Memahami Kekuatan Pilihan Sadar dalam Mengelola Sumber Daya dan Realitas Sosial
Kata mengetepikan, dalam bahasa Indonesia, membawa makna yang jauh lebih kompleks daripada sekadar memindahkan sesuatu ke samping. Ia adalah sebuah tindakan kognitif, sosiologis, dan manajerial yang melibatkan proses penilaian, diskriminasi (dalam artian memilah), dan penentuan prioritas. Mengetepikan berarti secara sadar atau tidak sadar memutuskan bahwa suatu objek, ide, atau individu, tidak lagi menempati posisi sentral, melainkan dialihkan ke periferi, diabaikan, atau bahkan dihapus dari pertimbangan utama.
Dalam konteks modern yang sarat dengan informasi, tuntutan, dan peluang yang tak terbatas, seni untuk mengetepikan menjadi keterampilan vital. Namun, tindakan ini juga membawa konsekuensi etis dan psikologis yang mendalam, terutama ketika yang ditepikan adalah manusia atau kebutuhan mendasar. Artikel ini akan menjelajahi dualitas tindakan mengetepikan: sebagai alat manajemen yang efisien dan sebagai sumber pengabaian serta marginalisasi yang destruktif.
Ilustrasi Tindakan Kognitif Mengetepikan.
Otak manusia secara alami diprogram untuk mengetepikan informasi yang dianggap tidak relevan. Fenomena ini, yang dikenal sebagai selective attention, adalah prasyarat untuk fokus. Tanpa kemampuan untuk mengabaikan ribuan rangsangan yang kita terima setiap detik, kita akan mengalami kelumpuhan kognitif. Mengetepikan, dalam konteks ini, adalah fungsi kelangsungan hidup. Ketika kita sedang membaca artikel ini, kita mengetepikan suara lalu lintas, sensasi pakaian di kulit, dan mungkin daftar tugas yang belum selesai.
Makna kata 'mengetepikan' bervariasi tergantung penerapannya. Dalam manajemen waktu, ia identik dengan 'delegasi' atau 'deferral' (penundaan). Dalam konteks sosial, ia berubah menjadi 'marginalisasi' atau 'eksklusi'. Memahami nuansa ini penting. Mengetepikan tugas yang tidak mendesak adalah bijak; mengetepikan kebutuhan fundamental anak adalah pengabaian. Perbedaan antara tindakan yang memberdayakan (prioritizing) dan tindakan yang merugikan (disregarding) terletak pada objek dan intensi tindakan tersebut.
Keputusan untuk mengetepikan selalu memiliki dampak. Jangka pendek, ia memberikan ruang bernapas atau fokus yang tajam. Jangka panjang, jika yang ditepikan adalah masalah struktural, pengabaian tersebut akan kembali dalam bentuk krisis yang lebih besar. Contohnya adalah mengetepikan pemeliharaan infrastruktur—suatu keputusan yang menghemat anggaran saat ini, tetapi menjamin kegagalan sistematis di masa depan.
Salah satu arena paling kritis di mana tindakan mengetepikan terjadi adalah dalam diri individu. Mengetepikan kebutuhan emosional, fisik, atau aspirasi pribadi sering kali menjadi strategi bertahan hidup yang maladaptif, terutama dalam budaya yang mengagungkan produktivitas tanpa batas. Individu yang terbiasa mengetepikan sinyal tubuh atau kejujuran emosional mereka akan menumpuk beban psikologis yang masif.
Banyak orang diajarkan sejak dini untuk "mengetepikan" emosi negatif—marah, sedih, atau takut—demi menjaga kedamaian eksternal atau citra diri yang kuat. Tindakan ini tidak menghilangkan emosi; ia hanya mendorongnya ke alam bawah sadar, di mana ia terus beroperasi dan memengaruhi perilaku, yang dikenal sebagai emotional suppression.
Psikologi mendefinisikan mengetepikan sebagai mekanisme pertahanan. Ketika realitas terlalu menyakitkan atau mengancam identitas diri, pikiran memilih untuk "mengetepikan" realitas tersebut. Namun, mekanisme ini sangat mahal. Trauma yang ditepikan sering kali mewujud dalam bentuk kecemasan, serangan panik, atau masalah dalam menjalin hubungan intim (attachment issues), di mana individu kesulitan mempercayai orang lain karena mereka pertama-tama telah mengkhianati diri mereka sendiri.
Mengetepikan juga merusak di tingkat hubungan. Ketika seseorang dalam suatu kemitraan secara konsisten mengetepikan pendapat, perasaan, atau kebutuhan pasangannya, ini disebut sebagai emotional neglect. Korban pengabaian merasa tidak terlihat, tidak penting, dan termarjinalisasi dalam hubungan yang seharusnya menjadi tempat aman.
Pola perilaku mengetepikan ini sering diwariskan secara transgenerasi. Anak-anak yang kebutuhan emosinya ditepikan oleh orang tua yang terlalu sibuk atau kurang mampu secara emosional, sering kali tumbuh menjadi dewasa yang tidak tahu bagaimana memprioritaskan diri mereka sendiri, dan secara paradoks, mungkin juga mengetepikan kebutuhan orang terdekat mereka karena kurangnya model perilaku yang sehat.
Di ranah sosiologi, tindakan mengetepikan memiliki implikasi kekuasaan dan keadilan. Mengetepikan dalam konteks sosial adalah meminggirkan (marginalisasi) kelompok, identitas, atau narasi tertentu dari pusat kekuasaan, sumber daya, dan wacana publik. Ini bukan hanya tindakan pasif; ia adalah hasil dari kebijakan, stereotip, dan struktur kekuasaan yang aktif menempatkan kelompok tertentu di posisi periferi.
Visualisasi Eksklusi Sosial.
Mengetepikan secara ekonomi terjadi ketika kebijakan publik dan alokasi modal secara sistematis mengabaikan kebutuhan wilayah atau populasi tertentu. Ketika investasi infrastruktur hanya difokuskan pada pusat kota, masyarakat di daerah pedesaan atau pinggiran secara efektif ditepikan dari peluang ekonomi, pendidikan, dan layanan kesehatan yang memadai. Proses ini memperburuk ketidaksetaraan kekayaan secara intergenerasi.
Dalam pembangunan identitas nasional, tindakan mengetepikan narasi tertentu sama pentingnya dengan tindakan mengangkat narasi yang lain. Sejarah sering kali ditulis oleh pemenang, dan kisah-kisah kaum minoritas, perempuan, atau kelompok yang kalah dalam konflik politik, seringkali sengaja ditepikan dari buku teks dan memori kolektif. Konsekuensi dari pengetepian ini adalah hilangnya empati dan pemahaman atas keragaman pengalaman, yang pada akhirnya memperkuat bias dan stereotip yang ada.
Di banyak masyarakat, kelompok minoritas etnis, agama, atau seksual ditepikan dari hak-hak sipil penuh. Mekanisme pengetepian ini bisa halus (misalnya, melalui birokrasi yang diskriminatif) atau terang-terangan (melalui undang-undang eksklusif).
Ketika suara kelompok tersebut ditepikan dari proses politik (melalui gerrymandering, diskriminasi pemilu, atau minimnya representasi), kebutuhan mereka secara otomatis akan diabaikan dalam perumusan kebijakan. Pengetepian politik ini adalah resep untuk instabilitas sosial, karena menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam.
Mengetepikan adalah bentuk kekerasan pasif. Ia tidak memerlukan tindakan agresi fisik, tetapi dampaknya terhadap martabat, kesempatan hidup, dan kesejahteraan psikologis dapat sama merusaknya seperti kekerasan fisik. Pengetepian menegaskan bahwa keberadaan seseorang tidak layak mendapatkan perhatian.
Konsep keadilan lingkungan menyoroti bagaimana komunitas miskin dan minoritas secara konsisten ditepikan ketika tiba waktunya menentukan lokasi pembuangan limbah, pabrik polutan, atau proyek infrastruktur yang merusak. Pengetepian ini memastikan bahwa beban biaya lingkungan dialihkan kepada mereka yang paling sedikit memiliki suara politik untuk melawannya. Mereka menjadi 'zona pengorbanan' yang kebutuhannya ditepikan demi kemakmuran mayoritas.
Solusi terhadap marginalisasi adalah inklusi yang radikal dan pengakuan (recognition). Ini menuntut agar masyarakat tidak hanya sekadar 'mengizinkan' yang ditepikan masuk, tetapi secara aktif mendesain ulang sistem agar suara dan kebutuhan mereka berada di pusat pengambilan keputusan. Ini berarti menolak kemudahan untuk mengetepikan masalah yang kompleks hanya karena penyelesaiannya tidak populer atau mahal.
Inklusi sejati menuntut pembongkaran struktur yang memungkinkan pengetepian, seperti bias implisit dalam perekrutan, kurikulum pendidikan yang homogen, dan sistem peradilan yang berat sebelah. Selama masyarakat masih menganggap pengetepian sebagai cara yang efisien untuk menjaga ketertiban, ketidaksetaraan akan terus menjadi ciri khas peradaban modern.
Dalam dunia bisnis dan manajemen, tindakan mengetepikan adalah alat strategis yang kritis. Organisasi harus terus-menerus memilih apa yang harus diprioritaskan dan apa yang harus ditepikan (de-prioritized) untuk menjaga fokus, mengelola sumber daya, dan merespons pasar yang dinamis. Namun, di sinilah letak risiko terbesar: mengetepikan hal yang salah dapat mengancam kelangsungan hidup organisasi.
Salah satu penggunaan positif dari mengetepikan adalah pencegahan scope creep—ketika cakupan proyek terus bertambah tanpa batas. Manajer proyek harus memiliki disiplin untuk mengetepikan permintaan fitur baru atau perubahan yang tidak sesuai dengan tujuan awal proyek. Kemampuan ini memastikan proyek tetap berada pada jalurnya (on scope, on time, on budget).
Perusahaan yang sehat secara rutin mengetepikan aset yang tidak lagi menghasilkan nilai. Ini bisa berupa teknologi usang, lini produk yang merugi, atau bahkan karyawan yang kinerjanya konsisten buruk. Keputusan ini, meskipun sulit, adalah fundamental bagi alokasi modal yang efisien. Namun, keputusan untuk "mengetepikan karyawan" harus dilakukan dengan etika dan mempertimbangkan dampak sosial, bukan semata-mata angka.
Risiko terbesar bagi organisasi mapan adalah kecenderungan untuk mengetepikan ide-ide radikal atau inovasi disruptif. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai Innovator's Dilemma, terjadi ketika perusahaan memprioritaskan peningkatan produk yang ada (yang memberikan keuntungan pasti) dan mengetepikan teknologi baru yang awalnya terlihat ceruk atau tidak menguntungkan.
Saat perusahaan menghadapi tekanan finansial, hal pertama yang sering kali ditepikan adalah investasi dalam budaya perusahaan, pelatihan karyawan, atau inisiatif kesejahteraan (wellness). Meskipun ini tampak sebagai penghematan cepat, pengetepian ini secara jangka panjang merusak moral, meningkatkan angka turnover, dan mengurangi produktivitas. Ketika nilai-nilai inti perusahaan ditepikan demi keuntungan kuartalan, integritas organisasi mulai runtuh.
Dalam pengambilan keputusan tim, sering terjadi bahwa pandangan yang dominan atau yang dipegang oleh figur otoritas mengetepikan perspektif minoritas, bahkan jika perspektif tersebut membawa informasi kritis atau risiko yang terabaikan. Hal ini menciptakan groupthink, di mana keputusan yang diambil adalah keputusan yang nyaman, bukan keputusan yang paling tepat. Kepemimpinan yang efektif harus secara aktif mencari dan mengangkat perspektif yang cenderung ditepikan.
Jika mengetepikan secara tidak sadar seringkali destruktif, mengetepikan secara sadar dan sengaja adalah pilar dari manajemen waktu dan kehidupan yang efektif. Ini adalah seni untuk mengatakan "tidak" demi melindungi fokus dan energi kita untuk hal-hal yang benar-benar penting. Strategi ini mengubah "mengetepikan" dari tindakan pengabaian menjadi tindakan kurasi (memilih secara hati-hati).
Fokus Melalui Pengabaian Selektif.
Salah satu kerangka kerja paling efektif untuk mengetepikan adalah Matriks Eisenhower (Urgent-Important Matrix). Matriks ini secara eksplisit mengajarkan kita untuk mengidentifikasi dan mengetepikan (atau mendelegasikan) tugas-tugas yang jatuh dalam kategori berikut:
Kekuatan Matriks ini terletak pada penekanan untuk memprioritaskan hal-hal yang 'Penting tetapi Tidak Mendesak' (perencanaan strategis, pengembangan diri, kesehatan), yang secara default sering ditepikan karena jarang menuntut perhatian segera.
Di era informasi berlebihan, tindakan mengetepikan informasi digital adalah kunci kesehatan mental. Minimalisme digital melibatkan keputusan sadar untuk mengetepikan notifikasi, langganan email yang tidak relevan, dan aplikasi yang menguras perhatian. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi sumber daya kognitif kita dari kelelahan akibat keputusan kecil yang tak terhitung jumlahnya (decision fatigue).
Kesempurnaan seringkali adalah bentuk penundaan yang terselubung. Mengetepikan standar kesempurnaan yang tidak realistis (good enough is better than perfect) memungkinkan kemajuan dan iterasi. Dalam konteks pengembangan produk, ini berarti mengetepikan fitur tambahan yang hanya sedikit meningkatkan kualitas demi merilis produk inti lebih cepat.
Ketika dihadapkan pada pilihan hidup yang besar, kita sering menderita akibat 'analisis kelumpuhan' karena terlalu banyak opsi. Mengetepikan beberapa opsi yang paling tidak menarik pada tahap awal adalah strategi untuk mengurangi beban kognitif. Fokus pada tiga hingga empat opsi terbaik, dan secara tegas mengetepikan sisanya, memungkinkan sumber daya mental dicurahkan pada analisis mendalam alih-alih pada eksplorasi yang tidak berujung.
Pada akhirnya, seni mengetepikan yang konstruktif adalah tindakan pembebasan. Dengan menolak untuk terlibat dalam semua hal yang mungkin kita lakukan, kita menciptakan ruang dan energi untuk unggul dalam hal yang harus kita lakukan.
Untuk memahami sepenuhnya kekuatan dan bahaya dari tindakan mengetepikan, perlu untuk mengkaji implikasinya melalui lensa sejarah dan kasus spesifik yang berdampak besar pada masyarakat dan individu. Pengabaian sistematis selalu meninggalkan jejak, yang seringkali memakan waktu puluhan tahun untuk diperbaiki.
Banyak negara maju dan berkembang mengalami krisis infrastruktur karena keputusan politik jangka pendek untuk mengetepikan investasi pemeliharaan. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk pembaruan sistem air, listrik, atau jembatan, ditepikan untuk proyek-proyek yang lebih ‘terlihat’ dan menghasilkan keuntungan politik segera.
Mengetepikan pemeliharaan tidak menghasilkan penghematan, melainkan utang yang harus dibayar mahal. Ketika infrastruktur gagal, dampaknya mencakup kerugian ekonomi yang besar (karena gangguan transportasi atau listrik) dan, yang lebih parah, risiko keselamatan publik. Biaya untuk memperbaiki jembatan yang runtuh atau sistem air yang tercemar jauh lebih besar daripada biaya pemeliharaan reguler yang selama ini ditepikan.
Krisis iklim adalah studi kasus monumental tentang pengetepian kolektif terhadap fakta yang tidak nyaman. Selama puluhan tahun, komunitas ilmiah telah memberikan peringatan yang jelas dan terperinci mengenai bahaya emisi karbon. Namun, informasi ini seringkali ditepikan oleh kepentingan ekonomi yang kuat dan oleh sistem politik yang enggan membuat perubahan transformatif jangka panjang yang diperlukan.
Tindakan mengetepikan data ilmiah ini didorong oleh: 1) Diskrepansi waktu (dampak terburuk terasa di masa depan); 2) Biaya perubahan (biaya transisi ke energi terbarukan dianggap terlalu tinggi saat ini); dan 3) Psikologi penyangkalan (keengganan individu menghadapi ancaman eksistensial).
Karena peringatan ditepikan, masyarakat kini menghadapi konsekuensi yang tidak dapat ditepikan: kenaikan permukaan air laut, bencana alam yang lebih sering, dan kerawanan pangan. Pengabaian ini beralih dari krisis lingkungan menjadi krisis kemanusiaan dan ekonomi, menunjukkan bahwa apa pun yang ditepikan hari ini akan menuntut pertimbangan yang jauh lebih berat di masa depan.
Dalam pengembangan teknologi, keputusan tentang apa yang harus diprioritaskan dan apa yang harus ditepikan sangat memengaruhi keadilan sosial. Jika tim pengembangan secara homogen mengetepikan perspektif pengguna minoritas atau marjinal (misalnya, pengguna penyandang disabilitas, atau komunitas non-Barat), hasilnya adalah produk yang eksklusif dan bias.
Contoh nyata adalah bias dalam pengenalan wajah yang seringkali kurang akurat pada individu berkulit gelap—sebuah masalah yang muncul karena data pelatihan sebagian besar mengetepikan populasi tersebut. Keputusan teknis untuk mengetepikan keberagaman dalam proses desain memiliki dampak nyata pada pengawasan dan kebebasan sipil.
Pada tingkat filosofis, tindakan mengetepikan bersinggungan dengan pertanyaan mendasar tentang nilai, etika, dan tanggung jawab kita sebagai makhluk yang terbatas. Karena sumber daya (waktu, energi, perhatian) kita terbatas, kita terpaksa mengetepikan banyak hal setiap hari. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita memilih apa yang layak dipertahankan dan apa yang etis untuk dilepaskan?
Eksistensialisme mengajarkan bahwa kebebasan kita untuk memilih (dan dengan demikian, kebebasan kita untuk mengetepikan) adalah sumber kegelisahan eksistensial. Setiap kali kita memilih untuk fokus pada A, kita secara efektif mengetepikan semua kemungkinan lain yang B, C, D, dan seterusnya tawarkan. Jean-Paul Sartre mungkin berargumen bahwa pengetepian adalah bagian integral dari otentisitas—kita mendefinisikan diri kita bukan hanya dari apa yang kita lakukan, tetapi juga dari apa yang kita tolak lakukan.
Tanggung jawab muncul karena kita harus menanggung konsekuensi dari apa yang kita tepikan. Seorang individu yang memilih mengetepikan tanggung jawab sosial demi keuntungan pribadi harus menghadapi realitas bahwa tindakannya berkontribusi pada penderitaan atau marginalisasi orang lain.
Dua mazhab etika menawarkan pandangan berbeda tentang bagaimana kita harus mengetepikan:
Pergumulan ini sering terjadi dalam dilema moral di mana kita harus memilih siapa yang akan diselamatkan (atau diprioritaskan) dan siapa yang harus ditepikan dalam situasi krisis (misalnya, triase medis). Keputusan untuk mengetepikan harus selalu diawali dengan refleksi mendalam mengenai nilai intrinsik objek yang ditepikan.
Dalam konteks personal, filosofi sering membahas pentingnya mengetepikan masa lalu yang menyakitkan. Pengampunan, pada intinya, adalah tindakan sadar untuk mengetepikan hak kita atas kemarahan, dendam, atau kepahitan. Ini bukan berarti menyangkal rasa sakit, tetapi menolak untuk membiarkannya mendikte realitas kita saat ini. Individu yang gagal mengetepikan trauma lama akan menemukan diri mereka terjebak dalam siklus pengulangan perilaku yang merusak.
Namun, ada perbedaan penting antara mengetepikan secara konstruktif (melepaskan rasa sakit) dan mengetepikan secara destruktif (menyangkal bahwa rasa sakit itu pernah ada). Penyangkalan (denial) hanyalah versi patologis dari pengetepian.
Kita telah melihat bahwa tindakan mengetepikan bukanlah sekadar peristiwa insidental, melainkan sebuah proses yang mendefinisikan, mulai dari cara kita mengelola perhatian pribadi hingga bagaimana kita mengkonstruksi keadilan sosial dan stabilitas global. Pengabaian adalah cermin yang memantulkan nilai-nilai inti yang kita anut, baik secara individu maupun kolektif.
Di masa depan yang semakin kompleks, kemampuan untuk secara berani mengetepikan akan menjadi kompetensi kepemimpinan yang utama. Ini membutuhkan keberanian untuk menolak hal-hal yang baik demi hal-hal yang terbaik. Hal ini berlaku untuk:
Proses de-marginalisasi adalah upaya kolektif untuk membalikkan dampak negatif dari pengetepian struktural. Ini memerlukan tiga langkah utama:
Mengetepikan akan selalu menjadi bagian dari kondisi manusia karena keterbatasan eksistensial kita. Namun, tanggung jawab etis kita adalah memastikan bahwa ketika kita memilih untuk mengetepikan, yang kita tepikan adalah distraksi dan pemborosan, bukan martabat manusia, kebutuhan vital, atau peluang bagi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pengabaian yang tak terhindarkan dalam hidup harus dikelola dengan kebijaksanaan tertinggi, agar tindakan kita—baik yang kita pilih untuk pertahankan maupun yang kita pilih untuk tepikan—mencerminkan integritas dan komitmen kita pada kemanusiaan.
Media memainkan peran krusial dalam menentukan apa yang ditepikan dari perhatian publik. Jurnalisme yang bertanggung jawab harus melawan kecenderungan untuk mengetepikan cerita-cerita yang tidak sesuai dengan narasi mainstream atau yang tidak menghasilkan klik. Keputusan editorial untuk mengetepikan isu-isu penting seperti korupsi di daerah terpencil atau penderitaan kelompok minoritas demi berita hiburan atau konflik politik yang sensasional adalah bentuk pengabaian publik yang memiliki konsekuensi demokratis yang serius.
Ketika media massa secara kolektif memilih untuk mengetepikan realitas tertentu, realitas tersebut menjadi tidak ada bagi mayoritas masyarakat. Hal ini menciptakan lingkungan di mana masalah struktural dapat berkembang tanpa pemeriksaan, karena suara-suara yang mencoba mengungkapkannya telah efektif ditepikan dari platform besar.
Disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan mental yang dirasakan ketika seseorang memegang dua keyakinan atau nilai yang bertentangan. Salah satu cara paling umum untuk mengatasi disonansi ini adalah dengan mengetepikan salah satu keyakinan tersebut. Misalnya, seseorang yang tahu merokok itu buruk (keyakinan 1) tetapi terus merokok (keyakinan 2) mungkin memilih untuk mengetepikan bukti ilmiah tentang bahaya merokok. Pengabaian defensif ini melindungi ego jangka pendek tetapi menghalangi perubahan perilaku yang sehat. Mengetepikan disonansi adalah tindakan yang nyaman tetapi mahal secara pribadi.
Dalam ekonomi digital, banyak pengguna secara pasif "mengetepikan" privasi mereka ketika mereka menyetujui syarat dan ketentuan layanan tanpa membacanya. Pengetepian ini, yang didorong oleh kemudahan dan kurangnya pemahaman tentang implikasi jangka panjang, memungkinkan korporasi teknologi mengumpulkan data secara masif. Ini adalah contoh di mana tindakan mengetepikan (pengabaian terhadap detail) memindahkan kekuasaan dari individu ke entitas korporat, menciptakan ketidakseimbangan kedaulatan data yang substansial.
Dari perspektif fenomenologi, tindakan mengetepikan adalah kunci untuk memahami kesadaran. Filsuf Edmund Husserl berbicara tentang *epoche* (penangguhan penilaian) atau *bracketing* sebagai metode filosofis. Dalam konteks ini, *mengetepikan* adalah alat sadar untuk menangguhkan keyakinan kita tentang realitas eksternal sementara, agar kita dapat fokus pada pengalaman sadar murni. Ini adalah penggunaan 'mengetepikan' yang paling murni dan bertujuan untuk kejernihan intelektual, bukan untuk menghindari kenyataan.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melakukan *epoche* tanpa sadar, dan ini bisa berbahaya. Kita mengetepikan kekhawatiran tentang lingkungan saat kita menikmati perjalanan panjang, atau kita mengetepikan sumber penderitaan orang lain saat kita menikmati kenyamanan pribadi. Menyadari kapan dan mengapa kita mengetepikan adalah langkah pertama menuju kehidupan yang lebih etis dan terkelola.
Secara keseluruhan, pemahaman mendalam tentang *mengetepikan* menuntun kita pada kesimpulan bahwa hidup adalah serangkaian proses penentuan nilai. Kita harus mengakui bahwa pengabaian yang tak terhindarkan dalam hidup harus dikelola dengan kebijaksanaan tertinggi, agar tindakan kita—baik yang kita pilih untuk pertahankan maupun yang kita pilih untuk tepikan—mencerminkan integritas dan komitmen kita pada kemanusiaan. Pengetepian yang bijaksana membentuk fokus; pengetepian yang sembrono menciptakan jurang marginalisasi.