Mengetengahkan Kembali Filsafat Nusantara: Menggali Akar Identitas dan Kebijaksanaan Lokal dalam Pusaran Modernitas

Dalam kancah globalisasi yang semakin mendominasi lanskap pemikiran, seringkali perbincangan filsafat didominasi oleh tradisi Barat atau Timur Jauh. Namun, di tengah kepungan arus informasi tersebut, terdapat khazanah kebijaksanaan yang tak ternilai harganya, terkubur dalam sejarah dan budaya kepulauan terbesar di dunia: Filsafat Nusantara. Upaya untuk mengetengahkan kembali pemikiran-pemikiran lokal ini bukan sekadar nostalgia, melainkan kebutuhan mendesak untuk merumuskan ulang identitas bangsa di tengah tantangan kontemporer. Filsafat Nusantara menawarkan perspektif unik mengenai hubungan manusia dengan alam, komunitas, dan transendensi, yang sangat relevan sebagai penyeimbang terhadap materialisme yang kian merajalela.

Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa penting untuk mengetengahkan filsafat-filsafat kuno ini ke panggung diskusi modern, bagaimana ia dapat menjadi jangkar etika dan moral, serta mengidentifikasi konsep-konsep kunci yang membentuk pandangan dunia (worldview) masyarakat Indonesia. Fokus utama kita adalah pada revitalisasi nilai-nilai yang terancam punah, menempatkannya sebagai sumber daya intelektual yang vital bagi pembangunan karakter bangsa yang berkelanjutan.

1. Memahami Imperatif untuk Mengetengahkan Filsafat Lokal

Konsep mengetengahkan dalam konteks ini berarti mengangkat, mempromosikan, dan meletakkan pemikiran-pemikiran lokal di pusat wacana publik, akademis, dan kebijakan. Selama ini, banyak kearifan lokal yang dianggap sebagai folklor belaka, minim diakui sebagai sistem filsafat yang koheren. Padahal, ia mengandung struktur epistemologi, ontologi, dan aksiologi yang mandiri, yang telah teruji ratusan, bahkan ribuan, tahun.

1.1. Dekolonisasi Intelektual dan Pencarian Jati Diri

Pasca-kolonialisme, salah satu tantangan terbesar adalah dekolonisasi intelektual. Pendidikan dan sistem berpikir kita seringkali masih terbingkai oleh parameter yang ditetapkan oleh kekuatan luar. Filsafat Nusantara, yang mencakup Javanologi, Balinologi, Minangkabau, hingga kearifan Maluku dan Papua, menyediakan kerangka untuk berpikir mandiri. Mengetengahkan filsafat ini adalah langkah konkret untuk merebut kembali narasi intelektual, menanggapi pertanyaan eksistensial dengan menggunakan bahasa dan referensi budaya sendiri. Ini adalah fondasi untuk membangun peradaban Indonesia yang unik, tidak hanya sekadar peniru model pembangunan dari bangsa lain.

Pencarian jati diri bangsa dalam era modern sangat rentan terhadap homogenisasi budaya. Dengan adanya panduan filsafat lokal yang kuat, kita memiliki filter budaya yang memungkinkan kita menyerap kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tanpa kehilangan akar. Filsafat ini mengajarkan bahwa kemajuan harus selaras dengan harmoni, bukan sekadar akumulasi materi. Upaya mengetengahkan nilai-nilai ini merupakan investasi jangka panjang dalam ketahanan sosial dan budaya.

1.2. Relevansi dalam Krisis Lingkungan dan Sosial

Krisis ekologi global menuntut adanya perubahan radikal dalam cara pandang manusia terhadap alam. Filsafat Barat cenderung memandang alam sebagai objek yang harus ditaklukkan atau dieksploitasi. Sebaliknya, hampir semua filsafat Nusantara, seperti Tri Hita Karana dari Bali atau konsep Sasanti dari Jawa, secara tegas mengetengahkan hubungan kesetaraan dan kesakralan antara manusia dan lingkungannya. Alam bukanlah sumber daya pasif, melainkan mitra hidup yang harus dijaga (memayu hayuning bawana). Dengan mengetengahkan kembali prinsip-prinsip ini, Indonesia dapat menawarkan model etika lingkungan yang jauh lebih berkelanjutan kepada dunia.

Ilustrasi Pohon Kehidupan dan Kebijaksanaan Nusantara Pohon stilasi dengan akar yang saling terhubung, melambangkan keabadian dan keterkaitan antara manusia, alam, dan spiritualitas, mencerminkan konsep filsafat Nusantara. Nusantara

Ilustrasi Pohon Kehidupan dan Kebijaksanaan Nusantara. Akar yang dalam melambangkan koneksi filosofis yang kuat.

2. Konsep Kunci yang Harus Diketengahkan

Untuk memahami kedalaman Filsafat Nusantara, kita perlu menggali konsep-konsep spesifik yang menjadi poros pemikiran. Konsep-konsep ini bukan hanya dogma agama, tetapi kerangka hidup yang mengatur etika, pemerintahan, dan hubungan sosial. Upaya mengetengahkan konsep-konsep ini menuntut kajian interdisipliner yang melibatkan antropologi, sejarah, sosiologi, dan linguistik.

2.1. Tri Hita Karana (Tiga Penyebab Kesejahteraan)

Konsep yang sangat kuat dari Bali ini wajib diketengahkan karena universalitasnya. Tri Hita Karana (THK) mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari tiga hubungan harmonis yang fundamental: Parhyangan (hubungan harmonis dengan Tuhan/Yang Sakral), Pawongan (hubungan harmonis dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan harmonis dengan alam dan lingkungan). Dalam konteks modern, THK dapat berfungsi sebagai kerangka ESG (Environmental, Social, and Governance) lokal yang lebih mendalam.

Dalam dimensi Pawongan, THK menekankan pentingnya komunalitas dan gotong royong, yang kontras dengan individualisme ekstrem Barat. Keharmonisan sosial dicapai bukan melalui kompetisi, tetapi melalui kolaborasi dan pemeliharaan struktur komunitas. Ketika negara-negara menghadapi polarisasi sosial yang tinggi, prinsip ini perlu diketengahkan sebagai solusi konflik yang berbasis pada musyawarah mufakat dan penghormatan terhadap perbedaan.

2.2. Sangkan Paraning Dumadi (Asal dan Tujuan Kehidupan)

Filsafat Jawa, khususnya yang bersumber dari tradisi Kejawen dan warisan keraton, sangat mengetengahkan konsep Sangkan Paraning Dumadi. Secara harfiah berarti 'dari mana datangnya dan kemana tujuannya semua makhluk', konsep ini adalah pertanyaan ontologis tertinggi mengenai eksistensi. Ini bukan sekadar teologi, melainkan panduan etis bahwa hidup di dunia adalah perjalanan kembali ke asal. Kesadaran akan asal-usul (Tuhan/Kekuatan Agung) memandu perilaku manusia untuk selalu menjaga keseimbangan (manunggaling kawula gusti).

Konsep ini memberikan landasan spiritual yang kokoh, mengurangi kecemasan eksistensial, dan mendorong perilaku yang bertanggung jawab. Dengan mengetengahkan konsep ini, pendidikan moral dapat bergerak melampaui aturan-aturan normatif, menuju pemahaman mendalam tentang peran individu dalam semesta yang lebih besar. Ini adalah inti dari kearifan lokal yang mengintegrasikan spiritualitas, etika, dan kehidupan sehari-hari menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

2.3. Konsep Minangkabau: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah

Di Sumatera Barat, kita harus mengetengahkan sintesis luar biasa antara adat dan agama. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat berlandaskan hukum Islam, hukum Islam berlandaskan Al-Qur'an) adalah manifestasi filsafat yang adaptif dan inklusif. Ia menunjukkan bahwa tradisi lokal tidak harus ditolak saat agama baru masuk; sebaliknya, tradisi berfungsi sebagai wadah interpretasi yang kontekstual. Ini adalah pelajaran penting bagi negara-negara majemuk: bahwa lokalitas adalah kekuatan, bukan kelemahan, dalam memahami nilai-nilai universal.

Filsafat ini juga secara kuat mengetengahkan sistem matrilineal yang unik dalam pembagian warisan dan kepemimpinan adat, memberikan peran sentral kepada kaum perempuan dalam menjaga pusaka dan kesinambungan keluarga. Dalam diskusi modern tentang kesetaraan gender dan peran adat, sistem Minangkabau adalah studi kasus yang tak terhindarkan dan harus terus diketengahkan ke kancah internasional.

3. Metode Revitalisasi dan Mengetengahkan Filsafat dalam Pendidikan

Filsafat Nusantara tidak dapat hanya menjadi artefak di museum. Agar ia hidup dan berfungsi sebagai panduan, diperlukan upaya sistematis untuk mengetengahkannya melalui saluran-saluran modern, terutama pendidikan formal dan informal. Tantangannya adalah mengubah materi kearifan yang seringkali bersifat lisan atau tersembunyi menjadi kurikulum yang terstruktur tanpa kehilangan esensinya.

3.1. Integrasi Kurikulum Multidisplin

Upaya mengetengahkan filsafat lokal harus dimulai dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ini tidak berarti mengganti filsafat Barat, tetapi menyeimbangkannya. Di tingkat sekolah, cerita rakyat dan mitologi lokal harus dianalisis bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai teks filosofis yang mengandung pelajaran etika dan ontologi. Di perguruan tinggi, mata kuliah filsafat seharusnya wajib mencakup studi mendalam tentang tokoh-tokoh pemikir Nusantara (seperti Ranggawarsita, Ki Hajar Dewantara, atau pemikir pra-Islam) dan konsep-konsep kunci seperti tepa selira atau holopis kuntul baris.

Pendidikan juga perlu mengetengahkan metode belajar yang relevan. Misalnya, pengenalan konsep Nyegara Gunung (kesatuan laut dan gunung) tidak hanya diajarkan di kelas geografi, tetapi juga dibahas dalam konteks konservasi lingkungan dan pengambilan keputusan politik. Dengan demikian, filsafat tidak terasa abstrak, tetapi terintegrasi langsung dalam pemahaman mengenai kewarganegaraan dan tanggung jawab ekologis.

3.2. Peran Media Digital dalam Mengetengahkan Kearifan

Pada era digital, kearifan lokal berisiko tenggelam oleh konten asing yang lebih masif. Oleh karena itu, media digital adalah arena krusial untuk mengetengahkan kembali nilai-nilai Nusantara. Ini mencakup pembuatan konten yang menarik: film dokumenter berkualitas tinggi tentang tradisi, podcast yang membahas konsep filsafat dengan bahasa yang mudah dicerna oleh generasi muda, dan penggunaan media sosial untuk mempopulerkan kutipan-kutipan bijak dari leluhur.

Platform e-learning dan aplikasi seluler dapat dikembangkan khusus untuk memetakan dan menyajikan keberagaman filsafat regional, memungkinkan pengguna dari berbagai pulau untuk belajar tentang pandangan dunia suku lain. Melalui digitalisasi, batas geografis yang sebelumnya menghambat penyebaran kearifan lokal kini dapat ditembus, memungkinkan filsafat Nusantara untuk menjangkau audiens global. Tugas mengetengahkan kini juga beralih menjadi tugas penerjemahan dan kontekstualisasi untuk khalayak yang sangat beragam.

4. Filsafat Nusantara sebagai Solusi Konflik dan Etika Politik

Indonesia, dengan keberagaman etnis dan agamanya, selalu membutuhkan perekat sosial yang kuat. Filsafat Nusantara, terutama prinsip-prinsip yang menekankan harmoni dan toleransi, secara alamiah dapat diketengahkan sebagai kerangka etika politik dan penyelesaian konflik yang efektif. Prinsip-prinsip ini berakar jauh melampaui struktur negara modern, menyentuh inti dari bagaimana masyarakat tradisional mempertahankan kedamaian internal.

4.1. Tepa Selira dan Gotong Royong sebagai Etika Publik

Konsep Tepa Selira (mengukur diri sendiri) dari Jawa adalah inti dari empati dan toleransi. Ini adalah ajaran untuk selalu menempatkan diri pada posisi orang lain sebelum bertindak atau berbicara. Dalam politik modern yang seringkali diwarnai oleh caci maki dan polarisasi tajam, mengetengahkan Tepa Selira dapat meredam retorika destruktif dan mendorong dialog yang konstruktif. Ia mengajarkan bahwa lawan politik adalah sesama manusia yang memiliki hak martabat yang sama.

Demikian pula, Gotong Royong adalah filsafat sosial yang menekankan kesukarelaan, kebersamaan, dan tanggung jawab kolektif. Ketika pembangunan ekonomi cenderung menghasilkan ketimpangan, mengetengahkan kembali Gotong Royong dapat mendorong redistribusi sumber daya dan perhatian terhadap kelompok rentan. Ini adalah etika kolektif yang memastikan bahwa kemajuan dirasakan oleh semua, bukan hanya segelintir elite. Filsafat ini harus menjadi landasan dalam perumusan kebijakan sosial dan ekonomi.

4.2. Pandangan tentang Kepemimpinan (Hasta Brata)

Kepemimpinan dalam tradisi Nusantara seringkali diatur oleh etika kosmik. Salah satu contoh paling terkenal yang harus diketengahkan adalah Hasta Brata (Delapan Sifat Utama), yang mengajarkan pemimpin untuk meneladani delapan dewa atau elemen alam (matahari, bulan, bintang, bumi, air, api, angin, dan samudra). Setiap elemen mewakili kualitas moral dan administratif: misalnya, pemimpin harus sehangat matahari (memberi penerangan dan kehidupan) tetapi juga sedalam samudra (menampung segala perbedaan).

Dalam mencari pemimpin di era demokrasi modern, prinsip Hasta Brata ini bisa diketengahkan sebagai standar etika yang melampaui janji-janji kampanye. Ini adalah tolok ukur yang berbasis pada karakter, integritas, dan pengabdian, bukan sekadar popularitas atau kekayaan. Ini memastikan bahwa kekuasaan dilihat sebagai amanah kosmik, bukan hak istimewa pribadi.

5. Eksplorasi Regional Mendalam: Mengetengahkan Kekayaan yang Beragam

Indonesia adalah rumah bagi ribuan pulau, dan setiap pulau memiliki nuansa filosofisnya sendiri. Upaya mengetengahkan Filsafat Nusantara harus menghindari sentralisasi pada satu budaya dominan. Sebaliknya, harus dilakukan penggalian mendalam pada setiap wilayah untuk menunjukkan kekayaan dan heterogenitas pemikiran.

Siluet Rumah Adat Nusantara Melambangkan Keberagaman Filsafat Lokal Garis luar stilasi dari beberapa rumah tradisional Indonesia (Rumah Gadang, Honai, Joglo) yang berdekatan, menunjukkan keragaman budaya dan arsitektur yang melambangkan kekayaan filosofis setiap daerah. Keberagaman Filosofi Regional

Keberagaman arsitektur tradisional mencerminkan variasi filosofi dan kearifan lokal yang perlu terus diketengahkan.

5.1. Kajian Mendalam: Pasang Ri Kajang (Sulawesi Selatan)

Di Sulawesi Selatan, terdapat komunitas Adat Ammatoa di Kajang yang teguh memegang prinsip Pasang Ri Kajang (Pesan dari Kajang). Prinsip ini mengetengahkan konsep kesederhanaan, penolakan terhadap teknologi modern yang berlebihan, dan hidup dalam harmoni total dengan alam (disebut 'hutan adat'). Mereka percaya bahwa modernitas yang berlebihan adalah sumber kerusakan, dan oleh karena itu, mereka secara sadar memilih cara hidup yang minim intervensi eksternal.

Pasang Ri Kajang ini relevan untuk diketengahkan di tengah perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan dan gaya hidup minimalis global. Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal tidak selalu harus beradaptasi dengan modernitas; kadang, ia harus berfungsi sebagai kritik tajam terhadap modernitas itu sendiri, menyediakan alternatif model hidup yang berfokus pada kecukupan (siri’ na pace) daripada konsumsi berlebihan. Filsafat ini menawarkan solusi bagi kota-kota metropolitan yang menghadapi burnout dan krisis identitas.

5.2. Huma/Harimao (Sumatra Selatan) dan Hubungan Manusia-Hewan

Di wilayah Sumatera, beberapa kelompok masyarakat mengetengahkan pandangan unik tentang hubungan dengan satwa liar, khususnya harimau. Harimau seringkali dianggap sebagai leluhur (Harimao-Cingkunang) atau penjaga spiritual, bukan sekadar predator. Pandangan ini menciptakan sistem konservasi lokal yang sangat efektif, di mana perlindungan alam dilakukan berdasarkan rasa hormat spiritual, bukan hanya karena peraturan hukum.

Upaya mengetengahkan pandangan ini sangat penting dalam upaya konservasi modern. Ketika pemerintah dan LSM seringkali berjuang dengan konflik manusia-satwa liar, filsafat ini menawarkan jembatan budaya, mengajarkan bahwa keberadaan satwa adalah bagian integral dari kesejahteraan masyarakat. Ini mengubah narasi dari 'perlindungan satwa karena wajib' menjadi 'hidup berdampingan karena kesatuan kosmik'.

5.3. Kasada dan Kesatuan Bromo (Tengger)

Filsafat masyarakat Tengger di Gunung Bromo, Jawa Timur, sangat mengetengahkan konsep kesakralan gunung dan pengorbanan komunal, yang berpuncak pada ritual Kasada. Gunung Bromo bukan hanya tempat wisata, tetapi pusat spiritual yang mewakili keteguhan dan asal-usul mereka. Filsafat ini mengajarkan humility dan penghormatan absolut terhadap kekuatan alam yang tak tertandingi.

Konteksnya dalam modernitas adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas spiritual wilayah mereka di tengah tekanan pariwisata masal dan komersialisasi. Dengan mengetengahkan hak-hak adat dan narasi filosofis mereka, masyarakat Tengger memberikan contoh bagaimana kearifan lokal dapat bertahan dan bahkan mengelola modernitas, asalkan nilai-nilai intinya dihormati secara politik dan ekonomi.

6. Tantangan dalam Mengetengahkan Filsafat Nusantara

Meskipun urgensi untuk mengetengahkan filsafat ini sangat tinggi, terdapat sejumlah tantangan struktural, epistemologis, dan sosial yang menghambat proses revitalisasi tersebut. Mengidentifikasi tantangan ini adalah langkah awal yang penting untuk merumuskan strategi yang efektif.

6.1. Fragmentasi dan Oralitas Sumber

Sebagian besar kearifan Nusantara diwariskan secara lisan (oralitas), tersimpan dalam mantra, lagu, tarian, dan upacara adat. Sumber-sumber tertulis yang ada (seperti naskah lontar atau primbon) seringkali bersifat esoteris, terfragmentasi, dan ditulis dalam bahasa kuno yang hanya dapat diakses oleh segelintir ahli. Ini menyulitkan upaya mengetengahkannya dalam format akademis modern yang menuntut sistematisasi dan verifikasi.

Tantangannya adalah bagaimana mendokumentasikan, menerjemahkan, dan menginterpretasikan sumber-sumber ini tanpa menghilangkan konteks spiritual dan mistisnya. Jika kita terlalu keras mencoba membingkai filsafat ini dalam kerangka Barat (misalnya, mencari 'Plato' atau 'Kant' versi Jawa), kita berisiko mendistorsi makna aslinya. Oleh karena itu, diperlukan metodologi penelitian yang secara khusus mengetengahkan dan menghargai epistemologi lokal.

6.2. Kooptasi Politik dan Komersialisasi

Ketika suatu kearifan lokal mulai diketengahkan dan menjadi populer, risiko kooptasi politik dan komersialisasi meningkat. Politik dapat menggunakan kearifan lokal (seperti Pancasila yang berakar pada tradisi) sebagai alat legitimasi sementara mengabaikan implementasi etika yang sebenarnya. Komersialisasi mengubah ritual sakral menjadi tontonan, dan nilai-nilai spiritual menjadi komoditas pasar yang dangkal.

Untuk menghindari hal ini, upaya mengetengahkan harus dilakukan secara hati-hati, dengan melibatkan langsung para pemangku adat dan komunitas pemegang kearifan. Perlindungan hak kekayaan intelektual kolektif juga harus diterapkan untuk memastikan bahwa manfaat dari revitalisasi filosofi kembali kepada komunitas yang melahirkannya, bukan sekadar dieksploitasi oleh pihak luar.

7. Kontribusi Global: Mengetengahkan Etika Nusantara ke Dunia

Filsafat Nusantara memiliki potensi untuk tidak hanya memperkuat identitas Indonesia, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan bagi dialog filsafat global. Dalam konteks krisis peradaban, Indonesia dapat mengetengahkan alternatif pemikiran yang bersifat ekologis, komunal, dan non-dualistik.

7.1. Filsafat Non-Dualistik sebagai Jembatan Timur-Barat

Banyak filsafat Barat didasarkan pada dualisme yang tajam (subjek/objek, akal/emosi, manusia/alam). Filsafat Nusantara, sebaliknya, cenderung mengetengahkan kesatuan dan non-dualisme (monisme), misalnya dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti atau Tri Hita Karana yang menyatukan dunia profan dan sakral. Pendekatan holistik ini sangat menarik bagi dunia yang kini bergulat dengan isolasi dan fragmentasi.

Melalui forum-forum internasional, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengetengahkan konsep-konsep ini, menunjukkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses spiritual dan etis, bukan hanya material. Ini adalah tawaran Indonesia untuk dialog peradaban, menanggapi tantangan global dengan kebijaksanaan yang berakar pada bumi sendiri.

7.2. Masa Depan Penelitian dan Warisan

Agar warisan ini terus diketengahkan dan relevan, investasi dalam penelitian interdisipliner harus ditingkatkan. Perlu dibangun pusat-pusat studi Filsafat Nusantara yang bekerja sama dengan komunitas adat. Penelitian tidak boleh hanya berfokus pada interpretasi teks kuno, tetapi juga pada bagaimana kearifan ini diterapkan oleh masyarakat adat dalam menghadapi perubahan iklim, pembangunan infrastruktur, dan migrasi.

Generasi muda perlu didorong untuk menjadi agen yang mengetengahkan kearifan ini, menggunakan teknologi modern untuk memvalidasi dan mempopulerkannya. Ini adalah warisan yang dinamis, yang harus terus diperbaharui dan dihidupkan melalui praktik, bukan hanya disimpan dalam arsip. Dengan demikian, Filsafat Nusantara akan menjadi sumber daya abadi bagi Indonesia dan dunia.

8. Elaborasi Mendalam pada Konsep Filosofis Kunci Lainnya

Untuk memenuhi kedalaman pembahasan yang diperlukan, penting untuk mengetengahkan beberapa konsep filosofis tambahan yang mendefinisikan pandangan dunia kepulauan ini, memperluas cakupan dari sekadar Jawa dan Bali, menjangkau pemikiran dari bagian timur dan barat Nusantara.

8.1. Konsep Keselarasan dalam Kehidupan Batak (Dalihan Na Tolu)

Dari Tapanuli, kita harus mengetengahkan filsafat sosial Dalihan Na Tolu (Tiga Tungku Sejarat). Ini adalah kerangka struktural dan filosofis yang memastikan keseimbangan sosial dalam masyarakat Batak. Tiga tungku tersebut adalah:

  1. Hula-hula (Pihak Pemberi Istri): Posisi yang dihormati dan sakral, sumber berkat.
  2. Dongan Tubu (Sesama Marga): Kedudukan sebagai mitra, setara, tempat bermusyawarah.
  3. Boru (Pihak Penerima Istri): Posisi yang melayani dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan ritual.

Sistem ini memastikan bahwa setiap individu memiliki peran yang jelas dan saling bergantung, mencegah terjadinya dominasi tunggal. Upaya mengetengahkan Dalihan Na Tolu dalam studi sosiologi modern menunjukkan bagaimana masyarakat kompleks dapat mempertahankan keharmonisan melalui sistem kekerabatan yang filosofis, jauh lebih tua dan lebih stabil daripada banyak struktur politik modern. Ini mengajarkan bahwa hormat dan peran berbeda tidak berarti ketidaksetaraan nilai.

8.2. Filologi Sunda: Konsep ‘Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh’

Di Jawa Barat, filsafat Sunda secara indah mengetengahkan tiga prinsip interaksi sosial yang berorientasi pada peningkatan kualitas kolektif: Silih Asih (saling mengasihi/mencintai), Silih Asah (saling mengasah/mendidik), dan Silih Asuh (saling mengasuh/melindungi). Konsep ini merupakan dasar etika yang harus diketengahkan dalam setiap lembaga, mulai dari keluarga hingga pemerintahan.

Silih Asah menempatkan pendidikan dan pembelajaran seumur hidup sebagai tanggung jawab komunal. Masyarakat harus secara aktif mendorong anggotanya untuk tumbuh secara intelektual dan spiritual. Sementara Silih Asuh menekankan jaring pengaman sosial yang dibangun dari rasa kemanusiaan, bukan hanya dari birokrasi negara. Dengan mengetengahkan ketiga prinsip ini, kita dapat membangun masyarakat yang suportif, jauh dari mentalitas individualistik yang seringkali mengisolasi individu dalam kesulitan.

8.3. Pandangan Kosmos Timur: Konsep Dualisme Harmonis Maluku

Di Maluku, terutama dalam konteks Adat Pela Gandong, terdapat pandangan kosmos yang mengetengahkan dualisme harmonis, seperti konsep 'Laki-Laki dan Perempuan', atau 'Gunung dan Laut', yang saling melengkapi dan tidak bertentangan. Prinsip Pela Gandong sendiri adalah sumpah persaudaraan lintas agama dan suku yang secara filosofis diikat oleh sejarah darah dan persatuan spiritual.

Dalam dunia yang sering terpecah berdasarkan identitas agama dan politik, mengetengahkan Pela Gandong adalah studi kasus monumental tentang toleransi yang berakar pada filsafat pra-agama. Ia mengajarkan bahwa ikatan kemanusiaan dan sejarah lokal dapat melampaui perbedaan teologis. Filsafat ini harus menjadi model yang diketengahkan secara internasional untuk resolusi konflik antar-komunitas yang didasarkan pada rekonsiliasi berbasis sejarah, bukan hanya hukum modern.

9. Filsafat dalam Arsitektur dan Tata Ruang Nusantara

Filsafat Nusantara tidak hanya abstrak; ia termanifestasi secara nyata dalam tata ruang hidup. Setiap bangunan adat, dari rumah Honai di Papua hingga Tongkonan di Sulawesi, secara ketat mengetengahkan pandangan dunia masyarakatnya mengenai kosmos, hirarki, dan hubungan antar-generasi. Arsitektur adalah teks filosofis yang dibangun dari kayu dan batu.

9.1. Filosofi Ruang dan Mikrokosmos (Joglo)

Rumah adat Joglo di Jawa adalah contoh utama yang harus diketengahkan. Struktur Joglo dibagi menjadi tiga bagian filosofis utama: Pendopo (ruang publik untuk menerima tamu dan musyawarah, melambangkan hubungan sosial), Pringgitan (ruang transisi, melambangkan kehidupan yang berada di antara dunia luar dan dunia dalam), dan Dalem (ruang pribadi, tempat persembahan, melambangkan hubungan spiritual dan keluarga inti).

Desain ini secara kuat mengetengahkan pentingnya keseimbangan antara kehidupan publik (transparansi sosial) dan kehidupan pribadi (intimasi spiritual). Tiang-tiang utama (soko guru) bukan hanya penopang fisik, melainkan penopang etika keluarga. Dengan mengetengahkan kembali filosofi tata ruang ini, perencanaan kota modern dapat belajar bagaimana membangun komunitas yang mengutamakan interaksi sosial dan kesinambungan budaya, alih-alih hanya efisiensi fungsional.

9.2. Orientasi Kosmik (Tongkonan dan Honai)

Di Toraja, Tongkonan selalu diorientasikan ke utara (arah leluhur) dan dihiasi dengan tanduk kerbau (melambangkan kekayaan dan pengorbanan), secara dramatis mengetengahkan hubungan yang tak terputus antara yang hidup, yang meninggal, dan dunia spiritual. Demikian pula, Honai di Papua mengetengahkan bentuk melingkar yang menekankan kesetaraan dan kehangatan komunal di tengah lingkungan yang keras.

Arsitektur ini, yang seringkali dibangun tanpa paku modern, adalah manifestasi dari ilmu material lokal yang sangat maju dan berkelanjutan. Upaya mengetengahkan filsafat arsitektur ini memberikan pelajaran krusial bagi pengembangan sustainable design, menunjukkan bahwa bahan lokal dan desain yang responsif terhadap iklim dapat berpadu dengan makna filosofis yang dalam.

10. Mengetengahkan Filsafat di Ranah Ekonomi: Ekonomi Spiritual

Ekonomi modern sering didorong oleh maksimalisasi keuntungan dan rasionalitas instrumental. Filsafat Nusantara, sebaliknya, mengetengahkan ekonomi berbasis kebutuhan (kecukupan) dan etika spiritual. Hal ini memunculkan model ekonomi yang lebih berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

10.1. Konsep Ekonomi Keseimbangan (Mamak/Rukun Desa)

Banyak sistem ekonomi tradisional mengetengahkan peran pemimpin adat (seperti mamak di Minangkabau atau struktur pekaseh di Bali) yang bertindak sebagai pengatur sumber daya komunal (tanah, air). Mereka memastikan bahwa sumber daya dibagi berdasarkan kebutuhan dan tidak dieksploitasi melampaui kemampuan alam untuk memulihkan diri. Ini adalah bentuk ekonomi spiritual di mana keuntungan material selalu tunduk pada keseimbangan kosmik.

Ekonomi spiritual ini harus diketengahkan sebagai kritik terhadap kapitalisme yang rakus. Dalam filsafat ini, kemiskinan sering dipandang sebagai kegagalan sistem sosial dan etika, bukan kegagalan individu. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan (Rukun Desa) adalah tanggung jawab kolektif. Ini mendorong bentuk investasi yang bersifat regeneratif, bukan ekstraktif.

10.2. Filsafat Pengelolaan Air (Subak di Bali)

Sistem Subak di Bali adalah salah satu contoh terbaik bagaimana filsafat Tri Hita Karana secara praktis diketengahkan dalam pengelolaan ekonomi pertanian. Subak adalah sistem irigasi demokratis yang diatur oleh spiritualitas. Pengambilan keputusan tentang kapan menanam, kapan mengairi, dan pembagian air, dilakukan melalui musyawarah di Pura Subak, menempatkan air sebagai entitas suci.

UNESCO mengakui Subak bukan hanya karena efisiensi teknisnya, tetapi karena fondasi filosofisnya yang unik. Dengan mengetengahkan model ini, kita mengajarkan bahwa teknologi dan sumber daya alam harus diatur oleh nilai-nilai transenden, bukan semata-mata oleh perhitungan pasar. Subak adalah bukti hidup bahwa ekonomi yang berbasis spiritualitas dapat mencapai keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial yang tinggi secara simultan.

11. Penutup: Mengetengahkan Harapan dan Aksi Kolektif

Upaya untuk mengetengahkan kembali Filsafat Nusantara bukanlah proyek akademis yang terisolasi, melainkan gerakan kebudayaan dan intelektual yang harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Filsafat ini menawarkan obat penawar bagi banyak penyakit modern, dari krisis identitas hingga krisis lingkungan. Ia mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan sejati dalam harmoni, kesederhanaan, dan koneksi mendalam dengan leluhur, sesama, dan alam.

Kita harus memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya mewarisi wilayah geografis Nusantara, tetapi juga kekayaan intelektualnya. Ini berarti menjadikan wacana tentang tepa selira, gotong royong, dan Tri Hita Karana sebagai bagian tak terpisahkan dari perbincangan sehari-hari, bukan hanya istilah yang tersimpan dalam buku sejarah. Dengan aksi kolektif dan komitmen yang berkelanjutan untuk mengetengahkan kearifan ini, Indonesia dapat menapaki masa depan yang modern namun tetap berakar kuat pada nilai-nilai luhur dan identitasnya yang tak tertandingi.

Maka, mari kita bersama-sama mengetengahkan suara kebijaksanaan dari kepulauan ini, membiarkannya bersinar terang dan memandu jalan bagi peradaban yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan bagi seluruh umat manusia.

🏠 Kembali ke Homepage