Membedah Makna dan Amalan Dzikir Fida

Ilustrasi Dzikir Fida Sebuah ilustrasi kaligrafi 'La ilaha illallah' yang melambangkan inti dari Dzikir Fida, dikelilingi oleh ornamen yang menenangkan. لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ

Ilustrasi dzikir dan kaligrafi sebagai simbol mengingat Allah.

Pengantar: Memahami Konsep Dzikir Fida

Di tengah samudra spiritualitas Islam, terdapat berbagai amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri seorang hamba kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Salah satu amalan yang cukup dikenal di sebagian kalangan masyarakat Muslim, khususnya di Nusantara, adalah Dzikir Fida. Istilah "fida" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti tebusan atau jaminan. Dengan demikian, Dzikir Fida secara harfiah dapat diartikan sebagai "dzikir tebusan". Amalan ini dilakukan dengan harapan besar agar menjadi penebus atau pembebas diri dari siksa api neraka.

Dzikir Fida, yang juga sering disebut sebagai Dzikir Pembebasan atau Dzikir Tebusan, pada intinya adalah sebuah rangkaian wirid dan dzikir yang terdiri dari bacaan-bacaan mulia dalam jumlah tertentu. Amalan ini bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga sering diniatkan pahalanya untuk dihadiahkan kepada orang lain, terutama bagi mereka yang telah meninggal dunia, seperti orang tua, kerabat, atau guru. Tujuannya adalah memohon kepada Allah SWT agar dengan wasilah (perantara) amalan dzikir ini, si mayit diampuni dosa-dosanya dan dibebaskan dari azab kubur serta api neraka.

Praktik ini berlandaskan pada keyakinan mendalam akan keluasan rahmat dan ampunan Allah SWT. Para pengamalnya meyakini bahwa setiap kalimat thayyibah yang diucapkan dengan tulus dan penuh penghayatan memiliki bobot pahala yang luar biasa. Ketika pahala ini dikumpulkan dalam jumlah besar, harapannya adalah ia mampu menjadi "tebusan" yang berharga di hadapan Allah. Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengenai Dzikir Fida, mulai dari landasan dalilnya, tata cara pelaksanaannya, pandangan para ulama, hingga makna spiritual yang terkandung di dalamnya.

Landasan dan Dalil yang Menjadi Rujukan

Pembahasan mengenai landasan amalan Dzikir Fida memerlukan pemahaman yang komprehensif, karena ia tidak bersumber dari satu hadis shahih yang secara eksplisit menyebutkan nama "Dzikir Fida". Sebaliknya, amalan ini dibangun di atas fondasi gabungan dari berbagai dalil umum tentang keutamaan dzikir, konsep menghadiahkan pahala, serta beberapa riwayat dan ijtihad para ulama.

1. Keutamaan Umum Kalimat Tauhid "La Ilaha Illallah"

Inti dari Dzikir Fida adalah pembacaan kalimat tauhid La ilaha illallah (لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ) dalam jumlah yang sangat banyak, umumnya mencapai 70.000 kali. Keagungan kalimat ini tidak diragukan lagi dalam Islam. Ia adalah pondasi keimanan dan kunci surga. Banyak sekali ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan keutamaannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Dzikir yang paling utama adalah ‘La ilaha illallah’, dan doa yang paling utama adalah ‘Alhamdulillah’.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda bahwa kalimat ini adalah yang paling berat timbangannya di hari kiamat. Rasulullah SAW menceritakan kisah tentang seseorang yang di hari kiamat dihadapkan dengan 99 gulungan catatan dosa, masing-masing gulungan sepanjang mata memandang. Lalu dikeluarkanlah sebuah kartu kecil (bithaqah) bertuliskan La ilaha illallah. Ketika ditimbang, kartu tersebut lebih berat daripada seluruh gulungan dosa itu. (HR. Tirmidzi, dinilai shahih). Dalil-dalil umum inilah yang menjadi semangat utama para pengamal Dzikir Fida. Jika satu kalimat saja memiliki bobot sedemikian besar, maka bagaimana dengan 70.000 kali pengulangan yang diucapkan dengan ikhlas?

2. Riwayat Terkait Jumlah 70.000 Kali

Mengenai angka spesifik 70.000 kali, para ulama merujuk pada beberapa riwayat, meskipun status sanadnya sering menjadi perdebatan. Salah satu yang paling populer adalah riwayat yang dinukil oleh para ulama tasawuf. Diceritakan dalam beberapa kitab, seperti yang disebutkan oleh Imam As-Suyuthi, bahwa Syaikh Abu Zaid Al-Qurthubi mendengar sebuah riwayat: "Barangsiapa membaca 'La ilaha illallah' sebanyak 70.000 kali, maka ia telah menebus dirinya dari api neraka."

Kisah yang sering menyertai riwayat ini adalah tentang seorang waliyullah yang memiliki kemampuan kasyf (terbukanya tabir gaib). Suatu ketika, ia sedang makan bersama murid-muridnya dan tiba-tiba raut wajahnya berubah sedih. Ia berkata, "Aku melihat ibuku sedang disiksa di dalam neraka." Kemudian, ia pun melakukan amalan Dzikir Fida ini, menghadiahkan pahala 70.000 kalimat tauhid untuk ibunya. Tak lama kemudian, wajahnya kembali berseri-seri dan ia berkata, "Alhamdulillah, sekarang aku melihat ibuku telah diangkat dari siksa."

Penting untuk dicatat bahwa riwayat dan kisah seperti ini tidak dapat dijadikan hujjah (argumen) hukum yang qath'i (pasti), karena statusnya bukanlah hadis marfu' yang shahih. Namun, bagi para ulama yang membolehkannya, riwayat ini masuk dalam kategori fadhailul a'mal (keutamaan amal), di mana standar periwayatannya lebih longgar. Mereka berpegang pada prinsip bahwa selama amalan tersebut secara prinsip tidak bertentangan dengan syariat (karena isinya adalah dzikir yang agung), maka ia boleh diamalkan sebagai bentuk harapan (raja') kepada Allah.

3. Konsep Mengirim Pahala kepada Orang yang Meninggal (Ihdal ats-Tsawab)

Salah satu tujuan utama Dzikir Fida adalah untuk menebus arwah orang yang telah meninggal. Praktik ini didasarkan pada konsep ihdal ats-tsawab atau menghadiahkan pahala. Mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah dari mazhab Hanafi, Maliki (sebagian), Syafi'i, dan Hanbali berpendapat bahwa pahala ibadah badaniyah (fisik) seperti shalat, puasa, dan bacaan Al-Qur'an (termasuk dzikir) dapat sampai kepada mayit jika diniatkan oleh yang masih hidup.

Landasannya adalah qiyas (analogi) terhadap ibadah harta seperti sedekah dan ibadah badaniyah yang disepakati sampainya seperti haji. Dalam sebuah hadis shahih, seorang sahabat bertanya kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia, dan aku yakin jika ia masih hidup ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas namanya?" Nabi SAW menjawab, "Ya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama kemudian menganalogikan bahwa jika pahala sedekah (ibadah harta) bisa sampai, maka pahala dzikir dan bacaan Al-Qur'an (ibadah lisan dan hati) yang merupakan ibadah murni juga lebih pantas untuk bisa sampai. Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar menyatakan bahwa para ulama sepakat tentang sampainya doa bagi mayit, dan mayoritas ulama berpendapat sampainya pahala sedekah. Adapun bacaan Al-Qur'an, pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi'i adalah pahalanya sampai jika dibacakan di sisi kubur atau jika si pembaca berdoa setelahnya agar pahalanya disampaikan.

4. Keutamaan Surat Al-Ikhlas

Selain kalimat tauhid, Dzikir Fida juga sering menyertakan pembacaan Surat Al-Ikhlas sebanyak 1.000 kali atau lebih. Surat ini memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Rasulullah SAW bersabda bahwa membaca Surat Al-Ikhlas setara dengan membaca sepertiga Al-Qur'an (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan, "Barangsiapa membaca 'Qul Huwallahu Ahad' (Surat Al-Ikhlas) sebanyak sepuluh kali, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga." (HR. Ahmad). Berdasarkan keutamaan ini, para ulama memandang bahwa mengulang-ulangnya dalam jumlah banyak akan mendatangkan pahala dan keberkahan yang berlipat ganda, yang kemudian dapat dihadiahkan kepada si mayit atau untuk diri sendiri.

Pandangan Para Ulama: Antara Mendorong dan Berhati-hati

Seperti banyak amalan yang tidak disebutkan secara spesifik dalam nas-nas primer, Dzikir Fida juga menjadi subjek perbedaan pandangan di kalangan ulama. Pandangan-pandangan ini dapat dikelompokkan menjadi dua kubu utama, yaitu yang mendukung atau membolehkan, dan yang mengkritik atau mengingatkan untuk berhati-hati.

Pandangan yang Mendukung dan Membolehkan

Kelompok ulama yang membolehkan, bahkan menganjurkan, Dzikir Fida biasanya berasal dari kalangan sufi dan penganut mazhab empat yang lebih longgar dalam hal fadhailul a'mal. Argumen utama mereka adalah:

  1. Prinsip Dasarnya Disyariatkan: Isi dari amalan ini adalah dzikir, tasbih, dan pembacaan Al-Qur'an, yang semuanya merupakan ibadah yang sangat dianjurkan. Tidak ada unsur syirik atau hal-hal yang terlarang di dalamnya.
  2. Dalil Umum Sudah Cukup: Dalil-dalil umum tentang keutamaan dzikir dan menghadiahkan pahala sudah cukup menjadi landasan, meskipun tidak ada dalil khusus yang menyebut nama "Dzikir Fida".
  3. Pengalaman Spiritual (Tajribah): Banyak ulama salaf dan khalaf yang menceritakan pengalaman spiritual mereka atau orang-orang saleh terkait manfaat amalan ini. Meskipun bukan hujjah syar'i, pengalaman ini dianggap sebagai istinas (penguat semangat) untuk beramal.
  4. Keluasan Rahmat Allah: Mereka berkeyakinan bahwa rahmat Allah sangat luas. Menetapkan jumlah tertentu (misalnya 70.000) bukanlah bentuk pembatasan, melainkan bentuk kesungguhan (mujahadah) dan harapan besar (raja') untuk meraih janji Allah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin dan beberapa ulama lain telah menyinggung amalan serupa sebagai bentuk ikhtiar spiritual.

Pandangan yang Kritis dan Berhati-hati

Di sisi lain, ada kelompok ulama yang lebih berhati-hati atau bahkan mengkritik praktik Dzikir Fida, terutama pada aspek-aspek formalitasnya. Argumen mereka adalah:

  1. Tidak Ada Dalil Khusus yang Shahih: Kritik utama terpusat pada tidak adanya hadis yang shahih dan marfu' (bersambung sampai kepada Nabi SAW) yang menetapkan tata cara, jumlah, dan fadhilah spesifik dari amalan ini. Riwayat yang ada dianggap lemah atau tidak dapat diverifikasi.
  2. Potensi Bid'ah Idhafiyyah: Mereka mengkategorikan amalan ini sebagai bid'ah idhafiyyah (inovasi tambahan). Artinya, dasar amalannya (dzikir) memang disyariatkan, tetapi cara, jumlah, dan waktu pelaksanaannya yang ditentukan secara spesifik tanpa dalil dianggap sebagai penambahan dalam agama. Mereka khawatir hal ini akan membuka pintu bagi inovasi-inovasi lain dalam ibadah.
  3. Membatasi yang Luas: Mengkhususkan jumlah 70.000 seolah-olah membatasi rahmat Allah pada angka tersebut. Padahal, dzikir bisa dilakukan kapan saja dan dalam jumlah berapa saja. Kekhawatiran muncul jika orang awam meyakini bahwa hanya dengan jumlah itulah pembebasan dari neraka bisa didapat.
  4. Fokus pada Amalan Pokok: Ulama dari kelompok ini lebih menekankan umat untuk fokus pada amalan-amalan yang sudah jelas dalilnya, seperti shalat fardhu, puasa Ramadhan, zakat, dan dzikir-dzikir pagi petang yang ma'tsur (dicontohkan langsung oleh Nabi SAW).

Penting untuk memahami bahwa kedua pandangan ini datang dari para ulama yang memiliki niat baik untuk menjaga kemurnian agama. Perbedaan ini terletak pada metodologi mereka dalam memahami dan menerapkan dalil-dalil syariat. Bagi masyarakat awam, sikap yang paling bijak adalah menghormati perbedaan pendapat ini dan mengambil jalan tengah: mengamalkan dzikir sebanyak-banyaknya dengan niat tulus tanpa meyakini secara dogmatis bahwa hanya cara dan jumlah tertentu yang pasti diterima.

Tata Cara Pelaksanaan Dzikir Fida

Meskipun tidak ada tata cara baku yang disepakati secara universal, terdapat sebuah urutan umum yang sering dipraktikkan di majelis-majelis dzikir atau oleh perorangan. Tata cara ini bisa bervariasi tergantung pada tradisi yang dianut. Berikut adalah panduan umum pelaksanaannya.

1. Persiapan Diri dan Niat

Seperti ibadah lainnya, niat adalah rukun yang paling utama. Seseorang yang hendak melaksanakan Dzikir Fida harus meluruskan niatnya semata-mata karena Allah SWT.

2. Bacaan Pembuka (Muqaddimah)

Sebelum memulai dzikir inti, biasanya didahului dengan beberapa bacaan pembuka untuk memantapkan hati dan sebagai bentuk adab kepada Allah dan Rasul-Nya.

3. Dzikir Inti

Ini adalah bagian utama dari amalan Dzikir Fida. Pelaksanaannya membutuhkan kesabaran dan ketekunan.

Penting dipahami bahwa jumlah yang sangat banyak ini tidak harus diselesaikan dalam satu kali duduk. Amalan ini bisa dicicil selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu, sesuai dengan kemampuan dan kelapangan waktu. Konsistensi lebih diutamakan daripada ketergesa-gesaan.

4. Doa Penutup

Setelah seluruh rangkaian dzikir selesai, amalan ditutup dengan doa. Doa ini berisi permohonan kepada Allah agar menerima amalan tersebut, mengampuni dosa-dosa, dan menjadikan dzikir tersebut sebagai pembebas dari api neraka bagi orang yang diniatkan. Doa bisa dipanjatkan dalam bahasa Arab atau bahasa yang dipahami, yang terpenting adalah ketulusan dari hati.

Makna Spiritual dan Manfaat Psikologis

Di luar perdebatan fikih, Dzikir Fida menyimpan makna spiritual yang mendalam dan memberikan dampak psikologis yang positif bagi pengamalnya.

Kesimpulan

Dzikir Fida adalah sebuah amalan spiritual yang kaya akan makna, berpusat pada pengagungan kalimat tauhid dan harapan akan rahmat Allah SWT. Meskipun terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai status hukum dan formalitasnya, esensi dari amalan ini—yaitu memperbanyak dzikir kepada Allah—adalah sesuatu yang disepakati keutamaannya.

Bagi yang ingin mengamalkannya, hendaknya dilakukan dengan landasan ilmu, niat yang tulus, dan tanpa meyakini adanya suatu kepastian mutlak, karena segala keputusan ada di tangan Allah SWT. Amalan ini sebaiknya dipandang sebagai salah satu dari sekian banyak pintu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, sebuah ikhtiar sungguh-sungguh dari seorang hamba yang merindukan ampunan dan keridhaan-Nya. Pada akhirnya, setiap lisan yang basah karena dzikir adalah sebuah langkah menuju cahaya, sebuah upaya untuk menebus kelalaian diri dengan mengingat-Nya tanpa henti.

🏠 Kembali ke Homepage