Panduan Lengkap Seputar Pengganti Doa Qunut

Doa qunut, khususnya yang dibaca pada rakaat kedua shalat Subuh, merupakan salah satu amalan yang menjadi topik pembahasan hangat di kalangan umat Islam. Perbedaan pandangan para ulama mazhab mengenai hukumnya seringkali menimbulkan pertanyaan: apakah ada pengganti doa qunut? Apa yang harus dilakukan jika seseorang tidak hafal, lupa, atau memang memilih untuk tidak membacanya? Artikel ini akan mengupas tuntas persoalan ini secara mendalam, dari akar historis, perbedaan pendapat para fuqaha (ahli fikih), hingga alternatif-alternatif yang dapat diamalkan berdasarkan dalil yang shahih.

Memahami duduk perkara ini secara komprehensif akan menumbuhkan sikap lapang dada dan saling menghargai dalam perbedaan, serta memberikan ketenangan dalam beribadah. Sebab, esensi dari setiap ibadah adalah ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah SWT, bukan perdebatan yang berujung pada perpecahan. Mari kita selami pembahasan ini langkah demi langkah untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan menenangkan.

Ilustrasi tangan menengadah berdoa Sebuah ikon yang menggambarkan dua tangan terbuka sedang berdoa, melambangkan permohonan, harapan, dan spiritualitas dalam Islam. Esensi Doa dan Harapan Ilustrasi tangan menengadah berdoa sebagai simbol permohonan dan pengganti doa qunut.

Memahami Hakikat dan Sejarah Doa Qunut

Sebelum membahas alternatifnya, penting untuk memahami apa itu doa qunut. Secara etimologi, kata "qunut" (الْقُنُوْتُ) dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna, antara lain berdiri lama, diam, taat, tunduk, dan berdoa. Dalam konteks syariat, qunut adalah doa khusus yang dibaca dalam shalat pada posisi tertentu, yaitu saat berdiri setelah ruku' (i'tidal) pada rakaat terakhir.

Ada dua jenis qunut yang paling dikenal: Qunut Nazilah dan Qunut Ratibah (rutin, seperti pada shalat Subuh atau Witir).

1. Qunut Nazilah

Qunut Nazilah adalah qunut yang dilakukan ketika umat Islam menghadapi musibah besar, bencana alam, peperangan, penindasan, atau malapetaka lainnya. Rasulullah SAW tercatat pernah melakukan Qunut Nazilah selama sebulan penuh untuk mendoakan keburukan bagi kabilah-kabilah yang telah membunuh para sahabat penghafal Al-Qur'an di Bi'r Ma'unah. Qunut jenis ini disepakati oleh mayoritas ulama dan dapat dilakukan di setiap shalat fardhu, tidak hanya shalat Subuh.

2. Qunut Ratibah (Subuh dan Witir)

Qunut inilah yang menjadi titik perbedaan pendapat. Dasarnya adalah hadits yang meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa kepada cucunya, Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma, untuk dibaca dalam qunut shalat Witir. Doa inilah yang kemudian populer sebagai doa qunut Subuh.

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ : اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ…

"‘Allamani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalimatin aquluhunna fi qunut al-witr: Allahummahdini fiman hadait…" "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang aku ucapkan dalam qunut Witir: 'Allahummahdini fiman hadait…' (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk...)" (HR. Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh para ulama).

Pertanyaannya kemudian, apakah doa ini juga disyariatkan untuk dibaca secara rutin setiap shalat Subuh? Di sinilah letak perbedaan pandangan para imam mazhab.

Pandangan Empat Mazhab Mengenai Qunut Subuh

Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam fikih adalah sebuah keniscayaan dan rahmat. Memahaminya membuat kita lebih bijak. Berikut adalah ringkasan pandangan empat mazhab besar mengenai hukum qunut pada shalat Subuh.

Mazhab Syafi'i

Imam Asy-Syafi'i dan para pengikutnya berpendapat bahwa membaca doa qunut pada rakaat kedua shalat Subuh setelah ruku' adalah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Jika seseorang sengaja meninggalkannya, shalatnya tetap sah namun ia dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi. Jika lupa, maka sangat dianjurkan untuk sujud sahwi.

Dalil utama mereka adalah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang ketika ditanya apakah Rasulullah SAW melakukan qunut di shalat Subuh, ia menjawab:

"Benar." Ketika ditanya lagi, "Apakah sebelum ruku' atau sesudahnya?" Ia menjawab, "Sesudah ruku'." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, Anas bin Malik juga berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Subuh sampai beliau wafat." (HR. Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi). Meskipun status kesahihan hadits terakhir ini diperdebatkan oleh para ahli hadits, ia menjadi salah satu pegangan utama dalam mazhab Syafi'i. Pandangan inilah yang paling banyak diikuti di Indonesia, Malaysia, dan beberapa negara lainnya.

Mazhab Maliki

Imam Malik berpandangan bahwa qunut pada shalat Subuh hukumnya adalah sunnah atau mandub (dianjurkan). Namun, terdapat perbedaan dalam praktiknya dengan mazhab Syafi'i. Menurut mazhab Maliki, qunut Subuh dilakukan sebelum ruku' dan dibaca secara sirr (pelan), baik oleh imam maupun saat shalat sendirian. Mereka juga berpegang pada praktik sebagian penduduk Madinah pada masa itu.

Mazhab Hanafi

Imam Abu Hanifah dan mazhabnya berpendapat bahwa qunut secara rutin tidak disyariatkan dalam shalat Subuh. Qunut hanya disyariatkan pada shalat Witir (sebelum ruku') dan saat terjadi nazilah (musibah). Mereka berargumen bahwa hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah SAW melakukan qunut Subuh secara terus-menerus adalah lemah atau telah mansukh (hukumnya terhapus).

Salah satu dalil mereka adalah hadits dari Abu Malik Al-Asyja'i, yang bertanya kepada ayahnya: "Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di Kufah selama sekitar lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut (di shalat Subuh)?" Ayahnya menjawab, "Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (muhdats)." (HR. Tirmidzi, dan beliau menilainya hasan shahih).

Mazhab Hanbali

Pandangan Imam Ahmad bin Hanbal mirip dengan mazhab Hanafi. Beliau berpendapat bahwa qunut Subuh secara rutin tidak disunnahkan. Qunut hanya dilakukan pada shalat Witir dan saat terjadi nazilah. Jika ada nazilah, maka imam atau pemimpin kaum muslimin boleh melakukan qunut pada seluruh shalat fardhu. Pandangan ini didasarkan pada hadits-hadits yang menunjukkan bahwa qunut yang dilakukan Nabi bersifat temporer (sementara) karena adanya suatu sebab (nazilah).

Dari pemaparan di atas, jelas bahwa persoalan qunut Subuh adalah masalah ijtihadiyah yang luas. Tidak ada pihak yang bisa mengklaim paling benar dan menyalahkan yang lain. Semua imam mazhab mendasarkan pandangannya pada dalil dan pemahaman yang mendalam.

Sebab Seseorang Mencari Pengganti Doa Qunut

Setelah memahami landasan hukumnya, kita bisa mengidentifikasi beberapa alasan mengapa seseorang mungkin mencari alternatif atau pengganti doa qunut. Alasan-alasan ini sangat manusiawi dan memiliki solusi dalam fikih.

  1. Belum Hafal Doa Qunut: Ini adalah alasan paling umum, terutama bagi mualaf, anak-anak, atau orang yang baru mulai memperbaiki shalatnya. Mereka merasa bingung harus membaca apa saat imam berqunut atau saat shalat sendiri.
  2. Mengikuti Mazhab yang Berbeda: Seseorang yang meyakini pandangan mazhab Hanafi atau Hanbali tentu tidak akan membaca qunut Subuh secara rutin. Bagi mereka, meninggalkan qunut adalah bagian dari mengamalkan sunnah sesuai keyakinan ijtihadnya.
  3. Ragu dengan Kesahihan Dalil: Sebagian orang, setelah mempelajari ilmu hadits, mungkin merasa lebih condong pada pendapat yang menyatakan dalil qunut Subuh secara rutin tidak cukup kuat. Ini adalah sebuah pilihan yang didasari oleh proses belajar dan keyakinan pribadi.
  4. Lupa Membaca Doa Qunut: Kelupaan adalah sifat manusia. Seseorang yang terbiasa qunut bisa saja lupa membacanya dan baru teringat setelah melewati posisi i'tidal.
  5. Menjadi Ma'mum di Belakang Imam yang Tidak Berqunut: Seorang pengikut mazhab Syafi'i mungkin shalat di belakang imam yang tidak membaca qunut. Apa yang harus ia lakukan?

Setiap kondisi ini memerlukan jawaban yang spesifik, dan syariat Islam yang fleksibel telah memberikan jalan keluarnya. Inilah yang akan kita bahas pada bagian selanjutnya.

Alternatif dan Solusi Pengganti Doa Qunut

Inti dari pembahasan ini adalah memberikan solusi praktis bagi mereka yang tidak membaca doa qunut karena berbagai alasan. "Pengganti" di sini bisa dimaknai dalam dua hal: (1) tindakan yang dilakukan jika qunut ditinggalkan, dan (2) bacaan lain yang bisa diucapkan pada saat i'tidal di rakaat kedua shalat Subuh.

1. Jika Sengaja atau Lupa Meninggalkan Qunut (Bagi yang Meyakininya Sunnah)

Bagi mereka yang mengikuti mazhab Syafi'i, doa qunut termasuk dalam kategori sunnah ab'adh. Sunnah ab'adh adalah amalan sunnah yang jika ditinggalkan (baik sengaja maupun lupa), dianjurkan untuk diganti dengan sujud sahwi.

Apa itu Sujud Sahwi?
Sujud sahwi adalah dua sujud yang dilakukan sebelum salam untuk menambal kekurangan dalam shalat yang disebabkan oleh kelupaan. Tata caranya adalah sebagai berikut:

سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُو

Subhana man la yanamu wa la yashu. "Maha Suci Dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa."

Jadi, bagi seorang Syafi'i yang tidak membaca qunut, solusi utamanya adalah melakukan sujud sahwi. Shalatnya tetap sah meskipun tidak melakukan sujud sahwi, namun kesempurnaan pahalanya berkurang. Sebaliknya, bagi yang meyakini qunut Subuh bukan sunnah (Hanafi/Hanbali), maka tidak ada anjuran sujud sahwi sama sekali. Meninggalkan qunut bagi mereka justru sesuai dengan sunnah yang mereka yakini, sehingga shalatnya sempurna tanpa perlu "ditambal".

2. Bacaan Alternatif Saat Posisi I'tidal

Inilah jawaban paling langsung untuk pertanyaan "apa pengganti doa qunut?". Jika seseorang tidak membaca doa qunut yang masyhur, bukan berarti ia harus diam saja. Posisi i'tidal (berdiri setelah ruku') adalah salah satu waktu mustajab untuk berdoa dan berdzikir. Berikut adalah beberapa bacaan shahih yang dapat dijadikan alternatif:

a. Memperpanjang Bacaan I'tidal Standar

Setelah bangkit dari ruku' dengan membaca "Sami'allahu liman hamidah", kita membaca pujian kepada Allah. Bacaan ini memiliki beberapa versi yang lebih panjang dan penuh makna, yang sangat cocok dibaca sebagai pengganti qunut.

Versi dasar:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Rabbana wa lakal hamd. "Wahai Tuhan kami, dan hanya bagi-Mu segala puji."

Versi yang lebih panjang dan sangat dianjurkan:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Rabbana wa lakal hamd, hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih. "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya." (HR. Bukhari)

Versi yang paling lengkap:

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Rabbana lakal hamdu mil-as-samawati wa mil-al-ardhi wa mil-a ma syi'ta min syai-in ba'du. Ahlats-tsana-i wal-majdi, ahaqqu ma qalal-'abdu, wa kulluna laka 'abdun. Allahumma la mani'a lima a'thaita, wa la mu'thiya lima mana'ta, wa la yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu. "Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Engkaulah yang berhak atas segala pujian dan kemuliaan, itulah ucapan yang paling berhak diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, dan tidak bermanfaat kekayaan orang yang kaya dari (siksa)-Mu." (HR. Muslim)

Membaca dzikir i'tidal yang panjang ini adalah amalan yang sangat mulia dan dapat mengisi waktu i'tidal tanpa harus membaca doa qunut spesifik. Ini adalah alternatif terbaik karena didasarkan pada hadits-hadits yang sangat kuat.

b. Membaca Doa-Doa dari Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah sumber doa terbaik. Seseorang dapat membaca doa-doa sapu jagat atau doa lain yang relevan selama i'tidal sebagai ganti qunut. Doa ini sangat dianjurkan karena mencakup kebaikan dunia dan akhirat.

Contoh yang paling populer:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Rabbana atina fid-dunya hasanah, wa fil-akhirati hasanah, wa qina 'adzaban-nar. "Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah: 201)

Doa ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik sebagai salah satu doa yang paling sering dibaca oleh Nabi Muhammad SAW. Membacanya saat i'tidal adalah pilihan yang sangat baik.

c. Berdoa dengan Permohonan Pribadi

Posisi i'tidal, seperti halnya sujud, adalah waktu di mana seorang hamba dekat dengan Tuhannya. Seseorang bisa memanfaatkannya untuk memanjatkan doa pribadi dalam bahasa yang ia mengerti, selama dilakukan dengan suara pelan (sirr) agar tidak mengganggu kekhusyukan shalat.

Contoh doa pribadi:

Intinya, posisi tersebut adalah waktu yang valid untuk berdoa. Mengisinya dengan doa-doa umum yang ma'tsur (berasal dari dalil) atau doa pribadi adalah "pengganti" yang sah dan bernilai ibadah.

3. Solusi Saat Menjadi Ma'mum

Fikih shalat berjamaah memiliki kaidah emas: "Imam dijadikan untuk diikuti." Kaidah ini menjadi kunci dalam menyikapi perbedaan praktik qunut dalam shalat berjamaah.

a. Jika Imam Berqunut, Sedangkan Ma'mum Tidak Biasa Berqunut

Apabila Anda shalat di belakang imam yang membaca doa qunut (misalnya imam dari mazhab Syafi'i), maka yang harus Anda lakukan adalah mengikuti imam. Tetaplah berdiri, angkat tangan Anda, dan aminkan doa yang dibaca oleh imam. Mengatakan "Aamiin" adalah bentuk partisipasi dalam doa tersebut.

Tindakan ini untuk menjaga keutuhan dan kesatuan shaf dalam shalat berjamaah. Menyelisihi imam dengan langsung sujud saat imam berqunut adalah tindakan yang tidak dibenarkan dan dapat merusak pahala berjamaah. Para ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang bermazhab Hanbali, menekankan pentingnya mengikuti imam dalam masalah ijtihadiyah seperti ini.

b. Jika Imam Tidak Berqunut, Sedangkan Ma'mum Biasa Berqunut

Sebaliknya, jika Anda yang terbiasa qunut (bermazhab Syafi'i) shalat di belakang imam yang tidak berqunut (misalnya dari mazhab Hanbali), maka Anda juga harus mengikuti imam. Artinya, Anda tidak perlu membaca qunut sendiri. Setelah imam membaca "Sami'allahu liman hamidah, Rabbana wa lakal hamd," dan langsung turun untuk sujud, maka Anda harus segera ikut sujud bersamanya.

Dalam kasus ini, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'i, Anda juga tidak perlu melakukan sujud sahwi di akhir shalat. Mengapa? Karena Anda meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti imam, dan ketaatan kepada imam lebih diutamakan. Persatuan dalam jamaah lebih penting daripada mempertahankan amalan sunnah individual.

Hikmah di Balik Perbedaan Pendapat

Perbedaan pandangan mengenai qunut Subuh bukanlah aib atau kekurangan dalam Islam. Sebaliknya, ia menunjukkan beberapa hikmah yang luar biasa:

Kesimpulan: Ketenangan dalam Beribadah

Dari seluruh uraian yang panjang ini, dapat kita simpulkan beberapa poin penting mengenai pengganti doa qunut:

  1. Hukum qunut Subuh adalah masalah khilafiyah di antara para imam mazhab. Mengetahuinya adalah kunci untuk bersikap toleran dan bijaksana.
  2. Bagi yang meyakini qunut Subuh sebagai sunnah (seperti mazhab Syafi'i), jika meninggalkannya, dianjurkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi.
  3. Alternatif bacaan yang bisa diucapkan sebagai "pengganti" doa qunut saat i'tidal adalah memperpanjang dzikir i'tidal yang shahih, membaca doa dari Al-Qur'an seperti doa sapu jagat, atau memanjatkan doa-doa kebaikan lainnya.
  4. Dalam shalat berjamaah, prinsip utamanya adalah mengikuti imam. Jika imam qunut, ma'mum ikut mengaminkan. Jika imam tidak qunut, ma'mum ikut tidak qunut.

Pada akhirnya, Islam memberikan kelapangan dalam urusan ini. Baik Anda membaca doa qunut yang masyhur, menggantinya dengan dzikir dan doa lain yang shahih, atau tidak membacanya sama sekali berdasarkan keyakinan mazhab Anda, semua adalah pilihan yang memiliki landasan syar'i. Yang terpenting adalah melaksanakan shalat dengan tuma'ninah, khusyuk, dan ikhlas, sambil terus belajar untuk memperbaiki kualitas ibadah kita di hadapan Allah SWT.

🏠 Kembali ke Homepage