Surah Ad-Dhuha adalah salah satu permata Al-Qur’an yang tergolong dalam Surah Makkiyah. Ia terdiri dari 11 ayat dan menempati urutan ke-93 dalam mushaf. Nama ‘Ad-Dhuha’ diambil dari sumpah pembuka ayat pertama, yang berarti ‘Waktu Matahari Sepenggalahan Naik’ atau ‘Waktu Dhuha’. Surah ini diwahyukan pada periode awal kenabian, dan konteks pewahyuannya menjadikannya sebagai sumber kekuatan, harapan, dan jaminan ilahi bagi setiap jiwa yang merasa ditinggalkan atau dilanda kesusahan.
Kajian mendalam mengenai surah ad dhuha dan artinya mengungkap sebuah narasi spiritual yang universal, yakni kepastian bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setelah kegelapan pasti ada cahaya, dan bahwa kasih sayang Tuhan tidak pernah putus bagi hamba-Nya yang berjuang di jalan kebenaran.
Pemahaman konteks pewahyuan Surah Ad-Dhuha sangat vital untuk menangkap kedalaman emosional dan spiritualnya. Mayoritas riwayat tafsir menyebutkan bahwa Surah ini diturunkan setelah periode *fatra* (jeda) wahyu yang berlangsung cukup lama. Durasi jeda ini diperkirakan antara 10 hingga 40 hari, meskipun beberapa ulama menyebut lebih lama.
Selama periode jeda wahyu ini, Nabi Muhammad ﷺ mengalami kegelisahan dan kesedihan yang mendalam. Beliau adalah penerima pesan ilahi, dan terhentinya komunikasi tersebut membuatnya merasa cemas, seolah-olah beliau telah melakukan kesalahan atau bahwa Tuhannya telah meninggalkannya. Kesusahan psikologis ini diperparah oleh ejekan dan fitnah dari kaum musyrikin Mekah. Mereka berkata, "Tuhannya Muhammad telah meninggalkannya," atau "Tuhannya telah membencinya." Ini adalah tuduhan yang sangat menyakitkan bagi Rasulullah ﷺ, yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk risalah tersebut.
Surah Ad-Dhuha diturunkan sebagai respons langsung terhadap situasi psikologis dan spiritual yang dialami Nabi. Fungsinya adalah sebagai pelipur lara, sebuah janji agung, dan penegasan bahwa hubungan antara Nabi dan Allah SWT tidak pernah terputus. Ayat-ayat pembuka yang berupa sumpah ilahi segera menepis keraguan tersebut, memberikan kepastian yang menenangkan bahwa Allah SWT senantiasa bersamanya.
Berikut adalah teks Arab Surah Ad-Dhuha dan terjemahan standarnya dalam bahasa Indonesia:
Untuk memahami surah ad dhuha dan artinya secara utuh, kita perlu membedah setiap ayat, terutama memperhatikan sumpah, janji ilahi, dan perintah moral yang menyertainya.
Allah SWT bersumpah dengan waktu Dhuha, yaitu waktu ketika matahari telah naik tinggi, sinarnya terang benderang, dan siang hari mencapai puncaknya. Sumpah ini sangat simbolis. Waktu Dhuha melambangkan datangnya kemudahan, cahaya, kejelasan, dan aktivitas setelah kegelapan malam. Dalam konteks Nabi yang merasa tertekan oleh jeda wahyu, sumpah ini secara implisit menyatakan bahwa ‘cahaya’ wahyu pasti akan kembali datang, menghapus kegelapan keraguan dan kesedihan yang dialami beliau.
Dalam ilmu Balaghah (retorika Al-Qur'an), sumpah dengan ciptaan-Nya berfungsi untuk menarik perhatian pada keagungan ciptaan tersebut dan menegaskan kebenaran pernyataan yang mengikutinya. Di sini, Allah bersumpah menggunakan dua waktu yang berlawanan namun saling melengkapi.
Kemudian, Allah bersumpah dengan malam ketika ia telah sunyi (sajaa). Kata sajaa berarti menjadi tenang, diam, atau menutup. Ini merujuk pada malam yang damai, ketika kegaduhan telah mereda. Malam, meskipun gelap, juga merupakan waktu istirahat dan perlindungan dari hiruk pikuk. Dalam konteks spiritual, malam yang tenang mungkin juga merefleksikan periode jeda wahyu (fatra) itu sendiri—periode yang sunyi namun diperlukan untuk mempersiapkan datangnya wahyu yang lebih besar.
Penyandingan Dhuha (cahaya) dan Lail (kegelapan) adalah pasangan kontras yang sempurna (paradoks). Keduanya menegaskan hukum alam: kehidupan terdiri dari pasang surut, kesulitan dan kemudahan, dan keduanya berada dalam kendali mutlak Allah SWT. Ini mempersiapkan jiwa Nabi untuk menerima janji besar di ayat berikutnya.
Ayat ini adalah inti dari penghiburan Surah Ad-Dhuha. Kata wa dda’aka (وَدَّعَكَ) berasal dari kata wada’a yang berarti meninggalkan, berpisah, atau mengucapkan selamat tinggal. Sedangkan qalaa (قَلَىٰ) berarti membenci atau tidak menyukai.
Allah dengan tegas menafikan dua hal yang sangat ditakutkan oleh Nabi: ditinggalkan dan dibenci. Ini adalah respons langsung terhadap bisikan hati Nabi dan ejekan kaum musyrikin. Allah menegaskan, "Tuhanmu sama sekali tidak meninggalkanmu, wahai Muhammad, dan Dia juga tidak membencimu."
Penggunaan kata Rabbuka (Tuhanmu) yang menggunakan kata ganti kepemilikan 'mu' (untuk Nabi) menunjukkan hubungan personal, dekat, dan penuh kasih sayang yang tidak mungkin terputus. Jaminan ini bukan hanya untuk Nabi, tetapi juga berlaku universal bagi setiap mukmin yang merasa hubungannya dengan Tuhan merenggang karena kesulitan hidup.
Bagi manusia, perasaan ditinggalkan, terutama oleh sumber dukungan utama, adalah salah satu penderitaan psikologis terberat. Surah Ad-Dhuha mengajarkan bahwa ketika seseorang merasa berada di titik terendah, Tuhan tidak pernah jauh. Jeda (fatra) bukanlah penolakan, melainkan bagian dari proses pemurnian dan persiapan menuju fase berikutnya yang lebih besar.
Ayat ini menyampaikan janji ganda. Secara harfiah, ia berarti "Yang kemudian (Akhirat) itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan (Dunia)."
Interpretasi Klasik (Akhirat vs Dunia): Tafsir utama menyatakan bahwa ganjaran dan kedudukan Nabi di akhirat (surga, syafaat, Al-Kautsar) jauh lebih mulia dan abadi dibandingkan segala bentuk kenikmatan atau cobaan yang beliau hadapi di dunia. Ini adalah penghiburan abadi bagi beliau yang saat itu menghadapi kesulitan dakwah yang luar biasa di Mekah.
Interpretasi Kontemporer (Masa Depan vs Masa Lalu): Para mufassir juga melihat makna bahwa setiap fase kehidupan Nabi yang akan datang (seperti hijrah ke Madinah, kemenangan Islam, dan penyelesaian risalah) akan selalu lebih baik, lebih penuh kemenangan, dan lebih mudah daripada fase yang sedang atau telah beliau lalui. Ini adalah hukum kemajuan ilahi dalam perjalanan dakwah: kesulitan hari ini adalah fondasi bagi kemenangan esok hari. Ini memberikan perspektif optimisme yang luar biasa.
Ini adalah janji yang paling agung. Allah bersumpah bahwa Dia akan memberikan karunia-Nya kepada Nabi Muhammad ﷺ, dan karunia tersebut begitu besar, begitu sempurna, sehingga beliau akan menjadi puas (tarḍā).
Kata la-sawfa (dan kelak pasti) menegaskan kepastian janji yang akan terjadi di masa depan. Karunia yang dijanjikan ini meliputi:
Imam Al-Qurtubi mencatat bahwa ini adalah ayat terkuat yang menunjukkan kemuliaan Rasulullah, karena kepuasan yang dijanjikan Allah adalah kepuasan yang mencakup segala dimensi kehidupan dan akhirat. Selama Nabi belum puas, janji Allah akan terus dipenuhi.
Setelah memberikan janji masa depan yang menenangkan (Ayat 3-5), Allah mengingatkan Nabi tentang rahmat dan kasih sayang-Nya di masa lalu. Tiga ayat ini menggunakan pola pertanyaan retoris, "Bukankah Dia mendapatkanmu... lalu Dia...", yang berfungsi sebagai penegasan penuh hikmah.
Nabi Muhammad ﷺ lahir sebagai yatim (kehilangan ayah sebelum lahir) dan menjadi yatim piatu di usia muda (kehilangan ibu di usia enam tahun). Allah mengingatkan bahwa meskipun beliau adalah seorang yatim yang rentan, Dia tidak pernah membiarkannya terlantar. Perlindungan ini diwujudkan melalui kakeknya Abdul Muthalib, kemudian pamannya Abu Thalib, dan kemudian melalui pernikahan berkah dengan Khadijah RA.
Pelajaran: Kehilangan di masa lalu bukanlah tanda penolakan, melainkan panggung bagi manifestasi perlindungan ilahi yang luar biasa. Jika Allah telah melindungi di masa kecil, mustahil Dia meninggalkan di masa kenabian.
Kata ḍāllan (ضَالًّا) di sini tidak berarti tersesat dalam makna kemaksiatan, karena Nabi Muhammad ﷺ terjaga (ma'sum) dari dosa sebelum kenabian. Menurut Ibnu Abbas dan mufassir lain, maknanya adalah:
Allah kemudian memberinya petunjuk (hadā) melalui wahyu yang mengubah seluruh peradaban.
Pelajaran: Petunjuk spiritual terbesar datang setelah periode pencarian atau kebingungan. Kehidupan sebelum wahyu adalah persiapan ilahi untuk menerima cahaya. Bagi mukmin, rasa kehilangan arah adalah pendahulu dari petunjuk yang lebih jelas.
Kata ā'ilan (عَائِلًا) berarti miskin atau kekurangan harta. Nabi Muhammad ﷺ memulai hidupnya dalam keadaan sederhana. Allah memberinya kecukupan (aghnā) melalui pernikahan dengan Khadijah RA, seorang saudagar kaya, yang kemudian menggunakan hartanya untuk mendukung dakwah. Kecukupan ini juga dapat diartikan sebagai kekayaan hati (ghinā an-nafs) dan kekayaan spiritual yang lebih abadi daripada harta materi.
Pelajaran: Rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Allah menyediakan segala kebutuhan hamba-Nya yang berjuang. Pengingatan akan masa lalu ini menegaskan kembali prinsip Syukur: segala yang dimiliki hari ini adalah nikmat, bukan hasil semata-mata dari usaha sendiri.
Tiga ayat terakhir ini adalah transisi dari penghiburan ilahi dan pengingatan nikmat menuju tuntutan praktis. Karena engkau (Muhammad) telah menerima semua nikmat ini, maka kini engkau wajib bertindak sesuai dengan etika yang sama.
Setelah Allah mengingatkan bahwa Nabi sendiri adalah seorang yatim yang dilindungi, perintah pertama adalah memperlakukan anak yatim dengan baik. Taqhar (تَقْهَرْ) berarti menindas, menekan, atau memperlakukan dengan sewenang-wenang. Ini melarang segala bentuk perlakuan buruk, baik fisik, verbal, maupun emosional, terhadap mereka yang kehilangan figur pelindung.
Implikasi: Perintah ini menegaskan bahwa kasih sayang harus dipancarkan kepada mereka yang paling rentan. Etika Islam menempatkan perawatan anak yatim sebagai salah satu ibadah sosial tertinggi.
As-Sā’il (السَّائِلَ) adalah orang yang meminta-minta, baik dalam kebutuhan materi (miskin) maupun kebutuhan spiritual/ilmu (pencari ilmu atau petunjuk). Tanhar (تَنْهَرْ) berarti menghardik, memarahi, atau menolak dengan kasar.
Implikasi: Meskipun kita mungkin tidak selalu mampu memberikan apa yang diminta, adab luhur menuntut agar penolakan dilakukan dengan lembut dan sopan. Menghardik adalah perbuatan yang bertentangan dengan kasih sayang yang telah diterima Nabi dari Tuhannya.
Ayat penutup ini memerintahkan untuk menyatakan nikmat Tuhan (faḥaddits). Ini adalah perintah untuk bersyukur, bukan hanya dalam hati atau lisan, tetapi juga melalui tindakan nyata.
Bentuk Nyata Menyatakan Nikmat:
Surah Ad-Dhuha ditutup dengan perintah ini, menjadikan syukur sebagai puncak dari seluruh pengalaman spiritual yang terkandung dalam surah tersebut.
Surah Ad-Dhuha memberikan kerangka kerja teologis dan psikologis yang mendalam bagi umat Islam, terutama ketika menghadapi kemunduran, stagnasi, atau kekecewaan.
Sumpah dengan waktu dhuha dan malam menetapkan prinsip keseimbangan kosmis (sunnatullah). Tidak ada kegelapan yang abadi, dan tidak ada pula cahaya yang konstan tanpa jeda. Fase jeda wahyu yang dialami Nabi adalah analogi dari kesulitan hidup yang harus dilalui setiap mukmin. Jeda tersebut bukan akhir, melainkan bagian dari siklus yang membawa kepada kemudahan dan pencerahan yang lebih besar.
Ayat 3, "Tuhanmu tidak meninggalkanmu dan tidak pula membencimu," berfungsi sebagai penawar terhadap spiritualitas yang didominasi rasa bersalah atau ketakutan akan penolakan. Ini menegaskan konsep Rahmat Allah yang mendahului murka-Nya. Jika seseorang merasa jauh dari Allah, penyebabnya adalah kelalaian diri sendiri, bukan penolakan dari sisi Ilahi.
Surah ini mengajarkan bahwa fokus harus selalu tertuju pada hari esok yang lebih baik (akhirat atau fase kehidupan yang akan datang). Ini adalah dorongan untuk tidak terpaku pada kesulitan masa kini, karena Allah telah menjamin bahwa ganjaran dan kemudahan yang menanti akan jauh melampaui penderitaan yang sedang ditanggung.
Ayat 6-8 adalah pelajaran penting tentang bagaimana menghadapi krisis. Ketika Nabi merasa ditinggalkan, Allah tidak hanya memberikan janji, tetapi juga meminta beliau mengingat bukti nyata pertolongan masa lalu. Mengingat bagaimana Allah telah mengatasi masalah kita sebelumnya adalah cara paling efektif untuk membangun keyakinan bahwa Dia akan mengatasi masalah kita saat ini. Syukur adalah daya ungkit psikologis dan spiritual.
Ketika kamu merasa terpuruk, ingatlah: kamu tidak ditinggalkan. Kegelapan ini adalah sementara. Allah memiliki rencana yang lebih baik di masa depan. Gunakan pengalaman perlindungan masa lalu sebagai motivasi untuk berbuat baik kepada orang lain hari ini (anak yatim, peminta-minta), dan nyatakanlah segala nikmat yang telah kamu terima.
Transisi dari janji ilahi (Ayat 1-8) ke perintah moral (Ayat 9-11) adalah mekanisme Al-Qur'an untuk memastikan bahwa pengalaman spiritual harus diterjemahkan menjadi tindakan etis. Kasih sayang dan perlindungan yang diterima dari Tuhan wajib dipancarkan kembali kepada masyarakat.
Dua kelompok yang disebutkan secara spesifik (anak yatim dan peminta-minta) mewakili kelompok masyarakat yang paling lemah dan paling membutuhkan. Dalam masyarakat Arab pra-Islam, anak yatim seringkali menjadi korban penindasan atau perampasan harta warisan, dan peminta-minta (sā'il) seringkali diabaikan atau direndahkan.
Perintah untuk tidak menindas anak yatim dan tidak menghardik peminta-minta menjadikan belas kasih sebagai pilar utama iman. Ini bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban, yang merupakan respons praktis terhadap nikmat yang telah diterima Nabi.
Terdapat hubungan sebab-akibat yang jelas:
Dengan kata lain, Allah mengingatkan Nabi tentang kekurangan masa lalunya dan bagaimana Dia mengatasinya. Oleh karena itu, Nabi (dan umatnya) harus meniru atribut kasih sayang Ilahi dalam berinteraksi dengan orang-orang yang saat ini berada dalam posisi kekurangan yang sama seperti posisi Nabi di masa lalu.
Keindahan Surah Ad-Dhuha tidak hanya terletak pada maknanya, tetapi juga pada struktur bahasanya yang luar biasa, yang secara langsung memengaruhi emosi pendengar.
Surah ini menggunakan keseimbangan yang sempurna:
Struktur yang sangat teratur ini memberikan rasa kepastian dan ketenangan, seolah-olah seluruh realitas, dari kosmos hingga etika manusia, berada dalam tatanan yang stabil di bawah kendali Ilahi.
Surah ini mahir dalam menggunakan ketegangan waktu:
Transisi ini meyakinkan Nabi bahwa Tuhan yang telah menolongnya di masa lalu adalah Tuhan yang sama yang akan memberinya ganjaran di masa depan.
Kata 'Tuhanmu' (Rabbuka) diulang-ulang. Rabb berarti pengasuh, pemelihara, pendidik, dan pemilik. Penggunaan istilah ini di tengah krisis psikologis menekankan peran Allah bukan sebagai Hakim yang jauh, melainkan sebagai Pengasuh yang paling dekat dan paling bertanggung jawab atas kesejahteraan makhluk-Nya. Ini menguatkan nuansa kasih sayang Surah Ad-Dhuha.
Bagaimana surah ad dhuha dan artinya dapat diterapkan oleh umat Islam modern yang menghadapi tekanan pekerjaan, kesepian, atau stagnasi spiritual?
Ketika seseorang merasa 'mandek' secara spiritual (fatra), seperti Nabi yang mengalami jeda wahyu, Surah Ad-Dhuha memberikan metode mengatasi keputusasaan. Inti pesannya adalah: Jeda bukan penolakan. Waktu yang tenang adalah waktu bagi Tuhan untuk mempersiapkan ganjaran yang lebih besar. Daripada fokus pada kerugian hari ini, fokuslah pada janji kebaikan di masa depan.
Sangat penting untuk meniru metode pengingat di Ayat 6-8. Dalam situasi tertekan, kita cenderung melupakan masa-masa di mana Allah pernah menolong kita dari kesulitan besar. Melakukan refleksi rutin (seperti jurnal syukur) di mana kita mencatat bagaimana kita pernah 'yatim' (merasa rentan), 'bingung', atau 'kekurangan', dan bagaimana Allah 'melindungi', 'memberi petunjuk', dan 'memberi kecukupan', adalah terapi keimanan yang kuat.
Ayat 9 dan 10 adalah pengingat bahwa ibadah sosial adalah tolok ukur spiritualitas sejati. Seseorang tidak bisa mengklaim menerima nikmat Allah (Ayat 6-8) jika ia menindas atau merendahkan orang lain. Memastikan hak anak yatim, memberikan sedekah tanpa menghina, dan membantu mereka yang membutuhkan adalah cara untuk ‘membayar’ kembali nikmat perlindungan dan kecukupan yang telah kita terima.
Selain mempelajari tafsir surah ad dhuha dan artinya, pengamalan shalat sunnah Dhuha (yang dikerjakan pada waktu di mana surah ini bersumpah) adalah cara fisik untuk menyelaraskan diri dengan pesan surah tersebut. Shalat Dhuha adalah shalat yang menjanjikan kecukupan dan pengampunan, menghubungkan praktik ibadah dengan janji kecukupan yang terdapat dalam Ayat 8.
Surah Ad-Dhuha secara keseluruhan adalah surat cinta dari Sang Pencipta kepada hamba-Nya yang sedang bersedih. Ia adalah jaminan bahwa setelah malam yang sunyi, pasti akan terbit fajar yang terang, dan setiap langkah kesulitan adalah prelude menuju anugerah yang memuaskan. Dalam perjalanan iman, surah ini menjadi pelabuhan optimisme dan landasan etika kasih sayang.
Konsep *fatra* (jeda atau istirahat) yang menjadi sebab turunnya Surah Ad-Dhuha memiliki makna yang sangat relevan bagi pertumbuhan spiritual. Jeda wahyu bukan berarti Allah mengabaikan, melainkan adalah proses penempaan dan pematangan.
Setiap mukmin mengalami *fatra* spiritual. Ini bisa berupa penurunan semangat beribadah, rasa hampa, atau hilangnya kenikmatan dalam ketaatan. Jika Nabi Muhammad ﷺ—pribadi yang paling dicintai Allah—mengalami jeda, maka wajar jika kita juga mengalaminya. Surah Ad-Dhuha mengajarkan kita untuk tidak panik selama *fatra*. Sebaliknya, kita harus:
Melalui analisis surah ad dhuha dan artinya yang mendalam, kita menyadari bahwa surah ini menawarkan sebuah kurikulum lengkap untuk resiliensi (daya lenting) spiritual. Ia mengajar kita bagaimana menghadapi kegelapan dengan janji cahaya yang tak terhindarkan. Janji Ilahi bahwa "yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan" bukan sekadar kata-kata penghiburan, tetapi sebuah hukum universal dalam relasi antara Hamba dan Khaliq.
Semua aspek dari surah ini—dari sumpah kosmik, janji pribadi, pengingat sejarah, hingga perintah etis—merangkum esensi ajaran Islam: hidup adalah perjuangan yang diliputi Rahmat, dan respons terbaik terhadap Rahmat adalah syukur yang diwujudkan dalam kasih sayang terhadap sesama. Setiap kata dalam Surah Ad-Dhuha adalah penegasan bahwa Allah tidak pernah, dan tidak akan pernah, meninggalkan hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya.
Ketika jiwa merasa lelah dan semangat dakwah atau ketaatan terasa meredup, surah ini hadir sebagai pengingat abadi bahwa Allah SWT adalah *Rabbuka* (Tuhanmu, Pengasuhmu) yang tidak mungkin memutuskan hubungan denganmu. Dia sedang mempersiapkan ganjaran yang akan memuaskan hatimu sepenuhnya, karena Dia telah menjanjikannya: وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ.
Melalui pemahaman mendalam tentang surah ad dhuha dan artinya, setiap mukmin diajak untuk merefleksikan kembali perjalanan hidupnya. Jika di masa lalu Allah telah mampu mengubah kerentanan seorang yatim piatu menjadi pemimpin agung seluruh alam, maka Dia pasti mampu mengubah kesulitan pribadi kita hari ini menjadi fondasi bagi kemenangan dan kepuasan di masa depan.
Pelajaran-pelajaran dari Surah Ad-Dhuha adalah warisan tak ternilai. Ia mengajarkan kita untuk menyambut kesulitan dengan optimisme, mengingat nikmat dengan rasa syukur yang mendalam, dan merespons perlindungan Ilahi dengan tindakan nyata berupa kasih sayang dan keadilan terhadap mereka yang berada dalam kondisi rentan. Surah ini adalah peta jalan menuju kepuasan sejati, baik di dunia maupun di Akhirat.