Memaknai I'tidal: Panduan Lengkap Bacaan dan Kedalamannya

Sholat adalah tiang agama, sebuah dialog suci antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Setiap gerakan dan ucapan di dalamnya bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan untaian makna yang mendalam, sebuah perjalanan spiritual yang terstruktur. Di antara rukun-rukun sholat, ada satu gerakan transisi yang seringkali terlewatkan kekhusyukannya, yaitu I'tidal. I'tidal, atau gerakan bangkit dari ruku' dan berdiri tegak lurus, merupakan jeda krusial yang menyimpan rahasia pujian dan pengagungan kepada Allah SWT.

Gerakan ini, meskipun singkat, memegang peranan vital dalam kesempurnaan sholat. Ia adalah pilar yang jika ditinggalkan dengan sengaja, dapat membatalkan sholat. Lebih dari sekadar gerakan fisik, I'tidal adalah momen di mana seorang hamba menegakkan kembali tubuhnya setelah membungkuk dalam posisi ruku', seraya lisannya mengumandangkan pujian tertinggi sebagai jawaban atas panggilan Ilahi. Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal yang berkaitan dengan I'tidal, mulai dari definisi, hukum, ragam bacaannya yang shahih, hingga hikmah spiritual yang terkandung di dalamnya, dengan harapan dapat membantu kita semua mencapai sholat yang lebih sempurna dan bermakna.

Ilustrasi Posisi I'tidal Ilustrasi grafis seorang muslim dalam posisi I'tidal saat sholat, melambangkan ketenangan dan kepatuhan.

Definisi dan Kedudukan I'tidal dalam Sholat

Secara bahasa, I'tidal (اِعْتِدَال) berasal dari kata 'adala (عَدَلَ) yang berarti lurus, tegak, seimbang, atau kembali ke posisi semula. Dalam terminologi fiqih sholat, I'tidal adalah gerakan bangkit dari ruku' dan kembali ke posisi berdiri tegak seperti sebelum ruku', dengan disertai thuma'ninah (tenang sejenak). Gerakan ini merupakan salah satu rukun (pilar) sholat berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama (jumhur ulama) dari mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hanbali.

Dalil yang menjadi landasan utama kewajiban I'tidal dan thuma'ninah di dalamnya adalah hadits yang sangat terkenal, yaitu "Hadits Al-Musi' Shalatahu" atau hadits tentang orang yang sholatnya dianggap buruk oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, seorang laki-laki masuk masjid dan melaksanakan sholat, sementara Rasulullah SAW memperhatikannya. Setelah selesai, ia datang dan memberi salam kepada Nabi. Beliau menjawab salamnya dan bersabda:

"Kembalilah dan ulangi sholatmu, karena sesungguhnya engkau belum sholat."

Orang itu pun mengulangi sholatnya seperti semula, kemudian datang lagi kepada Nabi. Beliau kembali menyuruhnya mengulang hingga tiga kali. Akhirnya, orang itu berkata, "Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Maka, ajarilah aku." Rasulullah SAW kemudian mengajarkan tata cara sholat yang benar, dan di antara petunjuk beliau adalah:

"...kemudian angkatlah kepalamu (dari ruku') hingga engkau berdiri tegak lurus (hatta ta'tadila qaaiman)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Frasa "hatta ta'tadila qaaiman" (hingga engkau berdiri tegak lurus) inilah yang menjadi penegasan bahwa I'tidal bukan sekadar gerakan transisi, melainkan sebuah rukun yang harus dilaksanakan dengan sempurna. Kesempurnaan itu ditandai dengan thuma'ninah, yaitu kondisi di mana seluruh anggota badan dan tulang punggung kembali pada posisinya yang lurus dan tenang sejenak sebelum beralih ke gerakan sujud. Tanpa thuma'ninah, I'tidal dianggap tidak sah, dan akibatnya sholatnya pun menjadi tidak sah menurut pendapat yang paling kuat.

Ragam Bacaan Shahih Saat I'tidal

Terdapat beberapa variasi bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW saat I'tidal. Variasi ini menunjukkan keluasan dan kemudahan dalam syariat Islam. Seorang muslim dapat memilih dan mengamalkan salah satu di antaranya, atau menggantinya pada sholat yang berbeda untuk menghidupkan sunnah Nabi. Secara umum, bacaan I'tidal terbagi dua: bacaan saat bangkit dari ruku' dan bacaan saat telah berdiri tegak.

1. Bacaan Saat Bangkit dari Ruku' (Tasmi')

Bacaan ini disebut dengan Tasmi', yang diucapkan oleh Imam dan orang yang sholat sendirian (munfarid) ketika ia mulai mengangkat kepalanya dari posisi ruku'.

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Sami'allaahu liman hamidah.

"Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya."

Ini adalah bacaan standar yang disepakati oleh para ulama berdasarkan banyak hadits, di antaranya hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

"Adalah Rasulullah SAW apabila hendak sholat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku'... kemudian mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah' ketika mengangkat tulang punggungnya dari ruku'..." (HR. Bukhari dan Muslim)

Makna Mendalam di Balik "Sami'allahu liman hamidah":

Kalimat ini bukan sekadar pemberitahuan bahwa Allah Maha Mendengar. Kata 'Sami'a' di sini mengandung makna 'istajaba' (mengabulkan atau merespons). Jadi, maknanya menjadi lebih dalam: "Allah mengabulkan dan merespons (dengan pahala dan keridhaan) bagi siapa saja yang memuji-Nya." Ini adalah sebuah janji dan kabar gembira. Ketika seorang hamba memuji Allah dalam ruku'nya dengan "Subhana Rabbiyal 'Azhim", Allah langsung memberikan respons saat hamba itu bangkit, seolah-olah berfirman melalui lisan hamba-Nya, "Aku mendengar dan Aku merespons pujianmu." Sungguh sebuah dialog yang agung.

2. Bacaan Saat Telah Berdiri Tegak (Tahmid)

Setelah berdiri tegak lurus dengan thuma'ninah, disunnahkan untuk membaca pujian yang disebut Tahmid. Bacaan ini diucapkan oleh semua yang sholat, baik Imam, ma'mum, maupun munfarid. Berikut adalah ragam bacaan Tahmid yang shahih:

Bacaan Tahmid Pertama (Paling Ringkas)

رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Rabbanaa lakal hamdu.

"Wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu segala puji."

Ini adalah versi yang paling singkat dan umum, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, "Jika imam mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah', maka ucapkanlah 'Rabbana lakal hamd'." (HR. Bukhari)

Bacaan Tahmid Kedua (Dengan "Wawu")

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Rabbanaa wa lakal hamdu.

"Wahai Rabb kami, dan hanya untuk-Mu segala puji."

Penambahan huruf 'wa' (dan) ini juga memiliki riwayat yang shahih. Para ulama menjelaskan bahwa 'wa' di sini berfungsi sebagai 'athaf (kata sambung) yang menghubungkan pujian hamba dengan perintah Allah. Seolah-olah hamba berkata, "Kami mentaati perintah-Mu, dan (karenanya) kami memuji-Mu."

Bacaan Tahmid Ketiga (Dengan "Allahumma")

اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Allaahumma rabbanaa lakal hamdu.

"Ya Allah, wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu segala puji."

Penambahan "Allahumma" (Ya Allah) merupakan bentuk seruan langsung yang menambah kekhusyukan dan rasa kedekatan dalam berdoa dan memuji. Versi ini juga diriwayatkan dalam hadits shahih.

Bacaan Tahmid Keempat (Gabungan)

اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Allaahumma rabbanaa wa lakal hamdu.

"Ya Allah, wahai Rabb kami, dan hanya untuk-Mu segala puji."

Ini adalah gabungan dari variasi-variasi sebelumnya dan juga memiliki dasar riwayat yang kuat.

3. Bacaan Tambahan Setelah Tahmid (Sangat Dianjurkan)

Setelah membaca salah satu dari empat bacaan tahmid di atas, sangat dianjurkan untuk menambahkan pujian-pujian lain yang lebih panjang dan penuh makna. Memperlama I'tidal untuk melantunkan dzikir-dzikir ini adalah sunnah Nabi SAW yang menunjukkan kesempurnaan sholat beliau.

Tambahan Pertama (Pujian Sepenuh Langit dan Bumi)

Ini adalah tambahan yang paling masyhur dan sering diamalkan. Dibaca setelah salah satu dari bacaan tahmid di atas.

مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi, wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du.

"(Pujian) sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki setelah itu."

Menyelami Makna Pujian Ini:

  • "Mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi": Ini adalah ungkapan hiperbola yang menggambarkan betapa agungnya pujian kita kepada Allah. Pujian tersebut bukanlah pujian yang terbatas, melainkan pujian yang tak terhingga, seakan-akan memenuhi seluruh jagat raya, dari langit hingga bumi. Ini mengajarkan kita bahwa pujian kepada Allah tidak akan pernah sepadan dengan keagungan-Nya, namun kita berusaha mempersembahkan pujian yang termulia.
  • "Wa mil-a maa syi'ta min syai-in ba'du": "Dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki setelah itu." Kalimat ini adalah bentuk kepasrahan dan pengakuan atas keterbatasan ilmu manusia. Kita tidak mengetahui apa saja ciptaan Allah selain langit dan bumi. Maka, kita serahkan kepada kehendak Allah, memuji-Nya sepenuh segala sesuatu yang Dia ciptakan, yang kita ketahui maupun yang tidak kita ketahui. Ini adalah puncak adab dalam memuji Sang Khalik.

Tambahan Kedua (Pujian Kemuliaan dan Keagungan)

Tambahan ini lebih panjang lagi dan mengandung sanjungan yang luar biasa agung kepada Allah SWT. Tambahan ini dibaca setelah pujian sepenuh langit dan bumi.

أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Ahlats-tsanaa-i wal-majdi, ahaqqu maa qaalal-'abdu, wa kullunaa laka 'abdun. Allaahumma laa maani'a limaa a'thaita, wa laa mu'thiya limaa mana'ta, wa laa yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu.

"Wahai Dzat yang berhak atas segala sanjungan dan kemuliaan. Kalimat ini adalah yang paling pantas diucapkan oleh seorang hamba, dan kami semua adalah hamba-Mu. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau tahan, dan tidaklah bermanfaat kekayaan dan kedudukan bagi pemiliknya dari (siksa)-Mu."

Mengurai Mutiara Hikmah dalam Doa Ini:

  • "Ahlats-tsanaa-i wal-majdi": Pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya yang layak menerima segala sanjungan (ats-tsana') dan memiliki segala kemuliaan (al-majd) yang sempurna.
  • "Ahaqqu maa qaalal-'abdu, wa kullunaa laka 'abdun": Penegasan bahwa kalimat pujian ini adalah ucapan terbaik yang bisa dilantunkan seorang hamba. Disertai dengan pernyataan kerendahan diri, "dan kami semua adalah hamba-Mu," yang menghapuskan segala bentuk kesombongan.
  • "Allaahumma laa maani'a limaa a'thaita, wa laa mu'thiya limaa mana'ta": Sebuah ikrar tauhid rububiyah yang paripurna. Mengakui bahwa segala pemberian dan penahanan mutlak berada di tangan Allah. Tidak ada kekuatan apa pun di alam semesta yang dapat menghalangi jika Allah berkehendak memberi, dan tidak ada yang bisa memberi jika Allah menahannya. Ini menanamkan rasa tawakal yang mendalam.
  • "Wa laa yanfa'u dzal-jaddi minkal-jaddu": Sebuah pengingat yang kuat bahwa di hadapan Allah, kekayaan, kekuasaan, jabatan, nasab, atau segala bentuk kemegahan dunia (al-jadd) tidak akan berguna. Satu-satunya yang bermanfaat adalah ketakwaan dan amal shalih. Ini adalah pelajaran untuk tidak terpedaya oleh gemerlap dunia.

Sebuah Kisah Inspiratif di Balik Bacaan I'tidal

Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Rifa'ah bin Rafi' radhiyallahu 'anhu. Ia berkata: "Suatu hari kami sholat di belakang Nabi SAW. Ketika beliau mengangkat kepala dari ruku', beliau mengucapkan, 'Sami'allahu liman hamidah'. Lalu seorang laki-laki di belakang beliau mengucapkan:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Rabbanaa wa lakal hamdu, hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiih.

"Wahai Rabb kami, dan hanya untuk-Mu segala puji, pujian yang banyak, yang baik, dan yang diberkahi di dalamnya."

Setelah selesai sholat, Rasulullah SAW bertanya, 'Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?' Orang itu menjawab, 'Saya, wahai Rasulullah.' Maka, Rasulullah SAW bersabda:

'Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebut, siapa di antara mereka yang pertama kali akan mencatat (pahala)nya.'" (HR. Bukhari)

Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang keutamaan berinisiatif dalam memuji Allah dengan pujian-pujian yang tulus dan indah, selama tidak bertentangan dengan syariat. Kalimat yang sederhana namun tulus itu ternyata memiliki bobot yang luar biasa di sisi Allah, hingga para malaikat pun berlomba-lomba untuk mencatatnya.

Fiqih Seputar I'tidal: Hal-hal yang Perlu Diketahui

Memahami aspek fiqih dari I'tidal membantu kita melaksanakan sholat dengan benar dan terhindar dari kesalahan yang dapat mengurangi atau bahkan membatalkan sholat.

Hukum I'tidal dan Thuma'ninah

Seperti telah disinggung, jumhur ulama (Syafi'i, Maliki, Hanbali) berpendapat bahwa I'tidal adalah rukun sholat. Meninggalkannya dengan sengaja membatalkan sholat. Jika terlupa, maka wajib untuk kembali ke posisi I'tidal kemudian melanjutkan sholat dan melakukan sujud sahwi di akhir. Adapun thuma'ninah dalam I'tidal, jumhur ulama juga menilainya sebagai rukun. Artinya, bangkit dari ruku' tanpa berhenti sejenak dan langsung turun untuk sujud, maka I'tidalnya tidak sah, dan sholatnya pun batal. Batasan minimal thuma'ninah adalah hingga seluruh tulang punggung kembali lurus dan tubuh diam sejenak, sekadar lamanya membaca 'Subhanallah'.

Mengangkat Tangan Saat I'tidal

Disunnahkan untuk mengangkat kedua tangan saat bangkit dari ruku' (saat mengucapkan Tasmi'). Posisi mengangkat tangan ini sejajar dengan bahu atau telinga, sama seperti saat takbiratul ihram. Ini adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) yang memiliki banyak riwayat shahih, di antaranya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma:

"Aku melihat Rasulullah SAW apabila memulai sholat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan bahunya. Beliau melakukan hal yang sama ketika bertakbir untuk ruku', dan beliau melakukan hal yang sama ketika mengangkat kepalanya dari ruku' seraya mengucapkan 'Sami'allahu liman hamidah'..." (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan Bacaan Imam, Ma'mum, dan Munfarid

Terdapat perbedaan pandangan ulama mengenai siapa yang membaca apa, namun pendapat yang paling kuat dan umum diamalkan adalah sebagai berikut:

  • Imam: Hanya membaca Tasmi' ("Sami'allahu liman hamidah") dengan suara keras saat bangkit. Sebagian ulama berpendapat imam juga membaca Tahmid ("Rabbana lakal hamd...") dengan suara pelan setelah berdiri tegak. Pendapat ini lebih kuat karena keumuman dalil yang menyebutkan bacaan tersebut.
  • Ma'mum: Hanya membaca Tahmid ("Rabbana lakal hamd...") dan tambahan pujian lainnya setelah imam selesai mengucapkan Tasmi'. Ma'mum tidak mengucapkan Tasmi'.
  • Munfarid (Sholat Sendiri): Menggabungkan keduanya. Ia membaca Tasmi' saat bangkit dari ruku' dan membaca Tahmid serta tambahan pujian lainnya saat sudah berdiri tegak.

Kesalahan-kesalahan Umum Saat I'tidal

Banyak umat Islam, karena terburu-buru atau kurangnya ilmu, melakukan beberapa kesalahan saat I'tidal. Penting untuk mengenali dan menghindarinya:

  1. Tidak Ada Thuma'ninah: Ini adalah kesalahan paling fatal. Gerakan yang menyerupai 'mematuk', di mana punggung belum sempat lurus sempurna sudah langsung turun untuk sujud. Gerakan ini menggugurkan rukun I'tidal dan membatalkan sholat.
  2. Punggung Tidak Lurus Sempurna: Bangkit dari ruku' namun posisi badan masih sedikit membungkuk. I'tidal yang sempurna menuntut badan untuk kembali ke posisi berdiri tegak seperti sebelum ruku'.
  3. Membaca Doa yang Tidak Sesuai: Terkadang ada yang membaca bacaan sujud atau ruku' saat I'tidal. Penting untuk fokus dan melafalkan dzikir yang telah disunnahkan untuk rukun ini.
  4. Ma'mum Membaca Tasmi': Ma'mum yang ikut mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" bersama imam. Ini kurang tepat, karena tugas ma'mum adalah menjawab Tasmi' imam dengan Tahmid.
  5. Menggerakkan Tangan Setelah Bersedekap: Sebagian orang setelah I'tidal kembali meletakkan tangan dalam posisi bersedekap seperti saat berdiri membaca Al-Fatihah. Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hal ini. Pendapat yang lebih kuat adalah membiarkan tangan lurus di samping badan, karena tidak ada dalil shahih yang secara spesifik memerintahkan untuk kembali bersedekap saat I'tidal.

Hikmah dan Makna Spiritual di Balik Gerakan dan Bacaan I'tidal

Setiap detail dalam sholat memiliki hikmahnya tersendiri. I'tidal, sebagai jembatan antara dua posisi merendah (ruku' dan sujud), menyimpan pelajaran spiritual yang sangat berharga.

1. Transisi dari Pengagungan ke Pengakuan: Ruku' adalah posisi mengagungkan Allah (ta'zhim) dengan pujian "Subhana Rabbiyal 'Azhim" (Maha Suci Rabb-ku Yang Maha Agung). Ketika bangkit, lisan mengucap "Sami'allahu liman hamidah" (Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Ini adalah sebuah penegasan bahwa pengagungan kita tidak sia-sia, ia didengar dan direspons oleh Allah. Lalu, kita menyambutnya dengan "Rabbana lakal hamd" (Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji). Ini adalah bentuk pengakuan (i'tiraf) dan syukur dari seorang hamba atas respons Tuhannya. I'tidal menjadi momen dialogis yang indah.

2. Pelajaran tentang Keseimbangan (Mizan): Gerakan berdiri tegak lurus melambangkan keseimbangan, keadilan, dan kelurusan. Setelah merendah dalam ruku', kita diperintahkan untuk berdiri tegak lurus sejenak. Ini mengajarkan bahwa kehidupan seorang muslim harus seimbang antara merendahkan diri di hadapan Allah (hablumminallah) dan berlaku lurus serta adil dalam hubungannya dengan sesama manusia (hablumminannas). Sholat melatih kita untuk menjadi pribadi yang tegak dalam prinsip dan lurus dalam tindakan.

3. Mengingat Hari Kebangkitan: Sebagian ulama tafakur mengibaratkan gerakan-gerakan sholat dengan siklus kehidupan. Ruku' dan sujud laksana kematian dan berada di alam kubur. Sementara I'tidal, yakni bangkit dan berdiri tegak, diibaratkan seperti hari kebangkitan (Yaumul Qiyamah), saat seluruh manusia akan dibangkitkan dari kuburnya untuk berdiri di hadapan Allah SWT. Saat I'tidal, kita seolah sedang berlatih untuk berdiri di hadapan-Nya, mempertanggungjawabkan segala amal, dengan lisan yang sibuk memuji keagungan-Nya.

4. Manifestasi Syukur Fisik dan Lisan: Kemampuan untuk berdiri dengan punggung yang lurus adalah nikmat kesehatan yang luar biasa dari Allah. I'tidal adalah momen untuk mensyukuri nikmat ini secara fisik. Kita menegakkan tulang punggung, sebuah pilar utama bagi tubuh manusia, seraya lisan kita membasahinya dengan pujian (hamdalah). Ini adalah perpaduan sempurna antara syukur melalui perbuatan dan syukur melalui ucapan.

Kesimpulan: Menyempurnakan I'tidal, Menyempurnakan Sholat

I'tidal bukanlah sekadar jeda atau gerakan pelengkap. Ia adalah rukun sholat yang agung, sebuah pilar yang menopang sahnya ibadah kita. Memahaminya secara mendalam—mulai dari gerakannya yang harus lurus dan tenang, hingga ragam bacaannya yang sarat makna—adalah sebuah keniscayaan bagi setiap muslim yang mendambakan sholat yang khusyuk dan diterima di sisi Allah SWT.

Mari kita perhatikan kembali I'tidal kita. Apakah sudah disertai thuma'ninah? Apakah punggung kita telah lurus sempurna? Apakah lisan kita telah mengumandangkan pujian-pujian terbaik yang diajarkan oleh Rasulullah SAW? Dengan memperindah I'tidal kita, berarti kita sedang memperindah dialog kita dengan Allah. Kita sedang menunjukkan keseriusan dan kecintaan kita dalam beribadah kepada-Nya. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk dapat mendirikan sholat dengan sebaik-baiknya, menyempurnakan setiap rukunnya, dan meraih manisnya iman melalui ibadah yang paling mulia ini.

🏠 Kembali ke Homepage