Panduan Lengkap Seputar Doa Qunut dan Alternatifnya dalam Shalat Subuh

Ilustrasi orang berdoa saat shalat subuh Fajar Menyingsing

Shalat Subuh merupakan salah satu shalat fardhu yang memiliki keutamaan luar biasa. Waktunya yang berada di penghujung malam dan awal pagi menjadikannya saksi peralihan antara gelap dan terang. Salah satu amalan yang identik dengan shalat Subuh, khususnya di kalangan sebagian besar Muslim di Indonesia, adalah pembacaan doa qunut. Namun, amalan ini ternyata termasuk dalam ranah khilafiyah, yaitu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan: "Bagaimana jika saya tidak membaca doa qunut? Apakah shalat saya sah? Dan adakah bacaan pengganti doa qunut saat shalat Subuh?"

Artikel ini akan mengupas tuntas persoalan tersebut, mulai dari pemahaman mendasar tentang doa qunut, pandangan empat mazhab besar, hingga langkah-langkah yang perlu diambil ketika seseorang tidak membacanya, baik karena lupa maupun karena mengikuti pendapat yang tidak mensunnahkannya. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang jernih dan menumbuhkan sikap saling menghargai dalam menyikapi perbedaan pandangan fikih.

Memahami Hakikat Doa Qunut dalam Shalat Subuh

Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum dan alternatifnya, penting bagi kita untuk memahami apa sebenarnya doa qunut itu. Pemahaman yang baik akan menjadi pondasi untuk menyikapi perbedaan yang ada dengan bijaksana.

Definisi Qunut Secara Bahasa dan Istilah

Secara etimologi (bahasa), kata "qunut" (القنوت) dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, di antaranya adalah ketaatan, ketundukan, berdiri lama, diam, dan doa. Semua makna ini mengarah pada satu esensi, yaitu sikap penghambaan yang total kepada Allah SWT. Dalam konteks shalat, qunut adalah doa khusus yang dibaca pada waktu tertentu dengan posisi tertentu.

Secara terminologi (istilah syar'i), doa qunut adalah doa yang dibaca setelah bangkit dari ruku’ (i'tidal) pada rakaat terakhir. Praktik ini bisa dilakukan pada shalat Subuh, shalat Witir, dan juga saat terjadi musibah besar yang menimpa umat Islam (dikenal sebagai Qunut Nazilah).

Lafaz Doa Qunut yang Populer dan Maknanya

Lafaz doa qunut yang paling sering diajarkan dan dihafalkan adalah doa yang diriwayatkan diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada cucunya, Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma. Berikut adalah bacaan lengkapnya beserta transliterasi dan terjemahan agar kita dapat meresapi setiap permohonan yang terkandung di dalamnya.

اَللّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Allahummahdinii fiiman hadaiit, wa 'aafinii fiiman 'aafaiit, wa tawallanii fiiman tawallaiit, wa baarik lii fiimaa a'thaiit, wa qinii syarra maa qadhaiit, fa innaka taqdhii wa laa yuqdhaa 'alaiik, wa innahuu laa yadzillu man waalaiit, wa laa ya'izzu man 'aadaiit, tabaarakta rabbanaa wa ta'aalaiit, falakal hamdu 'alaa maa qadhaiit, astaghfiruka wa atuubu ilaiik.

Artinya: "Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana Engkau telah berikan petunjuk (kepada yang lain), berilah aku kesehatan sebagaimana Engkau telah berikan kesehatan (kepada yang lain), uruslah aku sebagaimana Engkau telah mengurus (orang lain), berilah berkah kepadaku atas apa yang telah Engkau berikan, dan peliharalah aku dari keburukan apa yang telah Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak ada yang bisa menentukan atas-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau berikan kekuasaan, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau. Bagi-Mu segala puji atas apa yang Engkau takdirkan. Aku memohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu."

Doa ini mengandung permohonan yang sangat komprehensif, mencakup permintaan petunjuk (hidayah), kesehatan ('afiyah), perlindungan (wilayah), keberkahan (barakah), dan penjagaan dari takdir yang buruk. Ini menunjukkan betapa dalamnya makna doa ini sebagai bentuk kepasrahan seorang hamba kepada Rabb-nya.

Hukum Doa Qunut Subuh: Perbedaan Pandangan Empat Mazhab

Inilah inti dari perbincangan mengenai qunut Subuh. Para ulama dari empat mazhab fikih utama (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) memiliki pandangan yang berbeda mengenai status hukumnya. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam memahami dan menilai dalil-dalil (hadis) yang berkaitan dengan praktik qunut yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

1. Pandangan Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i, yang mayoritas dianut oleh umat Islam di Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara lain, berpandangan bahwa membaca doa qunut pada rakaat kedua shalat Subuh hukumnya adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) atau disebut juga Sunnah Ab'ad. Ini berarti amalan ini memiliki penekanan kuat untuk dikerjakan, dan jika ditinggalkan (baik sengaja maupun lupa), dianjurkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi.

Dalil yang digunakan: Landasan utama mereka adalah hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh sampai beliau meninggal dunia." (HR. Ahmad, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi).

Meskipun sanad hadis ini diperdebatkan oleh sebagian ulama hadis, para ulama Syafi'iyah menganggapnya kuat dan menjadikannya sebagai hujjah (argumen) utama. Mereka juga berargumen bahwa praktik ini dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin setelah wafatnya Nabi, seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, yang menunjukkan kesinambungan amalan ini.

Bagi pengikut mazhab ini, meninggalkan qunut Subuh tidak membatalkan shalat, karena ia bukan termasuk rukun shalat. Namun, karena kedudukannya sebagai Sunnah Ab'ad, meninggalkannya dianggap sebagai sebuah kekurangan dalam shalat yang dianjurkan untuk "ditambal" dengan sujud sahwi di akhir shalat sebelum salam.

2. Pandangan Mazhab Maliki

Mazhab Maliki memiliki pandangan yang sedikit mirip dengan Mazhab Syafi'i. Mereka juga menganggap qunut Subuh sebagai amalan yang disunnahkan atau dianjurkan (Mandub/Mustahab). Namun, terdapat perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya.

Perbedaan utama: Imam Malik berpendapat bahwa qunut Subuh lebih utama dibaca secara sirr (pelan atau lirih), baik bagi imam maupun bagi yang shalat sendirian. Ini berbeda dengan Mazhab Syafi'i yang menganjurkan untuk membacanya secara jahr (keras) bagi imam. Dalil yang mereka gunakan juga berkisar pada riwayat-riwayat yang menunjukkan adanya praktik qunut Subuh, namun dengan interpretasi yang berbeda terkait cara pelaksanaannya.

3. Pandangan Mazhab Hanafi

Berbeda dengan dua mazhab sebelumnya, Mazhab Hanafi berpandangan bahwa qunut tidak disyariatkan untuk dibaca secara rutin pada shalat Subuh. Menurut mereka, qunut hanya disyariatkan pada shalat Witir dan saat terjadi nazilah (bencana atau musibah besar).

Dalil yang digunakan: Mereka bersandar pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Malik al-Asyja'i, yang bertanya kepada ayahnya, Sa'ad bin Thariq:

"Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini, di Kufah, selama sekitar lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut (pada shalat Subuh)?" Ayahnya menjawab: "Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (bid'ah)." (HR. Tirmidzi, ia berkata hadis ini hasan shahih).

Ulama Hanafiyah menafsirkan bahwa praktik qunut yang dilakukan Nabi pada shalat Subuh bersifat sementara, yaitu ketika mendoakan keburukan bagi suku-suku Arab yang membunuh para sahabat penghafal Al-Qur'an. Setelah itu, praktik tersebut ditinggalkan. Oleh karena itu, bagi pengikut mazhab ini, melakukan qunut Subuh secara rutin dianggap sebagai amalan yang tidak memiliki dasar yang kuat atau bahkan bisa dianggap makruh.

4. Pandangan Mazhab Hanbali

Pandangan Mazhab Hanbali serupa dengan Mazhab Hanafi. Mereka juga berpendapat bahwa qunut tidak disunnahkan untuk dilakukan secara rutin pada shalat Subuh. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa qunut hanya disyariatkan untuk shalat Witir dan saat Qunut Nazilah.

Dalil dan Argumen: Mereka juga menggunakan hadis dari Abu Malik al-Asyja'i sebagai dasar utama. Selain itu, mereka juga merujuk pada riwayat lain yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menghentikan praktik qunut pada shalat fardhu setelah periode tertentu. Jika seorang imam melakukan qunut Subuh, makmum yang bermazhab Hanbali dianjurkan untuk tetap mengikuti dengan mengaminkan doa imam demi menjaga persatuan shaf, namun mereka tidak meyakininya sebagai sunnah rutin.

Lupa atau Sengaja Tidak Membaca Doa Qunut, Apa Konsekuensinya?

Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami bahwa tindakan yang perlu diambil ketika tidak membaca doa qunut sangat bergantung pada pandangan fikih (mazhab) yang diikuti. Mari kita perinci lebih lanjut.

Jika Anda Mengikuti Mazhab Syafi'i atau Maliki

Bagi Anda yang meyakini qunut Subuh adalah sunnah, ada beberapa skenario:

Jika Anda Mengikuti Mazhab Hanafi atau Hanbali

Bagi Anda yang mengikuti pandangan bahwa qunut Subuh tidak disunnahkan secara rutin, maka tidak ada konsekuensi apapun jika Anda tidak membacanya. Justru, tidak membacanya adalah bentuk pengamalan dari keyakinan fikih Anda.

Adakah Bacaan "Pengganti" Doa Qunut? Menjelaskan Konsep Alternatif

Ini adalah pertanyaan yang sering muncul. Penting untuk diluruskan bahwa dalam terminologi fikih, tidak ada istilah "bacaan pengganti qunut" yang bersifat wajib atau formal. Artinya, tidak ada satu doa spesifik yang harus dibaca sebagai kompensasi jika qunut ditinggalkan.

Namun, jika yang dimaksud dengan "pengganti" adalah "bacaan alternatif apa yang bisa diamalkan jika saya tidak membaca qunut," maka jawabannya ada. Waktu i'tidal adalah salah satu momen di mana seorang hamba berdiri tegak di hadapan Rabb-nya, sehingga ia bisa memanfaatkan momen tersebut untuk memanjatkan doa-doa lain yang bersumber dari Al-Qur'an atau hadis, meskipun ini bukan sebuah keharusan.

Alternatif 1: Berdiri Tuma'ninah Lalu Langsung Sujud

Ini adalah alternatif yang paling sederhana dan paling sesuai dengan pandangan mazhab yang tidak mensunnahkan qunut Subuh. Setelah bangkit dari ruku' (i'tidal) dan membaca "Rabbanaa wa lakal hamd...", Anda cukup berdiri sejenak untuk memastikan tuma'ninah (diam sejenak hingga seluruh anggota badan tenang), lalu langsung bertakbir untuk sujud. Praktik ini sepenuhnya sah dan benar.

Alternatif 2: Membaca Doa-Doa Ma'tsur dari Al-Qur'an dan Hadis

Bagi yang ingin memperkaya ibadah shalatnya, waktu i'tidal yang singkat bisa diisi dengan doa-doa ringkas namun penuh makna. Doa-doa ini bukanlah pengganti formal qunut, melainkan amalan tambahan untuk menambah kekhusyuan. Berikut beberapa contohnya:

a. Doa Sapu Jagat (Rabbana Atina Fiddunya Hasanah)

Ini adalah doa yang paling sering dipanjatkan oleh Rasulullah SAW dan mencakup segala kebaikan dunia dan akhirat.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa 'adzaaban naar.

Artinya: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah: 201).

Membaca doa ini saat i'tidal adalah amalan yang baik karena ringkas, padat makna, dan bersumber langsung dari Al-Qur'an.

b. Doa Memohon Keteguhan Hati

Doa ini juga bersumber dari Al-Qur'an, berisi permohonan agar hati kita senantiasa teguh di atas hidayah Allah.

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Rabbanā lā tuzig qulūbanā baʿda iż hadaitanā wa hab lanā mil ladunka raḥmah, innaka antal-wahhāb.

Artinya: "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali 'Imran: 8).

c. Doa Memohon Pertolongan untuk Beribadah

Ini adalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Mu'adz bin Jabal untuk dibaca di akhir setiap shalat. Meskipun konteksnya di akhir shalat, maknanya yang agung sangat cocok dipanjatkan kapan saja.

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatik.

Artinya: "Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbagus ibadahku kepada-Mu."

Penting untuk ditekankan sekali lagi, membaca doa-doa di atas saat i'tidal bukanlah sebuah kewajiban atau pengganti resmi dari qunut. Ini hanyalah alternatif amalan bagi siapa saja yang ingin mengisi waktu i'tidal dengan zikir dan doa tanpa terikat dengan doa qunut yang spesifik.

Sujud Sahwi: "Penebus" Kelupaan dalam Shalat

Bagi yang mengikuti pandangan disunnahkannya qunut, sujud sahwi adalah solusi yang diajarkan oleh Rasulullah SAW untuk menutupi kelupaan atau kekurangan dalam shalat. Memahami tata caranya adalah hal yang penting.

Apa itu Sujud Sahwi?

Sujud sahwi secara bahasa berarti sujud karena lupa. Secara istilah, ia adalah dua sujud yang dilakukan di akhir shalat untuk menutupi kesalahan yang terjadi dalam shalat karena lupa, seperti meninggalkan sunnah ab'ad, kelebihan rakaat, atau ragu-ragu dalam jumlah rakaat.

Tata Cara Pelaksanaan Sujud Sahwi

Cara yang paling umum dan dianjurkan, khususnya dalam konteks meninggalkan qunut menurut Mazhab Syafi'i, adalah melakukannya sebelum salam. Berikut adalah langkah-langkahnya:

  1. Setelah selesai membaca tasyahud akhir (tahiyat akhir), shalawat Ibrahimiyah, dan doa setelahnya, jangan langsung salam.
  2. Bertakbir (mengucapkan "Allahu Akbar") lalu sujud seperti sujud biasa dalam shalat.
  3. Saat sujud, dianjurkan membaca doa khusus sujud sahwi:
    سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

    Subhaana man laa yanaamu wa laa yashuu.

    Artinya: "Maha Suci Dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa."

    Anda juga bisa membaca tasbih sujud biasa (Subhaana rabbiyal a'laa wa bihamdih).
  4. Bangkit dari sujud pertama dan duduk di antara dua sujud (duduk iftirasy), lalu membaca doa duduk di antara dua sujud atau cukup diam sejenak (tuma'ninah).
  5. Bertakbir lagi dan melakukan sujud kedua, membaca bacaan yang sama seperti pada sujud pertama.
  6. Bangkit dari sujud kedua dan langsung mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri untuk mengakhiri shalat.

Hikmah Disyariatkannya Sujud Sahwi

Sujud sahwi mengajarkan beberapa pelajaran berharga. Pertama, ia adalah pengakuan atas sifat manusiawi kita yang penuh dengan kelemahan dan kelupaan. Kedua, ia menunjukkan betapa luasnya rahmat Allah yang memberikan jalan keluar untuk memperbaiki ibadah kita. Ketiga, sujud ini merupakan bentuk perlawanan terhadap bisikan setan yang seringkali menjadi penyebab kelupaan dalam shalat, sehingga sujud ini dianggap "menghinakan" setan.

Sikap Bijak dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat (Khilafiyah)

Masalah qunut Subuh adalah contoh klasik dari khilafiyah fiqhiyyah. Semua pandangan yang telah dipaparkan di atas berasal dari ijtihad para ulama besar yang didasarkan pada pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an dan Sunnah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berniat menyalahi ajaran Rasulullah SAW.

Prinsip Utama: Saling Menghormati

Sikap yang paling tepat adalah saling menghormati dan berlapang dada. Jika Anda meyakini qunut Subuh adalah sunnah, amalkanlah tanpa merendahkan mereka yang tidak mengamalkannya. Sebaliknya, jika Anda meyakini qunut Subuh tidak disunnahkan, jangan menganggap aneh atau salah mereka yang melakukannya. Fokuslah pada persatuan umat dan esensi ibadah, yaitu ketundukan kepada Allah.

Bagaimana Jika Menjadi Makmum dari Imam yang Berbeda Pandangan?

Ini adalah situasi yang sangat umum terjadi. Kaidah emas dalam shalat berjamaah adalah "makmum wajib mengikuti imam."

Kaidah "Hukmul imam yarfa'ul khilaf" (keputusan imam mengangkat perselisihan) berlaku di sini. Dalam konteks shalat berjamaah, gerakan imam menjadi pemersatu yang harus diikuti oleh semua makmum, terlepas dari perbedaan pandangan fikih individu.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang mendalam, dapat kita simpulkan beberapa poin penting terkait pertanyaan seputar pengganti doa qunut Subuh:

  1. Hukum Qunut Subuh adalah Khilafiyah: Mazhab Syafi'i dan Maliki mensunnahkannya, sementara Mazhab Hanafi dan Hanbali tidak mensunnahkannya untuk dibaca secara rutin. Semua pendapat ini memiliki dasar ijtihad yang kuat dan patut dihormati.
  2. Tidak Ada "Pengganti" Formal: Secara fikih, tidak ada bacaan atau doa spesifik yang ditetapkan sebagai pengganti wajib jika seseorang tidak membaca qunut. Shalat tetap sah tanpanya.
  3. Sujud Sahwi sebagai Solusi Lupa: Bagi yang meyakini kesunnahannya (misalnya pengikut Mazhab Syafi'i), meninggalkan qunut karena lupa dianjurkan untuk ditutup dengan sujud sahwi sebelum salam.
  4. Alternatif Amalan: Jika tidak membaca qunut, alternatifnya adalah langsung sujud setelah tuma'ninah dalam i'tidal. Atau, bisa juga mengisi waktu i'tidal yang singkat dengan doa-doa ma'tsur dari Al-Qur'an dan hadis sebagai amalan tambahan, bukan sebagai pengganti yang bersifat keharusan.
  5. Sikap Toleransi adalah Kunci: Hal yang terpenting adalah menjaga kekhusyuan shalat, menyempurnakan rukun dan wajibnya, serta bersikap lapang dada terhadap perbedaan pandangan fikih di antara umat Islam.

Semoga penjelasan ini memberikan pencerahan dan menuntun kita untuk beribadah dengan lebih tenang, lebih berilmu, dan lebih bijaksana dalam menyikapi perbedaan. Wallahu a'lam bish-shawab.

🏠 Kembali ke Homepage