Memaknai Duduk di Antara Dua Sujud: Jeda Penuh Harap

Dalam alunan gerakan shalat yang ritmis dan penuh makna, terdapat satu jeda singkat yang seringkali terlewatkan kekhusyukannya. Ia adalah momen transisi, sebuah perhentian di antara dua puncak ketundukan. Gerakan ini dikenal sebagai duduk di antara dua sujud. Meskipun durasinya mungkin hanya beberapa detik, di dalamnya terkandung kedalaman spiritual, permohonan yang komprehensif, dan rahasia ketenangan yang luar biasa. Ini bukanlah sekadar jeda fisik untuk beristirahat, melainkan sebuah rukun shalat yang fundamental, sebuah dialog intim antara hamba dengan Rabb-nya.

Sering kali, karena ketergesa-gesaan, seorang Muslim mungkin melakukannya dengan cepat, sekadar bangkit dari sujud pertama untuk kemudian langsung turun ke sujud kedua. Padahal, pada posisi inilah terangkai doa-doa paling esensial yang mencakup seluruh aspek kehidupan dunia dan akhirat. Duduk di antara dua sujud adalah momen di mana seorang hamba, setelah merendahkan dirinya di titik terendah dalam sujud, bangkit sejenak untuk memohon kekuatan, ampunan, dan rahmat sebelum kembali bersujud. Memahami setiap detailnya, mulai dari hukumnya, tata cara yang benar, lafal doanya, hingga hikmah yang terkandung di dalamnya, akan mengubah shalat kita dari sekadar rutinitas menjadi sebuah perjalanan spiritual yang transformatif.

Ilustrasi Posisi Duduk Iftirasy Sebuah gambar garis sederhana menggambarkan seseorang dalam posisi duduk di antara dua sujud (iftirasy), dengan kaki kiri diduduki dan kaki kanan ditegakkan.

Status Hukum: Sebuah Rukun yang Tak Terpisahkan

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami kedudukan duduk di antara dua sujud dalam struktur shalat. Mayoritas ulama dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa gerakan ini, beserta thuma'ninah di dalamnya, merupakan salah satu rukun (pilar) shalat. Artinya, jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa dan tidak mengulanginya, maka shalatnya dianggap tidak sah. Landasan utama pendapat ini adalah hadits terkenal yang dikenal sebagai hadits al-musi'u shalatah (orang yang shalatnya buruk).

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut, seorang laki-laki masuk masjid dan mengerjakan shalat, sementara Rasulullah SAW memperhatikannya. Setelah selesai, ia datang dan memberi salam kepada Nabi. Rasulullah SAW menjawab salamnya lalu bersabda, "Kembalilah dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat." Laki-laki itu kembali shalat seperti sebelumnya, lalu datang lagi memberi salam. Hal ini terjadi sampai tiga kali. Akhirnya, laki-laki itu berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Maka, ajarilah aku."

Kemudian, Rasulullah SAW mengajarkan tata cara shalat yang benar, dan salah satu bagian penting dari ajaran beliau adalah, "...kemudian sujudlah hingga engkau tenang (thuma'ninah) dalam sujudmu, kemudian bangkitlah (dari sujud) hingga engkau duduk dengan tenang (thuma'ninah), kemudian sujudlah hingga engkau tenang dalam sujudmu..." (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah "bangkitlah hingga engkau duduk dengan tenang" secara eksplisit menunjukkan bahwa duduk di antara dua sujud dengan thuma'ninah adalah sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.

Sementara itu, sebagian ulama dari mazhab Hanafi memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka menganggap duduk di antara dua sujud sebagai wajib (kewajiban), bukan rukun. Perbedaannya adalah, jika rukun ditinggalkan maka shalat batal, sedangkan jika wajib ditinggalkan karena lupa, maka shalatnya tetap sah namun harus ditutup dengan sujud sahwi. Namun, jika ditinggalkan dengan sengaja, shalatnya tetap batal. Meskipun ada perbedaan dalam terminologi fiqih, kesimpulannya tetap sama: gerakan ini adalah bagian esensial dari shalat yang tidak boleh diremehkan atau ditinggalkan.

Thuma'ninah: Jiwa dari Setiap Gerakan

Kunci utama dari duduk di antara dua sujud, dan juga seluruh gerakan shalat lainnya, adalah thuma'ninah. Thuma'ninah secara bahasa berarti ketenangan, ketenteraman, atau keadaan diam setelah bergerak. Dalam konteks shalat, thuma'ninah adalah berhenti sejenak dalam setiap posisi rukun hingga seluruh anggota tubuh kembali tenang pada posisinya, kira-kira selama waktu yang dibutuhkan untuk membaca "Subhanallah".

Tanpa thuma'ninah, shalat akan menyerupai gerakan senam tanpa ruh. Rasulullah SAW menyamakan orang yang shalat tergesa-gesa, terutama dalam rukuk dan sujudnya, seperti burung yang mematuk makanan. Gerakan yang terburu-buru ini menghilangkan kekhusyukan dan esensi dari shalat itu sendiri. Duduk di antara dua sujud adalah momen yang paling sering menjadi korban dari ketiadaan thuma'ninah. Banyak orang hanya mengangkat kepala sedikit dari sujud pertama, lalu langsung menurunkannya lagi untuk sujud kedua. Gerakan seperti ini membatalkan shalat menurut pendapat jumhur ulama karena rukun thuma'ninah tidak terpenuhi.

Untuk mencapai thuma'ninah, seseorang harus memastikan bahwa punggungnya telah tegak lurus saat duduk, dan ia berhenti dalam posisi tersebut sejenak sebelum turun untuk sujud kedua. Jeda inilah yang memberikan ruang bagi hati untuk hadir, bagi lisan untuk melantunkan doa, dan bagi jiwa untuk meresapi permohonan yang sedang dipanjatkan. Thuma'ninah mengubah gerakan mekanis menjadi ibadah yang sadar dan penuh penghayatan.

Tata Cara (Kaifiyah) Duduk yang Sempurna

Terdapat beberapa cara duduk di antara dua sujud yang diajarkan berdasarkan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Cara yang paling masyhur dan umum dipraktikkan adalah duduk iftirasy.

1. Duduk Iftirasy

Iftirasy berasal dari kata farasha yang berarti menghamparkan atau membentangkan. Cara melakukannya adalah sebagai berikut:

Posisi iftirasy ini didasarkan pada banyak hadits, di antaranya hadits dari Abu Humaid As-Sa'idi yang menceritakan sifat shalat Nabi SAW di hadapan para sahabat. Beliau menjelaskan, "Kemudian beliau (Nabi) menekuk kaki kirinya dan duduk di atasnya, lalu beliau tegak lurus hingga setiap tulang kembali ke tempatnya..." (HR. Tirmidzi). Ini adalah posisi yang dipraktikkan dalam duduk di antara dua sujud pada setiap rakaat, dan juga pada saat tasyahud awal.

2. Duduk Iq'a

Selain iftirasy, ada cara duduk lain yang juga memiliki landasan dari sunnah, yaitu duduk iq'a. Duduk iq'a adalah duduk di atas kedua tumit dengan kedua telapak kaki ditegakkan. Jadi, berbeda dengan iftirasy di mana kaki kiri dibentangkan, pada iq'a kedua kaki berada dalam posisi yang sama seperti kaki kanan pada duduk iftirasy.

Dasarnya adalah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata, "Duduk di atas kedua tumit (iq'a) adalah sunnah." Ketika ditanya, beliau menjawab, "Itu adalah sunnah Nabimu SAW." (HR. Muslim). Beberapa ulama seperti Imam Nawawi menjelaskan bahwa iq'a yang dimaksudkan di sini dan disunnahkan adalah posisi tersebut. Namun, ada bentuk iq'a lain yang dimakruhkan, yaitu duduk dengan meletakkan bokong di lantai sementara kedua lutut dan telapak kaki ditegakkan, mirip posisi duduk anjing.

Meskipun duduk iftirasy lebih umum dan lebih sering dipraktikkan, mengetahui adanya cara duduk iq'a yang juga sunnah memberikan keluwesan dan menunjukkan kekayaan variasi dalam tata cara ibadah. Melakukannya sesekali dalam rangka mengamalkan sunnah adalah hal yang baik.

Doa yang Dipanjatkan: Permohonan Universal Seorang Hamba

Inti dari jeda ini adalah doa yang dipanjatkan. Bacaan yang paling populer dan dianjurkan saat duduk di antara dua sujud adalah sebuah rangkaian permohonan yang luar biasa lengkap. Doa ini mencakup permintaan ampunan, rahmat, perbaikan diri, peninggian derajat, rezeki, petunjuk, dan kesehatan.

رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاجْبُرْنِي، وَارْفَعْنِي، وَارْزُقْنِي، وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي
"Rabbighfirlii, warhamnii, wajburnii, warfa'nii, warzuqnii, wahdinii, wa 'aafinii."

Artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku (perbaikilah kekuranganku), angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, dan berilah aku kesehatan (kesejahteraan)."

Terdapat beberapa variasi redaksi doa ini dalam berbagai riwayat hadits, terkadang dengan tambahan atau pengurangan beberapa kata, namun substansinya tetap sama. Mari kita selami makna dari setiap permohonan ini, kata demi kata, untuk memahami betapa dalamnya doa yang kita ucapkan.

1. Rabbighfirlii (Ya Tuhanku, ampunilah aku)

Permohonan ini diletakkan di urutan pertama, menunjukkan prioritas utama seorang hamba. Sebelum meminta hal lain, kita memohon maghfirah (ampunan). Kata ghafara berarti menutupi. Jadi, kita tidak hanya meminta agar dosa kita dihapus, tetapi juga agar aib dan kesalahan kita ditutupi oleh Allah SWT dari pandangan manusia di dunia dan dari siksa di akhirat. Ini adalah pengakuan tulus akan fitrah manusia yang tidak luput dari dosa dan kesalahan. Dengan memulainya, kita membersihkan diri, mempersiapkan "wadah" yang suci untuk menerima nikmat-nikmat lain yang akan kita minta selanjutnya. Permintaan ampunan adalah kunci pembuka segala kebaikan.

2. Warhamnii (Dan rahmatilah aku)

Setelah memohon ampunan, kita meminta rahmat (kasih sayang). Rahmat Allah adalah sumber dari segala kenikmatan. Kita bisa masuk surga bukan semata-mata karena amal kita, tetapi karena limpahan rahmat-Nya. Dengan rahmat-Nya, kita diberi kemudahan dalam beribadah, dijauhkan dari maksiat, dan diberi ketenangan dalam menghadapi ujian. Meminta rahmat adalah pengakuan bahwa kita tidak memiliki daya dan upaya sedikit pun kecuali atas pertolongan dan kasih sayang Allah. Ini adalah permohonan agar Allah memandang kita dengan tatapan cinta dan belas kasihan, baik di dunia maupun di akhirat.

3. Wajburnii (Dan cukupkanlah/perbaikilah aku)

Kata jabr memiliki makna yang sangat dalam. Ia berarti memperbaiki sesuatu yang rusak, menambal yang kurang, atau melengkapi yang tidak sempurna. Dalam konteks doa ini, kita memohon kepada Allah, Sang Al-Jabbar (Yang Maha Memperbaiki), untuk memperbaiki segala aspek kehidupan kita. Kita memohon agar Allah memperbaiki hati kita yang lalai, iman kita yang naik-turun, kondisi keuangan kita yang sulit, hubungan kita yang retak, dan segala kekurangan yang ada pada diri kita. Ini adalah doa untuk restorasi total—fisik, mental, spiritual, dan material. Ini adalah pengakuan bahwa kita adalah makhluk yang rapuh dan butuh "perbaikan" terus-menerus dari Pencipta kita.

4. Warfa'nii (Dan angkatlah derajatku)

Permohonan ini adalah untuk peninggian derajat. Tentu, yang paling utama adalah peninggian derajat di sisi Allah di akhirat kelak, yaitu tempat yang mulia di surga. Namun, doa ini juga mencakup peninggian derajat di dunia dalam arti yang positif. Kita memohon agar diangkat derajat kita melalui ilmu yang bermanfaat, akhlak yang mulia, kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, serta terbebas dari kehinaan dan kerendahan. Ini adalah doa agar kita menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih bermanfaat bagi sesama, sehingga kita layak mendapatkan kemuliaan dari Allah.

5. Warzuqnii (Dan berilah aku rezeki)

Rezeki seringkali dipahami secara sempit sebagai materi atau uang. Padahal, konsep rizq dalam Islam sangatlah luas. Saat kita memohon "warzuqnii," kita meminta segala bentuk rezeki dari Allah. Ini mencakup rezeki berupa kesehatan, keluarga yang harmonis, teman yang saleh, ilmu yang berkah, pemahaman agama, waktu luang yang bermanfaat, ketenangan jiwa, dan tentu saja rezeki halal yang cukup untuk menopang kehidupan. Ini adalah permohonan agar Allah mencurahkan segala kebaikan yang kita butuhkan untuk menjalani hidup sebagai hamba-Nya yang taat.

6. Wahdinii (Dan berilah aku petunjuk)

Inilah permintaan yang paling berharga. Hidayah atau petunjuk adalah nikmat terbesar yang bisa diterima seorang hamba. Tanpa hidayah, semua nikmat lain menjadi tidak berarti. Kita memohon agar Allah senantiasa membimbing kita di atas jalan yang lurus (shiratal mustaqim). Ini bukan hanya petunjuk untuk memeluk Islam, tetapi juga petunjuk dalam setiap persimpangan hidup: petunjuk dalam mengambil keputusan, petunjuk dalam bersikap, petunjuk dalam mendidik anak, dan petunjuk untuk selalu memilih apa yang diridhai oleh-Nya. Doa ini adalah permohonan agar "kompas" kehidupan kita selalu terarah kepada Allah.

7. Wa 'aafinii (Dan berilah aku kesehatan/kesejahteraan)

Permohonan terakhir dalam rangkaian ini adalah untuk 'afiyah. 'Afiyah adalah sebuah kata yang sangat komprehensif. Ia berarti keselamatan dan kesejahteraan dari segala hal yang buruk. Ini mencakup kesehatan fisik dari penyakit, kesehatan mental dari stres dan depresi, keselamatan dari musibah dan bencana, perlindungan dari kejahatan makhluk, dan yang terpenting, keselamatan agama kita dari fitnah dan penyimpangan. Meminta 'afiyah adalah meminta perlindungan total dari Allah di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk banyak memohon 'afiyah.

Hikmah Spiritual di Balik Jeda Antara Dua Sujud

Gerakan dan doa dalam duduk di antara dua sujud sarat dengan hikmah dan pelajaran spiritual yang mendalam, jika kita mau merenungkannya.

Pertama, sebagai simbol kebangkitan setelah kerendahan. Sujud adalah posisi di mana kita meletakkan bagian tubuh termulia (wajah) di tempat terendah (lantai). Ini adalah puncak ketundukan dan penyerahan diri. Setelah merasakan kerendahan total di hadapan Allah, kita bangkit sejenak. Kebangkitan ini seolah-olah menyimbolkan bahwa setelah merendah di hadapan Allah, Dia akan mengangkat derajat kita. Kita turun bersujud dalam kepasrahan, dan kita bangkit duduk dengan penuh pengharapan.

Kedua, momen pengakuan akan kebutuhan total kepada Allah. Perhatikan isi doanya. Kita meminta ampunan, rahmat, perbaikan, derajat, rezeki, petunjuk, dan kesejahteraan. Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput. Ini adalah deklarasi total akan kelemahan dan ketergantungan kita kepada Allah. Kita mengakui bahwa kita tidak bisa mendapatkan apa pun, bahkan untuk memperbaiki diri sendiri, tanpa pertolongan-Nya. Ini adalah inti dari tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa hanya Allah yang mengatur, memberi, dan mengurus segala urusan makhluk-Nya.

Ketiga, sebagai penyeimbang antara khauf (rasa takut) dan raja' (rasa harap). Sujud mengandung makna khauf—rasa takut akan keagungan Allah dan kesadaran akan dosa-dosa kita. Sementara itu, duduk di antara dua sujud dengan doa-doanya yang penuh permohonan adalah manifestasi dari raja'—harapan yang besar akan ampunan dan kasih sayang Allah. Shalat yang seimbang adalah yang mampu menyatukan kedua perasaan ini. Kita takut akan azab-Nya, namun kita juga sangat berharap pada rahmat-Nya yang tak terbatas.

Keempat, mengajarkan pentingnya jeda dan refleksi. Dalam kehidupan yang serba cepat, kita sering lupa untuk berhenti sejenak dan merenung. Shalat, khususnya pada momen duduk ini, memaksa kita untuk mengambil jeda. Jeda ini adalah kesempatan untuk mengumpulkan kembali energi spiritual, memfokuskan kembali niat, dan menyegarkan kembali hubungan kita dengan Allah sebelum melanjutkan ke puncak ketundukan berikutnya, yaitu sujud kedua.

Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari

Untuk menyempurnakan ibadah kita, penting untuk menyadari dan menghindari beberapa kesalahan umum yang sering terjadi saat melakukan duduk di antara dua sujud:

  1. Tidak Thuma'ninah: Ini adalah kesalahan yang paling fatal. Melakukannya dengan tergesa-gesa seperti ayunan, tanpa berhenti dan menegakkan punggung, dapat membatalkan shalat.
  2. Posisi Duduk yang Salah: Tidak mempraktikkan iftirasy atau iq'a dengan benar, misalnya dengan tidak menegakkan kaki kanan atau meletakkan tangan di posisi yang tidak tepat.
  3. Tidak Membaca Doa: Meninggalkan doa pada posisi ini adalah kerugian yang sangat besar. Meskipun sebagian ulama menyebutnya sunnah, namun meninggalkannya berarti melewatkan kesempatan emas untuk memanjatkan doa yang begitu agung.
  4. Punggung yang Membungkuk: Tidak menegakkan punggung saat duduk, sehingga posisi tubuh tidak stabil dan tidak sempurna. Hadits secara eksplisit menyebutkan "...hingga setiap tulang kembali ke tempatnya."
  5. Pikiran yang Melayang: Meskipun fisik berada dalam posisi duduk, pikiran berkelana ke urusan duniawi. Ini menghilangkan kekhusyukan dan esensi dari doa yang dipanjatkan.

Kesimpulan: Sebuah Oase di Tengah Shalat

Duduk di antara dua sujud adalah lebih dari sekadar gerakan transisi. Ia adalah sebuah rukun agung, sebuah oase spiritual di tengah perjalanan shalat kita. Ia adalah momen hening di mana seorang hamba yang lemah, setelah menumpahkan segala ketundukannya dalam sujud, bangkit dengan penuh harap untuk memohon segala kebutuhannya kepada Tuhannya Yang Maha Kaya dan Maha Pengasih.

Dengan memahami hukumnya, menyempurnakan gerakannya, menghayati setiap kata dalam doanya, dan merenungkan hikmah di baliknya, kita dapat mengubah jeda singkat ini menjadi salah satu momen paling kuat dan bermakna dalam shalat kita. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk dapat melaksanakan setiap bagian dari shalat kita dengan cara terbaik, sehingga shalat kita benar-benar menjadi penyejuk hati, penenang jiwa, dan tangga untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

🏠 Kembali ke Homepage