Sholat adalah tiang agama, sebuah jembatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setiap gerakan dan bacaan di dalamnya memiliki makna yang mendalam, dirangkai sedemikian rupa untuk membangun kekhusyukan dan kesadaran penuh akan kebesaran-Nya. Salah satu elemen penting yang menjadi gerbang pembuka dialog suci ini adalah doa iftitah. Doa ini dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca Surat Al-Fatihah, berfungsi sebagai mukadimah atau prolog yang mempersiapkan jiwa untuk menghadap Rabb semesta alam.
Di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU), terdapat sebuah bacaan doa iftitah yang sangat populer dan lazim diamalkan. Bacaan ini merupakan gabungan dari dua riwayat yang shahih, mencerminkan kekayaan khazanah hadis Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pemilihan doa iftitah NU ini bukan tanpa alasan; ia mengandung untaian kalimat pengagungan, pujian, penyucian, serta ikrar tauhid yang paling murni. Artikel ini akan mengupas secara tuntas mengenai bacaan doa iftitah yang dipegang oleh kalangan Nahdliyin, mulai dari lafalnya, landasan dalilnya, hingga perenungan makna yang terkandung di setiap frasanya.
Bacaan Doa Iftitah yang Populer di Kalangan NU
Doa iftitah yang sering diajarkan dan diamalkan oleh para kiai dan warga Nahdliyin adalah sebagai berikut. Bacaan ini terdiri dari dua bagian utama yang digabungkan menjadi satu kesatuan yang indah dan sarat makna.
Bagian Pertama: Pengagungan, Pujian, dan Penyucian
Bagian awal dari doa iftitah ini berfokus pada tiga pilar utama dzikir: takbir (mengagungkan Allah), tahmid (memuji Allah), dan tasbih (menyucikan Allah).
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الِلّٰهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا
Allāhu akbar kabīrā, walhamdu lillāhi kathīrā, wa subhānallāhi bukratan wa aṣīlā. "Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang sebanyak-banyaknya. Dan Maha Suci Allah di waktu pagi dan petang."
Bagian Kedua: Ikrar Tauhid dan Penyerahan Diri
Setelah mengagungkan Allah, doa dilanjutkan dengan sebuah pernyataan tauhid yang fundamental. Ini adalah ikrar penyerahan diri secara total, menegaskan bahwa seluruh hidup seorang hamba hanya ditujukan kepada Sang Pencipta.
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Innī wajjahtu wajhiya lilladzī faṭaras-samāwāti wal arḍa, ḥanīfan musliman wa mā ana minal musyrikīn. Inna ṣalātī, wa nusukī, wa maḥyāya, wa mamātī lillāhi rabbil ‘ālamīn. Lā syarīka lahū, wa bidzālika umirtu wa ana minal muslimīn. "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan lurus dan pasrah, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang mempersekutukan-Nya. Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah aku diperintahkan, dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (Muslim)."
Landasan Dalil dan Dasar Hukum Doa Iftitah NU
Amalan dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah An-Nahdliyah selalu berlandaskan pada dalil yang kuat, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah, serta pandangan para ulama mazhab, terutama Mazhab Syafi'i. Penggabungan dua bacaan di atas dalam doa iftitah NU memiliki dasar yang kokoh.
Dalil untuk Bacaan "Allahu Akbar Kabira"
Dasar dari bagian pertama doa ini terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Dari Sayyidina Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
"Ketika kami sedang sholat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari sebuah kaum berkata, 'Allāhu akbar kabīrā, walhamdu lillāhi kathīrā, wa subhānallāhi bukratan wa aṣīlā.' Rasulullah kemudian bertanya, 'Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?' Laki-laki itu menjawab, 'Saya, wahai Rasulullah.' Beliau lantas bersabda, 'Aku sangat takjub dengan kalimat itu, pintu-pintu langit dibukakan untuknya.'"
Ibnu Umar kemudian berkata, "Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal tersebut." (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan betapa agungnya kalimat-kalimat tersebut. Sabda Nabi bahwa "pintu-pintu langit dibukakan untuknya" adalah isyarat bahwa doa dan dzikir tersebut diterima dan diangkat langsung ke hadirat Allah Ta'ala. Keutamaan yang luar biasa inilah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa bacaan ini sangat dianjurkan.
Dalil untuk Bacaan "Inni Wajjahtu"
Adapun bagian kedua, yaitu "Inni wajjahtu...", memiliki dasar dari beberapa riwayat hadis. Salah satunya adalah riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah yang menjelaskan bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendirikan sholat, beliau membaca doa iftitah ini. Meskipun terdapat variasi dalam redaksi hadis, esensi dari ikrar tauhid ini sangat kuat dan selaras dengan ruh ajaran Islam. Bahkan, kalimat intinya merupakan kutipan langsung dari Al-Qur'an, yaitu Surat Al-An'am ayat 79 dan 162-163.
Penggunaan ayat Al-Qur'an dalam doa menunjukkan kedalaman spiritual dan kepasrahan, karena tidak ada untaian kata yang lebih agung daripada firman Allah itu sendiri. Mengikrarkan kalimat ini di awal sholat seolah menjadi sebuah kontrak spiritual, sebuah penegasan ulang atas tujuan hidup seorang Muslim.
Perspektif Fiqih Mazhab Syafi'i
Dalam fiqih Mazhab Syafi'i, yang menjadi pedoman utama bagi warga NU, membaca doa iftitah hukumnya adalah sunnah hai'at. Artinya, ia adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan demi menyempurnakan sholat. Jika terlupa, tidak perlu menggantinya dengan sujud sahwi, namun seorang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala yang besar.
Para ulama Syafi'iyah, seperti Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar, menjelaskan bahwa menggabungkan beberapa riwayat doa iftitah yang shahih adalah sesuatu yang dianjurkan (mustahab), terutama dalam sholat sendirian (munfarid) yang memiliki waktu leluasa. Penggabungan ini dianggap sebagai cara untuk meraih keutamaan dari masing-masing riwayat. Oleh karena itu, praktik menggabungkan bacaan "Allahu Akbar Kabira..." dengan "Inni Wajjahtu..." adalah sebuah amalan yang memiliki landasan fiqih yang kuat dalam mazhab ini.
Tadabbur dan Makna Mendalam Setiap Frasa Doa Iftitah
Untuk mencapai kekhusyukan, tidak cukup hanya melafalkan bacaan. Kita perlu meresapi dan memahami makna yang terkandung di dalamnya. Mari kita bedah makna dari setiap untaian kalimat dalam doa iftitah NU ini.
1. Allahu Akbar Kabira (اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا)
Artinya: "Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya."
Ini bukan sekadar pengulangan dari takbiratul ihram. Kata "kabira" di sini berfungsi sebagai ta'kid atau penegasan yang luar biasa. Saat mengucapkannya, kita sedang mengafirmasi dalam hati bahwa tidak ada satu pun di alam semesta ini yang sebanding dengan kebesaran Allah. Semua masalah duniawi, semua kekhawatiran, semua kebanggaan diri, semua kekuasaan makhluk, menjadi kecil dan tidak berarti di hadapan keagungan-Nya. Ini adalah langkah pertama untuk "mengosongkan" pikiran dari segala sesuatu selain Allah, mempersiapkan wadah jiwa untuk diisi dengan cahaya-Nya.
2. Walhamdu Lillahi Katsira (وَالحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا)
Artinya: "Dan segala puji bagi Allah dengan pujian yang sebanyak-banyaknya."
Setelah mengakui kebesaran-Nya, kita melanjutkannya dengan pujian. Kata "katsira" yang berarti "sebanyak-banyaknya" menyiratkan sebuah kesadaran bahwa nikmat Allah tidak akan pernah bisa dihitung. Setiap tarikan napas, setiap detak jantung, kesehatan, keluarga, iman, Islam, semuanya adalah anugerah yang tak ternilai. Dengan mengucapkan kalimat ini, kita menumbuhkan rasa syukur yang mendalam. Kita memuji Allah bukan hanya atas nikmat yang kita sadari, tetapi juga atas jutaan nikmat lain yang luput dari perhatian kita. Ini adalah pengakuan atas kebaikan Allah yang tak terbatas.
3. Wa Subhanallahi Bukratan wa Ashila (وَسُبْحَانَ الِلّٰهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا)
Artinya: "Dan Maha Suci Allah di waktu pagi dan petang."
Tasbih adalah penyucian. Dengan mengucap "Subhanallah", kita menyatakan bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan, dari segala sifat yang tidak layak bagi keagungan-Nya, dan dari segala bentuk persekutuan. Penyebutan waktu "pagi dan petang" (bukratan wa ashila) memiliki makna simbolis. Ia mencakup seluruh waktu. Artinya, kita menyucikan Allah secara terus-menerus, tanpa henti, sepanjang hidup kita. Ini adalah komitmen untuk menjaga kesucian tauhid dalam hati kita setiap saat.
4. Inni Wajjahtu Wajhiya... (إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ...)
Artinya: "Sesungguhnya aku hadapkan wajahku..."
Kalimat ini adalah titik balik, sebuah deklarasi personal yang sangat kuat. "Wajh" (wajah) di sini bukan hanya bermakna fisik, tetapi juga mewakili seluruh eksistensi, orientasi, tujuan, dan totalitas diri. Kita menyatakan bahwa seluruh arah hidup kita, seluruh fokus kita, hanya tertuju kepada satu Dzat, yaitu "Lilladzi Fatharas-samawati wal Ardh" (kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi). Ini adalah penegasan kembali kompas kehidupan. Di tengah berbagai tarikan duniawi, kita memantapkan arah kita hanya kepada-Nya.
5. Hanifan Musliman Wa Ma Ana Minal Musyrikin (حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ)
Artinya: "...dalam keadaan lurus dan pasrah, dan aku bukanlah dari golongan orang-orang yang mempersekutukan-Nya."
Frasa ini menjelaskan kondisi spiritual kita saat menghadap-Nya. Hanif berarti lurus, condong kepada kebenaran, dan berpaling dari segala kebatilan. Ini adalah fitrah asli manusia. Muslim berarti berserah diri secara total. Kombinasi keduanya menghasilkan sebuah sikap batin yang ideal: lurus dalam akidah dan pasrah dalam tindakan. Pernyataan penutup, "wa ma ana minal musyrikin" (dan aku bukan termasuk orang musyrik), adalah benteng pertahanan tauhid. Kita secara tegas membebaskan diri dari segala bentuk syirik, baik yang besar (menyembah selain Allah) maupun yang kecil (riya' atau beramal karena selain Allah).
6. Inna Shalati, Wa Nusuki, Wa Mahyaya, Wa Mamati... (إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي...)
Artinya: "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku..."
Inilah puncak dari ikrar penyerahan diri. Empat pilar kehidupan seorang hamba disebutkan: Sholat (ibadah ritual utama), Nusuk (seluruh ritual ibadah lainnya, seperti kurban, haji, dzikir), Mahya (seluruh episode kehidupan, dari bangun tidur hingga tidur lagi), dan Mamat (momen kematian). Keempatnya kita ikrarkan sebagai milik "Lillahi Rabbil 'Alamin" (hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam). Artinya, sholat kita bukan sekadar rutinitas, hidup kita bukan untuk mengejar dunia, dan bahkan kematian kita pun kita harapkan sebagai penutup yang diridhai-Nya. Ini adalah manifesto seorang Muslim sejati.
7. La Syarika Lahu... Wa Ana Minal Muslimin (لَا شَرِيكَ لَهُ...)
Artinya: "Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah aku diperintahkan, dan aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri."
Doa ditutup dengan penegasan ulang keesaan Allah ("La syarika lah") dan sebuah pengakuan. "Wa bidzalika umirtu" (dan untuk itulah aku diperintahkan) menunjukkan bahwa tauhid dan penyerahan diri ini bukanlah pilihan pribadi, melainkan sebuah perintah agung dari Sang Pencipta. Ini menumbuhkan kesadaran bahwa kita sedang menjalankan sebuah misi ilahi. Kalimat pamungkas, "wa ana minal muslimin" (dan aku adalah bagian dari orang-orang yang berserah diri), adalah sebuah afirmasi identitas. Kita bangga menjadi seorang Muslim, menjadi bagian dari umat yang menyerahkan totalitas hidupnya kepada Allah.
Variasi Doa Iftitah Lain yang Juga Sah Diamalkan
Meskipun doa iftitah NU yang telah dibahas sangat populer, penting untuk diketahui bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan beberapa versi doa iftitah. Semua versi yang berasal dari hadis shahih adalah baik dan sah untuk diamalkan. Mengenalinya adalah bagian dari kekayaan ilmu dan menunjukkan kelapangan dalam beragama. Di antara varian lainnya adalah:
1. Doa Iftitah "Subhanakallahumma"
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
Subhānakallāhumma wa biḥamdika, wa tabārakasmuka, wa ta'ālā jadduka, wa lā ilāha ghairuk. "Maha Suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu. Nama-Mu penuh berkah, keagungan-Mu Maha Tinggi, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau."
Doa ini diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan dan dinilai shahih. Bacaan ini lebih ringkas dan juga mengandung esensi penyucian (tasbih) dan pujian (tahmid).
2. Doa Iftitah "Allahumma Ba'id Baini"
اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ
Allāhumma bā'id bainī wa baina khaṭāyāya kamā bā'adta bainal masyriqi wal maghrib. Allāhumma naqqinī min khaṭāyāya kamā yunaqqaṡ-ṡaubul abyaḍu minad-danas. Allāhummaghsilnī min khaṭāyāya bits-tsalji wal mā'i wal barad. "Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, mandikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun."
Doa ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, menunjukkan derajat kesahihan yang sangat tinggi. Fokus utama doa ini adalah permohonan ampunan dan penyucian diri dari dosa sebelum memulai sholat.
Adanya variasi ini menunjukkan fleksibilitas dalam syariat Islam. Kalangan Nahdliyin menghormati semua riwayat yang shahih, dan pemilihan bacaan "Allahu Akbar Kabira" yang digabung dengan "Inni Wajjahtu" lebih merupakan tradisi keilmuan yang diwariskan oleh para ulama berdasarkan keutamaan dan kelengkapan makna yang terkandung di dalamnya.
Waktu dan Tata Cara Membaca Doa Iftitah
Doa iftitah dibaca pada saat yang sangat spesifik dalam sholat. Berikut adalah beberapa poin penting terkait waktu dan tata cara membacanya:
- Waktu Membaca: Doa iftitah dibaca setelah selesai mengucapkan takbiratul ihram (الله أكبر) dan sebelum mulai membaca ta'awudz dan Surat Al-Fatihah.
- Cara Membaca: Doa ini dibaca secara sirr atau lirih, cukup terdengar oleh diri sendiri, baik dalam sholat sendirian (munfarid) maupun sholat berjamaah (sebagai imam ataupun makmum).
- Berlaku untuk Sholat Apa Saja? Doa iftitah disunnahkan untuk dibaca pada setiap sholat, baik sholat fardhu (lima waktu) maupun sholat sunnah (rawatib, dhuha, tahajud, dan lain-lain).
Namun, ada beberapa kondisi di mana doa iftitah tidak dianjurkan untuk dibaca, di antaranya:
- Sholat Jenazah: Sholat jenazah memiliki sifat yang ringkas dan didesak oleh waktu, sehingga tidak disunnahkan membaca doa iftitah di dalamnya.
- Saat Menjadi Makmum Masbuq: Jika seorang makmum terlambat (masbuq) dan mendapati imam sudah akan atau sedang membaca ruku', atau waktu yang tersisa tidak cukup untuk membaca Al-Fatihah, maka ia harus langsung mengikuti imam dan tidak perlu membaca doa iftitah. Membaca Al-Fatihah sebagai rukun sholat lebih diutamakan.
- Ketika Waktu Sholat Sangat Sempit: Jika seseorang melaksanakan sholat di akhir waktu dan khawatir waktu akan habis jika membaca doa iftitah, maka ia boleh meninggalkannya dan langsung membaca Al-Fatihah.
Kesimpulan: Gerbang Menuju Kekhusyukan
Doa iftitah, khususnya bacaan yang lazim diamalkan di kalangan Nahdliyin, bukanlah sekadar formalitas pembuka sholat. Ia adalah sebuah proklamasi spiritual yang komprehensif. Dimulai dengan pengagungan tertinggi kepada Allah, dilanjutkan dengan pujian tak terhingga, penyucian tanpa henti, dan diakhiri dengan ikrar tauhid serta penyerahan diri yang total.
Dengan memahami dan meresapi setiap kalimat dalam doa iftitah NU, seorang Muslim sedang mempersiapkan panggung hatinya. Ia membersihkan panggung itu dari segala hal selain Allah, lalu mendeklarasikan bahwa seluruh pertunjukan hidupnya, dari awal hingga akhir, dipersembahkan hanya untuk Sang Sutradara Agung, Allah Rabbul 'Alamin. Maka, ketika lisan mulai melantunkan Al-Fatihah, hati telah siap sepenuhnya untuk berdialog, memohon, dan bermunajat kepada-Nya. Doa iftitah adalah kunci pembuka gerbang kekhusyukan, sebuah jembatan emas yang mengantarkan jiwa dari hiruk pikuk dunia menuju ketenangan hadirat ilahi.