Panduan Lengkap Bacaan Tahiyat Awal yang Benar
Shalat adalah tiang agama, sebuah ibadah yang menjadi pembeda antara seorang muslim dengan yang lainnya. Setiap gerakan dan bacaan di dalamnya memiliki makna yang sangat dalam dan aturan yang telah ditetapkan. Salah satu rukun qauli (ucapan) yang penting dalam shalat adalah tasyahud atau tahiyat. Terdapat dua jenis tasyahud dalam shalat yang memiliki lebih dari dua rakaat, yaitu Tahiyat Awal dan Tahiyat Akhir. Artikel ini akan mengupas secara tuntas dan mendalam mengenai bacaan tahiyat awal yang benar, mulai dari lafalnya, maknanya, hukum pelaksanaannya, hingga tata cara yang sesuai dengan tuntunan.
Memahami tahiyat awal bukan sekadar menghafal bacaannya, tetapi juga meresapi setiap kata yang terucap. Bacaan ini merupakan dialog agung yang sarat akan pujian kepada Allah SWT, salam kepada Nabi Muhammad SAW, serta doa untuk diri sendiri dan seluruh hamba Allah yang saleh. Dengan pemahaman yang baik, kita dapat meningkatkan kualitas shalat dan mencapai kekhusyukan yang lebih mendalam.
Bacaan Tahiyat Awal: Arab, Latin, dan Terjemahannya
Berikut adalah bacaan tahiyat awal yang paling umum diamalkan, berdasarkan riwayat yang shahih. Bacaan ini diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari shalat.
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ.
At-tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah.
"Segala penghormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan tercurah atasmu, wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya. Semoga keselamatan tercurah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Beberapa riwayat lain mungkin memiliki sedikit perbedaan redaksi, namun substansinya tetap sama. Bacaan di atas adalah yang paling populer dan diamalkan oleh mayoritas umat Islam, terutama pengikut madzhab Syafi'i. Penting untuk melafalkan setiap huruf dan harakat dengan benar (tartil) agar tidak mengubah makna dari bacaan yang mulia ini.
Makna Mendalam di Balik Setiap Kalimat Tahiyat Awal
Untuk mencapai kekhusyukan, kita perlu menyelami makna yang terkandung dalam setiap frasa bacaan tahiyat. Ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pernyataan agung yang mencakup pilar-pilar keimanan.
1. Pujian Tertinggi Hanya untuk Allah
"At-tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah"
(Segala penghormatan, keberkahan, shalawat dan kebaikan hanya milik Allah)
Kalimat pembuka ini adalah bentuk pengakuan mutlak bahwa segala bentuk pujian, penghormatan, pengagungan, dan kebaikan pada hakikatnya hanya layak dipersembahkan kepada Allah SWT. Mari kita bedah satu per satu:
- At-Tahiyyat: Berasal dari kata 'hayah' yang berarti kehidupan. 'Tahiyyat' adalah bentuk jamak yang mencakup segala bentuk salam, penghormatan, dan pengagungan. Di zaman dahulu, para raja disapa dengan ucapan-ucapan yang mengagungkan keabadian mereka. Dalam Islam, kita mengikrarkan bahwa segala bentuk penghormatan yang mengandung makna kekekalan dan keagungan sejati hanya pantas ditujukan kepada Allah, Sang Pemilik Kehidupan Yang Abadi.
- Al-Mubarakat: Artinya segala sesuatu yang membawa keberkahan, kebaikan yang terus bertambah dan langgeng. Kita mengakui bahwa sumber dari segala keberkahan di alam semesta ini adalah Allah SWT.
- As-Shalawat: Merujuk pada segala bentuk doa dan ibadah, khususnya shalat itu sendiri. Kita menyatakan bahwa seluruh ibadah dan doa kita, yang merupakan bentuk penghambaan tertinggi, hanya kita persembahkan untuk Allah.
- At-Thayyibat: Mencakup segala ucapan, perbuatan, dan sifat yang baik dan suci. Kita menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak atas segala pujian yang baik dan suci, dan bahwa segala kebaikan yang kita lakukan bertujuan untuk-Nya.
- Lillaah: Kata penegas di akhir kalimat ini, yang berarti "hanya milik Allah", mengunci semua pujian sebelumnya dan mengembalikannya kepada satu-satunya Dzat yang berhak, yaitu Allah SWT. Ini adalah inti dari tauhid.
2. Salam kepada Sang Teladan, Nabi Muhammad SAW
"Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh"
(Semoga keselamatan tercurah atasmu, wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya)
Setelah mengagungkan Allah, kita diajarkan untuk memberikan salam penghormatan kepada Rasulullah SAW. Ini adalah pengingat akan jasa dan peran beliau yang luar biasa dalam menyampaikan risalah Islam. Salam ini memiliki makna yang sangat dalam:
- As-Salam: Bukan sekadar ucapan 'selamat', tetapi juga doa agar beliau senantiasa dilindungi dari segala kekurangan dan bahaya, serta dianugerahi kedamaian dan kesejahteraan yang sempurna. As-Salam juga merupakan salah satu Asmaul Husna (nama-nama Allah yang indah), sehingga ucapan ini seolah-olah mendoakan agar perlindungan dari Allah Yang Maha Sejahtera senantiasa menyertai Nabi.
- 'Alaika Ayyuhan Nabiyyu: Sapaan langsung "kepadamu, wahai Nabi" menciptakan hubungan spiritual yang dekat antara orang yang shalat dengan Rasulullah SAW. Meskipun beliau telah wafat, kita tetap menyapanya seolah-olah beliau hadir, sebagai bentuk cinta dan penghormatan.
- Warahmatullahi Wabarakatuh: Kita tidak hanya mendoakan keselamatan, tetapi juga memohonkan rahmat (kasih sayang) dan barakah (keberkahan) dari Allah untuk beliau. Ini adalah doa tertinggi yang bisa kita panjatkan untuk manusia paling mulia.
3. Doa Universal untuk Diri dan Seluruh Orang Saleh
"Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin"
(Semoga keselamatan tercurah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh)
Islam adalah agama yang tidak egois. Setelah mendoakan Rasulullah, ajaran Islam menuntun kita untuk mendoakan diri kita sendiri dan kemudian memperluasnya untuk seluruh hamba Allah yang saleh. Ini menunjukkan indahnya ikatan persaudaraan (ukhuwah) dalam Islam.
- 'Alainaa: Berarti "atas kami", mencakup diri kita sendiri yang sedang shalat dan juga para malaikat serta jin muslim yang mungkin berada di sekitar kita.
- 'Alaa 'Ibaadillaahish Shaalihiin: Artinya "atas hamba-hamba Allah yang saleh". Doa ini bersifat universal. Mencakup seluruh orang saleh, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, dari zaman Nabi Adam hingga hari kiamat, di langit maupun di bumi. Dengan mengucapkan kalimat ini, kita terhubung dalam ikatan doa dengan jutaan hamba Allah yang taat di seluruh penjuru waktu dan tempat.
4. Ikrar Tauhid dan Kerasulan (Syahadat)
"Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah"
(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)
Ini adalah puncak dari tahiyat, yaitu memperbarui ikrar syahadat. Persaksian ini adalah fondasi dari seluruh bangunan keimanan seorang muslim.
- Asyhadu an laa ilaaha illallaah: "Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah". Ini adalah penegasan konsep tauhid. 'Asyhadu' (aku bersaksi) bukan sekadar ucapan lisan, tetapi sebuah pengakuan yang lahir dari keyakinan hati yang paling dalam, didasari oleh ilmu dan kesadaran penuh. Kita menafikan semua bentuk sesembahan selain Allah (laa ilaaha) dan menetapkan bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah (illallaah).
- Wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah: "Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah". Persaksian ini adalah konsekuensi logis dari yang pertama. Jika kita meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan, maka kita harus meyakini dan mengikuti utusan yang telah Dia pilih untuk menyampaikan petunjuk-Nya. Persaksian ini mengandung makna untuk membenarkan segala ajaran yang beliau bawa, melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan yang beliau ajarkan.
Membaca dua kalimat syahadat di dalam shalat adalah pengingat konstan akan identitas dan komitmen kita sebagai seorang muslim. Ini adalah momen untuk merefleksikan kembali pilar utama agama kita di tengah-tengah ibadah yang paling agung.
Hukum Pelaksanaan Tahiyat Awal
Memahami status hukum dari suatu amalan dalam ibadah sangatlah penting agar kita dapat melaksanakannya dengan benar dan mengetahui konsekuensinya jika terjadi kesalahan. Para ulama dari berbagai madzhab memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai hukum tahiyat awal.
Pandangan Empat Madzhab
Secara umum, mayoritas ulama (jumhur) berpandangan bahwa hukum tahiyat awal adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) atau bagian dari Ab'adh Shalat. Artinya, ia bukanlah termasuk rukun shalat yang jika ditinggalkan secara sengaja akan membatalkan shalat. Namun, jika ditinggalkan karena lupa, dianjurkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi.
- Madzhab Syafi'i dan Hanbali: Keduanya berpendapat bahwa tahiyat awal dan duduknya termasuk dalam kategori Ab'adh Shalat. Ini adalah amalan sunnah yang sangat ditekankan. Jika seseorang meninggalkannya dengan sengaja, shalatnya tetap sah namun ia kehilangan keutamaan besar. Jika ia meninggalkannya karena lupa dan sudah terlanjur berdiri sempurna untuk rakaat ketiga, ia tidak dianjurkan kembali duduk, melainkan melanjutkan shalatnya dan melakukan sujud sahwi sebelum salam.
- Madzhab Maliki: Serupa dengan Syafi'i dan Hanbali, mereka menganggapnya sebagai sunnah yang sangat dianjurkan. Meninggalkannya tidak membatalkan shalat, tetapi disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi jika terlupa.
- Madzhab Hanafi: Madzhab ini memiliki pandangan yang lebih kuat. Mereka menganggap tahiyat awal sebagai wajib. Wajib dalam terminologi Hanafi berada di bawah fardhu (rukun). Artinya, jika ditinggalkan dengan sengaja, shalatnya menjadi makruh tahrim (mendekati haram) dan wajib diulangi. Jika ditinggalkan karena lupa, maka wajib melakukan sujud sahwi. Jika tidak melakukan sujud sahwi, shalatnya harus diulang.
Meskipun ada perbedaan dalam istilah (sunnah mu'akkadah vs wajib), kesimpulannya hampir seragam: tahiyat awal adalah amalan yang sangat penting, tidak boleh diremehkan, dan jika terlupa, sangat dianjurkan atau bahkan diwajibkan untuk diganti dengan sujud sahwi. Hal ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan amalan ini dalam struktur ibadah shalat.
Jika Lupa Tahiyat Awal, Apa yang Harus Dilakukan?
Lupa adalah sifat manusiawi, dan syariat Islam memberikan solusi untuk kondisi ini melalui sujud sahwi. Berikut adalah panduan praktis jika Anda lupa melakukan tahiyat awal:
- Jika teringat sebelum berdiri sempurna: Apabila Anda lupa duduk tahiyat awal dan baru mulai bangkit, namun belum tegak lurus berdiri, maka segeralah kembali ke posisi duduk dan lakukan tahiyat awal. Dalam kondisi ini, tidak perlu melakukan sujud sahwi.
- Jika teringat setelah berdiri sempurna: Apabila Anda sudah terlanjur bangkit dan berdiri tegak lurus untuk rakaat ketiga, maka jangan kembali duduk. Lanjutkanlah shalat Anda hingga selesai. Namun, sebelum salam, lakukanlah sujud sahwi.
- Jika imam lupa tahiyat awal: Sebagai makmum, jika imam lupa dan langsung berdiri, maka Anda harus mengikuti imam. Makmum tidak boleh duduk tahiyat sendiri sementara imam sudah berdiri. Cukup ingatkan imam dengan ucapan "Subhanallah" (bagi laki-laki) atau menepuk punggung tangan (bagi perempuan). Jika imam tetap berdiri, maka makmum wajib mengikutinya dan nanti akan melakukan sujud sahwi bersama imam di akhir shalat.
Sujud sahwi dilakukan dengan melakukan dua kali sujud seperti sujud biasa di akhir shalat sebelum salam, diiringi dengan bacaan tasbih sujud. Ini adalah rahmat dari Allah untuk menambal kekurangan dalam shalat yang disebabkan oleh kelupaan.
Tata Cara Pelaksanaan Tahiyat Awal yang Sempurna
Selain bacaan, kesempurnaan tahiyat awal juga ditentukan oleh tata cara dan postur tubuh yang benar. Gerakan ini juga memiliki makna dan landasan dari sunnah Nabi Muhammad SAW.
1. Posisi Duduk (Duduk Iftirasy)
Posisi duduk untuk tahiyat awal disebut dengan duduk iftirasy. Caranya adalah:
- Duduk di atas mata kaki kiri. Kaki kiri dibentangkan dan diduduki oleh pantat.
- Telapak kaki kanan ditegakkan, dengan jari-jemari kaki kanan dihadapkan ke arah kiblat.
- Kedua tangan diletakkan di atas paha, dekat dengan lutut. Ujung jari-jari sejajar dengan lutut.
- Pandangan mata dianjurkan untuk tidak liar, melainkan fokus ke arah jari telunjuk yang akan diisyaratkan atau ke pangkuan.
Posisi duduk iftirasy ini berbeda dengan duduk pada tahiyat akhir yang disebut duduk tawarruk, di mana kaki kiri dikeluarkan ke arah kanan dan pantat langsung menempel ke lantai. Perbedaan ini merupakan salah satu sunnah yang diajarkan untuk membedakan antara tahiyat pertama dan tahiyat terakhir dalam shalat.
2. Posisi Tangan dan Isyarat Jari Telunjuk
Salah satu sunnah yang khas saat tahiyat adalah posisi tangan dan isyarat jari telunjuk kanan. Terdapat beberapa riwayat mengenai hal ini, yang kemudian melahirkan perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai praktik terbaiknya.
- Posisi Jari Tangan Kiri: Tangan kiri diletakkan di atas paha kiri dengan posisi jari-jari yang lurus dan rapat, menghadap ke arah kiblat.
- Posisi Jari Tangan Kanan: Tangan kanan diletakkan di atas paha kanan. Jari kelingking, jari manis, dan jari tengah digenggam. Ibu jari diletakkan di samping jari tengah, atau ada juga riwayat yang menyebutkan ibu jari membentuk lingkaran dengan jari tengah. Jari telunjuk dibiarkan lurus menunjuk ke depan (sedikit serong ke bawah) ke arah kiblat.
Kapan Mengangkat Jari Telunjuk?
Waktu mengangkat jari telunjuk juga menjadi bahan diskusi para ulama. Beberapa pendapat yang populer adalah:
- Madzhab Syafi'i: Mengangkat jari telunjuk ketika mengucapkan lafal "...illallaah" pada kalimat syahadat "Asyhadu an laa ilaaha illallaah". Jari tetap terangkat hingga akhir tahiyat dan salam. Isyarat ini melambangkan penegasan keesaan Allah.
- Madzhab Hanafi: Mengangkat jari telunjuk saat mengucapkan "laa ilaaha" (peniadaan tuhan-tuhan lain) dan menurunkannya kembali saat mengucapkan "illallaah" (penetapan hanya Allah).
- Madzhab Maliki dan Hanbali: Jari telunjuk diangkat dan digerak-gerakkan secara ringan dari awal hingga akhir tahiyat. Gerakan ini diartikan sebagai simbol permohonan dan pengusiran setan.
Semua pendapat ini memiliki dasar riwayatnya masing-masing. Seorang muslim dapat memilih untuk mengikuti salah satunya sesuai dengan keyakinan dan madzhab yang diikutinya, tanpa perlu menyalahkan praktik yang lain. Yang terpenting adalah memahami bahwa isyarat ini merupakan sunnah Nabi yang memiliki makna tauhid yang kuat.
Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari
Dalam melaksanakan tahiyat awal, terkadang terjadi beberapa kesalahan umum, baik dalam bacaan maupun gerakan, yang perlu kita perhatikan dan perbaiki.
- Terlalu Cepat: Membaca tahiyat dengan terburu-buru dapat merusak makhraj (pelafalan) huruf dan menghilangkan tuma'ninah (ketenangan) yang merupakan rukun shalat. Bacalah dengan tartil, jelas, dan resapi maknanya.
- Kesalahan Pelafalan: Beberapa huruf dalam bahasa Arab memiliki kemiripan bunyi namun berbeda makna. Contohnya, antara 'ha' (ح) pada 'rahmah' dengan 'ha' (ه) pada 'Allah'. Perhatikan tasydid (penekanan) pada kata-kata seperti "At-tahiyyaat", "As-salaam", dan "illallaah".
- Gerakan Jari yang Berlebihan: Bagi yang mengamalkan gerakan jari, lakukanlah dengan ringan dan tidak berlebihan hingga mengganggu kekhusyukan dan perhatian.
- Duduk yang Tidak Sempurna: Pastikan posisi duduk iftirasy dilakukan dengan benar. Posisi kaki kanan yang tidak ditegakkan atau duduk yang tidak stabil dapat mengurangi kesempurnaan shalat.
- Pandangan Mata yang Liar: Menjaga pandangan tetap tertuju pada titik sujud atau jari telunjuk membantu menjaga fokus dan konsentrasi.
Penutup: Menghayati Dialog Agung dalam Shalat
Bacaan tahiyat awal bukanlah sekadar formalitas yang harus dilewati sebelum bangkit ke rakaat ketiga. Ia adalah sebuah jeda spiritual yang penuh makna. Ia adalah momen di mana kita, sebagai hamba, mempersembahkan pujian tertinggi kepada Sang Pencipta, mengirimkan salam cinta kepada sang pembawa risalah, dan merangkul seluruh saudara seiman dalam doa keselamatan yang universal.
Dengan memahami setiap lafal, merenungkan setiap makna, mempraktikkan tata cara yang benar, dan menyadari hukum pelaksanaannya, kita dapat mengubah rutinitas membaca tahiyat menjadi sebuah pengalaman spiritual yang mendalam. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk dapat melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, sehingga shalat kita tidak hanya sah secara fikih, tetapi juga diterima dan bernilai tinggi di sisi-Nya.