah) | Ingkar (Kūnūd), kurang bersyukur |
| Energi diarahkan untuk jihad (tujuan mulia) | Energi diarahkan untuk cinta harta dunia (syadīd) |
| Melakukan serangan subuh (tepat waktu dan patuh) | Lalai dan menunda-nunda ketaatan |
| Menyebabkan percikan api (dampak nyata) | Hati tertutup, rahasia tersembunyi (sampai hari perhitungan) |
Kontras ini mengajak manusia untuk merenungkan: Jika makhluk tanpa akal mampu menunjukkan dedikasi luar biasa demi perintah tuannya (penunggangnya), mengapa manusia berakal tidak mampu menunjukkan dedikasi serupa kepada Sang Penciptanya?
Meskipun diturunkan pada era kuda perang, pesan Surah Al-Adiyat tetap relevan. Surah ini memberikan petunjuk tentang bagaimana mengelola energi, waktu, dan kekayaan di tengah godaan materialisme.
Kita harus mengalihkan semangat "kuda perang" kita—yaitu energi, ambisi, dan kecepatan—dari mengejar harta yang berlebihan menuju ketaatan dan amal saleh. Jika kita bekerja keras mencari nafkah, kita juga harus bekerja keras untuk salat, sedekah, dan mencari ilmu agama.
Untuk menghindari sifat *kūnūd*, kita harus senantiasa melakukan muhasabah dan mengingat nikmat. Praktik syukur bukan hanya mengucapkan Alhamdulillah, tetapi juga menggunakan nikmat yang diberikan (kesehatan, waktu, harta) sesuai dengan ridha Allah. Cara praktis mengatasi *kūnūd*:
Ayat 9–11 adalah pengingat bahwa akhirat adalah hari pengungkapan. Karena semua rahasia dada akan dibongkar (*ḥuṣṣila mā fiṣ-ṣudūr*), manusia harus senantiasa memperbaiki niatnya. Ibadah yang tulus (ikhlas) adalah satu-satunya mata uang yang diterima ketika isi dada diungkapkan. Kerjakanlah amal seolah-olah hanya Allah yang tahu, dan bersihkanlah hati dari penyakit riya', hasad, dan ujub.
Surah ini tidak melarang mencari rezeki, tetapi melarang kecintaan yang *syadīd* (berlebihan). Harta harus dicintai sebagai sarana untuk mencapai kebaikan (sedekah, membantu sesama, berhaji), bukan sebagai tujuan akhir yang melalaikan. Keseimbangan ini memastikan bahwa kita menggunakan anugerah Allah (kekayaan, waktu, energi) seperti kuda perang, yang berlari kencang demi tujuan yang benar.
Kecintaan pada harta (al-khayr) yang berlebihan adalah fokus utama kritik dalam Surah Al-Adiyat. Konsep ini memerlukan pembedahan lebih lanjut karena ia adalah sumber dari hampir semua kegagalan spiritual.
Pada zaman modern, ‘kuda perang’ kita mungkin bukan kuda sungguhan, melainkan mobil mewah, saham, atau aset digital. Semangat *al-ādiyāt* kini diekspresikan dalam bentuk kerja rodi, kejar target tanpa henti, dan mengabaikan keluarga atau kewajiban ibadah demi karir. Ini adalah perwujudan modern dari berlari kencang (seperti kuda) tetapi dengan tujuan yang keliru (harta).
Dampak Kecintaan Berlebihan:
Hubungan antara *hubb al-khayr* dan *kūnūd* adalah sebab-akibat. Ketika seseorang mencintai harta secara berlebihan, ia akan merasa bahwa Tuhannya tidak memberinya cukup. Jika Tuhannya memberinya harta, ia merasa ia pantas mendapatkannya, bukan bersyukur. Jika Tuhannya mengambil sebagian hartanya (melalui musibah atau kewajiban zakat), ia akan mengeluh keras dan merasa Tuhannya tidak adil. Siklus inilah yang menghasilkan sifat *kūnūd* yang dikritik oleh Allah SWT.
Surah ini menawarkan solusi subliminal: lihatlah kuda yang mendedikasikan segalanya demi perintah. Jadikanlah harta itu sebagai alat yang membantu kita menaati perintah Ilahi (seperti kuda membantu tentara jihad), bukan sebagai dewa baru yang harus ditaati dan dipuja.
Al-Adiyat adalah surah kecil yang memuat pelajaran etika dan teologi yang sangat besar. Pesannya dapat diringkas dalam beberapa poin kunci filosofis:
Kontras Kekuatan vs. Niat: Kekuatan dan energi harus sesuai dengan niat dan tujuan. Kuda yang gagah perkasa digunakan untuk kebenaran. Manusia harusnya lebih dari itu.
Realisme Kehidupan: Allah secara realistis mengakui kelemahan bawaan manusia (cinta harta), tetapi segera memberikan peringatan keras (kebangkitan) untuk mengimbangi kelemahan tersebut.
Penghargaan Hati: Penilaian tertinggi pada Hari Kiamat adalah pada kualitas batin dan niat (mā fiṣ-ṣudūr), bukan hanya pada penampilan amal luar.
Surah Al-Adiyat adalah seruan universal bagi umat manusia untuk melakukan introspeksi mendalam terhadap prioritas hidup mereka. Dimulai dengan sumpah Ilahi yang dramatis menggunakan gambaran peperangan yang penuh semangat dan pengorbanan, surah ini secara tajam mengkritik respons manusia yang seringkali lalai dan serakah.
Sumpah demi kuda yang berlari kencang, terengah-engah, memercikkan api, dan menyerbu musuh pada waktu subuh (Ayat 1-5) adalah pengantar yang kuat untuk menyatakan jawaban sumpah: bahwa manusia, dengan segala keistimewaannya, cenderung menjadi makhluk yang sangat ingkar kepada Tuhannya (Ayat 6).
Keingkaran ini bersumber dari satu penyakit hati yang fundamental, yaitu kecintaan yang berlebihan dan keras terhadap harta benda (Ayat 8). Cinta harta ini menciptakan kebutaan spiritual, membuat manusia lupa akan asal-usul nikmat dan tujuan sejati dari keberadaannya.
Sebagai penutup yang menohok, Allah mengingatkan manusia tentang kepastian Hari Kiamat, hari ketika bukan hanya jasad yang dibangkitkan dari kubur (Ayat 9), tetapi yang lebih penting, segala rahasia hati dan niat yang tersembunyi selama hidup akan diungkap dan diadili (Ayat 10). Pada hari itu, manusia akan sadar sepenuhnya bahwa Tuhan mereka, Allah SWT, adalah Maha Mengetahui secara detail tentang setiap aspek kehidupan dan niat mereka (Ayat 11).
Oleh karena itu, Surah Al-Adiyat mengajarkan kita untuk menyelaraskan energi dan ambisi duniawi kita dengan tujuan Ilahi. Dedikasi yang kita miliki dalam mencari rezeki haruslah seimbang dengan dedikasi dalam menjalankan ibadah dan syukur. Jika kita berlari cepat seperti kuda, pastikan kita berlari menuju keridhaan Allah, sebelum Hari Pengungkapan tiba.