Sebuah Tinjauan Mendalam atas Praktik Kritis dalam Jantung Transportasi Publik Indonesia
Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan yang tak pernah tidur, di antara raungan mesin dan desahan klakson yang tak henti, terdapat satu kegiatan yang menjadi denyut nadi sekaligus sumbatan vital bagi mobilitas publik: mengetem. Kata ini, yang mungkin asing bagi kamus baku namun sangat hidup di jalanan, merujuk pada praktik menunggu, khususnya yang dilakukan oleh pengemudi angkutan umum seperti angkot, bus kota, atau taksi, di lokasi tertentu untuk mengumpulkan jumlah penumpang yang dianggap ideal atau minimal sebelum melanjutkan perjalanan. Mengetem bukanlah sekadar berhenti; ia adalah sebuah seni penantian yang kompleks, melibatkan perhitungan ekonomi mikro, kesabaran psikologis, dan negosiasi konstan dengan ruang publik.
Mengetem, secara etimologis, berakar dari bahasa pergaulan yang menggambarkan keadaan statis yang disengaja. Ini adalah jeda yang dipaksakan oleh logika pasar; sebuah kebutuhan untuk memastikan bahwa biaya operasional (bahan bakar, setoran harian, keausan mesin) tertutupi oleh pendapatan yang dibawa oleh jumlah penumpang yang memadai. Tanpa praktik ini, rute-rute dengan permintaan rendah dijamin akan merugi, dan konektivitas transportasi publik akan terganggu. Oleh karena itu, mengetem bukan hanya strategi bertahan hidup bagi individu pengemudi, melainkan juga mekanisme penyeimbang dalam ekosistem transportasi yang sering kali tidak terencana dengan baik.
Visualisasi sederhana mengenai kendaraan umum yang berhenti sejenak di tepi jalan, menunggu hingga kuota penumpang terpenuhi.
Keputusan untuk mengetem di titik A selama 15 menit atau bergerak lambat menuju titik B didasarkan pada perhitungan opportunity cost dan break-even point. Bagi seorang sopir, waktu yang dihabiskan untuk menunggu adalah investasi dengan harapan imbal hasil yang lebih tinggi. Jika bergerak tanpa penumpang yang memadai, risiko kerugian bahan bakar sangat besar. Titik impas (BEP) operasional harian sering kali ditentukan oleh besaran setoran kepada pemilik kendaraan atau koperasi. Mengetem menjadi fase krusial di mana pengemudi harus menyeimbangkan antara dua variabel yang saling bertentangan:
Fenomena ini menciptakan titik-titik krisis di mana pengemudi dipaksa untuk membuat keputusan rasional dalam lingkungan yang sangat tidak rasional—macet, persaingan, dan permintaan penumpang yang fluktuatif. Keadaan ini menegaskan bahwa mengetem bukan hanya kebiasaan, melainkan respons logis terhadap model bisnis transportasi publik yang didominasi oleh sistem setoran harian ketimbang upah berbasis jam kerja.
Lokasi adalah segalanya dalam praktik mengetem. Titik-titik ini, yang dikenal sebagai 'titik tem', bukan dipilih secara acak. Mereka adalah hasil dari analisis empiris selama bertahun-tahun mengenai pola pergerakan komuter, kepadatan demografi, dan infrastruktur kota. Titik tem adalah simpul-simpul dalam jaringan kota di mana terjadi akumulasi, transfer, atau diseminasi penumpang secara massal. Memahami geografi mengetem adalah kunci untuk memahami bagaimana kota-kota Indonesia bernapas dan bergerak.
Keberadaan titik-titik ini seringkali berbanding lurus dengan masalah kemacetan dan konflik tata ruang. Meskipun penting bagi sopir, titik-titik ini seringkali tidak dirancang sebagai terminal resmi, menyebabkan gesekan dengan pengguna jalan lain dan otoritas kota. Analisis mendalam menunjukkan tiga kategori utama titik tem yang mendominasi lanskap urban:
Ini adalah pusat gravitasi utama, titik awal dan akhir rute. Di sini, proses mengetem bisa sangat terstruktur, dengan potensi persaingan yang tinggi, namun juga potensi pendapatan yang paling pasti. Sopir diwajibkan menunggu giliran dan memenuhi kuota maksimum sebelum diberangkatkan. Waktu tunggu di terminal sering kali diatur oleh pengelola atau koordinator lapangan (calo), yang bertindak sebagai wasit dalam pembagian penumpang. Penantian di sini bisa memakan waktu hingga satu jam, menciptakan komunalitas di antara para sopir yang menunggu.
Aspek psikologis di titik tem primer melibatkan rasa aman karena kepastian penumpang, tetapi juga stres akibat pengawasan ketat dan tekanan untuk segera berangkat jika terminal sudah penuh. Ini adalah panggung utama tempat drama ekonomi transportasi dimainkan secara terbuka.
Titik-titik ini dicirikan oleh fluktuasi permintaan yang ekstrem. Permintaan memuncak di pagi hari (penjual/pembeli) dan sore hari (pulang kerja/belanja). Mengetem di pasar memerlukan keahlian adaptif; sopir harus cepat memanfaatkan lonjakan penumpang dan segera pindah jika pasar sepi. Konflik sering terjadi di sini karena kendaraan umum sering kali harus melanggar aturan parkir atau menggunakan bahu jalan secara ilegal, yang mengakibatkan gangguan signifikan pada arus lalu lintas lokal. Praktik mengetem di area pasar seringkali dilakukan dengan mode "setengah tem"—berhenti sebentar, jalan pelan, berhenti lagi—sebuah teknik yang memperlambat laju kota secara keseluruhan.
Ini adalah titik-titik di mana proses mengetem terjadi secara spontan dan oportunistik. Meskipun dilarang, sopir memanfaatkan jeda lampu merah yang panjang atau tikungan tajam di mana kendaraan cenderung melambat. Di sini, mengetem dilakukan dengan risiko penertiban yang tinggi. Keberhasilan mendapatkan penumpang di titik sporadis sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan mata sopir dalam mengidentifikasi calon penumpang yang sedang berjalan kaki. Fenomena ini menciptakan budaya "ngetem liar" yang menjadi tantangan besar bagi manajemen lalu lintas perkotaan.
Dampak spasial dari praktik mengetem tidak dapat diabaikan. Ketika puluhan angkot berkumpul di satu titik di luar terminal yang resmi, mereka secara efektif menciptakan penyempitan jalan yang drastis, mengurangi kapasitas jalan hingga 50%. Hal ini memicu efek domino kemacetan yang merambat ke seluruh jaringan jalan. Upaya pemerintah kota untuk menertibkan area-area ini sering kali gagal karena para pengemudi hanya memindahkan titik tem beberapa meter, menciptakan masalah baru di lokasi yang berbeda. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada lokasi, melainkan pada keharusan ekonomi untuk menunggu.
Waktu yang dihabiskan untuk mengetem jauh lebih dari sekadar jeda operasional; ini adalah periode intensif dari perjuangan mental. Profesi sopir angkutan umum dihadapkan pada tingkat stres dan ketidakpastian finansial yang tinggi, dan fase mengetem menjadi cerminan dari pergulatan internal ini. Psikologi penantian ini dapat dibagi menjadi beberapa kategori emosional dan sosial yang membentuk identitas komunitas sopir.
Menunggu adalah ujian kesabaran yang konstan. Setiap menit yang berlalu tanpa penumpang adalah potensi kerugian. Ketegangan ini diperburuk oleh persaingan visual—melihat angkot lain di depan mendapatkan penumpang sementara kendaraan sendiri masih kosong. Sopir harus mengembangkan tingkat stoicisme yang tinggi, kemampuan untuk menerima ketidakpastian sambil tetap waspada. Namun, kesabaran ini memiliki batasnya. Ketika batas kesabaran terlampaui, sering terjadi perilaku agresif di jalan (seperti menyalip sembarangan atau memotong jalur) sebagai upaya untuk 'menebus' waktu yang hilang saat mengetem.
Kondisi ini menciptakan paradoks: sopir diharuskan tenang saat statis, namun dipaksa menjadi agresif saat dinamis. Adaptasi ini membentuk pola pikir yang unik terhadap waktu. Waktu bukan diukur dalam jam, tetapi dalam potensi penghasilan. "Lama" bukan berarti membosankan, melainkan "tidak menghasilkan". Praktik ini mengajarkan pengemudi tentang nilai margin dan perhitungan risiko setiap kali jarum jam bergerak. Kelelahan mental akibat penantian panjang seringkali lebih membebani daripada kelelahan fisik saat berkendara di tengah macet.
Meskipun bersaing, para sopir membangun komunitas yang kuat selama waktu menunggu, bertukar informasi dan pengalaman.
Mengetem, terutama di titik primer, adalah momen krusial untuk interaksi sosial. Komunitas sopir terbentuk melalui ritual penantian. Di sinilah mereka berbagi informasi penting: tentang penertiban polisi, rute yang sedang sepi, atau kenaikan harga sparepart. Solidaritas muncul dalam bentuk pembagian giliran (terutama di terminal), di mana kesepakatan informal memastikan tidak ada satu kendaraan pun yang berangkat sebelum waktunya. Namun, solidaritas ini seringkali rapuh, dan persaingan dapat memicu konflik keras ketika aturan main informal ini dilanggar.
Aktivitas yang dilakukan saat mengetem juga merupakan upaya untuk mengatasi kebosanan dan tekanan. Mulai dari mengopi, merokok, membaca koran, hingga yang paling umum, bermain kartu atau catur. Kegiatan-kegiatan ini berfungsi sebagai katarsis kolektif yang membantu meredakan ketegangan ekonomi yang melekat pada pekerjaan mereka. Penantian adalah masa kontemplasi yang diselingi obrolan hangat tentang keluarga, politik, dan nasib angkutan umum di tengah gempuran transportasi daring.
Pada banyak titik tem besar, keberadaan "calo" atau koordinator lapangan menjadi tak terhindarkan. Calo berfungsi sebagai pengatur lalu lintas mikro dan distributor penumpang. Mereka memastikan bahwa tidak ada sopir yang memotong antrean atau "mencuri" penumpang. Meskipun calo sering dipandang negatif karena menarik pungutan liar (pungli), mereka juga berperan dalam menjaga ketertiban. Pungutan yang diberikan kepada calo bisa dianggap sebagai biaya jaminan untuk mendapatkan giliran yang adil dan perlindungan dari konflik internal. Tanpa struktur informal yang diatur calo, praktik mengetem akan jauh lebih kacau dan berpotensi anarkis, terutama di terminal-terminal sibuk.
Mengetem secara inheren menciptakan konflik abadi dengan tata ruang kota. Di satu sisi, ia adalah kebutuhan ekonomi; di sisi lain, ia adalah pelanggaran tata tertib lalu lintas. Pemerintah kota secara konsisten berupaya menertibkan area-area yang digunakan untuk mengetem liar, namun sering kali gagal karena akar masalahnya tidak teratasi—yaitu model setoran harian yang memaksa pengemudi memaksimalkan muatan.
Mengetem adalah salah satu kontributor utama kemacetan di area padat. Ketika angkot atau bus berhenti mendadak di lajur kiri jalan utama untuk menunggu, mereka memblokir arus kendaraan yang bergerak. Lebih buruk lagi, teknik mengetem yang dilakukan secara perlahan (sering disebut "menggantung" atau "ngojek jalan") di sepanjang rute untuk menarik perhatian calon penumpang, mengurangi kecepatan rata-rata seluruh jalur secara signifikan. Pengurangan kecepatan ini, dikalikan dengan ratusan kendaraan angkutan umum yang beroperasi, mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi kota akibat waktu tempuh yang meningkat dan konsumsi bahan bakar yang boros.
Visualisasi dampak mengetem liar yang menyebabkan penyempitan lajur dan menghambat kelancaran lalu lintas.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk membatasi atau menghilangkan praktik mengetem. Beberapa kota mencoba menerapkan sanksi tegas, menderek kendaraan yang berhenti tidak pada tempatnya. Upaya lain meliputi pembuatan kantong parkir khusus atau "halte bayangan" yang terletak di dekat titik permintaan tinggi. Namun, upaya ini sering tidak efektif karena dua alasan mendasar:
Solusi jangka panjang untuk mengatasi konflik urban ini terletak pada transisi model bisnis, dari sistem setoran ke sistem gaji berbasis kilometer atau jam kerja, yang menghilangkan insentif untuk menimbun penumpang melalui praktik mengetem.
Sejarah mengetem paralel dengan sejarah urbanisasi Indonesia. Praktik ini sudah ada sejak era bus kota awal dan becak motor, merefleksikan kebutuhan mendasar transportasi publik yang bersifat individualistik dan berorientasi pada hasil cepat. Namun, dalam dekade terakhir, fenomena ini dihadapkan pada tantangan eksistensial terbesar: kehadiran transportasi berbasis aplikasi daring (online).
Angkutan umum konvensional (AO) beroperasi dalam model statis-prediktif: rute tetap, tarif cenderung tetap, dan pendapatan tergantung pada waktu yang dihabiskan untuk mengetem. Sebaliknya, transportasi daring (TOD) beroperasi dalam model dinamis-fleksibel. TOD tidak memerlukan mengetem. Pengemudi TOD bergerak berdasarkan algoritma yang menghubungkan permintaan secara langsung. Ini menciptakan efisiensi waktu yang luar biasa, mengurangi biaya tunggu, dan secara fundamental mengubah ekspektasi penumpang mengenai kecepatan layanan.
Dampak TOD terhadap praktik mengetem sangat mendalam. Di rute-rute yang ramai, volume penumpang AO menurun drastis, memaksa angkot dan bus untuk mengetem lebih lama demi mencapai kuota minimal. Titik-titik tem yang dulunya pasti, kini menjadi titik perjuangan yang sengit. Sopir AO kini tidak hanya bersaing dengan sesama angkot, tetapi juga dengan ribuan motor dan mobil daring yang siap menjemput penumpang tanpa perlu menunggu di pinggir jalan.
Ancaman terbesar yang dibawa oleh TOD adalah hilangnya penumpang jarak pendek yang sangat vital bagi ekonomi mengetem. Penumpang yang dulu enggan berjalan jauh kini dengan mudah memesan ojek daring untuk jarak 1-2 kilometer. Kehilangan margin keuntungan ini memaksa beberapa sopir angkot untuk beradaptasi, misalnya, dengan mengadopsi rute non-formal, atau bahkan menggunakan kendaraan mereka untuk layanan carteran. Beberapa angkot di kota-kota besar telah mulai beroperasi di bawah aplikasi daring, sebuah hibridisasi yang mencoba mempertahankan model kendaraan besar sambil menghilangkan kebutuhan untuk mengetem berlebihan.
Namun, bagi sebagian besar, mengetem tetap menjadi satu-satunya cara untuk bertahan. Ironisnya, di beberapa daerah, sopir angkot yang sudah lama mengetem kini juga memanfaatkan waktu tunggu tersebut untuk mengambil pesanan makanan atau barang melalui aplikasi ojek daring, menciptakan profesi ganda yang memanfaatkan periode statis secara produktif. Ini adalah contoh adaptasi kreatif di tengah tekanan ekonomi yang masif.
Fenomena mengetem tidak seragam di seluruh Indonesia; ia memiliki nuansa regional dan jenis kendaraan yang berbeda. Meskipun prinsip ekonomi dasarnya sama (memenuhi kuota sebelum berangkat), praktik pelaksanaannya sangat bervariasi. Dalam konteks bus antar kota, mengetem dikenal sebagai ‘menunggu keberangkatan’ yang terstruktur di terminal, namun saat berada di jalur non-terminal (misalnya di perbatasan kota), ia kembali menjadi ‘ngetem liar’ untuk mencari sisa penumpang yang terlewatkan. Kontras ini penting untuk dipahami dalam konteks regulasi dan manajemen lalu lintas.
Angkutan mikro, seperti angkot dan bajaj (atau bemo), adalah pelaku mengetem yang paling fleksibel dan, ironisnya, yang paling mengganggu. Karena ukurannya yang kecil, mereka mampu mengetem di lorong-lorong sempit, pintu masuk gang, dan sudut-sudut jalan yang benar-benar ilegal. Kebutuhan mereka untuk memenuhi muatan 10-12 penumpang seringkali membutuhkan waktu penantian yang signifikan di jam-jam sepi. Bajaj, yang beroperasi tanpa rute tetap yang ketat seperti angkot, memiliki perilaku mengetem yang lebih oportunistik, seringkali ‘berkumpul’ di dekat stasiun kereta atau rumah sakit, lokasi di mana permintaan tiba-tiba dan besar.
Sebuah studi mendalam menunjukkan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengetem oleh angkot di rute pinggiran kota bisa mencapai 40% dari total waktu kerja harian. Empat puluh persen dari waktu kerja dihabiskan dalam keadaan statis, menantikan sebuah kepastian ekonomi. Ini adalah fakta mencolok yang menunjukkan inefisiensi sistem transportasi massal yang ada. Waktu yang hilang ini tidak hanya merugikan sopir secara produktivitas, tetapi juga memicu kelelahan dan penurunan kualitas layanan.
Untuk bus yang melayani rute antar kota atau provinsi, praktik mengetem mengambil bentuk yang lebih formal namun tidak kalah intens. Bus-bus ini sering menghabiskan waktu di terminal bayangan, rumah makan di jalur utama, atau bahkan di depan kantor-kantor perusahaan besar. Tujuannya adalah ganda: memberi jeda bagi pengemudi dan kru, sekaligus mencari penumpang tambahan yang mungkin tidak melewati terminal utama. Penantian ini, meski dijadwalkan, selalu disertai ketegangan—apakah bus akan penuh sebelum jadwal keberangkatan resmi? Keterlambatan keberangkatan akibat proses mengetem yang berkepanjangan adalah keluhan utama penumpang, menciptakan spiral negatif di mana layanan yang buruk menyebabkan penumpang beralih, yang pada gilirannya memaksa sopir mengetem lebih lama lagi.
Titik-titik di mana angkutan umum diperbolehkan atau ditoleransi untuk mengetem seringkali merupakan hasil dari negosiasi politik informal antara asosiasi sopir, aparat keamanan, dan pemerintah daerah. Titik tem tertentu menjadi sakral karena faktor historis atau karena dominasi organisasi sopir tertentu di wilayah tersebut. Upaya pemindahan titik tem yang tidak melibatkan negosiasi yang tulus dan solusi ekonomi sering kali berujung pada protes keras atau bahkan aksi mogok massal. Hal ini menegaskan bahwa mengetem bukanlah sekadar masalah teknis lalu lintas, tetapi masalah sosiopolitik yang terkait erat dengan hak ekonomi kelas pekerja urban.
Ketika pemerintah kota membangun fasilitas infrastruktur baru, seperti jalur layang (flyover) atau stasiun komuter modern, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan dasar akan lokasi mengetem yang memadai. Akibatnya, angkutan umum dipaksa kembali ke jalanan utama, menciptakan kemacetan di bawah struktur baru tersebut. Perencanaan kota yang tidak menyertakan strategi penempatan titik tem yang efisien dan legal adalah kegagalan perencanaan yang berulang kali terjadi.
Dalam skala makro, praktik mengetem juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global, khususnya harga bahan bakar. Kenaikan harga BBM secara langsung meningkatkan biaya operasional, yang berarti titik impas bagi sopir juga meningkat. Kenaikan ini memaksa sopir untuk mengetem lebih lama untuk memastikan setiap perjalanan menghasilkan keuntungan minimal yang lebih besar. Ini adalah siklus umpan balik negatif: krisis ekonomi meningkatkan kebutuhan untuk mengetem, yang pada gilirannya memperburuk kemacetan dan inefisiensi di kota, yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Penting untuk dicatat bahwa keputusan untuk mengakhiri mengetem dan mulai bergerak didasarkan pada perhitungan risiko yang sangat pribadi. Apakah lebih baik menunggu 5 menit lagi dan mendapatkan 3 penumpang, atau bergerak sekarang dengan hanya 1 penumpang tetapi menghindari risiko terkena tilang karena berhenti terlalu lama? Ribuan keputusan mikro seperti ini terjadi setiap jam di setiap kota, membentuk pola pergerakan dan kemacetan yang kita saksikan sehari-hari. Logika di balik mengetem adalah logika bertahan hidup di tengah margin keuntungan yang semakin tipis dan biaya hidup yang terus meningkat.
Aspek penting lain dari fenomena mengetem adalah hubungannya dengan konsep keadilan spasial. Di wilayah pinggiran kota, di mana frekuensi angkutan lebih rendah dan ketersediaan TOD terbatas, sopir angkot merasa memiliki justifikasi moral yang lebih kuat untuk mengetem. Mereka berargumen bahwa mereka melayani penumpang yang tidak terjangkau oleh layanan yang lebih modern, dan penantian mereka adalah bentuk dari layanan sosial. Namun, di pusat kota, justifikasi ini sulit dipertahankan karena banyaknya alternatif transportasi.
Etika yang melingkupi mengetem sering kali kontroversial. Dari sudut pandang penumpang yang sudah berada di dalam, penantian adalah tindakan yang tidak etis, membuang waktu mereka demi keuntungan finansial sopir. Namun, dari sudut pandang sopir, adalah tindakan tidak etis (dan merugikan) untuk mengangkut sedikit penumpang, karena itu merusak kemampuan mereka untuk membayar setoran dan menghidupi keluarga. Pertarungan etika ini menunjukkan bentrokan antara kepentingan individu (keuntungan sopir) dan kepentingan publik (efisiensi waktu komuter).
Dalam kode etik informal komunitas sopir, ada aturan tak tertulis mengenai berapa lama "wajar" untuk mengetem. Aturan ini sangat cair, dipengaruhi oleh cuaca, waktu dalam sehari, dan hari libur. Misalnya, saat hujan deras, batas waktu mengetem dianggap lebih fleksibel karena permintaan penumpang melonjak. Sebaliknya, pada malam hari, sopir cenderung bergerak lebih cepat meskipun muatan belum penuh, demi faktor keamanan dan keinginan untuk segera kembali ke rumah.
Pola mengetem ini juga menghasilkan data spasial yang tak ternilai harganya bagi perencana kota. Titik-titik di mana kendaraan secara konsisten menghabiskan waktu paling lama menunjukkan adanya kesenjangan serius antara pasokan dan permintaan transportasi di area tersebut, atau kegagalan dalam menyediakan infrastruktur yang memadai. Memahami di mana, kapan, dan mengapa sopir mengetem adalah langkah pertama untuk mendesain ulang sistem transportasi publik yang lebih manusiawi dan efisien.
Analisis lebih lanjut mengenai perilaku mengetem harus mempertimbangkan faktor-faktor demografis sopir. Sopir yang lebih tua, yang terbiasa dengan sistem konvensional, mungkin lebih gigih dalam mengetem, mengandalkan jaringan koneksi lokal dan kebiasaan penumpang lama. Sementara sopir yang lebih muda mungkin lebih cepat menyerah pada penantian dan mencoba mencari penghasilan dari sumber lain selama jeda, atau beralih sepenuhnya ke transportasi daring. Perbedaan generasi ini menciptakan ketegangan di titik-titik tem, di mana strategi "tahan lama" berbenturan dengan strategi "gerak cepat".
Apakah mungkin membayangkan kota Indonesia tanpa praktik mengetem? Mungkin. Transisi ke sistem angkutan umum massal yang berbasis jadwal dan didukung subsidi publik, seperti Transjakarta atau MRT, menunjukkan bahwa menghilangkan keharusan ekonomi untuk mengetem adalah kunci utama. Ketika sopir dibayar per jam atau per kilometer terlepas dari jumlah penumpang, insentif untuk menunggu hilang. Kendaraan akan bergerak sesuai jadwal, dan efisiensi meningkat drastis. Namun, investasi besar-besaran untuk mengubah seluruh jaringan angkot tradisional menjadi sistem berbasis subsidi adalah tantangan fiskal yang luar biasa bagi sebagian besar pemerintah daerah.
Oleh karena itu, dalam jangka pendek hingga menengah, mengetem akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap urban. Tantangan sebenarnya adalah bagaimana mengelola praktik ini agar tidak merusak efisiensi kota secara keseluruhan, sambil tetap menjamin keberlanjutan ekonomi bagi ribuan keluarga yang menggantungkan hidup pada setoran harian. Pengaturan titik tem yang legal, efisien, dan terintegrasi dengan moda transportasi lain (bus rapid transit, KRL) adalah solusi kompromi yang paling realistis.
Mengetem, pada akhirnya, adalah metafora visual untuk ekonomi Indonesia yang masih berjuang di level informal. Ia mencerminkan ketidakpastian, keterbatasan modal, dan semangat bertahan hidup yang tinggi di tengah kondisi yang serba sulit. Setiap menit penantian di pinggir jalan adalah penantian akan harapan ekonomi, di mana kesabaran diuji dan komunitas dibangun, di jantung dinamika jalanan kota.
Fenomena mengetem adalah sebuah indikator kompleks yang mengungkapkan banyak hal tentang struktur sosial dan ekonomi perkotaan di Indonesia. Ia adalah praktik yang berakar kuat pada kebutuhan ekonomi pengemudi untuk memenuhi setoran harian dan memaksimalkan muatan, sebuah keharusan yang muncul dari model bisnis yang menempatkan risiko finansial sepenuhnya pada pundak individu pengemudi. Meskipun sering dikaitkan dengan kemacetan dan ketidaknyamanan bagi penumpang, mengetem juga merupakan simpul vital yang memastikan konektivitas terus berjalan, terutama di rute-rute yang permintaannya sulit diprediksi.
Dari tinjauan mendalam ini, jelas bahwa menertibkan mengetem tidak cukup hanya dengan sanksi atau penertiban fisik. Solusi berkelanjutan harus bersifat holistik, menyentuh aspek ekonomi (perubahan model setoran menjadi gaji), aspek sosial (pengakuan terhadap komunitas sopir), dan aspek tata ruang (penyediaan infrastruktur titik tem yang strategis dan legal). Selama ketidakpastian ekonomi masih mendominasi kehidupan para sopir, dan selama infrastruktur transportasi publik tidak terintegrasi dengan baik, seni penantian yang melelahkan ini akan terus menjadi ritme yang tak terhindarkan dari denyut nadi jalanan metropolitan.