Representasi visual pengalihan devosi dari yang spiritual ke entitas sekuler.
Dalam lanskap peradaban kontemporer yang didominasi oleh sekularisme yang semakin menguat dan fragmentasi narasi besar, sebuah fenomena sosiologis dan psikologis yang mendalam telah muncul: kecenderungan menuhankan sesuatu yang sejatinya profan, fana, dan buatan manusia. Istilah ‘menuhankan’ di sini tidak merujuk secara eksklusif pada praktik teologis formal, melainkan pada sebuah pengalihan devosi absolut, kepatuhan tanpa kritik, dan penetapan nilai tertinggi yang seharusnya hanya dimiliki oleh entitas spiritual atau transenden.
Kekosongan eksistensial yang ditinggalkan oleh terkikisnya institusi keagamaan tradisional sering kali tidak terisi oleh rasionalitas murni, melainkan oleh sebuah hasrat mendalam akan makna, kepastian, dan identitas kolektif. Hasrat inilah yang kemudian diproyeksikan kepada objek-objek modern—mulai dari kekayaan material, teknologi canggih, hingga narasi politik yang fanatik. Artikel ini akan menelusuri bagaimana proses deifikasi sekuler ini terjadi, manifestasinya dalam berbagai aspek kehidupan, serta implikasi jangka panjangnya terhadap struktur psikis individu dan kohesi sosial.
Sejak zaman purba, manusia adalah makhluk yang mencari makna dan struktur. Ketika agama menawarkan cetak biru komprehensif mengenai moralitas, kosmos, dan tujuan akhir, ia memberikan kepastian yang mengurangi kecemasan akan kefanaan. Di era Pascamodern, ketika institusi keagamaan menghadapi tantangan skeptisisme ilmiah dan relativisme moral, cetak biru tersebut mulai pudar. Namun, kebutuhan dasar otak manusia akan keyakinan, ritual, dan komunitas yang terpusat tidak pernah hilang.
Devosi absolut—atau proses menuhankan—sejatinya adalah mekanisme pertahanan psikologis. Ketika Tuhan yang metafisik terasa terlalu abstrak, jauh, atau tidak dapat dijangkau, manusia secara naluriah mencari ‘tuhan’ yang konkret, dapat disentuh, dapat diukur, dan yang paling penting, memberikan hasil yang instan. Kekayaan memberikan ilusi keabadian finansial, teknologi memberikan ilusi kemahatahuan, dan ideologi memberikan ilusi kebenaran mutlak. Semua ini adalah substitusi yang mengisi kekosongan transendental dengan kepuasan materialistik atau intelektual yang segera.
Proses menuhankan sesuatu yang fana dimulai dengan proyeksi. Manusia memproyeksikan sifat-sifat ilahi—kemahakuasaan, kesempurnaan, dan kebenaran—kepada objek, individu, atau sistem. Dalam konteks sosial, ini memunculkan kultus. Kultus ini bisa berupa penghormatan berlebihan terhadap seorang pemimpin politik, pengikut buta terhadap merek dagang tertentu, atau ketaatan yang nyaris ritualistik terhadap metrik kesuksesan yang ditetapkan oleh masyarakat kapitalis.
Kultus ini diperkuat oleh media sosial dan algoritma. Algoritma bertindak sebagai pendeta modern, yang mengkurasi realitas sedemikian rupa sehingga hanya memperkuat keyakinan yang sudah ada. Ini menciptakan "ruang suci" digital di mana objek pemujaan—apakah itu figur publik, produk, atau narasi—tidak pernah dapat dikritik atau dibongkar. Kritik terhadap objek yang didevosi dianggap sebagai penistaan, yang harus ditanggapi dengan kekerasan verbal atau sosial. Devosi ini bukan lagi sekadar preferensi atau dukungan; ia telah menjadi dogma yang melindungi ego kolektif dan individu yang terikat padanya.
Fenomena menuhankan ini tidak seragam; ia mengambil bentuk yang berbeda-beda tergantung pada fokus nilai peradaban saat ini. Kita dapat mengidentifikasi beberapa entitas profan yang kini menempati altar devosi, menuntut waktu, sumber daya, dan pengorbanan emosional yang setara dengan keyakinan spiritual.
Di puncak tangga deifikasi sekuler adalah uang, atau secara lebih luas, kapital. Dalam sistem ekonomi global, uang tidak lagi hanya menjadi alat tukar; ia telah berevolusi menjadi sebuah entitas yang diyakini memiliki kekuatan untuk mengatasi semua batasan manusia: penyakit, ketidakpastian, bahkan batas waktu. Bagi banyak orang, akumulasi kekayaan adalah tujuan akhir eksistensi, sebuah jaminan keselamatan (sekuler) yang menggantikan janji surga.
Proses menuhankan kekayaan terlihat dalam ritual kerja berlebihan (hustle culture) yang bersifat tanpa henti dan tanpa ampun, di mana nilai diri seseorang sepenuhnya diukur dari nilai aset bersihnya atau kapasitasnya untuk menghasilkan laba. Dalam pemujaan ini, istirahat dianggap sebagai dosa, refleksi dianggap sebagai pemborosan, dan pengorbanan kesehatan demi keuntungan material dianggap sebagai martir ekonomi yang mulia. Sistem ini menuntut pengabdian total, dan janji yang ditawarkan adalah kebebasan yang ilusi, padahal pengabdian itu sendiri adalah bentuk perbudakan modern yang terselubung.
Jika kapital adalah Tuhannya, maka konsumerisme adalah liturginya, dan pusat perbelanjaan adalah kuilnya. Ritual pembelian yang sering, pembaruan gawai yang konstan, dan pengejaran tren mode yang tak pernah berakhir menjadi tindakan sakral yang menegaskan posisi seseorang dalam hirarki sosial yang dideifikasi oleh materi. Ketika sebuah merek (seperti Apple atau Tesla) mampu membangkitkan kesetiaan yang melampaui loyalitas produk biasa—di mana para pengguna mempertahankan merek tersebut dengan semangat yang setara dengan zealot agama—kita menyaksikan bagaimana entitas korporat berhasil menempati ceruk spiritual yang kosong.
Ini menciptakan sebuah spiral kebutuhan yang tak terpuaskan. Semakin banyak seseorang mengumpulkan, semakin besar kekosongan yang ia rasakan, karena sifat benda adalah fana dan tidak mampu memberikan makna transenden. Devosi kepada materi akhirnya menghasilkan siklus kekecewaan, yang hanya dapat diatasi sementara dengan devosi yang lebih besar pada siklus konsumsi berikutnya. Ini adalah pemujaan yang menghabiskan jiwa, namun sulit ditinggalkan karena ia menawarkan identitas yang jelas dalam masyarakat yang kabur.
Teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan internet, telah menjadi objek deifikasi yang unik karena janji utamanya adalah kemahakuasaan dan kemahatahuan. Kita telah mulai menuhankan algoritma, mempercayai prediksinya, dan tunduk pada rekomendasinya. Algoritma telah menggantikan takdir atau kehendak ilahi dalam mengatur bagaimana kita berinteraksi, apa yang kita lihat, dan bahkan bagaimana kita berpikir tentang diri kita sendiri.
Keputusan yang dibuat oleh AI sering kali diterima tanpa kritik, dianggap sebagai hasil dari perhitungan data yang murni dan objektif, yang lebih unggul dari subjektivitas manusia. Ketika sistem yang cacat—seperti algoritma pengenal wajah yang bias atau sistem rekomendasi yang memperkuat polarisasi—dianggap sebagai kebenaran yang tak terhindarkan, ini menunjukkan bahwa kita telah memberikan otoritas absolut kepada mesin. Kepatuhan kita pada notifikasi, kesediaan kita untuk menyerahkan privasi demi kenyamanan, dan ketergantungan kita yang total pada gawai untuk memediasi realitas adalah bentuk-bentuk ritual persembahan yang dilakukan di hadapan dewa digital.
Di bawah payung deifikasi teknologi, terdapat pemujaan terhadap kecepatan dan efisiensi. Dalam dunia yang menuhankan produktivitas, waktu luang atau waktu hening dianggap sebagai inefisiensi moral. Devosi ini menuntut agar setiap aspek kehidupan dioptimalkan dan diukur. Tidur adalah inefisiensi yang harus dikurangi, interaksi sosial harus diotomatisasi, dan pembelajaran harus dipercepat hingga mencapai kecepatan maksimal. Manusia berusaha menjadi mesin yang sempurna, meniru sifat-sifat dewa teknologi yang ia ciptakan.
Hasil dari deifikasi ini adalah hilangnya refleksi yang mendalam dan kapasitas untuk berada dalam keheningan. Keheningan adalah ruang di mana pertanyaan eksistensial muncul, tetapi dewa teknologi menuntut kebisingan dan koneksi yang konstan. Keterhubungan yang tiada akhir ini, ironisnya, menghasilkan keterasingan yang mendalam dari diri sendiri dan dari komunitas nyata, karena hubungan yang didevosi adalah hubungan yang mediasi, bukan yang otentik dan tatap muka.
Di era narsisisme yang dilegitimasi oleh media sosial, diri sendiri telah menjadi salah satu objek menuhankan yang paling kuat. Konsep 'diri' (ego) telah ditingkatkan dari sekadar entitas psikologis menjadi pusat semesta yang menuntut pemujaan dari orang lain. Devosi kepada diri ini dipicu oleh budaya selebritas dan influencer, di mana validasi eksternal (jumlah 'likes', 'followers', atau pengakuan publik) berfungsi sebagai rahmat spiritual yang membenarkan eksistensi seseorang.
Tujuan utama dari devosi ini adalah penciptaan dan pemeliharaan citra yang sempurna—sebuah persona yang disaring dan diedit hingga mencapai standar keilahian buatan. Kegagalan untuk memelihara citra ini dianggap sebagai aib moral. Setiap individu menjadi imam dan umat bagi dirinya sendiri, di mana altar pemujaan adalah layar ponsel, dan persembahan adalah konten yang dikurasi dengan cermat. Keaslian dikorbankan demi penampilan. Ini adalah jenis penyembahan berhala yang paling berbahaya, karena ia mengunci individu dalam penjara kesempurnaan yang tidak mungkin dicapai.
Deifikasi diri juga termanifestasi dalam kultus kesehatan dan panjang umur yang ekstrem, yang sering kali melampaui kebutuhan akan kesejahteraan menjadi pengejaran keabadian sekuler. Dalam devosi ini, tubuh fisik diubah menjadi sebuah kuil yang harus dipertahankan kesempurnaannya melalui ritual diet yang ketat, olahraga yang obsesif, dan intervensi kosmetik yang berlebihan. Penuaan atau penyakit tidak dilihat sebagai proses alami, melainkan sebagai kegagalan moral atau spiritual yang harus diperangi dengan fanatisme.
Dalam konteks ini, sains dan bio-hacking dituhankan karena menjanjikan perpanjangan masa muda dan penundaan kematian. Pengeluaran besar-besaran untuk suplemen, terapi anti-penuaan yang meragukan, dan data biometrik yang konstan adalah tindakan ritual yang dimaksudkan untuk menenangkan rasa takut akan kefanaan. Ketakutan inilah, yang dulunya diatasi oleh janji kehidupan setelah kematian, kini dialihkan sepenuhnya kepada kemampuan tubuh fana untuk menipu waktu.
Ketika keyakinan spiritual memudar, ideologi politik dan sosial sering kali mengambil alih peran tersebut. Dalam era polarisasi, ideologi tidak lagi menjadi seperangkat gagasan yang dapat didiskusikan; ia telah menjadi dogma, narasi tunggal yang menjelaskan semua kejahatan dunia dan menawarkan solusi mesianis. Penganut ideologi ini menjadi penganut yang fanatik, di mana garis antara kebenaran dan keyakinan menjadi kabur secara total.
Ketika sebuah ideologi dituhankan, ia menuntut pengorbanan akal sehat, empati, dan hubungan pribadi. Perbedaan pendapat tidak lagi dianggap sebagai variasi pandangan, melainkan sebagai kejahatan yang setara dengan bid’ah. Tujuannya adalah kesucian ideologis, bukan kompromi atau dialog. Kelompok di luar ideologi tersebut dianggap sebagai musuh yang harus dikonversi, diisolasi, atau dihancurkan. Fenomena ini menciptakan suku-suku modern yang terbagi berdasarkan dogma politik, menggantikan persaudaraan universal yang sering diusung oleh agama tradisional.
Di banyak belahan dunia, terdapat tren yang mengkhawatirkan dalam menuhankan tokoh pemimpin politik atau sosial. Tokoh ini diproyeksikan memiliki karisma yang transenden, kekuatan yang tak terbatas, dan kemampuan untuk memimpin pengikutnya menuju utopia yang dijanjikan. Kritik terhadap pemimpin tersebut tidak hanya ditolak, tetapi juga dikecam sebagai penghinaan terhadap kebenaman kolektif. Media dan retorika politik diatur sedemikian rupa untuk membangun aura infalibilitas di sekitar tokoh ini.
Pengikut rela mengorbankan fakta, logika, dan bahkan kesejahteraan mereka sendiri demi mempertahankan citra kesempurnaan pemimpin yang mereka deifikasi. Devosi ini jauh melampaui dukungan politik yang rasional; ia merupakan bentuk penyerahan diri emosional yang mencari perlindungan dan identitas dalam sosok yang dianggap setara dengan dewa pelindung. Ketika seorang pemimpin jatuh atau membuat kesalahan yang tak termaafkan, kehancuran emosional pengikutnya mencerminkan kekalahan iman, bukan sekadar kekecewaan politik.
Meskipun objek pemujaannya sekuler, proses menuhankan tetap melibatkan struktur ritualistik yang kuat. Ritual-ritual ini membantu menginternalisasi devosi dan memperkuat ikatan antara pengikut dan objek pemujaan.
Media sosial berfungsi sebagai ruang ritual utama. Pemberian umpan balik (feedback loop) yang konstan, di mana postingan diukur berdasarkan respons dan perhatian, adalah ritual persembahan digital. Ketika seorang individu memposting konten yang selaras dengan nilai-nilai dewa sekulernya (misalnya, menampilkan kekayaan, keindahan tubuh, atau kesetiaan ideologis), ia menerima pengakuan (likes, pujian) yang berfungsi sebagai ‘sakramen’ atau rahmat sekuler.
Sebaliknya, pengakuan dosa dan penebusan terjadi melalui ‘pembatalan’ (cancellation) atau pembersihan digital. Ketika seseorang melakukan kesalahan yang melanggar dogma, mereka harus menjalani ritual penghukuman publik dan permintaan maaf yang dipublikasikan. Permintaan maaf ini harus sesuai dengan format yang ditetapkan oleh kultus, dan penerimaan atau penolakan permintaan maaf tersebut menentukan apakah individu tersebut diizinkan kembali ke dalam komunitas atau diasingkan sepenuhnya. Proses ini sangat mirip dengan ekskomunikasi dan rekonsiliasi keagamaan, hanya saja otoritasnya digantikan oleh konsensus massa di platform digital.
Setiap devosi menuntut pengorbanan. Dalam deifikasi materialisme, pengorbanannya adalah waktu, keluarga, dan kesehatan. Dalam deifikasi citra, pengorbanannya adalah privasi, keaslian, dan kedamaian batin. Individu membuat "nazar" sekuler—seperti janji untuk mencapai target pendapatan tertentu, atau bersumpah untuk mempertahankan penampilan fisik tertentu—yang menjadi tolok ukur spiritualitas sekuler mereka.
Kegagalan dalam mencapai nazar ini sering kali menimbulkan rasa bersalah yang intens, yang dapat mendorong perilaku yang merusak diri sendiri. Jika seseorang gagal menghasilkan jumlah uang yang "disucikan," ia merasa tidak layak atau gagal secara eksistensial, bukan sekadar gagal secara finansial. Rasa bersalah ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut telah ditempatkan pada level transenden, bukan level pragmatis.
Ketika objek yang fana dituhankan, konsekuensinya bukan hanya sebatas pada perilaku individu, tetapi juga pada kemampuan masyarakat untuk berdialog, beradaptasi, dan bertahan hidup secara harmonis.
Devosi absolut meniadakan kritik. Jika sebuah objek, baik itu uang, pemimpin, atau algoritma, dianggap sempurna dan mahakuasa, maka setiap kegagalan yang berasal darinya harus ditimpakan kepada faktor eksternal atau kelemahan individu. Ini menciptakan lingkungan di mana kesalahan sistemik (misalnya, ketidakadilan ekonomi yang disebabkan oleh pemujaan kapital, atau bias yang diciptakan oleh algoritma yang didevosi) tidak pernah dapat diperbaiki karena sistem itu sendiri tidak diizinkan untuk dikritik.
Inilah yang menjadi penghalang terbesar bagi kemajuan sosial yang sesungguhnya. Ketika orang terlalu terikat secara emosional dan identitas kepada objek pemujaan mereka, diskusi rasional menjadi tidak mungkin. Setiap upaya untuk menganalisis cacat atau kelemahan objek deifikasi dianggap sebagai serangan personal yang harus dibalas, bukan sebagai masukan yang konstruktif.
Ironisnya, masyarakat yang sering membanggakan diri atas toleransi dan keterbukaan dalam isu-isu tradisional, sering kali menunjukkan intoleransi yang ekstrim dalam hal devosi sekuler. Fanatisme ideologis dan kultus kepribadian politik telah menghasilkan bentuk-bentuk intoleransi yang sama rigidnya dengan perang agama di masa lalu.
Ketika identitas seseorang sepenuhnya terikat pada kesetiaan politik, merek dagang, atau gaya hidup tertentu, maka penolakan terhadap entitas tersebut berarti penolakan terhadap seluruh keberadaan mereka. Hal ini menghasilkan kekerasan retoris dan sosial yang bertujuan untuk memusnahkan 'orang lain' yang tidak berbagi ketaatan. Dalam kultus yang didevosi, tidak ada ruang untuk abu-abu; hanya ada hitam dan putih, yang suci dan yang profan. Kedalaman konflik ini menunjukkan betapa suksesnya objek sekuler dalam menempati ruang spiritual yang membutuhkan ketaatan absolut.
Objek-objek yang dituhankan di era modern—kekayaan, data, atau kekuasaan—bersifat impersonal dan tidak memiliki moralitas bawaan. Ketika ini menjadi nilai tertinggi, nilai-nilai kemanusiaan yang lebih lunak seperti kasih sayang, empati, dan pengorbanan non-ekonomis mulai terdegradasi. Jika efisiensi dan laba adalah dewa utama, maka merawat yang lemah atau melindungi lingkungan menjadi tindakan yang irasional dan tidak efisien, dan oleh karena itu, harus dihindari.
Proses de-humanisasi ini terjadi secara bertahap. Ketika individu dinilai berdasarkan metrik digital atau aset finansial mereka, mereka berhenti dilihat sebagai entitas spiritual yang memiliki nilai inheren, dan mulai dilihat sebagai komoditas atau data poin. Erosi nilai kemanusiaan ini adalah harga tertinggi yang harus dibayar oleh masyarakat yang memilih untuk menuhankan materi dan sistem, alih-alih nilai-nilai yang transenden dan universal.
Mengenali fenomena menuhankan objek sekuler adalah langkah pertama menuju pembebasan. Solusinya bukanlah kembali ke bentuk devosi lama secara paksa, melainkan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap kebohongan ilusi yang ditawarkan oleh dewa-dewa modern.
Kunci untuk memutus siklus pemujaan ini adalah dengan secara sadar mengakui kefanaan dari objek yang didevosi. Kapital dapat hilang; teknologi akan usang; citra publik akan memudar; dan ideologi dapat runtuh. Ketika kita mengakui bahwa objek-objek ini adalah alat—bukan tujuan—kekuatan emosional dan spiritual yang kita berikan padanya akan berkurang.
Praktek kesadaran diri (mindfulness) dan refleksi etis dapat membantu individu menempatkan kembali prioritas. Apakah pengejaran kekayaan ini benar-benar membawa kebahagiaan transenden, ataukah hanya kecemasan akan kehilangan? Apakah ketaatan pada ideologi ini memungkinkan saya melihat kemanusiaan dalam diri orang yang berbeda pandangan? Pertanyaan-pertanyaan ini berfungsi sebagai alat kritik yang membongkar mitologi dewa-dewa modern.
Manusia akan selalu membutuhkan ritual, makna, dan komunitas. Daripada mengisi kekosongan dengan kultus digital atau material, masyarakat perlu mencari atau menciptakan kembali 'ruang suci' yang otentik. Ruang ini tidak harus berbentuk keagamaan secara formal, tetapi harus menyediakan makna yang melampaui kepentingan diri sendiri dan keuntungan ekonomi.
Ini dapat diwujudkan melalui seni yang murni, kegiatan komunitas yang berorientasi pada pelayanan, atau dedikasi terhadap alam yang tidak dinilai dari segi ekonomi. Dalam kegiatan-kegiatan ini, nilai inheren dari pengalaman (seperti keindahan alam atau koneksi manusia yang tulus) menjadi tujuan, alih-alih hanya menjadi sarana untuk mencapai pengakuan sosial atau keuntungan finansial. Hanya dengan mengalihkan devosi dari yang fana menuju yang universal—baik itu dalam bentuk etika, alam, atau kemanusiaan—kita dapat menghindari jebakan menuhankan entitas yang pada akhirnya akan mengecewakan dan menghancurkan.
Kecenderungan untuk menuhankan selain yang Ilahi bukanlah fenomena baru; ia adalah refleksi abadi dari perjuangan manusia melawan ketidakpastian, kefanaan, dan kebutuhan akan makna. Namun, di era teknologi canggih dan kapitalisme global yang dipercepat, objek deifikasi telah menjadi jauh lebih kuat dan lebih mudah diakses, sehingga jebakannya menjadi jauh lebih sulit untuk dihindari.
Saat kita terus bergerak maju dalam peradaban yang semakin sekuler, tugas kritis bagi setiap individu adalah menginterogasi pusat devosi mereka. Apa yang saya anggap sebagai nilai tertinggi? Apa yang saya korbankan di altar keyakinan saya? Jika jawabannya adalah sesuatu yang dapat dibeli, diukur, atau diunduh, maka kita mungkin sedang menyembah berhala modern yang menjanjikan segalanya tetapi memberikan kehampaan yang mendalam. Hanya dengan membebaskan diri dari pengabdian buta kepada dewa-dewa fana ini, kita dapat menemukan kembali kapasitas kita untuk menjadi manusia yang utuh, kritis, dan bebas.