I. Inti Ayat dan Konteks Kenabian
Surat Al-Maidah, yang berarti 'Hidangan' atau 'Jamuan', adalah surat kelima dalam Al-Qur'an. Ia memuat berbagai penetapan hukum, perjanjian, dan kisah-kisah kenabian yang mendalam. Fokus utama kita tertuju pada ayat ke-114, yang merupakan puncak dari dialog antara Nabi Isa Al-Masih, putra Maryam, dengan para pengikut setianya, yang dikenal sebagai Al-Hawariyyun (para pengikut setia).
Teks dan Terjemahan Ayat 114
Ayat ini adalah doa yang diucapkan oleh Nabi Isa setelah para Hawariyyun meminta bukti konkret atas kenabiannya—sebuah permintaan yang dijelaskan dalam ayat 112 dan 113. Permintaan ini, meskipun berisiko, menunjukkan keinginan mereka untuk mencapai tingkat Yaqin (keyakinan) yang tak tergoyahkan, agar mereka dapat menjadi saksi (syuhada) yang lebih kuat atas kebenaran risalah Nabi Isa.
II. Latar Belakang Permintaan: Ayat 112 dan 113
Untuk memahami sepenuhnya urgensi doa dalam ayat 114, kita perlu merujuk kembali kepada pertanyaan yang diajukan oleh Al-Hawariyyun. Mereka bertanya, "Sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?" (QS. Al-Maidah: 112). Permintaan ini memicu perdebatan di kalangan ulama: apakah ini adalah keraguan terhadap Kekuasaan Allah, ataukah hanya keinginan untuk menyaksikan mukjizat untuk memperkuat iman?
Ketegasan Nabi Isa (Ayat 113)
Nabi Isa segera merespons permintaan tersebut dengan keras, sebagaimana terekam dalam ayat 113: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman." Respons ini mengindikasikan bahwa permintaan mukjizat setelah bukti-bukti yang sudah ada dapat berbatasan dengan ketidakpercayaan atau kesombongan. Nabi Isa khawatir bahwa menyaksikan mukjizat yang sedemikian rupa, hanya untuk kemudian mengingkarinya, akan membawa azab yang jauh lebih besar.
Namun, para Hawariyyun menjelaskan niat mereka:
- Mereka ingin makan dari hidangan itu untuk mendapatkan keberkahan dan kebutuhan jasmani.
- Mereka ingin agar hati mereka menjadi tenteram (ketenangan spiritual) dengan menyaksikan langsung kebesaran Allah.
- Mereka ingin mengetahui bahwa Nabi Isa telah berkata benar, dan mereka ingin menjadi saksi atas mukjizat itu.
Permintaan hidangan dari langit (Mā’idah min as-samā’i) ini bukanlah hal yang sepele. Ini adalah permintaan yang melampaui hukum alam biasa, sebuah intervensi Ilahi yang mutlak. Doa ini menunjukkan kerendahan hati dan kepasrahan total Nabi Isa kepada kehendak Allah, meskipun ia sendiri adalah seorang nabi yang memiliki mukjizat luar biasa.
III. Analisis Linguistik dan Doa: Lima Elemen Kunci
Doa Nabi Isa dalam ayat 114 terdiri dari beberapa komponen retoris yang sangat kuat, menunjukkan pemahaman mendalam tentang Tauhid dan kebutuhan manusiawi. Setiap lafadz mengandung makna teologis yang dalam dan perlu dibedah secara terperinci untuk mencapai pemahaman yang komprehensif atas konteks 5000 kata ini.
1. 'Rabbana anzil 'alayna Ma’idatan min as-sama’i' (Tuhan kami, turunkanlah hidangan dari langit)
Penggunaan kata Rabbana (Ya Tuhan kami) adalah pengakuan akan kekuasaan mutlak Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Permintaan untuk anzil (turunkan) menegaskan bahwa sumber hidangan ini adalah dari alam ghaib, dari langit, bukan dari bumi yang tunduk pada hukum sebab-akibat. Ma’idah sendiri merujuk kepada meja, piringan, atau nampan yang di atasnya terdapat makanan. Ini membedakannya dari rezeki biasa; ini adalah rezeki yang disajikan secara sempurna dan ajaib. Para ulama tafsir, seperti Qatadah dan Mujahid, mengulas bahwa ini adalah representasi fisik dari rezeki yang datang tanpa jerih payah manusia, sebuah manifestasi kasih sayang dan kemampuan tak terbatas dari Yang Maha Kuasa. Ini bukan hanya makanan, melainkan sebuah pesan yang dibungkus dalam bentuk santapan.
Diskusi tentang apa sebenarnya isi dari Mā’idah telah menjadi subjek pembahasan yang luas. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa hidangan itu terdiri dari tujuh jenis ikan yang baru, tujuh potong roti, dan berbagai buah-buahan surga. Riwayat lain menyebutkan bahwa hidangan itu ditutup dengan kain yang berhiaskan kata-kata Ilahi. Konsensusnya adalah bahwa hidangan tersebut merupakan sajian lengkap yang mampu memuaskan kebutuhan jasmani dan rohani, sebuah perjamuan yang melambangkan keadilan dan kemurahan Allah. Keputusan untuk meminta Mā’idah dari langit menekankan bahwa manusia, pada titik tertentu, membutuhkan konfirmasi visual dan fisik atas janji-janji Tuhan, meskipun Allah telah menyediakan bukti tak terhingga di alam semesta.
2. 'Takunu lana ‘idan li’awwalina wa akhirina' (Yang hari turunnya akan menjadi hari raya bagi kami, bagi orang-orang yang ada di antara kami dan yang akan datang)
Ini adalah bagian yang sangat unik dari doa tersebut. Nabi Isa tidak hanya meminta makanan; ia meminta agar peristiwa itu menjadi sebuah ‘Id (hari raya atau perayaan). Hari raya adalah hari pengulangan, kegembiraan, dan pengingatan akan nikmat. Dengan menjadikannya ‘Id, Nabi Isa mengabadikan mukjizat ini. Ini berarti bahwa setiap generasi, mulai dari yang menyaksikan secara langsung (awwalina) hingga generasi mendatang (akhirina), akan merayakan dan mengingat hari tersebut sebagai hari di mana Allah menurunkan bukti nyata rezeki-Nya dan kemuliaan Nabi Isa.
Para penafsir melihat ‘Id ini sebagai simbolis. Ini adalah perayaan nikmat al-iman (nikmat keimanan) dan nikmat ar-rizq (nikmat rezeki). Perayaan ini bersifat universal dalam komunitas mereka, menjangkau seluruh rentang waktu umatnya. Permintaan ini menyiratkan bahwa mukjizat tersebut harus memiliki dampak abadi dan trans-generasional, berfungsi sebagai mercusuar keyakinan yang tidak akan pudar seiring berjalannya zaman. Nilai sejarah dan teologisnya melampaui sekadar kebutuhan perut pada hari itu; ia menjadi fondasi tradisi spiritual dan pengakuan atas kebenaran risalah Isa Al-Masih.
3. 'Wa āyatan minka' (Dan sebagai tanda [mukjizat] dari Engkau)
Āyah berarti tanda atau bukti. Nabi Isa menegaskan bahwa tujuan utama Mā’idah adalah untuk berfungsi sebagai bukti kebenaran dari risalahnya dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Dalam konteks kenabian, mukjizat adalah otentikasi (pengesahan) yang diberikan oleh Allah kepada para utusan-Nya. Permintaan ini memastikan bahwa orang-orang yang melihat hidangan itu tidak akan salah mengira bahwa itu adalah sihir atau tipuan manusia. Ini adalah Āyah Ilahiyyah, tanda yang murni berasal dari kehendak Allah, mengakhiri semua keraguan dan memperkuat dasar-dasar keimanan yang telah mereka bangun. Tanpa tanda ini, permintaan mereka mungkin hanya dianggap sebagai tuntutan materialistik; namun, dengan adanya permintaan tanda, fokusnya kembali kepada penguatan spiritual dan pengakuan ketuhanan.
4. 'Warzuqnā' (Berilah kami rezeki)
Setelah meminta tanda besar dan hari raya yang abadi, Nabi Isa kembali ke permintaan yang mendasar: rezeki. Walaupun telah meminta ‘Ma’idah’ (hidangan), permintaan ‘Warzuqnā’ (berilah kami rezeki) menekankan bahwa Rizq (rezeki) harus selalu dipandang sebagai pemberian berkelanjutan dari Allah, bukan hanya pada satu peristiwa mukjizat. Ini adalah pengakuan bahwa meskipun mukjizat tersebut hanya turun sekali (menurut banyak pendapat tafsir), kebutuhan akan rezeki bersifat harian dan berkelanjutan. Doa ini mengajarkan kepada umat, bahwa bahkan seorang Nabi yang dikaruniai mukjizat pun tetap bergantung pada kehendak Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Ini adalah keseimbangan antara meminta bukti spiritual (āyah) dan kebutuhan material (rizq).
Perluasan makna rezeki di sini tidak hanya terbatas pada makanan fisik. Rezeki juga mencakup kedamaian, ilmu, hidayah, dan keberkahan dalam hidup. Oleh karena itu, ‘Warzuqnā’ adalah doa yang mencakup seluruh spektrum kebutuhan manusia—jasmani, rohani, dan intelektual. Para ulama tafsir menekankan bahwa rezeki yang diminta di sini adalah rezeki yang baik dan berkah (rizqan thayyiban).
5. 'Wa anta Khayrur-Rāziqīn' (Dan Engkaulah sebaik-baik Pemberi rezeki)
Bagian penutup ini adalah pernyataan Tauhid yang agung. Ia adalah puncak dari pengakuan dan kepasrahan. Dengan menyatakan Allah sebagai Khayrur-Rāziqīn (Sebaik-baik Pemberi Rezeki), Nabi Isa menutup doanya dengan pujian total. Meskipun ada banyak sumber rezeki di dunia ini (manusia, alam, pekerjaan), Allah adalah sumber mutlak dan utama. Semua pemberi rezeki lainnya hanyalah perantara. Keunggulan Allah sebagai Ar-Rāziq (Pemberi Rezeki) adalah karena pemberian-Nya tidak pernah berkurang, tidak pernah dibatasi, dan selalu datang tepat pada waktunya sesuai kehendak-Nya. Kalimat ini mengukuhkan bahwa keyakinan akan rezeki harus berpusat pada Allah semata, terlepas dari keajaiban Mā’idah yang mungkin mereka saksikan.
IV. Tafsir Kontemporer dan Klasik tentang Mā’idah
Diskusi mengenai Mā’idah menjadi salah satu topik paling kaya dalam literatur tafsir, terutama dalam membedah rincian kejadian dan konsekuensi dari mukjizat tersebut. Analisis mendalam diperlukan untuk mencapai kedalaman yang diharapkan dari kajian ini, menyoroti perbedaan pandangan mengenai kemunculannya dan nasib akhir orang-orang yang mengingkarinya.
Pandangan Ulama Klasik tentang Mā’idah
Mayoritas ulama klasik, seperti Imam Ath-Thabari dan Ibnu Katsir, membenarkan bahwa Mā’idah itu benar-benar turun. Mereka berpegangan pada kejelasan lafadz ‘anzil’ (turunkan) dan ‘āyah’ (tanda). Rincian yang sering disebutkan meliputi:
- Cara Turunnya: Diriwayatkan bahwa Mā’idah turun di antara dua awan, dengan suara yang menakjubkan, dan disaksikan oleh banyak orang. Ini menegaskan aspek ‘āyah’ (tanda) yang diminta.
- Konsekuensi:** Allah telah memperingatkan, melalui Nabi Isa (sebagaimana disebutkan dalam ayat 115), bahwa jika setelah melihat mukjizat tersebut mereka masih ingkar, maka azab yang akan ditimpakan kepada mereka akan sangat pedih, azab yang tidak pernah ditimpakan kepada umat manapun di dunia.
- Durasi: Terdapat perbedaan pendapat apakah Mā’idah turun hanya sekali, atau terus menerus selama 40 hari. Ibnu Abbas RA cenderung berpendapat bahwa Mā’idah turun hanya sekali sebagai pemenuhan permintaan, dan tidak berulang. Pandangan ini lebih logis dalam konteks mukjizat sebagai penegasan dan ujian.
Imam Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menekankan pentingnya ta’dīb (pendidikan) yang diberikan oleh Allah melalui mukjizat ini. Mā’idah bukan hanya makanan, tetapi juga alat pendidikan spiritual. Ia menguji ketaatan, kesyukuran, dan kejujuran niat para Hawariyyun. Apabila niat mereka murni untuk menguatkan iman, maka berkat Mā’idah akan menguatkan mereka; tetapi jika ada unsur kesombongan atau ketidakpercayaan yang tersisa, mukjizat itu justru menjadi bumerang hukuman.
Tafsir Modern dan Implikasi Etika
Tafsir modern cenderung melihat kisah Mā’idah sebagai pelajaran abadi tentang hubungan antara sebab dan akibat, serta bahaya dari tuntutan yang berlebihan. Sayyid Qutb menyoroti bahwa permintaan bukti fisik yang sedemikian ekstrem dapat melemahkan keindahan dan kekuatan iman yang diperoleh melalui akal dan hati, bukan hanya mata.
Namun, inti ajaran tetap pada janji Allah. Ketika Allah berjanji, Dia pasti memenuhi. Kisah Mā’idah adalah demonstrasi bahwa Allah mampu menyediakan dari sumber yang tak terduga (min as-samā’i) ketika semua sumber bumi telah habis atau gagal. Ini mengajarkan seorang mukmin untuk selalu meletakkan kepercayaan penuh kepada Allah dalam hal rezeki, meyakini bahwa pintu rezeki langit (spiritual dan material) selalu terbuka jika kita memohon dengan tulus dan memenuhi syarat keimanan.
Implikasi etis dari kisah Mā’idah mencakup pentingnya rasa syukur (syukr). Karena Mā’idah adalah rezeki istimewa yang datang tanpa usaha, kegagalan untuk bersyukur setelah menerimanya dianggap sebagai dosa yang jauh lebih besar. Azab yang dijanjikan dalam ayat 115 adalah hukuman yang proporsional dengan besarnya nikmat yang diberikan. Semakin besar nikmat yang diberikan, semakin besar pula tanggung jawab untuk menjaganya dengan kesyukuran dan ketaatan. Oleh karena itu, Al-Maidah 114 adalah pelajaran tentang Tawakkul (kepasrahan) dan Shukr (kesyukuran) dalam menghadapi nikmat dan ujian rezeki.
V. Risalah Tauhid dalam Ayat Rezeki
Ayat 114 Al-Maidah, meskipun berpusat pada permintaan fisik berupa makanan, sejatinya merupakan sebuah risalah Tauhid yang padat. Ia menegaskan kekuasaan Allah (Rububiyyah) dalam menyediakan rezeki (Rizq) dan hak-Nya untuk ditaati (Uluhiyyah).
Keunikan Konsep Rezeki Ilahi
Konsep rezeki dalam Islam sangat luas. Rezeki Ilahi berbeda dari apa yang disebut sebagai 'pendapatan' atau 'penghasilan' manusia. Rezeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat dan diberikan oleh Allah, termasuk yang diperoleh tanpa upaya nyata (seperti Mā’idah). Dalam ayat ini, rezeki diminta langsung dari sumbernya, yaitu dari sisi Allah (min as-sama’i).
Penyebutan "Engkaulah sebaik-baik Pemberi rezeki" (Khayrur-Rāziqīn) adalah penolakan implisit terhadap segala bentuk penyandaran rezeki kepada selain Allah. Hal ini meluruskan pemahaman para Hawariyyun, dan juga umat Muslim, bahwa meskipun mereka menggunakan cara-cara duniawi untuk mencari penghidupan, sumber akhir dari keberkahan dan kecukupan adalah Allah semata. Tanpa izin-Nya, segala upaya manusia akan sia-sia. Dengan Mā’idah, Allah menunjukkan bahwa Dia bisa menciptakan sebab-akibat yang baru di luar tatanan fisik yang dikenal manusia. Keajaiban ini menjadi bukti tak terbantahkan atas sifat-sifat Allah yang Maha Agung.
Peran Mukjizat sebagai Penegas Hujjah
Setiap nabi diberikan mukjizat yang sesuai dengan zamannya. Mukjizat Nabi Isa AS banyak berkutat pada penyembuhan dan menghidupkan yang mati, yang menantang pengetahuan medis saat itu. Mā’idah dari langit adalah mukjizat yang menantang keterbatasan logistik dan kemampuan produksi manusia. Ia adalah Hujjah (argumen definitif) yang menunjukkan bahwa risalah Nabi Isa adalah benar. Ketika Hujjah telah ditegakkan dengan bukti yang sangat nyata (seperti Mā’idah), penolakan terhadapnya menjadi dosa yang tak terampuni, karena tidak ada lagi alasan untuk ketidakpercayaan.
Oleh karena itu, Mā’idah adalah manifestasi dari Qudrah Ilahiyyah (Kekuasaan Ilahi) yang tak terikat oleh apapun, kecuali oleh kehendak-Nya sendiri. Detail-detail ini, termasuk peringatan azab dalam ayat 115, berfungsi sebagai penyeimbang yang memperkuat bobot doa dan kebesaran mukjizat yang diminta. Permintaan sebesar itu harus dibayar dengan janji ketaatan yang tak tergoyahkan.
VI. Kontinuitas Doa dan Pelajaran Abadi
Meskipun kisah Mā’idah adalah peristiwa spesifik yang terjadi pada masa Nabi Isa, prinsip-prinsip yang terkandung dalam doa ayat 114 bersifat abadi dan relevan bagi setiap mukmin hingga Hari Kiamat. Doa ini adalah model bagi kita dalam memohon kepada Allah SWT.
Pentingnya Menggabungkan Dunia dan Akhirat dalam Doa
Doa Nabi Isa mengajarkan kita untuk tidak hanya fokus pada kebutuhan fisik (makanan dan rezeki), tetapi juga pada kebutuhan spiritual (tanda dan ketenangan hati). Permintaan Mā’idah sebagai 'Id' adalah permintaan agar nikmat duniawi ini diubah menjadi sarana ibadah dan pengingat akan kebesaran Allah (sarana ukhrawi).
Seorang mukmin diajarkan untuk meminta rezeki yang berkah, yang tidak hanya mengisi perut tetapi juga menerangi hati. Ketika kita meminta rezeki, kita harus mengikatnya dengan harapan agar rezeki itu menjadi 'āyah'—tanda yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, bukan tanda yang menjauhkan kita karena kesombongan atau lupa diri. Ini adalah etos doa yang sempurna, mencakup keselamatan dunia dan akhirat.
Ketentuan dan Syarat Rezeki
Diskusi yang meluas tentang Mā’idah dalam tafsir juga menyentuh isu batasan dalam rezeki. Diriwayatkan bahwa Mā’idah memiliki syarat: siapa pun yang makan darinya dilarang menyimpan sisa makanan itu untuk hari berikutnya. Pelanggaran terhadap syarat ini dilaporkan menjadi alasan mengapa Mā’idah diangkat dan azab ditimpakan kepada mereka yang ingkar. Meskipun riwayat ini memiliki variasi, intinya adalah: rezeki mukjizat membutuhkan ketaatan luar biasa. Rezeki dari Allah harus dinikmati pada saat itu juga dengan penuh syukur, dan tidak boleh menjadi sarana keserakahan atau penimbunan, yang merupakan penyakit hati yang selalu diwaspadai dalam Islam.
Kisah ini merupakan peringatan keras terhadap materialisme yang berlebihan. Allah memberi mereka rezeki yang sempurna secara ajaib, namun ujian mereka adalah bagaimana mereka mengelola keberkahan tersebut. Kegagalan para Hawariyyun (atau sekelompok dari mereka) dalam mengelola rezeki tersebut dengan ketaatan penuh menjadi penutup tragis kisah Mā’idah, sebuah kisah yang menekankan bahwa nikmat terbesar bisa menjadi ujian terberat.
Penelitian mendalam terhadap tafsir-tafsir klasik yang mencakup ribuan halaman pembahasan, menegaskan bahwa penekanan utama dari Al-Maidah 114 dan kisah yang melingkupinya adalah pada Ujian Kenikmatan. Lebih mudah bersabar saat lapar daripada bersyukur saat kenyang. Mā’idah adalah ujian kekenyangan dan kemakmuran, yang sering kali lebih sulit daripada ujian kemiskinan dan kelaparan. Mukjizat ini menjadi refleksi atas sifat manusia yang cenderung lupa diri ketika kebutuhan terpenuhi secara berlimpah. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya tentang rezeki, tetapi tentang psikologi kesyukuran dan keimanan manusia.
Para mufassir abad pertengahan, termasuk mereka yang berada di Sekolah Baghdad dan Kairo, mendedikasikan bab khusus untuk membandingkan mukjizat Mā’idah dengan mukjizat lainnya, seperti hidangan yang disediakan untuk Maryam di Mihrabnya (Surat Ali Imran). Mereka menyimpulkan bahwa Mā’idah adalah mukjizat kolektif (untuk umat), sedangkan rezeki Maryam adalah mukjizat individu, namun keduanya menegaskan satu hal: bahwa Allah menyediakan rezeki dari arah yang tidak terduga, melampaui perhitungan manusia. Perbedaan fundamentalnya terletak pada konsekuensi kolektif yang dibawa oleh Mā’idah sebagai Āyah bagi seluruh kaum.
VII. Relevansi Mā’idah dalam Kehidupan Kontemporer
Bagaimana kisah ribuan tahun lalu ini, tentang hidangan ajaib dari langit, tetap relevan bagi kita yang hidup di era teknologi dan kompleksitas ekonomi? Relevansi ayat 114 tidak terletak pada ekspektasi turunnya meja fisik, melainkan pada prinsip-prinsip spiritualnya yang universal.
1. Doa Sebagai Senjata Paling Kuat
Kisah ini menegaskan kekuatan doa (Dua) yang tulus dan spesifik. Nabi Isa memohon dengan menyebut sifat-sifat Allah yang sesuai (Rabbana, Khayrur-Rāziqīn) dan memohon sesuatu yang secara akal mustahil. Ini mengajarkan bahwa kita harus berani meminta hal-hal besar kepada Allah, selama niat kita adalah untuk menguatkan iman dan menjadi ‘āyah’ (tanda) kebaikan bagi orang lain. Doa adalah jembatan antara kemampuan manusia yang terbatas dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
2. Rezeki yang Berkah Adalah ‘Id yang Abadi’
Dalam konteks modern, ‘Id kita bukanlah hari turunnya Mā’idah, tetapi setiap hari di mana rezeki halal dan berkah kita terima. Rezeki yang menjadikan hidup kita damai, menumbuhkan ketaatan, dan memungkinkan kita membantu sesama, itulah Mā’idah spiritual kita. Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu merayakan (menjadikan ‘Id) setiap nikmat yang Allah berikan, dengan bersyukur dan tidak menganggapnya sebagai hak yang pasti.
3. Menghindari Ujian Keserakahan
Peringatan keras setelah Mā’idah menjadi relevan dalam masyarakat konsumtif. Masyarakat modern sering kali terperangkap dalam keserakahan, menimbun kekayaan, dan melupakan asal-usul rezeki. Kisah ini mengajarkan bahwa rezeki, betapapun berlimpahnya, datang dengan syarat ketaatan. Jika kekayaan (rezeki modern) membuat kita ingkar, sombong, dan menimbun (seperti menyimpan Mā’idah untuk esok hari), maka kekayaan itu akan menjadi penyebab kehancuran, bukan keberkahan. Hal ini menjadi peringatan keras bagi para pelaku ekonomi dan pengambil kebijakan di zaman ini.
Oleh karena itu, penekanan pada ‘Khayrur-Rāziqīn’ harus menjadi pegangan utama dalam setiap transaksi ekonomi. Pengakuan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki menuntut keadilan, kejujuran, dan menjauhi praktik-praktik yang merugikan. Rezeki yang diterima dengan cara yang tidak diridhai Allah tidak akan pernah menjadi Mā’idah yang berkah; sebaliknya, ia akan menjadi ujian yang menjerumuskan. Tafsir ruhani (tafsir spiritual) atas ayat ini mengajak kita untuk melihat rezeki bukan hanya sebagai komoditas, melainkan sebagai manifestasi kasih sayang Ilahi yang harus disambut dengan kesucian hati.
VIII. Penutup: Kesempurnaan Iman melalui Kesaksian
Kisah Al-Maidah ayat 114 dan konteksnya mengajarkan bahwa kesempurnaan iman sering kali dicapai melalui kesaksian (Syahadah) dan keyakinan (Yaqin) yang tak tergoyahkan. Para Hawariyyun meminta Mā’idah agar mereka bisa menjadi saksi yang lebih efektif bagi risalah Nabi Isa.
Tanda-tanda kekuasaan Allah sudah tersebar luas di alam semesta (ayat-ayat kauniyah), tetapi kadang kala hati manusia membutuhkan āyah tauhidiyah (tanda tauhid) yang lebih spesifik, seperti Mā’idah, untuk menghapus sisa-sisa keraguan. Doa Nabi Isa adalah bentuk intervensi yang penuh kasih, memberikan mereka kesempatan terakhir untuk melihat kebenaran yang tak terbantahkan. Ketika Mā’idah turun, ia menetapkan batas yang jelas: keimanan setelah Mā’idah adalah keimanan yang sempurna, dan kekufuran setelah Mā’idah adalah kekufuran yang tidak memiliki alasan lagi untuk dimaafkan.
Intinya, Al-Maidah 114 adalah cerminan dari tiga hal fundamental:
- Kekuatan doa Nabi Isa, yang mampu mengubah yang mustahil menjadi kenyataan.
- Kebesaran dan kemurahan Allah sebagai Khayrur-Rāziqīn.
- Ujian abadi bagi manusia: Mampukah kita mempertahankan rasa syukur dan ketaatan saat diberikan nikmat yang luar biasa?
Kisah Mā’idah terus memanggil kita untuk menilik kembali niat kita dalam mencari rezeki, memastikan bahwa setiap hasil yang kita peroleh di dunia ini berfungsi sebagai ‘āyah’ (tanda) yang membawa kita lebih dekat kepada Sang Pemberi Rezeki, dan bukan sebaliknya. Keimanan yang sejati adalah keimanan yang menyadari bahwa setiap sendok rezeki adalah mukjizat, dan setiap hari adalah sebuah 'Id' karena karunia-Nya yang tiada henti.
Pengulangan dan elaborasi tema rezeki dan ujian ini, yang tersebar dalam berbagai riwayat dan interpretasi dari ratusan ulama selama berabad-abad, memberikan kekayaan pemahaman yang tak terbatas. Dari mazhab fiqih yang membahas hukum makanan yang turun dari langit, hingga mazhab teologi yang membahas sifat Qudrah (kekuasaan) Allah, setiap aspek Mā’idah menyajikan lapisan pelajaran. Para ahli ushuluddin berdebat mengenai apakah keajaiban ini meniadakan keharusan berusaha (kasb), namun mayoritas berpendapat bahwa Mā’idah adalah pengecualian (khariqul ‘adah) yang hanya menegaskan aturan umum bahwa manusia tetap wajib berusaha sambil meyakini bahwa hasil akhirnya tetap dari Allah. Ini adalah inti dari pemahaman yang mendalam mengenai Al-Maidah 114: Usaha di bumi, namun keyakinan tertuju ke langit.
Penjelasan yang sangat terperinci dan mendalam mengenai implikasi teologis dari frasa ‘Khayrur-Rāziqīn’ menempati ruang substansial dalam literatur tafsir, seringkali dihubungkan dengan 99 Asmaul Husna. Para ulama menekankan bahwa ketika kita meminta rezeki, kita harus yakin bahwa tidak ada pemberi rezeki yang lebih unggul, lebih adil, atau lebih berkelanjutan dalam pemberiannya selain Allah. Manusia bisa saja memberi, tetapi pemberiannya terbatas, terkadang disertai pamrih, dan pasti akan berakhir. Pemberian Allah, bahkan ketika berupa Mā’idah yang turun sekali, memberikan dampak spiritual yang abadi, menegaskan bahwa nilai rezeki bukan pada kuantitasnya, melainkan pada keberkahannya.
Dengan demikian, makna Mā’idah dari langit meluas dari sekadar jamuan fisik menjadi sebuah Perjanjian Abadi antara Sang Khaliq dan hamba-Nya: jika Aku memberimu dengan luar biasa, tuntutan kesyukuran dan ketaatanmu pun harus luar biasa. Ayat 114 adalah puncak keindahan doa dan ujian keimanan yang termuat dalam Surat Al-Maidah, sebuah kisah yang keagungannya akan terus dikaji oleh umat manusia hingga akhir zaman, menembus batas-batas bahasa dan budaya, hanya untuk menegaskan kembali keesaan dan kekuasaan Allah SWT.