Mengislahkan: Prinsip Abadi Perdamaian dan Rekonsiliasi dalam Islam

Konflik adalah bagian tak terhindarkan dari dinamika kehidupan manusia, baik pada skala personal, komunal, maupun global. Dalam menghadapi keretakan hubungan dan perselisihan, Islam menawarkan sebuah solusi fundamental yang berakar pada etika dan hukum: konsep Islah. Proses aktif untuk mencapai kondisi ini dikenal sebagai mengislahkan, yang berarti upaya sistematis untuk memperbaiki, mendamaikan, dan mengembalikan hubungan ke keadaan harmonis yang didasari keadilan dan kebenaran.

Artikel ini akan menelusuri secara mendalam makna, landasan syar'i, dimensi multidimensi, metodologi praktis, serta tantangan dalam melaksanakan mandat ilahi untuk mengislahkan.

Ilustrasi Mengislahkan Dua bentuk yang awalnya terpisah disatukan oleh garis penghubung yang kuat, melambangkan proses rekonsiliasi dan perdamaian. Islah

I. Definisi, Konsep, dan Landasan Syar'i Mengislahkan

Secara etimologi, kata Islah berasal dari akar kata Arab ṣ-l-ḥ, yang bermakna kebaikan, kesesuaian, perbaikan, atau menghilangkan kerusakan. Ketika diubah menjadi kata kerja transitif, mengislahkan (melakukan Islah) berarti memperbaiki apa yang rusak, mendamaikan pihak yang bersengketa, atau membawa sesuatu kembali pada kondisi idealnya.

Dalam konteks syariat, mengislahkan adalah proses wajib yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan, mengembalikan hak, dan menyatukan kembali hati yang terpisah, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan ilahi. Ini bukan sekadar kompromi politis, melainkan upaya moral dan spiritual.

A. Posisi Sentral Islah dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an menempatkan mengislahkan sebagai salah satu pilar utama dalam membangun masyarakat yang damai (madani). Ayat-ayat tentang Islah tidak hanya bersifat anjuran, tetapi perintah tegas, seringkali dikaitkan langsung dengan keimanan dan ketakwaan (taqwa).

1. Islah Sebagai Kewajiban Kolektif (Fardhu Kifayah)

Perintah paling eksplisit ditemukan dalam konteks perselisihan antar kelompok Mukmin. Allah SWT berfirman: "Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah (islahkanlah) antara keduanya..." (QS. Al-Hujurat: 9). Ayat ini menetapkan kewajiban kolektif bagi komunitas yang lebih luas untuk segera bertindak sebagai mediator dan penengah, tidak boleh membiarkan konflik berlarut-larut.

2. Islah dalam Hubungan Rumah Tangga

Konsep mengislahkan sangat rinci diterapkan dalam hukum keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), terutama saat terjadi syuqqaq (perselisihan serius) antara suami dan istri. QS. An-Nisa': 35 memerintahkan pengiriman dua juru damai (hakamain) dari pihak suami dan pihak istri. Keberadaan hakamain ini adalah mekanisme formal yang dirancang untuk mengislahkan hubungan, menekankan bahwa solusi yang dicari haruslah berbasis niat tulus untuk perbaikan.

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (islah), niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu." (QS. An-Nisa': 35)

3. Islah Lebih Utama daripada Sedekah

Dalam aspek moral, Al-Qur'an meninggikan nilai mengislahkan di atas tindakan kebajikan lainnya. Meskipun sedekah dan kebaikan adalah perbuatan mulia, upaya mendamaikan perselisihan memiliki bobot spiritual yang lebih besar di sisi Allah, karena ia mencegah kerusakan yang lebih besar pada tatanan sosial (mafsadah).

B. Prinsip Dasar Fiqh tentang Mengislahkan (Sulh)

Dalam terminologi fiqh, proses mengislahkan sering disebut sebagai Sulh. Sulh adalah kesepakatan kontraktual antara dua pihak yang bersengketa untuk mengakhiri perselisihan mereka. Fiqh mengatur Sulh dengan sangat ketat, membaginya menjadi beberapa kategori berdasarkan sifat sengketa:

1. Sulh dalam Pengakuan (Al-Iqrar)

Yaitu ketika salah satu pihak mengakui hak pihak lain, dan Sulh dilakukan untuk menentukan cara pembayaran atau penyelesaian hak tersebut.

2. Sulh dalam Penolakan (Al-Inkar)

Ini adalah bentuk Sulh yang paling umum, di mana pihak yang bersengketa sama-sama menolak klaim satu sama lain. Sulh dalam kasus ini berfungsi sebagai jalan keluar untuk menghindari proses litigasi yang panjang dan tidak pasti. Ulama fiqh menegaskan bahwa Sulh harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan umum dan harus menjauhi segala bentuk ghishsh (penipuan) atau melanggar batas syar'i.

Aturan emas dalam fiqh tentang Sulh adalah bahwa perdamaian yang dilakukan tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Namun, Sulh diizinkan untuk menyimpang dari hak hukum yang murni jika ini adalah jalan terbaik menuju harmoni, asalkan hak dasar (seperti hak publik) tidak terlanggar.

II. Dimensi Multidimensi Mengislahkan

Konsep mengislahkan tidak terbatas pada meja perundingan formal, tetapi mencakup setiap aspek kehidupan, mulai dari hati individu hingga kebijakan sebuah negara.

A. Islah Adz-Dzat (Rekonsiliasi Diri)

Sebelum seseorang mampu mengislahkan orang lain, ia harus terlebih dahulu memperbaiki dirinya sendiri. Islah Adz-Dzat adalah pembersihan spiritual dan moral dari penyakit hati seperti dengki, ego, dan sifat suka merusak. Seseorang yang hatinya damai dan lurus (mustaqim) lebih mungkin menjadi agen perdamaian yang efektif.

1. Kaitan Islah Diri dan Integritas Muslah

Seorang Muslah (orang yang mengislahkan) harus memiliki integritas spiritual. Kemampuan untuk mengendalikan emosi dan memandang sengketa secara objektif adalah kunci. Kegagalan dalam mengislahkan seringkali bukan karena sulitnya sengketa, tetapi karena kurangnya kualifikasi moral dan spiritual dari mediator itu sendiri.

B. Islah Al-Usrah (Rekonsiliasi Keluarga)

Keluarga adalah unit sosial terkecil dan fondasi masyarakat. Jika konflik domestik tidak diselesaikan melalui mengislahkan, dampaknya akan menjalar ke generasi berikutnya. Proses mengislahkan dalam keluarga menuntut tingkat kesabaran, kerahasiaan, dan empati yang sangat tinggi, sebab perselisihan melibatkan ikatan emosional yang mendalam.

1. Peran Kerabat dalam Mediasi Keluarga

Dalam Islam, mediasi keluarga diprioritaskan untuk dilakukan oleh anggota keluarga terdekat (seperti yang diamanatkan dalam QS. An-Nisa': 35). Keunggulan model ini terletak pada pemahaman mendalam kerabat terhadap dinamika dan sejarah pasangan, memungkinkan mereka memberikan solusi yang lebih personal dan berkelanjutan.

C. Islah Al-Ijtima'iy (Rekonsiliasi Sosial dan Komunal)

Pada tingkat masyarakat, mengislahkan menjadi vital ketika terjadi sengketa antar suku, kelompok bisnis, atau konflik yang melibatkan kepentingan publik. Di sinilah peran tokoh adat, ulama, dan pemimpin masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah eskalasi konflik menjadi kekerasan (fitnah).

1. Mengislahkan dalam Sengketa Tanah dan Muamalat

Sengketa harta dan transaksi (muamalat) sering menjadi sumber utama perselisihan komunal. Prinsip mengislahkan di sini memastikan bahwa penyelesaian tidak hanya berdasarkan hitam di atas putih, tetapi juga memperhitungkan hubungan sosial jangka panjang. Misalnya, dalam sengketa utang, Sulh mungkin mencakup keringanan atau penundaan pembayaran demi menjaga tali persaudaraan.

D. Islah Ad-Daulah (Rekonsiliasi Politik dan Kenegaraan)

Dalam lingkup politik, mengislahkan mengambil bentuk rekonsiliasi nasional, perundingan damai, dan pembentukan tata kelola pemerintahan yang adil. Tujuannya adalah memperbaiki kerusakan struktural, mengakhiri kekerasan politik, dan membangun institusi yang transparan dan akuntabel. Contoh historis dari Islah politik adalah Perjanjian Hudaibiyah, yang meskipun tampak merugikan secara sepihak pada awalnya, pada akhirnya membawa perdamaian dan membuka jalan bagi penyebaran Islam yang luas.

1. Keadilan (Adl) Sebagai Syarat Islah Politik

Untuk mengislahkan di tingkat negara, keadilan adalah prasyarat mutlak. Rekonsiliasi tanpa keadilan hanya akan menunda konflik. Al-Qur'an memerintahkan, jika satu kelompok zalim, kelompok lain harus diperangi hingga ia tunduk pada perintah Allah (yaitu keadilan). Ini menunjukkan bahwa proses mengislahkan harus dimulai setelah pihak yang bersalah bersedia kembali kepada kebenaran.

III. Metodologi dan Etika Mengislahkan (Adab Al-Islah)

Proses mengislahkan adalah seni yang memerlukan kombinasi antara kearifan spiritual, keahlian komunikasi, dan pemahaman yang mendalam tentang hukum (fiqh). Metode ini disebut Adab Al-Islah atau etika perdamaian.

A. Tahapan Formal Proses Islah (Sulh)

1. Tahap Pendekatan Awal (Isti’mal al-Marasil)

Pada tahap ini, mediator (Mushalih) mulai mengumpulkan informasi dan mendekati pihak-pihak yang bersengketa secara terpisah. Tujuannya adalah menenangkan emosi, mengidentifikasi akar masalah yang sesungguhnya (bukan hanya gejala), dan memastikan niat tulus dari kedua belah pihak untuk berdamai.

2. Tahap Pengurangan Tuduhan (Takhfif Al-Mutalahamah)

Mediator bekerja untuk mengurangi intensitas permusuhan. Ini dicapai dengan mengingatkan pihak-pihak akan ganjaran besar bagi orang yang mendamaikan, bahaya fitnah, dan pentingnya persaudaraan Islam. Di sini, mediator harus piawai dalam menggunakan bahasa yang menyentuh hati dan meredam ego.

3. Tahap Perumusan Kesepakatan (Tahrir As-Sulh)

Kesepakatan perdamaian harus dirumuskan secara jelas, spesifik, dan tertulis. Dalam fiqh, kesepakatan Sulh dianggap sebagai kontrak yang mengikat (‘Aqd Sulh). Dokumen ini harus mencakup hak dan kewajiban baru yang disepakati, cara penyelesaian perselisihan di masa depan, dan sanksi jika ada pelanggaran (jika memungkinkan dalam kerangka syariah).

4. Tahap Implementasi dan Pengawasan (Tanfidz wa Muraqabah)

Perdamaian sejati tercapai bukan hanya saat dokumen ditandatangani, tetapi saat kesepakatan diimplementasikan dalam praktik. Mediator mungkin perlu mengawasi pelaksanaan kesepakatan untuk memastikan tidak ada pihak yang merasa dicurangi atau dirugikan oleh proses yang telah disepakati.

B. Kualifikasi dan Etika Mediator (Al-Mushalih)

Peran Mushalih adalah peran yang mulia namun berat. Kesuksesan mengislahkan sangat bergantung pada integritas dan kualifikasi mediator.

1. Keadilan dan Imparsialitas (Al-Adl wa Al-Hiyad)

Seorang Mushalih harus sepenuhnya netral. Ia tidak boleh memihak, bahkan jika salah satu pihak adalah kerabat atau teman dekat. Keputusan dan rekomendasi harus didasarkan pada kebenaran dan keadilan, bukan popularitas atau kekuatan salah satu pihak.

2. Pengetahuan (Al-Ilm)

Mediator harus memiliki pemahaman yang memadai tentang hukum syariat (fiqh) yang relevan dengan sengketa, baik itu fiqh muamalat (transaksi), fiqh munakahat (pernikahan), atau fiqh jinayat (pidana), agar kesepakatan Sulh tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah.

3. Kebijaksanaan dan Kelembutan (Al-Hikmah wa Ar-Rifq)

Mengislahkan membutuhkan hikmah (kebijaksanaan) untuk melihat akar masalah yang tersembunyi dan rifq (kelembutan) dalam penyampaian. Kebijaksanaan membantu mediator menemukan solusi kreatif yang memuaskan kedua belah pihak, yang sering kali berada di luar kerangka tuntutan awal.

4. Kerahasiaan (Al-Kitman)

Semua informasi yang diungkapkan selama proses mengislahkan harus dijaga kerahasiaannya. Pelanggaran kerahasiaan dapat merusak kepercayaan dan menggagalkan seluruh proses perdamaian.

IV. Tantangan dan Hambatan dalam Mengislahkan

Meskipun mengislahkan diperintahkan secara syar'i, pelaksanaannya di dunia nyata seringkali menghadapi berbagai hambatan yang kompleks, baik dari sisi psikologis, sosial, maupun hukum.

A. Hambatan Psikologis dan Ego

Hambatan terbesar seringkali datang dari diri pihak yang bersengketa. Ego yang tinggi, rasa ingin menang sendiri, dan dendam (hiqd) adalah racun bagi proses Islah. Kebanyakan orang lebih memilih mempertahankan posisi mereka yang merugikan daripada mengakui kesalahan demi perdamaian.

1. Mengatasi Prinsip 'Menang atau Kalah'

Seorang mediator harus mampu mengubah paradigma pihak yang bersengketa dari konsep 'menang atau kalah' menjadi 'bersama-sama menang' (win-win solution). Ini membutuhkan penekanan pada manfaat spiritual dan sosial dari pengampunan dan kompromi.

B. Konflik antara Islah dan Keadilan Mutlak

Salah satu dilema teoretis terbesar adalah keseimbangan antara Islah (perdamaian) dan Adl (keadilan). Apakah kita harus mendamaikan meskipun keadilan mutlak tidak tercapai? Fiqh memberikan pedoman bahwa Sulh adalah sah selama ia mencapai tingkat keadilan yang memadai dan menghilangkan mafsadah (kerusakan). Artinya, sedikit penolakan terhadap hak pribadi demi kedamaian sosial diizinkan, asalkan hak dasar tidak terenggut dan perdamaian itu tulus.

1. Sulh yang Ditolak oleh Syariat

Sulh yang tidak sah (fasid) adalah perdamaian yang dilakukan atas dasar paksaan, penipuan, atau yang secara eksplisit melanggar ketetapan hukum Islam, misalnya, perdamaian yang mengakibatkan hilangnya hak anak yatim atau merampas hak publik.

C. Kekuatan Struktural dan Politis

Dalam sengketa besar, terutama yang melibatkan negara atau korporasi, kekuatan struktural dapat menjadi penghalang. Pihak yang kuat mungkin menolak mengislahkan karena mereka merasa yakin dapat memenangkan sengketa melalui jalur hukum formal atau kekerasan. Dalam situasi ini, peran komunitas internasional atau otoritas agama yang dihormati sangat penting untuk menekan pihak yang dominan agar kembali ke meja perundingan.

V. Studi Kasus Historis dan Kontemporer Mengislahkan

Prinsip mengislahkan telah menjadi panduan praktik sepanjang sejarah Islam, menunjukkan adaptabilitasnya pada berbagai jenis perselisihan.

A. Mengislahkan Pasca Perang Saudara

Dalam sejarah klasik, para khalifah sering menggunakan prinsip Sulh untuk mengakhiri perselisihan internal pasca perang saudara atau pergolakan politik. Fokusnya adalah rekonsiliasi hati (mengakhiri dendam) dan penegakan keadilan restitusi untuk korban, tanpa harus menghukum setiap individu yang terlibat, demi kepentingan stabilitas umat yang lebih besar.

1. Islah dan Amnesti

Dalam banyak kasus rekonsiliasi pasca-konflik, praktik mengislahkan mencakup pemberian amnesti (pengampunan) bersyarat. Amnesti ini bukan berarti pengabaian keadilan, tetapi mengakui bahwa penegakan hukum pidana secara total dapat menghambat proses perdamaian dan membuka kembali luka lama.

B. Mengislahkan di Lembaga Kehakiman Modern

Saat ini, banyak negara dengan sistem hukum Islam atau campuran (seperti Indonesia) telah mengintegrasikan mengislahkan (atau mediasi) ke dalam sistem peradilan formal mereka. Di Pengadilan Agama, mediasi adalah tahap wajib dalam perkara perceraian atau warisan.

1. Mediasi Wajib (Mandatory Mediation)

Penerapan mediasi wajib menunjukkan pengakuan bahwa penyelesaian konflik melalui perdamaian non-litigasi lebih unggul karena menjaga hubungan sosial dan keluarga, yang sering hancur total melalui pertarungan hukum di pengadilan.

C. Implementasi Mengislahkan dalam Masyarakat Multikultural

Prinsip mengislahkan memiliki relevansi yang besar dalam masyarakat majemuk. Ia mengajarkan toleransi, pengakuan terhadap hak orang lain, dan mencari titik temu (kalimatun sawa’) tanpa menghilangkan identitas masing-masing kelompok. Di sini, Islah berperan sebagai jembatan dialog antar-iman dan antar-budaya.

VI. Peran Lembaga dan Institusi dalam Mewujudkan Islah

Tugas mengislahkan tidak dapat dibebankan hanya pada individu. Lembaga-lembaga memiliki tanggung jawab struktural untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perdamaian dan perbaikan sosial.

A. Peran Ulama dan Pemimpin Agama

Ulama adalah pewaris para nabi, dan tanggung jawab mereka mencakup menjadi agen perdamaian utama. Mereka harus mampu menafsirkan ajaran agama untuk meredam konflik, bukan memicunya. Khutbah, ceramah, dan fatwa ulama harus senantiasa mendorong masyarakat untuk mengislahkan dan menghindari perpecahan.

1. Membangun Narasi Perdamaian

Ulama memiliki kekuatan untuk membentuk narasi. Dalam konteks konflik berbasis identitas, mereka harus secara aktif memerangi ekstremisme dan memperkuat narasi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, yang mengutamakan Islah dan rahmah (kasih sayang).

B. Peran Negara dan Pemerintah

Negara bertanggung jawab menyediakan kerangka hukum yang memfasilitasi Sulh, seperti sistem peradilan yang mendukung mediasi. Lebih dari itu, negara harus menjadi contoh utama dalam mengislahkan, khususnya dalam menangani ketidakadilan historis atau sengketa wilayah.

1. Restorasi Keadilan (Restorative Justice)

Konsep modern seperti Restorative Justice sangat selaras dengan prinsip mengislahkan. Fokusnya adalah memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh kejahatan, bukan hanya menghukum pelaku. Dalam kerangka Islah, pelaku didorong untuk bertanggung jawab dan berdamai dengan korban, sehingga tercapai penyembuhan yang komprehensif.

C. Peran Lembaga Pendidikan

Pendidikan adalah alat jangka panjang untuk menanamkan budaya mengislahkan. Kurikulum harus mencakup studi etika konflik, negosiasi damai, dan sejarah rekonsiliasi. Anak-anak dan pemuda harus diajarkan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, tetapi permusuhan dan perpecahan adalah terlarang.

VII. Mengislahkan dalam Konteks Ekonomi dan Pembangunan

Ternyata, mengislahkan juga memiliki implikasi signifikan dalam bidang ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Kerusakan ekonomi dan kemiskinan sering kali merupakan hasil dari konflik yang tidak terkelola dengan baik. Sebaliknya, perdamaian yang dihasilkan dari proses mengislahkan adalah prasyarat bagi kemakmuran.

A. Islah dalam Sengketa Bisnis (Fasaqah wa Syarikah)

Dalam kemitraan bisnis (syarikah) yang bersyariah, perselisihan kerap terjadi mengenai pembagian keuntungan atau manajemen. Proses mengislahkan menawarkan alternatif yang cepat dan rahasia dibandingkan litigasi, yang dapat menghancurkan reputasi bisnis. Sulh di bidang ini mengutamakan keberlanjutan kemitraan dan reputasi baik (akhlak) di atas keuntungan jangka pendek.

1. Prinsip Kerugian Bersama (Al-Ghurm bi Al-Ghunm)

Dalam mengislahkan sengketa investasi atau bisnis, prinsip syariah tentang berbagi risiko dan keuntungan (al-ghurm bi al-ghunm) menjadi landasan. Mediator membantu memastikan bahwa penyelesaian didasarkan pada proporsi kerugian dan bukan semata-mata tuntutan emosional.

B. Membangun Kembali Pasca-Konflik

Pembangunan kembali masyarakat pasca-konflik (post-conflict rebuilding) tidak akan berhasil tanpa adanya rekonsiliasi sosial. Investasi fisik (infrastruktur) harus diiringi oleh investasi sosial dan emosional (Islah). Program yang berhasil mengislahkan masyarakat adalah yang melibatkan seluruh pihak dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian sumber daya, memastikan bahwa keadilan ekonomi juga dirasakan.

VIII. Memperluas Cakupan Islah: Dari Diri Hingga Lingkungan

Makna mengislahkan (perbaikan) memiliki jangkauan yang sangat luas, meliputi tidak hanya hubungan antarmanusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungannya.

A. Islah Al-Ardh (Perbaikan Bumi)

Tanggung jawab manusia sebagai khalifah fil ardh (mandataris di bumi) mencakup tugas mengislahkan kerusakan lingkungan. Ketika manusia merusak ekosistem (misalnya, melalui polusi atau eksploitasi berlebihan), ia telah menciptakan kerusakan (fasad). Upaya restorasi ekologi adalah bentuk Islah Al-Ardh. Tindakan ini menuntut rekonsiliasi antara kebutuhan ekonomi manusia dan kebutuhan keseimbangan alam.

1. Fiqh Lingkungan dan Islah

Fiqh lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah) menekankan bahwa menjaga sumber daya alam adalah kewajiban agama. Ketika terjadi sengketa antara pembangunan dan konservasi, prinsip mengislahkan mengarahkan pada solusi yang mengutamakan kemaslahatan jangka panjang (konservasi) daripada keuntungan sesaat (eksploitasi).

IX. Implementasi dan Praktik Lanjutan Mengislahkan

Agar proses mengislahkan efektif dan berkelanjutan, dibutuhkan pengembangan praktik dan mekanisme yang terus menerus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman.

A. Pengembangan Keahlian Mediasi Syar'i

Diperlukan pelatihan intensif bagi para mediator (Mushalih) agar mereka tidak hanya memahami fiqh, tetapi juga teknik psikologi, negosiasi lintas budaya, dan manajemen konflik modern. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam harus menawarkan program studi yang fokus pada penyelesaian sengketa berbasis syariat.

1. Sertifikasi Mediator Islah

Standardisasi dan sertifikasi mediator syar’i akan menjamin bahwa mereka yang melakukan tugas mengislahkan memiliki kualifikasi moral dan keahlian teknis yang diperlukan, sehingga hasil Sulh memiliki legitimasi yang kuat di mata hukum dan masyarakat.

B. Mengatasi Konflik Online dan Media Sosial

Di era digital, konflik sering kali dipicu dan diperburuk oleh penyebaran informasi palsu (hoaks) dan ujaran kebencian di media sosial. Mengislahkan dalam ruang digital memerlukan pendekatan baru. Ini termasuk klarifikasi (tabayyun) yang cepat, penghapusan konten yang memecah belah, dan edukasi publik tentang etika komunikasi digital (adab al-ijtima’i ar-raqmi).

1. Perlunya Moderasi dan Verifikasi

Dalam konteks sengketa yang dipicu oleh informasi, proses mengislahkan harus dimulai dengan verifikasi kebenaran klaim. Tanpa fakta yang jelas, perdamaian hanya bersifat sementara karena akar fitnah (kebohongan) masih ada.

C. Islah dan Budaya Pemaafan (Al-Afwu)

Inti dari keberhasilan mengislahkan adalah pemaafan (al-afwu). Pemaafan adalah tindakan proaktif melepaskan hak untuk membalas dendam atau menuntut ganti rugi secara maksimal. Ini adalah kekuatan yang mengubah pihak yang dirugikan menjadi pihak yang mulia di mata Allah. Mediator harus senantiasa mengingatkan pihak yang bersengketa tentang keutamaan pemaafan, sebagaimana Nabi Muhammad SAW mencontohkannya dalam banyak kesempatan rekonsiliasi pasca-perang.

1. Membedakan Pemaafan dan Pengabaian

Pemaafan yang diajarkan dalam konteks Islah bukanlah pengabaian terhadap kesalahan, melainkan keputusan sadar untuk melanjutkan hidup tanpa beban permusuhan, seringkali setelah keadilan prosedural (pengakuan kesalahan) telah dipenuhi.

X. Kesimpulan: Mengislahkan sebagai Gaya Hidup

Prinsip mengislahkan adalah inti dari ajaran Islam yang berorientasi pada pembangunan, bukan perusakan. Ini adalah perintah ilahi yang menuntut umat Muslim untuk menjadi agen perdamaian (Mushalih) di setiap skala kehidupan—dari memperbaiki hubungan dengan diri sendiri dan keluarga, hingga berpartisipasi aktif dalam rekonsiliasi sosial dan politik yang kompleks.

Mengislahkan bukan hanya solusi untuk mengakhiri sengketa, tetapi merupakan metodologi komprehensif untuk mencapai Maslahah (kebaikan umum) dan mencegah Mafsada (kerusakan). Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kebutuhan akan individu dan institusi yang berkomitmen untuk mengislahkan—dengan integritas, keadilan, dan hikmah—adalah kebutuhan yang mutlak, memastikan bahwa perdamaian yang dicapai adalah perdamaian yang berkelanjutan, adil, dan berlandaskan kebenaran.

🏠 Kembali ke Homepage