Tafsir Terperinci, Keutamaan, dan Pelajaran dari 30 Ayat Suci
Surah Al Mulk, yang berarti 'Kerajaan' atau 'Kekuasaan', adalah surah ke-67 dalam Al-Qur'an. Surah ini terdiri dari 30 ayat dan termasuk dalam golongan Surah Makkiyah, diturunkan pada periode awal dakwah Rasulullah ﷺ di Makkah. Dinamakan Al Mulk karena fokus utamanya adalah menegaskan otoritas mutlak dan kedaulatan Allah SWT atas seluruh ciptaan.
Surah ini memiliki nama lain yang masyhur, yaitu Tabarak (Yang Maha Suci), diambil dari kata pembuka surah. Selain itu, surah ini juga dikenal sebagai Al-Waqiyah (Penjaga), Al-Munjiyyah (Penyelamat), dan Al-Māni'ah (Pencegah), karena keutamaannya yang sangat besar dalam melindungi pembacanya, khususnya dari siksa kubur.
Alt Text: Simbol Kekuasaan Ilahi berupa matahari emas bertuliskan 'Al Mulk' di atas dasar yang kokoh.
Tema sentral dari Surah Al Mulk adalah Tauhid (Keesaan Allah), kekuasaan-Nya yang tak terbatas, dan kepastian hari akhir. Surah ini mengajak manusia untuk merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah (Ayatullah Al-Kawniah) di alam semesta sebagai bukti yang tidak terbantahkan atas kebenaran risalah Islam dan ancaman bagi para pendusta.
Surah Al Mulk menempati posisi yang sangat istimewa dalam tradisi Islam, terutama berkaitan dengan perlindungan di alam barzakh (kubur). Hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ menekankan pentingnya membaca surah ini secara rutin:
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya ada satu surah dalam Al-Qur'an, terdiri dari 30 ayat, yang memberi syafa'at (pertolongan) kepada pemiliknya sampai ia diampuni: (yaitu) 'Tabarakalladzi biyadihil Mulk'." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dinilai Hasan)
Keutamaan ini menjadikan Surah Al Mulk sebagai rutinitas malam yang dianjurkan. Syafa'at yang dimaksudkan di sini bekerja sebagai pencegah (Al-Mani'ah) siksa kubur. Siksa kubur adalah fase pertama dari kehidupan akhirat, dan siapa pun yang diselamatkan dari fase ini akan lebih mudah menghadapi fase-fase berikutnya.
Diriwayatkan dari Jabir r.a., bahwa Nabi ﷺ tidak tidur pada malam hari kecuali setelah membaca Alif Lam Mim Tanzil (As-Sajdah) dan Tabarakalladzi biyadihil Mulk (Al Mulk). (HR. At-Tirmidzi)
Hal ini menunjukkan bahwa membaca dua surah ini sebelum tidur adalah sunnah yang ditekankan oleh Rasulullah ﷺ, mengisyaratkan bahwa membaca keduanya membawa keberkahan dan perlindungan sepanjang malam, serta persiapan spiritual sebelum bertemu dengan kematian sementara (tidur).
Walaupun surah ini berjumlah pendek, kekuatannya dalam memberikan syafa'at mencakup pengampunan dosa-dosa kecil yang mungkin dilakukan. Para ulama menjelaskan bahwa syafa'at ini diberikan kepada mereka yang tidak hanya sekadar membaca lisan, tetapi juga merenungkan maknanya dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Kondisi syafa'at Surah Al Mulk dijelaskan terjadi ketika manusia diletakkan di dalam kuburnya, tempat di mana tidak ada lagi penolong. Surah ini datang menyerupai seorang pembela yang berargumen di hadapan Allah untuk keselamatan pembacanya. Proses pembelaan ini berlanjut sampai orang tersebut dikeluarkan dari kubur dalam keadaan aman dan diampuni.
Inti dari keutamaan ini adalah bahwa Surah Al Mulk berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan hamba dengan rahmat Allah, mengingatkannya akan kekuasaan-Nya, sehingga hamba tersebut menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan ketakwaan. Kesadaran inilah yang pada akhirnya menjadi penyebab dihindarkannya siksa kubur.
Terjemah: Mahasuci Allah yang menguasai (segala) kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Kata تَبَارَكَ (Tabarak) menunjukkan kesucian yang tiada tara, keberkahan yang tak berkesudahan, dan ketinggian martabat. Ini adalah pujian tertinggi yang menegaskan bahwa Allah adalah sumber segala kebaikan dan kemuliaan. Frasa بِيَدِهِ الْمُلْكُ (biyadihil Mulk) – di tangan-Nyalah kekuasaan – bukan merujuk pada tangan fisik, melainkan metafora bagi kepemilikan mutlak dan pengawasan penuh. Segala bentuk kekuasaan di langit dan di bumi, dari skala kosmik hingga detail terkecil dalam kehidupan individu, berada di bawah kendali-Nya. Ayat ini menetapkan fondasi Surah: Allah adalah Penguasa Absolut, dan Dia قَدِيرٌ (Qadir) – Mahakuasa atas segalanya.
Terjemah: Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.
Ayat ini menjelaskan tujuan di balik penciptaan dua fenomena fundamental: kematian (الْمَوْتَ) dan kehidupan (وَالْحَيَاةَ). Urutan penyebutan kematian sebelum kehidupan menarik perhatian ulama tafsir, yang menafsirkan bahwa kematian adalah realitas yang mendahului kehidupan manusia (sebagai ketiadaan sebelum kelahiran) dan merupakan pintu gerbang menuju kehidupan abadi. Tujuan utama dari siklus hidup dan mati ini adalah لِيَبْلُوَكُمْ (li yabluwakum) – untuk menguji kalian. Ujian ini bukan pada seberapa banyak amal, tetapi seberapa أَحْسَنُ عَمَلًا (ahsan 'amalan) – paling baik amalnya. Kualitas amal (ikhlas dan sesuai sunnah) lebih penting daripada kuantitas. Ayat ditutup dengan dua sifat: العَزِيزُ (Al-'Aziz), Mahaperkasa (kekuatan untuk menghukum), dan الْغَفُورُ (Al-Ghafur), Maha Pengampun (kasih sayang bagi yang bertobat), menyeimbangkan antara harapan dan rasa takut.
Terjemah: Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?
Allah menciptakan سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا (sab'a samāwātin ṭibāqan) – tujuh langit berlapis-lapis (atau bertingkat-tingkat). Angka tujuh seringkali melambangkan kesempurnaan dan banyak lapisan. Penekanan diletakkan pada kesempurnaan penciptaan. Frasa مِن تَفَاوُتٍ (min tafāwut) berarti tidak ada ketidakseimbangan, ketidakcocokan, atau kekurangan. Semuanya diciptakan dengan harmoni dan proporsi yang luar biasa. Ayat ini menantang manusia: فَارْجِعِ الْبَصَرَ (farji'il baṣara) – kembalikan pandanganmu, perhatikan lagi. Apakah kamu dapat menemukan فُطُورٍ (fuṭūr) – celah, keretakan, atau kecacatan?
Terjemah: Kemudian ulangi pandangan (mu) sekali lagi dan sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu dengan kegagalan (tanpa menemukan cacat) dan dalam keadaan letih.
Tantangan ini diulang: perhatikan langit bukan hanya sekali, tetapi كَرَّتَيْنِ (karrataini) – berulang kali. Hasilnya pasti sama: pandanganmu akan kembali خَاسِئًا (khāsi'an) – hina, gagal, tidak mampu menemukan cacat sedikit pun. Pandangan itu kembali dalam keadaan حَسِيرٌ (ḥasīr) – letih, lelah. Ini adalah bukti retorika yang kuat tentang kesempurnaan mutlak desain Allah, yang tidak bisa ditandingi oleh analisis manusia mana pun.
Terjemah: Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka Sa'ir yang menyala-nyala.
Langit yang paling dekat dengan bumi (السَّمَاءَ الدُّنْيَا) dihiasi dengan بِمَصَابِيحَ (bi maṣābīḥa) – lampu-lampu (bintang-bintang). Bintang memiliki dua fungsi: fungsi kosmik (keindahan dan penerangan) dan fungsi eskatologis: رُجُومًا لِّلشَّيَاطِينِ (rujūman lisy-syayāṭīn) – sebagai pelempar (panah) bagi setan-setan yang mencoba mencuri dengar berita dari langit. Ayat ini menghubungkan keindahan dunia dengan persiapan hukuman akhirat, yang disiapkan untuk setan dan pengikutnya: عَذَابَ السَّعِيرِ (ʿadhābas-Sa'īr) – azab Neraka Sa'ir yang berkobar-kobar.
Alt Text: Ilustrasi galaksi dan bintang di langit malam, melambangkan penciptaan kosmos yang sempurna.
Bagian ini beralih dari kekuasaan di alam semesta menuju konsekuensi bagi mereka yang menolak kekuasaan tersebut, menggambarkan kengerian Neraka.
Terjemah: Dan bagi orang-orang yang ingkar kepada Tuhannya, akan mendapat azab Jahannam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat ini menyebutkan secara spesifik hukuman bagi الَّذِينَ كَفَرُوا (alladzīna kafarū) – orang-orang yang mengingkari (menutup kebenaran) Tuhan mereka, yaitu Neraka Jahannam. Frasa وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (wa bi'sal-maṣīr) adalah penegasan yang kuat: itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali, menggambarkan kepastian dan kekekalan hukuman tersebut.
Terjemah: Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar suara Neraka yang mengerikan, sedang Neraka itu menggelagak.
Saat para pendusta dilemparkan (أُلْقُوا) ke dalam Neraka, mereka mendengar suara yang sangat mengerikan: شَهِيقًا (syahīqan), yaitu suara tarikan nafas yang keras, seperti raungan keledai yang menyakitkan atau jeritan yang memilukan. Neraka itu sendiri digambarkan sebagai تَفُورُ (tafūru) – mendidih atau menggelegak, menunjukkan intensitas panas dan kemarahan api tersebut.
Terjemah: Hampir-hampir (Neraka itu) terpecah-pecah karena marah. Setiap kali sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (Neraka itu) bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?"
Neraka digambarkan memiliki kemarahan (الْغَيْظِ) yang begitu besar hingga hampir terpecah belah (تَكَادُ تَمَيَّزُ). Ini adalah personifikasi Neraka sebagai entitas yang hidup dan penuh murka. Setiap kali rombongan baru dilempar, malaikat penjaga (خَزَنَتُهَا) segera mengajukan pertanyaan retoris yang menghukum: Apakah kalian tidak pernah didatangi seorang نَذِيرٌ (nadhīr) – pemberi peringatan (rasul atau nabi)?
Terjemah: Mereka menjawab, "Benar, sungguh telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, namun kami mendustakannya dan kami katakan: Allah tidak menurunkan sesuatu pun; kamu tidak lain hanyalah berada dalam kesesatan yang besar."
Ini adalah pengakuan jujur di Neraka. Mereka mengakui bahwa peringatan telah datang (بَلَىٰ قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ), tetapi mereka menolaknya (فَكَذَّبْنَا) dan bahkan menuduh para Rasul dengan mengatakan مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِن شَيْءٍ (mā nazzalallāhu min syay’in) – Allah tidak menurunkan sesuatu pun. Mereka balik menuduh para rasul berada dalam ضَلَالٍ كَبِيرٍ (ḍalālin kabīr) – kesesatan yang besar. Penyesalan ini datang terlambat, setelah mereka melihat kenyataan azab.
Terjemah: Dan mereka berkata, "Sekiranya dahulu kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka Sa'ir yang menyala-nyala."
Para penghuni Neraka menyesali kegagalan fungsi akal dan panca indera mereka. Mereka mengakui bahwa jika mereka menggunakan نَسْمَعُ (nasma'u) – pendengaran (untuk menerima wahyu) atau نَعْقِلُ (na'qilu) – akal (untuk memproses kebenaran), mereka tidak akan menjadi أَصْحَابِ السَّعِيرِ (aṣḥābis-Sa'īr) – penghuni neraka yang membakar. Ayat ini menekankan bahwa akal dan pendengaran adalah alat krusial untuk menerima hidayah.
Terjemah: Maka mereka mengakui dosa-dosa mereka. Tetapi jauhkanlah (dari rahmat Allah) bagi penghuni neraka Sa'ir itu!
Mereka akhirnya فَاعْتَرَفُوا بِذَنبِهِمْ (fa'tarafū bidhanbihim) – mengakui dosa mereka. Namun, pengakuan ini tidak lagi bermanfaat. Hukuman penutup adalah فَسُحْقًا (fasuḥqan) – hukuman kebinasaan, atau makna menjauhkan mereka sejauh-jauhnya dari rahmat Allah. Ini adalah akhir yang menyedihkan bagi mereka yang menolak kekuasaan dan peringatan Allah.
Setelah menggambarkan kengerian bagi pendusta, Surah ini memberikan kontras yang penuh harapan bagi orang-orang yang beriman.
Terjemah: Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka, padahal mereka tidak melihat-Nya (dengan mata kepala), mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
Kunci dari ayat ini adalah يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِالْغَيْبِ (yakhsyauna Rabbahum bil-Ghaib) – mereka yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib. Ini adalah manifestasi tertinggi dari iman: takut kepada Allah saat sendirian, ketika tidak ada manusia lain yang melihat. Rasa takut yang tulus ini melahirkan ketakwaan yang sejati. Balasannya adalah مَّغْفِرَةٌ (maghfiratun) – ampunan, dan أَجْرٌ كَبِيرٌ (ajrun kabīr) – pahala yang besar (Surga).
Terjemah: Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah, sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.
Ayat ini menegaskan pengawasan Allah yang total. Baik jika kita وَأَسِرُّوا (asirrū) – merahasiakan ucapan, maupun اجْهَرُوا (ijharū) – menyatakannya, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Lebih dari itu, Dia mengetahui بِذَاتِ الصُّدُورِ (bi dzātis-ṣudūr) – segala yang ada di dalam dada (hati), termasuk niat, pikiran, dan rahasia terdalam. Ini memperkuat konsep muraqabah (merasa diawasi oleh Allah).
Terjemah: Tidakkah Allah yang menciptakan itu mengetahui? Padahal Dia Maha Halus, Maha Mengetahui.
Ini adalah pertanyaan logis yang sangat tajam: أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ (alā ya'lamu man khalaqa) – Tidakkah Dia yang menciptakan mengetahui (ciptaan-Nya)? Tentu saja Dia tahu. Ayat ini ditutup dengan dua nama indah Allah: اللَّطِيفُ (Al-Laṭīf), Maha Halus (Mengetahui hal-hal terkecil, tidak terlihat, dan tersembunyi), dan الْخَبِيرُ (Al-Khabīr), Maha Mengetahui (Pengetahuannya meliputi semua yang tampak dan tersembunyi).
Surah ini kemudian mengalihkan perhatian dari langit dan kegaiban hati ke bumi yang kita pijak dan tubuh kita sendiri.
Terjemah: Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan.
Bumi dijadikan ذَلُولًا (dhalūlan) – tunduk, mudah dikuasai, atau lunak. Artinya, bumi tidak keras atau liat sehingga manusia kesulitan hidup di atasnya. Allah memerintahkan: فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا (famsyū fī manākibihā) – berjalanlah di atas bahu-bahu (atau penjuru) bumi. Ini adalah dorongan untuk bekerja keras, berdagang, dan mencari rezeki (وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ). Ayat ini menyeimbangkan antara usaha duniawi dan kesadaran akhirat, ditutup dengan peringatan: وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (wa ilaihin-nusyūr) – hanya kepada-Nyalah tempat kembali (kebangkitan).
Terjemah: Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit, bahwa Dia tidak akan membenamkan bumi bersama kamu, sehingga tiba-tiba ia berguncang?
Setelah menunjukkan kemudahan bumi, Allah bertanya secara retoris tentang keamanan dari hukuman-Nya. مَّن فِي السَّمَاءِ (Man fis-samā'i) merujuk kepada Allah yang berada di atas seluruh ciptaan-Nya. Pertanyaannya adalah, apakah kamu yakin Dia tidak akan أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ (an yakhsifa bikumul-arḍa) – membenamkan kamu bersama bumi, yang kemudian tiba-tiba تَمُورُ (tamūru) – berguncang dan bergerak? Ini adalah peringatan keras tentang gempa bumi dan bencana sebagai bentuk hukuman-Nya di dunia.
Terjemah: Atau apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit, bahwa Dia tidak akan mengirimkan badai batu kepadamu? Kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat) peringatan-Ku!
Peringatan kedua: apakah kamu merasa aman dari حَاصِبًا (ḥāṣiban) – angin kencang yang membawa batu, seperti yang menimpa kaum-kaum terdahulu? Jika hukuman ini datang, mereka akan menyadari betapa benarnya نَذِيرِ (nadhīr) – peringatan Allah yang telah disampaikan melalui para nabi. Pengetahuan ini datang bersamaan dengan datangnya azab.
Terjemah: Dan sungguh, orang-orang sebelum mereka pun telah mendustakan. Maka betapa hebatnya kemurkaan-Ku!
Ayat ini merujuk kepada nasib kaum-kaum terdahulu yang mendustakan (كَذَّبَ) para rasul, seperti kaum Nuh, ‘Ad, dan Tsamud. Allah kemudian bertanya secara retoris: فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ (fakayfa kāna nakīr) – maka betapa hebatnya kemurkaan-Ku! (Nakīr di sini berarti penolakan atau hukuman keras atas penolakan mereka).
Terjemah: Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain (Allah) Yang Maha Pengasih. Sungguh, Dia Maha Melihat segala sesuatu.
Ayat ini kembali ke bukti penciptaan, kali ini fokus pada burung (الطَّيْرِ). Mereka terbang صَافَّاتٍ (ṣāffātin) – mengembangkan sayap, dan وَيَقْبِضْنَ (wa yaqbiḍna) – mengatupkannya. Siapakah yang menahan burung di udara melawan gravitasi? إِلَّا الرَّحْمَٰنُ (illār-Raḥmān) – kecuali Yang Maha Pengasih. Kekuatan yang menahan burung adalah manifestasi dari Rahmat Allah. Ini adalah ajakan untuk merenungkan keajaiban aerodinamika ciptaan yang terus-menerus disaksikan manusia.
Terjemah: Atau siapakah dia yang menjadi bala tentara bagimu yang dapat menolong kamu selain (Allah) Yang Maha Pengasih? Orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah dalam keadaan tertipu.
Ayat ini menantang kaum musyrik yang bergantung pada sekutu atau kekuatan duniawi. Siapakah yang bisa menjadi جُندٌ لَّكُمْ (jundun lakum) – bala tentara atau penolong, selain Allah? Tidak ada. Ayat ini menyimpulkan bahwa pengandalan pada selain Allah adalah غُرُورٍ (ghurūr) – tipuan, ilusi, atau kesombongan yang menipu diri sendiri.
Terjemah: Atau siapakah dia yang memberi rezeki kepadamu jika Dia menahan rezeki-Nya? Bahkan mereka terus-menerus berada dalam kesombongan dan berpaling.
Tantangan kedua: siapa yang dapat menyediakan يَرْزُقُكُمْ (yarzuqukum) – rezeki, jika Allah أَمْسَكَ رِزْقَهُ (amsaka rizqahu) – menahan rezeki-Nya? Jawabannya jelas: tidak ada. Meskipun bukti rezeki Allah jelas, para pendusta لَّجُّوا (lajjū) – terus-menerus dalam عُتُوٍّ (ʿutuwwin) – kesombongan dan نُفُورٍ (nufūrin) – penolakan atau lari dari kebenaran.
Terjemah: Maka apakah orang yang berjalan terjungkal dengan wajahnya lebih mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegak di atas jalan yang lurus?
Perumpamaan yang kontras antara orang kafir dan orang beriman. Orang kafir diibaratkan berjalan مُكِبًّا عَلَىٰ وَجْهِهِ (mukibban 'alā wajhihi) – tersungkur dengan wajahnya, yaitu berjalan tanpa arah, terhalang oleh kebutaan spiritual, dan terus jatuh. Sementara orang beriman digambarkan يَمْشِي سَوِيًّا (yamsyī sawiyyan) – berjalan tegak, lurus, dan seimbang di atas صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (ṣirāṭin mustaqīm) – jalan yang lurus. Perbandingan ini menegaskan superioritas jalan hidayah.
Terjemah: Katakanlah (Muhammad), "Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati nurani bagi kamu. Tetapi sedikit sekali kamu bersyukur."
Allah meminta Nabi Muhammad ﷺ untuk mengingatkan bahwa Dialah yang أَنشَأَكُمْ (ansya’akum) – menciptakan dan memulai keberadaan mereka. Dia membekali manusia dengan alat esensial untuk hidayah: السَّمْعَ (as-sam'a) – pendengaran, وَالْأَبْصَارَ (wal-abṣāra) – penglihatan, dan وَالْأَفْئِدَةَ (wal-af'idah) – hati nurani/akal. Namun, meskipun menerima nikmat fundamental ini, manusia قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ (qalīlan mā tasykurūn) – hanya sedikit yang bersyukur. Ayat ini mengaitkan kegagalan akal (Ayat 10) dengan kurangnya rasa syukur.
Bagian terakhir Surah ini berfokus pada akhir perjalanan manusia: kebangkitan, Hari Kiamat, dan sumber kehidupan (air).
Terjemah: Katakanlah, "Dialah yang menciptakan dan mengembangkan kamu di bumi, dan hanya kepada-Nya lah kamu akan dihimpunkan."
Pengulangan penegasan kekuasaan Allah: Dia yang ذَرَأَكُمْ (dzara'akum) – menyebar dan mengembangkan kehidupan manusia di bumi, Dialah pula yang akan menghimpunkan (تُحْشَرُونَ) mereka pada Hari Kiamat. Kekuasaan untuk menciptakan adalah bukti kekuasaan untuk membangkitkan kembali.
Terjemah: Dan mereka bertanya, "Kapankah (datangnya) ancaman itu, jika kamu orang-orang yang benar?"
Ini adalah pertanyaan sinis para pendusta Makkah yang menantang Nabi ﷺ. Mereka menanyakan مَتَىٰ هَٰذَا الْوَعْدُ (matā hādzal-wa'du) – kapan janji (Kiamat) ini akan terjadi? Pertanyaan ini menunjukkan keraguan dan ejekan mereka terhadap hari kebangkitan.
Terjemah: Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya ilmu (tentang hari Kiamat itu) hanya ada pada Allah. Dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."
Nabi diperintahkan untuk menjawab bahwa إِنَّمَا الْعِلْمُ عِندَ اللَّهِ (innamal-'ilmu 'indallāhi) – pengetahuan tentang waktu pasti Kiamat adalah rahasia mutlak Allah. Tugas Nabi bukanlah menetapkan waktu, tetapi menjadi نَذِيرٌ مُّبِينٌ (nadhīrun mubīn) – pemberi peringatan yang jelas dan gamblang. Fokus harusnya pada kesiapan, bukan pada waktu kedatangan.
Terjemah: Maka ketika mereka melihat azab itu sudah dekat, wajah orang-orang kafir menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), "Inilah (azab) yang dahulu kamu tuntut (agar disegerakan)."
Ayat ini menggambarkan detik-detik menjelang Kiamat. Ketika azab terlihat زُلْفَةً (zulfatan) – sangat dekat, wajah-wajah orang kafir سِيئَتْ وُجُوهُهُمْ (sī'at wujūhuhum) – menjadi buruk, muram, dan penuh ketakutan. Mereka diolok-olok dengan perkataan: هَٰذَا الَّذِي كُنتُم بِهِ تَدَّعُونَ (hādhā alladhī kuntum bihi tadda'ūn) – Inilah yang kalian minta disegerakan!
Terjemah: Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku, jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku, atau memberi rahmat kepada kami, maka siapakah yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?"
Ayat ini adalah tantangan yang menohok. Para musyrik sering mengharapkan kematian Nabi ﷺ. Allah memerintahkan Nabi untuk mengatakan: Bahkan jika aku dan pengikutku meninggal (أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ), atau kami mendapat rahmat (أَوْ رَحِمَنَا), hal itu tidak akan mengubah nasibmu. فَمَن يُجِيرُ الْكَافِرِينَ (fa man yujīrul-kāfirīn) – siapakah yang dapat melindungi orang kafir dari عَذَابٍ أَلِيمٍ (ʿadhābin alīm) – azab yang pedih? Kematian Nabi tidak akan menghentikan takdir Kiamat.
Terjemah: Katakanlah, "Dialah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahman), kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata."
Ini adalah deklarasi iman yang tegas. Nabi dan orang beriman menyatakan bahwa mereka beriman kepada هُوَ الرَّحْمَٰنُ (Huwar-Raḥmān) – Allah Yang Maha Pengasih, dan hanya kepada-Nya mereka تَوَكَّلْنَا (tawakkalnā) – bertawakal (berserah diri). Tantangan ditutup dengan ancaman: فَسَتَعْلَمُونَ (fasata'lamūna) – kamu pasti akan tahu, siapa sebenarnya yang berada dalam ضَلَالٍ مُّبِينٍ (ḍalālin mubīn) – kesesatan yang nyata, di Hari Kiamat nanti.
Terjemah: Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika sumber airmu menjadi kering (hilang ke dalam tanah), maka siapa yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?"
Surah ini ditutup dengan tantangan yang sangat mendasar dan vital: air. Jika air tanah (مَاؤُكُمْ) kalian tiba-tiba menjadi غَوْرًا (ghawran) – tenggelam atau sangat jauh di bawah tanah, siapa yang dapat mendatangkan kembali بِمَاءٍ مَّعِينٍ (bimā'in ma'īn) – air yang mengalir, jernih, dan mudah diakses? Jawabannya, sekali lagi, adalah 'Tidak Ada' selain Allah. Ayat ini adalah pengingat kuat bahwa hidup kita bergantung pada nikmat rezeki dasar dari Sang Penguasa Mutlak, yang telah Dia tegaskan sejak Ayat 1.
Untuk memahami Surah Al Mulk secara utuh, kita perlu melihat bagaimana Surah ini secara sistematis membangun argumen tentang kekuasaan dan keesaan Allah (Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah) melalui tiga pilar utama:
Sejak Ayat 3, Surah Al Mulk berfokus pada kesempurnaan alam semesta (kosmos). Konsep 'Tafawut' (ketidaksempurnaan) secara tegas ditolak. Ini bukan sekadar deskripsi, tetapi tantangan ilmiah dan filosofis. Allah menantang manusia untuk menemukan kesalahan, menekankan bahwa desain alam semesta, dari lapisan langit hingga orbit bintang-bintang, adalah bukti hikmah (kebijaksanaan) dan qudrah (kekuatan) yang tak tertandingi.
Argumen ini kemudian diperkuat oleh pengamatan terhadap burung yang mampu terbang, melawan hukum gravitasi melalui Rahmat Allah (Ayat 19). Keseimbangan aerodinamika burung adalah bukti nyata bahwa ada kekuatan yang mengatur detail kecil di alam dunia, bukan hanya struktur langit yang megah. Pemikiran ini mendorong kesadaran bahwa kekuasaan Allah bersifat mikroskopis dan makroskopis.
Surah Al Mulk terkenal karena perannya sebagai 'penyelamat' dari azab kubur. Namun, secara tematik, Surah ini memberikan gambaran yang sangat kontras antara nasib orang beriman dan orang kafir.
Penyampaian yang seimbang ini—dimulai dengan ancaman dan segera disusul dengan janji—bertujuan untuk memotivasi pendengar agar segera bertobat dan memperbaiki amalnya (Ahsanul Amalan), sesuai dengan tujuan penciptaan di Ayat 2.
Surah ini juga menekankan tanggung jawab manusia sebagai pemegang amanah di bumi. Manusia dibekali dengan alat-alat penting: pendengaran, penglihatan, dan hati nurani (Ayat 23). Kegagalan untuk mencapai petunjuk bukanlah karena kurangnya alat, tetapi karena kegagalan menggunakan alat tersebut, sebagaimana diakui oleh penghuni Neraka (Ayat 10).
Lebih lanjut, Surah Al Mulk menyentuh dua aspek utama kehidupan: mencari nafkah dan ketergantungan. Perintah untuk "jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya" (Ayat 15) adalah dorongan untuk berinteraksi dengan bumi yang telah ditundukkan (Dhalūlan). Namun, interaksi ini harus disertai kesadaran bahwa rezeki dapat ditarik sewaktu-waktu (Ayat 21), dan sumber daya paling vital (air) sepenuhnya berada dalam kekuasaan Allah (Ayat 30). Kesadaran ini memutus ketergantungan pada sesama makhluk dan mengarahkan Tawakal hanya kepada Sang Pencipta.
Mengamalkan Surah Al Mulk jauh melampaui sekadar membacanya setiap malam. Penghayatan terhadap surah ini menuntut perubahan pola pikir dan tindakan:
Ayat 13 dan 14 (tentang Allah yang mengetahui rahasia hati) harus menumbuhkan kesadaran bahwa tidak ada perbuatan, niat, atau bahkan bisikan hati yang luput dari pengetahuan Allah. Ini adalah fondasi dari rasa takut kepada Allah secara ghaib, yang dijanjikan mendapatkan pahala besar.
Seorang pembaca Surah Al Mulk dianjurkan untuk merenungkan keajaiban kosmik (langit berlapis, bintang, burung). Tafakkur ini menghilangkan keraguan akan kekuasaan Allah dan membatalkan argumen materialistik yang menolak eksistensi Pencipta. Ketika kita melihat alam, kita harus melihat bukti Kebenaran Al-Qur'an.
Ayat 15 mendorong kerja keras di bumi, sementara Ayat 21 mengingatkan bahwa rezeki sepenuhnya di tangan Allah. Pengamalan sejati Surah Al Mulk adalah bekerja dengan giat, namun hati tetap bergantung sepenuhnya pada Allah, mengakui bahwa hasil akhir tidak ditentukan oleh usaha semata, tetapi oleh izin-Nya.
Karena keutamaan utamanya adalah perlindungan dari siksa kubur, Surah Al Mulk harus menjadi motivasi harian untuk mengingat kematian. Pembacaan rutin sebelum tidur adalah tindakan praktis yang mengingatkan bahwa tidur adalah kematian sementara, dan malam adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan kualitas amal (Ahsanul Amalan).
Alt Text: Ilustrasi sebuah kubur (tanah) dengan perisai emas di atasnya, melambangkan Surah Al Mulk sebagai penyelamat.
Imam Al-Qurtubi dan ulama lainnya menekankan bahwa hadis tentang syafa'at Al Mulk tidak sekadar mencakup pembacaan lisan, tetapi juga hafalan dan pengamalan makna. Syafa'at adalah balasan bagi hati yang telah dihidupkan oleh Surah tersebut. Jika seseorang membaca Surah ini setiap malam, ia secara otomatis memperbarui pengakuan Tauhidnya, merenungkan tanda-tanda Allah, dan berjanji untuk meningkatkan kualitas amalnya, sehingga ia layak mendapatkan perlindungan di alam barzakh.
Oleh karena itu, Surah Al Mulk merupakan sebuah risalah teologis yang padat, berfungsi ganda sebagai petunjuk hidup (pedoman ketakwaan) dan jaminan spiritual (pelindung dari azab kubur). Penghayatan mendalam atas 30 ayat ini membawa seorang Muslim pada pemahaman yang utuh tentang kekuasaan mutlak (Al-Mulk) yang dimiliki oleh Allah SWT, yang mana di tangan-Nya lah hidup dan mati, rezeki dan hukuman, semuanya ditentukan.