Awal Mula: Sensasi Pertama dan Kehangatan Buaian
Jika ingatan adalah sebuah kain tenun, maka benang-benang awal kehidupan saya adalah benang-benang paling samar, diwarnai oleh nuansa kuning lembut dari lampu malam dan aroma bedak bayi yang selalu melekat. Kesadaran pertama bukanlah sebuah peristiwa, melainkan serangkaian sensasi murni: kehangatan kulit, ritme detak jantung yang akrab, dan getaran suara yang menenangkan. Dunia adalah ruang sempit yang aman, terbungkus dalam selimut tebal kepastian. Saya tidak ingat wajah secara utuh, melainkan kontur, bayangan, dan terutama, sentuhan.
Buaian adalah semesta. Gerakannya yang lambat, konstan, menciptakan semacam ilusi gravitasi yang unik, memisahkan saya dari kekacauan dunia luar yang belum saya kenal. Malam hari, sunyi menjadi kawan sejati. Bunyi jangkrik di kejauhan atau gesekan kain katun pada kasur adalah musik latar paling mendalam. Pada fase ini, waktu bergerak dalam lingkaran: makan, tidur, menangis, dan kembali tenang. Tidak ada masa depan, hanya momen ini yang berulang tanpa akhir. Eksistensi saya adalah penerimaan total terhadap perlindungan, sebuah kondisi yang, saat saya kenang kini, terasa mewah dalam kesederhanaannya.
Transisi menuju balita ditandai dengan munculnya eksplorasi vertikal. Ketika kaki mulai menopang, dunia tiba-tiba membesar dan menjadi berbahaya sekaligus menarik. Karpet bukan lagi hanya alas tidur, tapi medan perang yang bertekstur, penuh remah-remah dan serat yang menarik. Saya belajar tentang sebab-akibat lewat gravitasi—ketika mainan dijatuhkan, ia akan jatuh. Ini adalah pelajaran fisika pertama, diajarkan melalui praktik langsung yang sering diakhiri dengan tangisan kecil frustrasi. Kata-kata pertama muncul bukan sebagai komunikasi, melainkan sebagai upaya meniru melodi suara yang terus menerus saya dengar. Mereka adalah cetakan bunyi yang belum memiliki makna, tetapi memberi rasa kekuatan. Kekuatan untuk menarik perhatian, kekuatan untuk menamai benda, betapapun canggungnya pelafalan itu.
Salah satu kenangan paling awal yang benar-benar membentuk citra visual adalah cahaya matahari yang menembus jendela kaca buram di pagi hari. Cahaya itu tidak hanya menerangi, tetapi juga memisahkan partikel debu, menciptakan tarian mikroskopis di udara yang memukau mata saya yang masih polos. Saya bisa menghabiskan waktu lama hanya memandangi fenomena ini, sebuah keasyikan yang menggarisbawahi sifat introvert yang mulai terbentuk: kemampuan untuk menemukan kegembiraan besar dalam pengamatan detail kecil. Hubungan dengan benda mati, seperti boneka beruang lusuh atau blok kayu, terasa sangat intens. Benda-benda ini adalah perpanjangan diri, rekan dialog dalam dunia imajinasi yang semakin kaya, jauh sebelum saya benar-benar memahami arti persahabatan antarmanusia.
Masa balita adalah masa ketika emosi terasa mentah dan monumental. Kegembiraan adalah letusan tawa tanpa beban; kesedihan adalah banjir air mata yang mengakhiri dunia saat itu juga. Tidak ada nuansa, tidak ada filter. Saya belajar bahwa dunia terkadang menolak keinginan saya, sebuah pelajaran pahit tentang batas dan realitas. Ketika sebuah benda dilarang disentuh atau sebuah permintaan ditolak, gejolak di dalam diri adalah badai yang harus segera diredakan. Dalam proses ini, saya mulai menginternalisasi peraturan, memahami bahwa untuk mendapatkan harmoni, saya harus menukar kebebasan absolut dengan kepatuhan sosial yang minimal. Proses ini membentuk pondasi awal dari rasa bersalah dan empati, dua emosi kompleks yang baru akan saya pahami definisinya jauh di masa depan.
Kehadiran anggota keluarga lainnya mulai terasa lebih jelas, masing-masing membawa frekuensi suara dan ritme gerak yang berbeda. Ada suara yang tegas namun lembut, yang menandakan otoritas dan kenyamanan. Ada pula suara yang riang dan cepat, yang mengundang permainan. Dalam labirin interaksi ini, saya mulai memetakan siapa melakukan apa dan bagaimana saya harus merespons. Permainan cilukba, yang bagi orang dewasa hanyalah hiburan ringan, bagi saya adalah pelajaran filosofis mendalam tentang keberadaan dan ketidakberadaan. Setiap kali wajah itu menghilang dan muncul kembali, ia mengkonfirmasi janji bahwa apa yang hilang akan kembali—sebuah jaminan keamanan emosional yang vital bagi seorang anak kecil.
Ritual makan menjadi medan perang pertama antara kemauan dan kebutuhan. Rasa adalah penemuan yang luar biasa. Manisnya gula, asamnya jeruk, pahitnya obat—semua adalah babak baru dalam kamus sensorik. Menolak makanan tertentu bukanlah sekadar ketidaksukaan, tetapi pernyataan otonomi yang terbatas. Sebuah cara untuk mengatakan, "Saya punya pilihan di dunia yang didominasi oleh keputusan orang lain." Dalam setiap suapan yang berhasil ditelan, saya merasa diri saya bertumbuh, selangkah lebih dekat menuju kemandirian yang masih jauh.
Gerbang Dunia Luar: Taman Kanak-Kanak dan Seragam Merah
TK adalah benturan keras dengan realitas sosial. Sebelum ini, saya adalah satu-satunya pusat gravitasi di semesta rumah; di TK, saya hanyalah satu dari dua puluh planet kecil yang berputar di sekitar guru sebagai matahari. Pagi pertama terasa seperti pembelotan. Aroma lilin malam yang masih melekat di tangan terasa kontras dengan bau kapur tulis dan cat air yang asing. Saya ingat memegang erat seragam kecil berwarna merah, yang terasa kaku dan formal, simbol pengakuan bahwa kini saya adalah bagian dari struktur yang lebih besar.
Pelajaran terberat di TK bukanlah mengeja atau menghitung, tetapi
Guru-guru di TK adalah arsitek pertama dari imajinasi kolektif saya. Mereka memperkenalkan dongeng dan lagu yang membawa saya ke hutan peri dan istana yang terbuat dari permen. Dongeng-dongeng ini, yang diceritakan dengan intonasi dramatis, tidak hanya menghibur, tetapi juga menanamkan konsep moralitas yang hitam dan putih: pahlawan selalu menang, penjahat selalu dihukum. Ini adalah cara sederhana untuk memahami keadilan di dunia yang masih terasa acak. Saat menggambar, saya menyadari bahwa warna bisa menyampaikan emosi. Merah untuk amarah atau kegembiraan; biru untuk langit yang tenang atau air mata yang mengalir. Kertas gambar menjadi kanvas untuk melampiaskan seluruh kompleksitas emosi yang belum bisa diungkapkan oleh kosa kata yang terbatas.
Kegiatan baris-berbaris di pagi hari adalah pelajaran pertama tentang disiplin dan sinkronisasi. Berdiri tegak, menyanyikan lagu nasional dengan lirik yang belum sepenuhnya dipahami, tetapi dihayati ritmenya. Saya belajar untuk menahan diri, untuk menunggu giliran, untuk mematuhi aba-aba yang tidak boleh dipertanyakan. Ini adalah latihan mental yang penting, mempersiapkan pikiran untuk struktur formal yang akan datang di Sekolah Dasar. Ketakutan terbesar saat itu adalah ditinggal sendirian, perasaan terasing yang muncul saat melihat punggung orang tua menjauh di gerbang sekolah. Namun, di balik rasa takut itu, ada benih keberanian yang tumbuh perlahan, didorong oleh kebutuhan untuk menyesuaikan diri dan keinginan untuk bergabung dalam permainan yang seru di dalam kelas.
Ada satu peristiwa kecil yang saya ingat dengan jelas: hari demonstrasi membuat kerajinan tangan dari bubur kertas. Bau lem kanji yang menyengat memenuhi ruangan, dan tangan-tangan kecil kami sibuk mencampurkan air dan sobekan koran. Saya gagal total. Kerajinan berbentuk vas bunga saya ambruk dan lembek. Malu itu terasa begitu panas. Tetapi guru, dengan kesabaran yang tak terhingga, tidak hanya membersihkan kekacauan itu tetapi juga mengajarkan saya bagaimana mengulang dari awal, dengan lebih banyak kesabaran dan sedikit air. Itu bukan hanya pelajaran tentang kerajinan, tetapi tentang ketangguhan terhadap kegagalan. Saya menyadari bahwa kesalahan bukanlah akhir, tetapi proses yang harus diterima. Pemahaman ini, meskipun sederhana, menjadi dasar bagaimana saya menghadapi kesulitan akademik di masa depan.
Panggung TK juga merupakan tempat pertama saya merasakan sorotan. Pentas akhir tahun, mengenakan kostum yang terlalu besar dan panas, dan harus berdiri di depan kerumunan orang tua. Jantung berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Meskipun saya hanya mengucapkan dua baris kalimat dalam drama itu, sensasi tepuk tangan setelahnya adalah euforia murni. Itu adalah pemahaman awal tentang validasi publik, sebuah kebutuhan manusiawi untuk dilihat dan diakui. Pada saat itu, saya belum tahu apakah saya suka tampil, tetapi saya menyukai perasaan bahwa upaya saya dihargai. TK, dengan segala keramaiannya, berhasil merobek lapisan isolasi buaian dan mempersiapkan saya untuk kekacauan yang lebih terstruktur di depan.
SD: Labirin Kapur Tulis dan Penjelajahan Identitas Intelektual
Memasuki Sekolah Dasar terasa seperti memasuki sebuah katedral pengetahuan, besar dan sedikit menakutkan. Seragam putih merah adalah janji keseriusan. Kelas-kelas di SD terbagi menjadi dua dunia yang berbeda: dunia pagi yang penuh energi dan dunia siang yang dipenuhi kelelahan karena harus mempertahankan konsentrasi selama berjam-jam. Saya mulai mengenal sistem nilai: angka 100 adalah surga, angka merah adalah hukuman, dan peringkat adalah alat ukur harga diri yang kejam.
Sekolah Dasar adalah tempat lahirnya pemikiran logis yang terstruktur. Matematika, khususnya, adalah kejutan besar. Sebelumnya, angka hanyalah hitungan jari; kini, ia adalah bahasa universal yang mengatur alam semesta. Saya menghabiskan waktu berjam-jam mencoba memahami konsep pembagian dan perkalian, yang terasa abstrak dan menuntut disiplin yang tidak biasa. Ketika konsep itu akhirnya "klik"—rasa pencerahan saat mengetahui bahwa semua masalah itu memiliki jawaban tunggal yang pasti—adalah salah satu kepuasan intelektual pertama saya. Ini mengajarkan saya kesabaran, bahwa pemahaman seringkali datang setelah periode panjang kebingungan yang intens.
Di bangku SD, guru-guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga simbol otoritas yang kompleks. Ada Guru A yang keras, yang mengajarkan disiplin melalui ketakutan, memastikan PR selalu dikerjakan. Ada Guru B yang hangat, yang menggunakan humor dan cerita untuk menanamkan pelajaran. Saya belajar untuk menyesuaikan kepribadian saya berdasarkan siapa yang berdiri di depan kelas, sebuah latihan awal dalam membaca dinamika kekuasaan dan lingkungan sosial. Kekuatan guru untuk memengaruhi citra diri saya saat itu sungguh luar biasa; satu pujian bisa membuat saya terbang sepanjang hari, satu kritik bisa menjatuhkan saya ke dalam jurang keraguan.
Persahabatan di SD menjadi lebih berlapis. Kami membentuk kelompok-kelompok kecil berdasarkan minat yang sangat spesifik—kelompok penggemar komik tertentu, kelompok yang suka bermain kelereng, atau kelompok yang hanya tertarik pada misteri di belakang sekolah. Konflik antar kelompok, meskipun kekanak-kanakan, terasa sangat dramatis. Sebuah pengkhianatan kecil dalam permainan ‘benteng’ bisa memicu perang dingin selama seminggu penuh. Namun, di tengah semua drama itu, ada loyalitas yang murni. Kami berbagi bekal makan siang, membela satu sama lain dari anak nakal di kelas sebelah, dan bersama-sama merayakan kemenangan kecil, seperti keberhasilan memanjat pohon mangga di halaman sekolah.
Pelajaran Bahasa Indonesia menyingkap keindahan narasi. Saya menemukan kekuatan kata-kata. Membaca bukan lagi tugas mengeja, tetapi portal menuju kehidupan lain. Saya bisa menjadi bajak laut, penjelajah luar angkasa, atau detektif ulung, hanya dengan membalik halaman. Perpustakaan sekolah, meskipun kecil dan berdebu, adalah tempat perlindungan saya. Di sana, di antara rak-rak buku yang tingginya melebihi kepala saya, saya menemukan bahwa imajinasi adalah batas paling sejati dari realitas. Saya mulai menulis cerita-cerita pendek di buku catatan, meniru gaya penulis yang saya kagumi, sebuah upaya awal untuk menyusun kekacauan pikiran menjadi struktur yang bisa dipahami orang lain.
Olahraga di SD adalah medan lain di mana saya harus menghadapi kelemahan fisik. Saya bukan anak yang atletis. Setiap pelajaran olahraga adalah ujian rasa malu. Kesulitan dalam menangkap bola atau berlari cepat memaksa saya untuk mencari kompensasi di bidang lain. Saya menyadari bahwa saya bisa menjadi berguna bagi tim dengan menjadi pemikir strategi, orang yang menjaga skor, atau yang paling penting, pendengar yang baik ketika tim sedang frustrasi. Ini adalah realisasi penting: bahwa nilai diri tidak harus terletak pada kekuatan fisik, tetapi bisa ditemukan dalam kontribusi non-fisik—kecerdasan, empati, atau sekadar ketekunan.
Fase-fase akhir SD ditandai dengan meningkatnya tekanan akademik menjelang ujian kelulusan. Suasana berubah dari bermain menjadi serius. Malam-malam dipenuhi dengan bunyi kertas dibolak-balik, aroma kopi samar dari orang tua yang menemani belajar, dan kegelisahan yang melayang di udara. Ujian akhir adalah ritual inisiasi, sebuah gerbang yang harus dilewati untuk membuktikan bahwa semua pelajaran tentang logika, disiplin, dan ingatan telah tertanam. Keberhasilan dalam ujian itu bukan hanya pencapaian pribadi, tetapi janji untuk masa depan yang lebih besar, jaminan bahwa saya memiliki alat dasar untuk menaklukkan tantangan berikutnya.
Saya ingat, saat upacara perpisahan, berdiri di bawah bendera merah putih yang berkibar pelan, saya merasa campuran aneh antara lega dan kerinduan. Bangunan sekolah itu, yang dulunya terasa kolosal dan mengintimidasi, kini terasa kecil dan penuh kenangan manis tentang seragam yang mulai lusuh, sepatu yang robek karena terlalu banyak bermain, dan senyum tulus dari teman sebangku yang kini akan berpisah. Sekolah Dasar adalah cetakan pertama dari karakter, tempat di mana saya belajar bahwa dunia bekerja berdasarkan aturan, tetapi kreativitas dan hati nurani tetaplah elemen terpenting dalam memecahkan masalah kehidupan.
SMP: Transisi yang Cepat dan Eksistensi di Tengah Hiruk Pikuk
Memakai seragam putih biru, saya memasuki fase SMP. Jika SD adalah tentang fondasi, SMP adalah tentang pembangunan menara di atas fondasi itu, seringkali dengan bahan bangunan yang tidak cocok dan desain yang berubah setiap hari. Ini adalah era canggung, di mana tubuh berubah lebih cepat daripada pikiran, dan setiap pagi, saat bercermin, ada orang asing yang menatap balik. Suara mulai pecah, ketinggian bertambah, dan kompleksitas emosi meledak tak terkendali.
Dunia sosial menjadi hierarki yang brutal dan menuntut. Persahabatan tidak lagi ditentukan oleh kesamaan mainan, tetapi oleh kesamaan selera musik, gaya berpakaian, dan tingkat ‘kekerenan’ yang abstrak. Saya belajar bahwa keheningan bisa diartikan sebagai kelemahan, dan bahwa menjadi terlalu pintar bisa membuat Anda terasing. Inilah masa ketika saya mulai membentuk topeng sosial. Di rumah, saya mungkin anak yang tenang dan penyendiri, tetapi di sekolah, saya harus tampil sebagai seseorang yang cerdas, santai, dan yang terpenting, tidak terlalu peduli. Kontradiksi ini menciptakan ketegangan internal yang luar biasa.
Pelajaran akademik di SMP meningkat tajam dalam hal kedalaman dan abstraksi. Fisika memperkenalkan konsep-konsep tak terlihat seperti gaya dan energi; biologi menyingkap kompleksitas sel dan DNA. Saya menyadari bahwa dunia tidak hanya diatur oleh angka, tetapi juga oleh hukum-hukum alam yang rumit. Saya menyukai pelajaran sejarah, yang menyajikan drama manusia dalam skala besar—perang, revolusi, kebangkitan dan kejatuhan peradaban. Sejarah memberi saya konteks, membuat masalah pribadi saya terasa kecil dibandingkan rentang waktu yang luas. Saya mulai membaca buku-buku di luar kurikulum, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang tiba-tiba muncul: Siapa saya? Apa tujuan hidup saya? Pertanyaan-pertanyaan ini, yang mustahil dijawab, menjadi teman tidur saya.
Fase remaja awal ditandai dengan obsesi dan penemuan hobi baru yang mendefinisikan diri. Bagi saya, itu adalah musik dan menulis fiksi. Saya tenggelam dalam lirik lagu-lagu yang berbicara tentang pemberontakan, patah hati, dan pencarian makna. Musik menjadi bahasa rahasia, cara untuk memvalidasi emosi yang terasa terlalu besar untuk dibicarakan. Saya mulai bermain alat musik, meskipun canggung, dan setiap nada yang berhasil saya mainkan adalah kemenangan kecil atas kekacauan dalam diri. Menulis fiksi juga menjadi pelarian. Saya menciptakan karakter-karakter yang memiliki keberanian dan kejelasan tujuan yang saya inginkan. Dalam dunia fiksi, saya adalah penguasa, bukan korban dari rasa canggung remaja.
Hubungan dengan orang tua berubah drastis. Mereka yang dulunya adalah sumber kepastian, kini menjadi sumber konflik. Setiap nasihat terasa seperti kritik; setiap perhatian terasa seperti invasi privasi. Saya mulai menuntut ruang dan waktu sendirian, membentengi kamar tidur sebagai zona bebas intervensi. Ini bukanlah kebencian, melainkan upaya untuk memisahkan diri, untuk mendefinisikan batasan antara identitas saya dan identitas keluarga. Pertengkaran kecil tentang jam malam atau tugas rumah seringkali hanya merupakan perwujudan dari pergolakan yang jauh lebih besar: upaya membebaskan diri dari bayang-bayang masa kanak-kanak.
Ada satu momen yang sangat penting di SMP, yaitu saat pertama kali gagal dalam sebuah ujian besar, sebuah ujian yang sangat saya persiapkan. Nilai itu bukan hanya rendah, tetapi juga terasa seperti pengkhianatan dari kemampuan diri sendiri. Saya ingat mengurung diri dan merasakan gelombang malu yang lebih dalam daripada kegagalan di TK. Guru Bimbingan Konseling (BK), yang biasanya hanya menangani masalah disiplin, memanggil saya. Dia tidak memarahi. Dia hanya mengatakan, "Kegagalan bukanlah hasil, Nak, itu adalah data. Data memberitahu kamu di mana kamu harus bekerja lebih keras." Kalimat sederhana itu merombak pemahaman saya tentang usaha dan hasil. Itu mengubah kegagalan dari vonis menjadi instruksi.
Kelas Tiga SMP adalah puncaknya. Semua tekanan sosial dan akademik menyatu. Pilihan jurusan SMA mulai dibahas, memaksakan pemikiran tentang karier yang terasa puluhan tahun di depan. Setiap ujian penentuan nasib menjadi lebih berat. Kami, para remaja yang masih sibuk mencari tahu apa warna baju yang harus dipakai, kini didorong untuk memutuskan apakah kami akan menjadi ilmuwan atau humaniora. Tekanan untuk berprestasi adalah pedang bermata dua; ia mendorong saya untuk belajar keras, tetapi juga menciptakan stres kronis yang membuat tidur menjadi barang mewah. Namun, di tengah kepanikan itu, ada rasa solidaritas baru di antara teman-teman. Kami adalah kru yang melewati badai yang sama, saling berbagi catatan, berbagi keluh kesah, dan merayakan keberhasilan sekecil apa pun.
Penghujung SMP adalah saat ketika topeng sosial mulai retak. Saya menyadari bahwa upaya untuk menjadi "keren" atau "populer" adalah usaha yang melelahkan dan seringkali sia-sia. Saya mulai menerima sifat penyendiri dan lebih fokus pada apa yang benar-benar saya nikmati, terlepas dari pengakuan teman sebaya. Saya memilih beberapa teman dekat yang menghargai kejujuran intelektual, dan dengan mereka, saya mulai membicarakan hal-hal yang benar-benar penting: buku-buku, ide-ide, ketakutan akan masa depan. Transisi ini adalah pematangan yang lambat, proses pelepasan identitas pinjaman demi identitas yang lebih autentik, meski masih mentah dan belum teruji sepenuhnya.
Gerbang Akhir: SMA dan Janji Masa Depan
SMA. Seragam putih abu-abu, simbol kematangan yang diperdebatkan. Memasuki gerbang SMA adalah seperti memulai ulang permainan dari level yang lebih sulit. Lingkungan baru, wajah-wajah baru, dan ekspektasi yang jauh lebih tinggi. Sekolah ini adalah tempat di mana identitas yang dibangun susah payah di SMP akan diuji, ditempa, dan seringkali dibongkar kembali.
Pilihan jurusan (IPA/IPS) adalah keputusan besar pertama yang benar-benar memetakan masa depan. Saya memilih jalur yang saya yakini paling menantang dan paling menarik. Di SMA, kurikulum terasa seperti maraton tanpa akhir. Jam belajar semakin panjang, dan tuntutan untuk memahami materi bukan hanya hafalan, tetapi analisis kritis. Saya menemukan diri saya tenggelam dalam kimia organik, fisika kuantum, atau perdebatan sengit tentang filsafat sosial. Setiap mata pelajaran adalah pintu menuju spesialisasi, dan untuk pertama kalinya, saya merasakan betapa luasnya lautan pengetahuan di luar sana.
SMA adalah era dimana pemikiran kritis benar-benar diaktifkan. Saya tidak lagi hanya menerima apa yang dikatakan guru; saya mulai mempertanyakan motif di balik setiap teori, setiap fakta sejarah. Diskusi di kelas tidak lagi tentang mencari jawaban yang benar, tetapi tentang mencari argumentasi yang paling kuat. Guru-guru di SMA memperlakukan kami sebagai individu yang memiliki potensi intelektual, bukan sekadar wadah yang harus diisi. Kebebasan intelektual ini sangat memabukkan. Saya ingat membaca esai-esai filosofis yang membuat kepala saya pusing, tetapi hati saya bersemangat. Pemikiran orang lain, dari masa lalu yang jauh, menawarkan perspektif yang memungkinkan saya membedah pengalaman hidup sendiri.
Lingkungan sosial SMA jauh lebih beragam dan toleran dibandingkan SMP. Anak-anak yang dianggap "aneh" atau "pecundang" di masa lalu, kini dihargai karena spesialisasi mereka—seniman yang hebat, programmer yang jenius, atau orator yang ulung. Saya menemukan tempat saya di komunitas siswa yang serius belajar tetapi juga menikmati humor dan diskusi mendalam. Ikatan persahabatan menjadi jauh lebih intim; kami berbagi ketakutan yang sama tentang ujian masuk perguruan tinggi, kecemasan tentang hubungan, dan harapan-harapan liar tentang masa depan.
Keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler menjadi krusial dalam membentuk karakter kepemimpinan. Saya bergabung dengan klub debat, di mana saya belajar bahwa komunikasi bukan hanya tentang apa yang Anda katakan, tetapi bagaimana Anda menyusunnya dan seberapa baik Anda mendengarkan lawan bicara. Berdiri di podium, menghadapi argumen tajam dari tim lawan, adalah ujian kepercayaan diri yang paling sulit. Keberhasilan di klub ini mengajarkan saya bahwa keahlian bukan bawaan lahir, melainkan hasil dari latihan berulang dan evaluasi diri yang brutal.
Tahun-tahun menjelang kelulusan SMA adalah titik paling intens dalam perjalanan ini. Sekolah terasa seperti ruang tunggu menuju kehidupan nyata. Setiap esai, setiap tes try-out, adalah batu loncatan. Tekanan dari luar, dari keluarga yang berharap, dari masyarakat yang menuntut, terasa berat. Namun, pada saat yang sama, ada kemerdekaan yang aneh. Kami adalah orang dewasa muda yang mulai bisa bepergian sendiri, membuat keputusan etis sendiri, dan membentuk pandangan politik dan sosial sendiri.
Momen penutup dari masa SMA adalah ketika saya harus mengisi formulir pendaftaran perguruan tinggi. Pilihan jurusan dan universitas terasa seperti mengunci takdir. Ini bukan lagi pilihan antara IPA atau IPS, tetapi pilihan profesi, gaya hidup, dan lokasi geografis. Saat pena saya menyentuh kertas, ada kesadaran mendalam bahwa fase perlindungan formal—fase di mana setiap hari didikte oleh bel sekolah dan setiap kesalahan diawasi oleh guru—akan segera berakhir.
Ketika saya berdiri di ambang gerbang kelulusan, seragam putih abu-abu terasa pas dan akrab. Saya bukan lagi anak yang takut pada kegelapan buaian, bukan lagi balita yang berjuang untuk berbagi mainan, bukan lagi siswa SD yang gugup menghadapi pembagian, atau remaja SMP yang berjuang keras dengan identitasnya. Saya adalah gabungan dari semua fase itu. Setiap trauma kecil, setiap kemenangan kecil, telah menumpuk menjadi diri yang sekarang: seorang individu yang siap untuk melangkah keluar, membawa serta peta perjalanan yang penuh dengan pengalaman, dari bunyi lembut buaian hingga gemuruh diskusi di kelas SMA.