Membedah Makna Bacaan Tahiyat Awal dalam Salat
Salat adalah tiang agama, sebuah rukun Islam yang menjadi pembeda utama dan jembatan komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalam setiap gerakan dan bacaan salat, terkandung makna spiritual yang mendalam, filosofi hidup, serta hikmah yang tak terhingga. Salah satu bagian yang paling krusial dan kaya akan makna adalah duduk dan bacaan Tahiyat, atau yang juga dikenal sebagai Tasyahud. Tasyahud terbagi menjadi dua: Tahiyat Awal dan Tahiyat Akhir. Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif tentang Tahiyat Awal, dari lafal bacaannya, terjemahan kata per kata, hingga penelusuran makna spiritual dan hukum fikih yang melingkupinya.
Tahiyat Awal dilakukan pada rakaat kedua dalam salat yang memiliki tiga atau empat rakaat, seperti salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Ini adalah momen jeda, sebuah perhentian reflektif sebelum seorang muslim melanjutkan rakaat berikutnya. Posisi duduknya yang khas, disebut duduk iftirasy, serta bacaannya yang agung, menjadikan momen ini lebih dari sekadar jeda. Ia adalah sebuah dialog suci, sebuah pengakuan iman, dan sebuah untaian doa yang menghubungkan individu dengan Sang Pencipta, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan seluruh hamba Allah yang saleh.
Posisi duduk iftirasy saat melakukan tahiyat awal.
Lafal, Transliterasi, dan Terjemahan Bacaan Tahiyat Awal
Inti dari Tahiyat Awal adalah bacaannya. Bacaan ini merupakan sebuah rangkaian kalimat yang penuh pujian, salam, dan persaksian. Berikut adalah lafal bacaan Tahiyat Awal yang paling umum diamalkan, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, yang dianggap sebagai salah satu riwayat terkuat.
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
"At-tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin. Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah."
"Segala penghormatan, keberkahan, selawat, dan kebaikan hanyalah milik Allah. Semoga keselamatan tercurah atasmu, wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya. Semoga keselamatan tercurah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Membedah Makna Setiap Kalimat: Sebuah Perjalanan Spiritual
Untuk benar-benar menghayati bacaan Tahiyat Awal, kita perlu menyelami makna yang terkandung dalam setiap frasa. Ini bukan sekadar hafalan, melainkan sebuah deklarasi yang menggetarkan jiwa.
1. "Attahiyyâtul mubârakâtush shalawâtuth thayyibâtu lillâh"
(Segala penghormatan, keberkahan, selawat, dan kebaikan hanyalah milik Allah)
Kalimat pembuka ini adalah sebuah pernyataan agung tentang kepemilikan mutlak. Seorang hamba mengawali dialognya dengan mengembalikan segala bentuk pujian dan keagungan hanya kepada Allah SWT. Mari kita pecah lebih dalam:
- Attahiyyât (التَّحِيَّاتُ): Jamak dari kata 'tahiyyah', yang berarti segala bentuk penghormatan, salam, pengagungan, dan pujian. Ini mencakup segala ucapan dan perbuatan yang dimaksudkan untuk memuliakan. Dalam konteks ini, kita mengakui bahwa segala bentuk penghormatan sejati—baik yang diucapkan oleh malaikat, manusia, maupun seluruh makhluk—pada hakikatnya hanya pantas ditujukan kepada Allah, Sang Raja Diraja.
- Al-Mubârakât (الْمُبَارَكَاتُ): Berasal dari kata 'barakah', yang berarti keberkahan, kebaikan yang melimpah, dan pertumbuhan yang terus-menerus. Dengan kalimat ini, kita menyatakan bahwa semua sumber keberkahan, semua berkah yang kita terima dalam hidup—mulai dari napas, rezeki, hingga ilmu—semuanya berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya.
- Ash-Shalawât (الصَّلَوَاتُ): Jamak dari kata 'shalat', yang bisa berarti doa, pujian, atau ibadah salat itu sendiri. Dalam konteks ini, ia mencakup makna bahwa segala bentuk doa, ibadah, dan permohonan yang tulus pada esensinya adalah untuk Allah. Hanya Dia yang berhak menerima ibadah kita.
- At-Thayyibât (الطَّيِّبَاتُ): Berarti segala sesuatu yang baik, suci, dan bersih. Ini mencakup perkataan yang baik, perbuatan yang baik, dan sifat-sifat yang baik. Kita mengakui bahwa Allah adalah sumber segala kebaikan (At-Thayyib) dan hanya menerima yang baik-baik. Oleh karena itu, segala kebaikan yang ada di alam semesta ini adalah cerminan dari sifat-Nya dan layak dipersembahkan hanya kepada-Nya.
- Lillâh (لِلَّهِ): "Hanyalah milik Allah". Frasa penutup ini mengunci empat pernyataan sebelumnya. Ia menegaskan konsep Tauhid Uluhiyah, yaitu mengesakan Allah dalam segala bentuk peribadahan dan pengagungan. Tidak ada satu pun dari pujian, keberkahan, doa, dan kebaikan tersebut yang layak diserahkan kepada selain Allah.
Jadi, kalimat pertama ini adalah fondasi dari seluruh bacaan Tahiyat. Ia adalah penyerahan total, sebuah pengakuan bahwa hamba tidak memiliki apa-apa, dan segala keagungan adalah milik Sang Pencipta semata.
2. "Assalâmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullâhi wa barakâtuh"
(Semoga keselamatan tercurah atasmu, wahai Nabi, beserta rahmat dan keberkahan-Nya)
Setelah mengagungkan Allah, fokus bacaan beralih kepada sosok yang paling mulia di antara manusia, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini bukan bentuk penyembahan, melainkan bentuk penghormatan, cinta, dan pengakuan atas jasa-jasa beliau.
- Assalâmu ‘alaika (السَّلاَمُ عَلَيْكَ): "Keselamatan tercurah atasmu". 'As-Salam' adalah salah satu nama Allah, yang berarti Maha Pemberi Keselamatan. Doa ini memohon agar Allah melindungi Nabi Muhammad dari segala marabahaya, kekurangan, dan keburukan, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah salam penghormatan tertinggi.
- Ayyuhan nabiyyu (أَيُّهَا النَّبِىُّ): "Wahai Nabi". Penggunaan kata sapaan langsung ("engkau") ini memiliki makna yang sangat mendalam. Seolah-olah, dalam setiap salat, kita sedang berhadapan dan menyapa langsung Rasulullah. Hal ini menumbuhkan ikatan batin dan rasa cinta yang kuat kepada beliau.
- Wa rahmatullâhi wa barakâtuh (وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ): "Dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya". Kita tidak hanya mendoakan keselamatan, tetapi juga memohonkan rahmat (kasih sayang) dan barakah (kebaikan yang melimpah) dari Allah untuk Nabi Muhammad. Ini adalah wujud terima kasih kita atas segala ajaran dan bimbingan yang telah beliau sampaikan.
Kisah di balik kalimat ini sangat indah. Diriwayatkan bahwa bacaan Tahiyat adalah transkrip dialog agung saat peristiwa Isra' Mi'raj. Ketika Nabi Muhammad sampai di Sidratul Muntaha untuk menghadap Allah, beliau mengucapkan, "Attahiyyâtul... lillâh." Allah SWT kemudian menjawab salam tersebut dengan, "Assalâmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu..." Ini menunjukkan betapa mulianya kedudukan Nabi Muhammad di sisi Allah.
3. "Assalâmu ‘alainâ wa ‘alâ ‘ibâdillâhish shâlihîn"
(Semoga keselamatan tercurah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh)
Setelah mendoakan Nabi, doa keselamatan diperluas cakupannya. Ini menunjukkan sifat ajaran Islam yang tidak egois dan selalu mengedepankan kebersamaan (ukhuwah).
- Assalâmu ‘alainâ (السَّلاَمُ عَلَيْنَا): "Keselamatan tercurah atas kami". Kata "kami" di sini mencakup diri kita sendiri yang sedang salat dan juga seluruh kaum muslimin yang bersama kita, baik yang hadir secara fisik maupun spiritual. Ini adalah doa untuk diri sendiri dan komunitas terdekat.
- Wa ‘alâ ‘ibâdillâhish shâlihîn (وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ): "Dan atas hamba-hamba Allah yang saleh". Doa ini melampaui batas ruang dan waktu. Kita mendoakan keselamatan untuk setiap hamba Allah yang saleh, baik dari kalangan manusia maupun jin, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat, dari zaman Nabi Adam hingga hari kiamat. Dengan mengucapkan ini, kita merasakan ikatan persaudaraan dengan seluruh orang-orang baik di muka bumi dan di langit. Rasulullah bersabda, jika seorang hamba mengucapkan kalimat ini, maka doa tersebut akan mengenai setiap hamba yang saleh di langit dan di bumi.
Frasa ini merupakan kelanjutan dari dialog surgawi saat Mi'raj. Setelah Allah membalas salam Nabi, para malaikat yang menyaksikan kemuliaan itu turut berkata, "Assalâmu ‘alainâ wa ‘alâ ‘ibâdillâhish shâlihîn."
4. "Asyhadu allâ ilâha illallâh, wa asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh"
(Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)
Ini adalah puncak dari bacaan Tahiyat, yaitu ikrar syahadatain (dua kalimat persaksian). Setelah memuji Allah, berselawat kepada Nabi, dan mendoakan sesama, seorang hamba memperbarui dan menegaskan kembali fondasi keimanannya.
- Asyhadu allâ ilâha illallâh (أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ): "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah". 'Asyhadu' (aku bersaksi) bukan sekadar 'a'lamu' (aku tahu) atau 'u'minu' (aku percaya). Persaksian menuntut ilmu, keyakinan yang kokoh, dan pengakuan lisan yang lahir dari hati. Kalimat ini menafikan segala bentuk sesembahan selain Allah (laa ilaaha) dan menetapkan bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak disembah (illallah). Ini adalah inti dari tauhid.
- Wa asyhadu anna Muhammadar Rasûlullâh (وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ): "Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah". Persaksian kedua ini adalah konsekuensi logis dari yang pertama. Keimanan kepada Allah tidak akan sempurna tanpa keimanan kepada utusan-Nya yang terakhir. Ini berarti kita meyakini semua yang beliau sampaikan, menaati semua perintahnya, menjauhi semua larangannya, dan beribadah kepada Allah sesuai dengan syariat yang beliau bawa.
Pengucapan syahadat di setiap salat berfungsi sebagai pengingat dan peneguh iman. Ia membersihkan hati dari syirik dan mengokohkan komitmen untuk mengikuti jalan Allah dan Rasul-Nya. Saat mengucapkan kalimat ini, disunnahkan untuk mengangkat jari telunjuk kanan, sebagai simbol pengesaan Allah.
Hukum Fikih Seputar Tahiyat Awal
Memahami aspek fikih atau hukum dari Tahiyat Awal juga sangat penting agar salat kita sah dan sempurna. Para ulama dari berbagai mazhab memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai status hukumnya.
Status Hukum Duduk dan Bacaan Tahiyat Awal
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai apakah Tahiyat Awal termasuk rukun (wajib) atau sunnah (dianjurkan).
- Pendapat Mayoritas (Mazhab Syafi'i dan Hanbali): Mereka berpendapat bahwa duduk dan membaca Tahiyat Awal hukumnya adalah Sunnah Mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) atau sebagian menyebutnya sebagai bagian dari ab'adhus shalat. Artinya, jika sengaja ditinggalkan, salatnya tetap sah, tetapi sangat dianjurkan untuk tidak meninggalkannya. Jika terlupa, maka disunnahkan untuk melakukan Sujud Sahwi sebelum salam.
- Pendapat Mazhab Hanafi: Mereka menganggap Tahiyat Awal sebagai Wajib. Wajib dalam terminologi Hanafi berada di antara fardhu (rukun) dan sunnah. Jika sengaja ditinggalkan, salatnya batal. Jika terlupa, maka wajib melakukan Sujud Sahwi untuk menyempurnakan salatnya. Jika Sujud Sahwi tidak dilakukan, salatnya harus diulang.
- Pendapat Mazhab Maliki: Mereka cenderung menganggapnya sebagai Sunnah. Meninggalkannya tidak membatalkan salat, namun dianjurkan Sujud Sahwi jika terlupa.
Meskipun ada perbedaan, semua mazhab sepakat akan pentingnya Tahiyat Awal dan sangat menganjurkan untuk tidak meninggalkannya. Pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti, terutama di Indonesia, adalah bahwa Tahiyat Awal termasuk sunnah ab'adh, yang jika terlupa, diganti dengan Sujud Sahwi.
Bagaimana Jika Lupa Melakukan Tahiyat Awal?
Lupa adalah sifat manusiawi, dan syariat Islam memberikan solusi yang mudah untuk kesalahan yang tidak disengaja dalam salat. Kasus lupa Tahiyat Awal memiliki beberapa kondisi:
- Ingat Sebelum Bangkit Sempurna: Jika seseorang lupa Tahiyat Awal dan baru ingat ketika posisi tubuhnya belum tegak berdiri (misalnya masih dalam posisi membungkuk untuk bangkit), maka ia harus segera kembali ke posisi duduk iftirasy dan membaca Tahiyat Awal. Salat dilanjutkan seperti biasa tanpa perlu Sujud Sahwi karena ia belum menambah gerakan.
- Ingat Setelah Berdiri Sempurna: Jika seseorang sudah terlanjur berdiri tegak untuk rakaat ketiga, para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang paling kuat (dalam mazhab Syafi'i) adalah ia tidak boleh kembali duduk. Ia harus melanjutkan salatnya hingga selesai dan melakukan Sujud Sahwi sebelum salam. Kembali duduk setelah berdiri sempurna justru dapat membatalkan salatnya karena melakukan gerakan rukun (duduk) yang tidak pada tempatnya.
- Ingat Setelah Mulai Membaca Al-Fatihah di Rakaat Ketiga: Dalam kondisi ini, sudah pasti ia tidak boleh kembali. Ia wajib melanjutkan salatnya dan menyempurnakannya dengan Sujud Sahwi di akhir salat.
Tata Cara Sujud Sahwi
Sujud Sahwi (sujud karena lupa) dilakukan dengan melakukan dua kali sujud seperti sujud biasa di akhir salat, tepatnya sebelum salam. Bacaan yang dianjurkan saat Sujud Sahwi adalah:
Subhaana man laa yanaamu wa laa yashuu
"Maha Suci Dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa."
Setelah melakukan dua kali sujud, kemudian duduk dan langsung mengucapkan salam untuk mengakhiri salat.
Posisi Duduk Iftirasy dan Mengangkat Jari Telunjuk
Aspek fisik dari Tahiyat Awal juga memiliki makna dan aturan tersendiri.
- Duduk Iftirasy: Posisi duduk saat Tahiyat Awal adalah iftirasy. Caranya adalah dengan menduduki telapak kaki kiri, sementara telapak kaki kanan ditegakkan dengan jari-jemarinya menghadap kiblat. Posisi ini berbeda dengan duduk tawarruk pada Tahiyat Akhir. Hikmahnya adalah sebagai pembeda antara dua tahiyat dan untuk memberikan posisi yang lebih siap untuk bangkit kembali ke rakaat ketiga.
- Mengangkat Jari Telunjuk: Disunnahkan untuk mengangkat jari telunjuk kanan ketika sampai pada bacaan syahadat, khususnya saat mengucapkan "illallâh". Jari telunjuk yang terangkat lurus ke atas adalah simbol visual dari keesaan Allah (Tauhid). Pandangan mata dianjurkan untuk diarahkan ke jari telunjuk tersebut. Ada perbedaan pendapat mengenai apakah jari tersebut digerak-gerakkan atau dibiarkan diam. Keduanya memiliki dalil dan merupakan praktik yang sah.
Kesimpulan: Tahiyat Awal Sebagai Momen Introspeksi dan Peneguhan Iman
Tahiyat Awal bukanlah sekadar jeda instrumental dalam ritual salat. Ia adalah sebuah stasiun spiritual yang kaya makna. Dalam beberapa detik yang singkat itu, seorang hamba melakukan perjalanan luar biasa: dimulai dengan pengagungan total kepada Allah, dilanjutkan dengan mengirimkan salam hormat kepada sang panutan, Nabi Muhammad, kemudian merangkul seluruh umat dengan doa keselamatan, dan diakhiri dengan memperbarui sumpah setia yang paling fundamental: syahadatain.
Memahami setiap kata dalam bacaan ini mengubah kualitas salat kita. Salat tidak lagi menjadi gerakan mekanis, tetapi menjadi sebuah dialog yang hidup, sebuah interaksi yang penuh rasa. Ketika kita mengucapkan "Attahiyyâtul...", kita sedang menundukkan seluruh ego dan kebesaran diri di hadapan keagungan Allah. Ketika mengucapkan "Assalâmu ‘alaika ayyuhan nabiyyu...", kita merasakan getaran cinta dan kerinduan kepada Rasulullah. Ketika mengucapkan "Assalâmu ‘alainâ...", kita merasakan hangatnya persaudaraan Islam yang melintasi zaman. Dan ketika mengangkat telunjuk seraya bersaksi "Asyhadu allâ ilâha illallâh...", kita sedang meneguhkan kembali pilar utama yang menjadi fondasi seluruh hidup kita.
Oleh karena itu, marilah kita berusaha untuk tidak hanya menghafal lafal Tahiyat Awal, tetapi juga meresapi maknanya. Biarkan setiap kalimatnya mengalir dari lisan, meresap ke dalam hati, dan tercermin dalam perbuatan. Dengan demikian, salat kita akan menjadi lebih khusyuk, lebih bermakna, dan benar-benar menjadi Mi'raj bagi setiap orang yang beriman.