Mengkaji Sholat Subuh Tanpa Qunut
Ilustrasi masjid saat fajar sebagai simbol sholat subuh.
Sholat Subuh adalah salah satu ibadah paling agung dalam Islam, disaksikan oleh para malaikat dan menjadi penanda dimulainya hari seorang muslim. Di antara rukun dan sunnahnya, terdapat satu amalan yang menjadi topik pembahasan hangat di kalangan ulama dan umat Islam, yaitu doa qunut. Sebagian kaum muslimin melaksanakannya secara rutin, sementara sebagian lainnya memilih untuk melaksanakan sholat subuh tanpa qunut. Perbedaan ini bukanlah hal baru, melainkan sebuah khazanah perbedaan pendapat (khilafiyah) yang berakar pada dalil dan ijtihad para ulama salaf.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam perspektif mengenai pelaksanaan sholat subuh tanpa qunut. Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan atau merendahkan pandangan lain, melainkan untuk menyajikan dalil-dalil, argumentasi, dan pandangan para ulama terkemuka yang menjadi landasan bagi praktik ini. Memahami dasar dari setiap amalan adalah kunci untuk beribadah dengan ketenangan hati dan ilmu, serta menumbuhkan sikap toleransi dalam menyikapi perbedaan.
Memahami Hakikat Doa Qunut
Sebelum melangkah lebih jauh ke dalam perdebatan hukumnya, penting untuk memahami apa itu qunut. Secara bahasa, kata "qunut" (القنوت) memiliki beberapa makna, di antaranya adalah ketaatan, diam, berdiri lama, dan doa. Dalam istilah syar'i, qunut adalah doa khusus yang dibaca dalam sholat pada waktu tertentu, yaitu saat berdiri setelah bangkit dari ruku' (i'tidal) pada rakaat terakhir.
Para ulama membagi qunut menjadi beberapa jenis, yang paling dikenal adalah:
- Qunut Nazilah: Doa yang dibaca ketika kaum muslimin ditimpa musibah besar, seperti peperangan, bencana alam, atau penindasan. Qunut jenis ini disepakati boleh dilakukan pada setiap sholat fardhu, tidak hanya pada sholat Subuh.
- Qunut Witir: Doa yang dibaca pada rakaat terakhir sholat Witir, khususnya pada pertengahan hingga akhir bulan Ramadhan, meskipun ada juga pandangan yang menganjurkannya sepanjang tahun.
- Qunut Subuh: Doa yang secara spesifik dibaca pada saat i'tidal rakaat kedua sholat Subuh secara terus-menerus. Inilah yang menjadi titik utama perbedaan pendapat.
Fokus pembahasan kita adalah pada Qunut Subuh. Pihak yang tidak melaksanakannya berpandangan bahwa amalan ini tidak memiliki landasan yang kuat dan sahih untuk dilakukan secara rutin, berbeda dengan Qunut Nazilah yang memiliki riwayat yang jelas dan disepakati.
Dalil dan Argumentasi Sholat Subuh Tanpa Qunut
Pandangan yang menyatakan bahwa sholat subuh tanpa qunut adalah yang lebih sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad ﷺ didasarkan pada serangkaian dalil dari hadits dan atsar (riwayat) para sahabat. Dalil-dalil ini, menurut mereka, lebih kuat, lebih jelas, dan lebih konsisten dibandingkan dalil yang digunakan untuk menetapkan qunut Subuh secara rutin. Berikut adalah penjabaran dalil-dalil utama tersebut.
1. Kesaksian Sahabat Dekat Rasulullah ﷺ
Salah satu dalil terkuat datang dari kesaksian seorang sahabat yang bertanya langsung kepada ayahnya, yang juga seorang sahabat senior. Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’i berkata:
“Aku berkata kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah sholat di belakang Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di Kufah sini selama sekitar lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut (pada sholat Subuh)?’ Ayahku menjawab, ‘Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (muhdats).’” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits ini dinilai sahih oleh banyak ulama, termasuk Imam At-Tirmidzi sendiri yang mengatakan "hadits hasan sahih").
Hadits ini memiliki beberapa poin kekuatan yang sangat signifikan:
- Pertanyaan Langsung: Ini adalah pertanyaan investigatif dari seorang anak kepada ayahnya yang memiliki pengalaman langsung sholat di belakang tokoh-tokoh terbaik umat ini.
- Cakupan Komprehensif: Pertanyaan ini mencakup periode Rasulullah ﷺ dan seluruh Khulafaur Rasyidin, yang merupakan teladan utama setelah beliau. Jawaban sang ayah mencakup pengalaman bertahun-tahun.
- Jawaban Tegas: Jawaban Thariq bin Asyhab Al-Asyja’i sangat jelas dan tidak ambigu. Beliau menyebutnya sebagai "muhdats" atau "bid'ah" (perkara baru yang diada-adakan dalam agama). Istilah ini memiliki bobot syar'i yang sangat kuat, menunjukkan bahwa amalan tersebut tidak dikenal atau tidak dipraktikkan oleh generasi terbaik tersebut secara rutin.
Argumentasi ini menjadi pilar utama bagi mereka yang berpendapat sholat subuh tanpa qunut adalah praktik yang orisinal. Jika qunut Subuh adalah sunnah yang rutin dikerjakan, mustahil para Khulafaur Rasyidin yang paling bersemangat mengikuti sunnah Nabi meninggalkannya selama bertahun-tahun.
2. Riwayat Anas bin Malik yang Menjelaskan Konteks Qunut
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat yang paling sering dirujuk dalam pembahasan qunut. Menariknya, dari beliau pula datang riwayat yang justru memperkuat pandangan sholat subuh tanpa qunut. Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik pernah ditanya tentang qunut dalam sholat Subuh. Beliau menjawab:
“Rasulullah ﷺ melakukan qunut selama sebulan setelah ruku’, mendoakan keburukan atas beberapa suku Arab (yang berkhianat), kemudian beliau meninggalkannya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Riwayat ini sangat penting karena memberikan beberapa pemahaman kunci:
- Konteks Spesifik: Qunut yang dilakukan oleh Nabi ﷺ memiliki sebab yang jelas, yaitu mendoakan keburukan atas kaum pengkhianat yang membunuh para sahabat penghafal Al-Qur'an dalam tragedi Bi'r Ma'unah. Ini adalah Qunut Nazilah, bukan qunut rutin harian.
- Adanya Batasan Waktu: Riwayat ini dengan tegas menyebutkan durasi "selama sebulan" (شَهْرًا). Ini menunjukkan bahwa amalan tersebut bersifat temporer, terkait dengan sebabnya.
- Pernyataan "Kemudian Beliau Meninggalkannya": Frasa "ثُمَّ تَرَكَهُ" (tsumma tarakahu) adalah penegasan bahwa setelah sebabnya hilang, praktik qunut tersebut dihentikan. Ini menunjukkan bahwa qunut bukanlah bagian permanen dari sholat Subuh.
Riwayat sahih dari Bukhari dan Muslim ini menjadi kontra-argumen yang sangat kuat terhadap riwayat lain dari Anas (yang akan dibahas nanti) yang mengindikasikan keberlangsungan qunut. Para ulama hadits menjelaskan bahwa riwayat yang lebih detail dan menjelaskan konteks (seperti hadits ini) harus didahulukan daripada riwayat yang bersifat umum atau ambigu.
3. Riwayat Lain yang Menegaskan Sifat Sementara Qunut
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang dikenal sangat banyak meriwayatkan hadits, juga memberikan kesaksian serupa. Beliau meriwayatkan:
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ jika beliau hendak mendoakan kebaikan atau keburukan untuk seseorang, beliau melakukan qunut setelah ruku’. ... Beliau melakukan itu hingga Allah menurunkan ayat: ‘Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu...’ (Ali Imran: 128).” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Riwayat ini juga menguatkan bahwa praktik qunut yang dilakukan Nabi ﷺ adalah karena adanya sebab tertentu (Qunut Nazilah). Bahkan, riwayat ini mengindikasikan adanya teguran dari Allah melalui turunnya ayat, yang membuat Nabi ﷺ berhenti mendoakan secara spesifik dalam qunut tersebut. Ini semakin memperjelas bahwa qunut bukanlah ritual ibadah harian yang berdiri sendiri.
4. Analisis Kritis Terhadap Dalil Pihak Pro-Qunut
Pihak yang menganjurkan qunut Subuh secara rutin berpegang pada sebuah riwayat yang juga berasal dari Anas bin Malik, yang menyatakan:
“Rasulullah ﷺ senantiasa melakukan qunut pada sholat Subuh hingga beliau wafat.”
Riwayat ini, pada pandangan pertama, tampak sangat jelas dan mendukung qunut Subuh secara terus-menerus. Namun, para ahli hadits dan ulama yang berpegang pada pandangan sholat subuh tanpa qunut memberikan analisis kritis terhadap riwayat ini. Mereka menyatakan bahwa riwayat ini memiliki kelemahan dari sisi sanad (rantai perawi) dan matan (isi hadits).
Kelemahan dari Sisi Sanad
Jalur periwayatan hadits ini berporos pada seorang perawi bernama Abu Ja'far Ar-Razi. Para ulama ahli jarh wa ta'dil (kritik perawi hadits) memiliki catatan mengenai kredibilitasnya. Meskipun ia seorang yang jujur, hafalannya dinilai tidak kuat (sayyi’ul hifzh). Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Abu Zur'ah, dan para kritikus hadits lainnya menyatakan bahwa hafalannya sering kacau dan ia kerap melakukan kesalahan. Karena kelemahan pada hafalannya ini, riwayat yang ia sampaikan sendiri (tanpa dikuatkan perawi lain yang lebih tsiqah/terpercaya) tidak bisa dijadikan hujjah yang kokoh, apalagi jika riwayatnya bertentangan dengan riwayat dari perawi yang lebih kuat.
Dalam kasus ini, riwayat Abu Ja'far Ar-Razi yang menyatakan qunut dilakukan "hingga wafat" bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang lebih sahih (seperti yang ada di Bukhari dan Muslim) dari jalur perawi lain dari Anas bin Malik yang menyatakan qunut dilakukan "selama sebulan kemudian ditinggalkan". Dalam ilmu hadits, ketika seorang perawi yang hafalannya kurang kuat meriwayatkan sesuatu yang bertentangan dengan riwayat dari perawi yang lebih kuat, riwayatnya dianggap sebagai riwayat yang syadz (ganjil) atau munkar (diingkari) dan tidak dapat diterima.
Kelemahan dari Sisi Matan
Kalaupun riwayat tersebut dianggap bisa diterima, para ulama memberikan interpretasi lain. Kata "qunut" dalam hadits tersebut bisa jadi tidak merujuk pada doa qunut yang dikenal, melainkan pada makna bahasanya, yaitu "berdiri lama". Jadi, maksud hadits tersebut adalah "Rasulullah ﷺ senantiasa memanjangkan berdiri (i'tidal) pada sholat Subuh hingga beliau wafat". Interpretasi ini didukung oleh riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ memang memanjangkan bacaan dan berdiri beliau dalam sholat Subuh.
Dengan adanya kelemahan pada sanad dan kemungkinan interpretasi lain pada matan, para ulama yang menganut pandangan sholat subuh tanpa qunut menyimpulkan bahwa hadits ini tidak cukup kuat untuk menetapkan suatu amalan sunnah yang dilakukan secara rutin, apalagi jika ia bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih sahih dan kesaksian para Khulafaur Rasyidin.
Pandangan Mazhab-Mazhab Fikih Terkemuka
Perbedaan dalam memahami dalil-dalil di atas melahirkan pandangan yang beragam di antara mazhab-mazhab fikih yang empat. Memahami posisi setiap mazhab memberikan kita gambaran yang lebih utuh tentang masalah ini.
Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah dan para pengikut mazhabnya berpendapat bahwa qunut tidak disyariatkan dalam sholat Subuh. Melakukannya secara rutin dianggap makruh (dibenci). Landasan mereka adalah hadits Sa'ad bin Thariq Al-Asyja'i yang menyebut qunut Subuh sebagai perkara yang diada-adakan, serta hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa qunut Nabi bersifat sementara (Qunut Nazilah). Bagi mereka, qunut hanya disyariatkan dalam sholat Witir (sepanjang tahun menurut sebagian riwayat) dan saat terjadi Nazilah (musibah).
Mazhab Maliki
Pandangan Mazhab Maliki cukup unik. Mereka berpendapat bahwa qunut dalam sholat Subuh adalah sunnah mustahabbah (sunnah yang dianjurkan). Namun, yang menarik adalah cara pelaksanaannya. Menurut pandangan masyhur dalam mazhab ini, qunut dilakukan sebelum ruku' dan dibaca dengan suara pelan (sirr), baik bagi imam maupun bagi yang sholat sendirian. Mereka mendasarkan pandangan ini pada amalan sebagian penduduk Madinah. Posisi mereka yang berbeda dalam cara pelaksanaan (sebelum ruku' dan sirr) menunjukkan bahwa masalah ini memang sangat longgar dan memiliki banyak ruang untuk ijtihad.
Mazhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal dan Mazhab Hanbali memiliki pandangan yang sejalan dengan Mazhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam sholat Subuh. Qunut hanya disyariatkan pada sholat Witir dan ketika terjadi Nazilah yang menimpa kaum muslimin. Jika terjadi Nazilah, maka imam atau pemimpin kaum muslimin dapat melakukan qunut pada sholat-sholat fardhu, termasuk Subuh, hingga musibah tersebut diangkat oleh Allah. Dalil-dalil yang mereka gunakan sama persis dengan yang telah dipaparkan di atas, terutama hadits Sa'ad bin Thariq dan riwayat Anas bin Malik yang menjelaskan sifat temporer dari qunut Nabi.
Mazhab Syafi'i
Imam Asy-Syafi'i dan para pengikutnya adalah yang paling kuat berpegang pada pandangan disyariatkannya qunut pada sholat Subuh secara rutin. Mereka menganggapnya sebagai sunnah ab'adh, yaitu sunnah yang jika ditinggalkan secara sengaja, dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi. Landasan utama mereka adalah hadits dari Anas bin Malik riwayat Abu Ja'far Ar-Razi yang menyatakan Nabi ﷺ senantiasa berqunut hingga wafat. Mereka menilai riwayat ini cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum. Mereka juga berargumen bahwa praktik ini dilanjutkan oleh sebagian sahabat besar seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib dalam beberapa riwayat.
Dari pemaparan di atas, terlihat jelas bahwa mayoritas ulama dan mazhab besar (Hanafi dan Hanbali, dengan Maliki yang memiliki cara berbeda) tidak menganjurkan qunut Subuh secara rutin. Pandangan sholat subuh tanpa qunut dipegang oleh dua dari empat mazhab terbesar dalam Islam, menunjukkan betapa kuat dan terhormatnya posisi ini dalam fikih Islam.
Sikap Bijak dalam Menghadapi Perbedaan
Setelah memahami dalil dan argumentasi dari kedua belah pihak, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita harus bersikap? Isu qunut Subuh adalah contoh klasik dari masail ijtihadiyyah, yaitu masalah-masalah yang terbuka bagi ijtihad (penalaran hukum) para ulama. Dalam masalah seperti ini, tidak ada satu pihak yang bisa mengklaim kebenaran absolut dan menyalahkan pihak lain sebagai pelaku bid'ah atau kesesatan.
Berikut adalah beberapa adab dan sikap yang harus dikedepankan:
1. Lapang Dada dan Saling Menghormati
Seorang muslim harus menyadari bahwa para ulama yang berbeda pendapat, baik Imam Asy-Syafi'i maupun Imam Ahmad, Abu Hanifah, dan Malik, semuanya adalah para mujtahid agung yang niatnya adalah mencari kebenaran dan mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ. Perbedaan mereka lahir dari perbedaan dalam menilai kekuatan hadits atau cara memahami teks dalil. Oleh karena itu, kita wajib menghormati semua pandangan tersebut. Jika kita memilih untuk melaksanakan sholat subuh tanpa qunut karena meyakini dalilnya lebih kuat, kita tidak boleh mencela atau merendahkan saudara kita yang melakukan qunut, dan sebaliknya.
2. Kaidah "Laa Inkaara fii Masaa'ilil Ijtihad"
Ada sebuah kaidah fikih yang sangat populer: "Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah ijtihadiyah." Artinya, dalam persoalan yang status hukumnya masih dalam ranah ijtihad ulama, seseorang tidak boleh mengingkari atau menyalahkan dengan keras amalan orang lain yang mengikuti pendapat ulama yang mu'tabar (diakui keilmuannya). Menganggap orang yang qunut sebagai ahli bid'ah secara mutlak adalah sikap yang berlebihan, sebagaimana menganggap orang yang tidak qunut sebagai pembenci sunnah juga merupakan tuduhan yang tidak berdasar.
3. Mengikuti Imam dalam Sholat Berjamaah
Persatuan dalam sholat berjamaah jauh lebih penting daripada mempertahankan pendapat pribadi dalam masalah khilafiyah. Para ulama sepakat bahwa jika seorang makmum sholat di belakang imam yang memiliki pandangan berbeda tentang qunut, maka makmum harus mengikuti imamnya.
- Jika Anda tidak biasa qunut, dan imam melakukan qunut: Anda dianjurkan untuk mengangkat tangan dan mengaminkan doa imam. Hal ini dilakukan demi menjaga keutuhan dan kesatuan shaf. Imam Ahmad bin Hanbal, meskipun berpendapat tidak ada qunut Subuh, ketika ditanya apa yang harus dilakukan jika sholat di belakang imam yang qunut, beliau menjawab, "Ikuti imammu dan aminkan doanya."
- Jika Anda biasa qunut, dan imam tidak melakukan qunut: Anda tidak perlu melakukan qunut sendirian atau melakukan sujud sahwi setelahnya. Cukup ikuti gerakan imam. Sholat Anda tetap sah dan sempurna, karena qunut menurut pandangan yang mewajibkannya pun hanyalah sunnah ab'adh, bukan rukun sholat.
4. Fokus pada Hal yang Lebih Pokok
Jangan sampai perbedaan dalam masalah cabang (furu') seperti qunut Subuh ini melalaikan kita dari hal-hal yang lebih pokok (ushul) dalam agama. Kekhusyukan dalam sholat, menjaga sholat tepat waktu, memakmurkan masjid, menjaga ukhuwah Islamiyah, dan berakhlak mulia adalah hal-hal yang jauh lebih fundamental dan disepakati urgensinya. Terlalu sibuk berdebat dan saling menyalahkan dalam masalah qunut hanya akan membuang energi dan merusak persaudaraan.
Kesimpulan
Pelaksanaan sholat subuh tanpa qunut bukanlah sebuah amalan tanpa dasar. Ia bersandar pada dalil-dalil yang kuat dari hadits-hadits sahih dan kesaksian para sahabat senior, termasuk Khulafaur Rasyidin. Pandangan ini dianut oleh mayoritas ulama salaf dan menjadi pendapat resmi dalam mazhab besar seperti Hanafi dan Hanbali. Argumentasi utamanya adalah bahwa qunut yang dilakukan Nabi ﷺ bersifat temporer karena adanya sebab (Qunut Nazilah), dan tidak pernah menjadi bagian rutin dari sholat Subuh.
Di sisi lain, pandangan yang menganjurkan qunut Subuh juga memiliki dasar ijtihad dari ulama sekelas Imam Asy-Syafi'i, yang tidak bisa diremehkan. Adanya perbedaan ini menunjukkan keluasan dan kekayaan khazanah fikih Islam.
Pada akhirnya, bagi seorang muslim, yang terpenting adalah berusaha mengikuti dalil yang diyakininya paling kuat dengan bimbingan ilmu, sambil tetap menjaga kelapangan dada dan menghormati saudaranya yang memiliki keyakinan berbeda. Baik yang melaksanakan sholat subuh dengan qunut maupun yang melaksanakan sholat subuh tanpa qunut, selama keduanya bersandar pada ijtihad ulama yang diakui, insya Allah keduanya berada dalam kebaikan. Semoga Allah senantiasa membimbing kita semua ke jalan yang lurus dan menyatukan hati kaum muslimin di atas kebenaran.