Pengenalan mendalam tentang babat, mulai dari struktur biologis hingga transformasinya menjadi hidangan mewah di berbagai belahan dunia.
Babat adalah salah satu jenis jeroan yang paling populer dan banyak digunakan dalam masakan, terutama di Asia dan Eropa. Secara spesifik, babat merujuk pada lapisan otot lambung yang berasal dari hewan ruminansia, seperti sapi, kerbau, domba, atau kambing. Dalam konteks kuliner Indonesia, babat sapi adalah yang paling umum ditemukan dan menjadi bahan utama berbagai hidangan tradisional yang kaya bumbu dan sejarah.
Babat sering kali dianggap sebagai hidangan kelas dua di beberapa budaya, namun di Indonesia, babat memiliki posisi istimewa, menjadi komponen krusial dalam hidangan seperti soto, gulai, nasi goreng, dan berbagai tumisan pedas. Teksturnya yang kenyal, kemampuannya menyerap bumbu dengan sempurna, dan rasanya yang khas menjadikannya favorit banyak penikmat makanan. Pengolahan babat membutuhkan ketelatenan ekstra, mulai dari pembersihan, perebusan berulang, hingga proses pemasakan akhir, yang semuanya bertujuan menghilangkan bau tak sedap dan mencapai tekstur yang lembut namun tetap elastis.
Untuk memahami mengapa babat memiliki tekstur dan penampilan yang sangat bervariasi, kita harus menilik anatomi pencernaan hewan ruminansia. Ruminansia (pemamah biak) memiliki sistem lambung yang kompleks, terdiri dari empat kompartemen yang masing-masing menghasilkan jenis babat yang berbeda secara visual dan kulinernya. Empat kompartemen ini memastikan bahwa setiap jenis babat memberikan pengalaman tekstur yang unik, mulai dari yang tebal dan berstruktur kasar hingga yang tipis dan lembut.
Ilustrasi sederhana empat kompartemen lambung ruminansia yang menghasilkan jenis babat berbeda.
Rumen adalah kompartemen lambung terbesar, sering kali disebut sebagai 'ruang fermentasi'. Babat yang berasal dari rumen dikenal sebagai Babat Handuk (Blanket Tripe) karena permukaannya yang tebal, bertekstur kasar, dan ditutupi oleh banyak papila kecil yang menyerupai lipatan handuk atau karpet. Babat handuk adalah jenis yang paling sering dijumpai di pasar dan paling populer karena tebal dan kokoh, menjadikannya ideal untuk masakan yang membutuhkan waktu masak lama seperti gulai atau kare. Babat handuk menyerap bumbu dengan sangat baik, dan meskipun membutuhkan waktu perebusan yang paling lama, hasil akhirnya menawarkan tekstur yang sangat memuaskan.
Reticulum sering dianggap sebagai perpanjangan dari rumen, tetapi memiliki fungsi penting dalam menyaring partikel makanan yang sudah difermentasi. Babat dari reticulum dikenal sebagai Babat Sarang Lebah (Honeycomb Tripe) karena permukaannya yang khas, ditutupi oleh pola heksagonal yang sangat mirip dengan sarang lebah. Secara visual, babat sarang lebah adalah yang paling menarik dan biasanya merupakan potongan babat paling mahal. Teksturnya lebih lembut dan tipis dibandingkan babat handuk, dan karena pola jaringnya, ia mampu menampung kuah atau saus bumbu dengan sangat efektif. Di banyak negara Barat, ini adalah jenis babat yang paling disukai.
Omasum berfungsi menyerap air dan mineral dari makanan. Babat dari omasum dikenal sebagai Babat Buku (Book Tripe atau Leaf Tripe) karena strukturnya yang terdiri dari banyak lapisan jaringan tipis yang saling melipat, menyerupai halaman-halaman buku yang terlipat. Babat buku relatif kurang berlemak dan memiliki tekstur yang sedikit renyah atau ‘kriuk’ setelah dimasak dengan benar. Meskipun tidak setebal rumen, babat buku memiliki nilai jual karena penampilannya yang unik dan kemudahan pengolahannya yang sedikit lebih cepat daripada babat handuk.
Abomasum adalah lambung sejati, tempat proses pencernaan asam layaknya lambung non-ruminansia. Babat yang berasal dari abomasum dikenal sebagai Babat Halus atau Babat Kain (Reed Tripe) dan merupakan bagian yang paling jarang dijual sebagai babat murni karena ukurannya yang lebih kecil dan strukturnya yang lebih glandular (kelenjar). Teksturnya sangat halus dan lembut, menyerupai potongan daging tipis atau kain, dan membutuhkan waktu masak paling singkat. Meskipun jarang dijadikan hidangan utama, babat halus sering dicampur dalam sajian soto atau sup untuk memberikan variasi tekstur yang kaya.
Salah satu alasan mengapa beberapa orang menghindari babat adalah reputasinya yang sulit dibersihkan dan berbau amis atau ‘prengus’. Namun, dengan teknik pengolahan yang tepat, babat dapat diubah menjadi bahan masakan yang higienis, lembut, dan bebas bau. Proses pengolahan babat adalah seni yang membutuhkan kesabaran dan pengetahuan tentang langkah-langkah sterilisasi awal.
Babat mentah memiliki sisa-sisa kotoran dan lapisan luar yang harus dihilangkan. Langkah pertama adalah mencuci babat di bawah air mengalir. Lapisan luar, terutama pada babat handuk dan sarang lebah, mungkin dilapisi pigmen gelap atau sisa makanan yang harus dikikis. Penggunaan pisau tumpul atau sikat dapur khusus sangat dianjurkan untuk membersihkan semua lipatan dan tekstur. Untuk babat handuk yang sangat kotor, seringkali diperlukan pengikisan agresif untuk menghilangkan lapisan luar yang keras dan kotor.
Setelah dicuci, babat harus direbus dalam air mendidih bersama bumbu perendam. Perebusan awal ini berfungsi untuk mensterilkan babat, mengencangkan jaringannya, dan menghilangkan sebagian besar bau tak sedap. Biasanya, babat direbus selama 10 hingga 15 menit, lalu airnya dibuang dan babat dibilas lagi. Proses ini dapat diulang dua hingga tiga kali, selalu mengganti air rebusan, hingga air rebusan terakhir tampak jernih dan babat mulai melembut.
Secara tradisional, babat sering diputihkan agar terlihat lebih menarik dan bersih. Metode pemutihan ini dapat melibatkan perendaman dalam air kapur sirih atau penggunaan air jeruk nipis. Meskipun saat ini banyak babat dijual sudah dalam kondisi diputihkan, jika Anda membeli babat mentah yang masih berwarna gelap atau hitam, proses pemutihan ini penting untuk estetika kuliner. Namun, perlu dicatat bahwa pemutihan yang berlebihan dapat memengaruhi tekstur dan memerlukan pembilasan menyeluruh untuk menghilangkan residu kapur sirih.
Tekstur kenyal babat adalah daya tariknya, tetapi jika terlalu keras, babat menjadi tidak menyenangkan. Kunci untuk melembutkan babat adalah waktu dan suhu rendah. Metode yang paling efektif adalah memasak lambat (slow cooking) atau menggunakan panci presto.
Setelah proses pelunakan, babat siap diolah menjadi hidangan utama seperti gulai, soto, atau dimasak dengan bumbu gongso pedas. Keberhasilan hidangan babat sangat ditentukan pada tahap pengolahan awal ini; jika babat masih berbau atau keras, bumbu terlezat pun tidak akan mampu menolongnya.
Meskipun sering dikategorikan sebagai jeroan, babat memiliki profil nutrisi yang mengesankan, terutama kandungan protein dan kolagennya. Babat merupakan makanan padat gizi yang rendah kalori dan lemak dibandingkan dengan banyak potongan daging otot sapi lainnya, terutama jika lemak berlebih telah dibersihkan sebelum dimasak. Babat, secara umum, menawarkan sumber protein lengkap yang penting untuk pembentukan dan perbaikan jaringan tubuh.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kandungan kolesterol dalam babat memang lebih tinggi dibandingkan daging tanpa lemak. Oleh karena itu, konsumsi babat, seperti jeroan lainnya, harus seimbang dan tidak berlebihan, terutama bagi individu yang memiliki kondisi kesehatan tertentu terkait jantung atau kolesterol tinggi. Pengolahan dengan cara direbus atau dibakar lebih disarankan daripada digoreng untuk menjaga nilai gizinya tetap optimal.
Perbedaan nutrisi juga sedikit terlihat antara jenis babat. Babat Handuk (Rumen) cenderung memiliki lapisan jaringan yang lebih tebal dan mungkin sedikit lebih banyak lemak internal daripada Babat Buku (Omasum). Namun, secara umum, keempat jenis babat memberikan manfaat protein, kolagen, dan vitamin B yang serupa.
Babat merupakan 'superfood' tersembunyi dari dunia jeroan; rendah kalori, kaya kolagen, dan padat vitamin B, menjadikannya komponen bernilai dalam diet seimbang.
Di Indonesia, babat bukanlah sekadar bahan tambahan, melainkan bintang utama dari banyak hidangan yang memiliki sejarah panjang. Penggunaan bumbu-bumbu rempah yang kuat, seperti kunyit, jahe, ketumbar, dan santan, sangat cocok dipadukan dengan tekstur babat yang mampu menyerap rasa hingga ke serat terdalam. Variasi hidangan babat mencerminkan keragaman regional di Indonesia.
Gulai Babat adalah salah satu sajian paling ikonik dari masakan Minangkabau. Babat dimasak dalam kuah santan kuning kental yang kaya akan bumbu dasar gulai: cabai, lengkuas, serai, daun jeruk, dan kunyit yang melimpah. Proses memasak gulai babat bisa memakan waktu berjam-jam, memastikan babat menjadi sangat empuk dan kuah meresap sepenuhnya. Penggunaan asam kandis atau belimbing wuluh sering ditambahkan untuk memberikan sentuhan asam segar yang menyeimbangkan rasa pedas dan gurih dari santan.
Babat adalah komponen tak terpisahkan dari Soto. Dalam Soto Betawi, babat disajikan bersama daging dan jeroan lain dalam kuah santan yang creamy, ditaburi emping dan bawang goreng. Di Jawa Timur, khususnya soto Madura atau soto Lamongan, babat sering disajikan dalam kuah bening atau kuah kuning tanpa santan yang lebih ringan namun kaya rasa kaldu. Tekstur kenyal babat memberikan kontras yang menyenangkan dengan kelembutan nasi dan mie yang ada di dalam soto.
Babat Gongso adalah hidangan khas Semarang, Jawa Tengah, yang menunjukkan bagaimana babat dapat diolah tanpa kuah santan. Istilah "Gongso" merujuk pada teknik menumis dengan bumbu yang pekat. Bumbu utamanya adalah bawang merah, bawang putih, cabai rawit, dan kecap manis. Babat yang sudah direbus hingga empuk kemudian ditumis cepat (digongso) dengan bumbu hingga teksturnya sedikit karamelisasi dan warnanya cokelat pekat. Rasanya adalah kombinasi sempurna antara pedas, manis, dan gurih, disajikan dengan nasi hangat dan acar mentimun.
Di warung-warung kaki lima, Nasi Goreng Babat adalah varian populer. Potongan babat yang sudah direbus diiris kecil-kecil dan ditumis bersama nasi, telur, dan bumbu nasi goreng standar. Kunci dari Nasi Goreng Babat yang sukses adalah memastikan babatnya sudah sangat lunak sebelum dimasukkan, sehingga memberikan tekstur 'chewy' yang tidak mengganggu ketika dimakan bersama butiran nasi yang terpisah.
Penggunaan babat di Indonesia juga meluas hingga ke hidangan lain, seperti Sambal Goreng Babat, Krengsengan Babat (mirip dengan gongso namun lebih berkuah kental), hingga Coto Makassar, di mana babat menjadi salah satu pilihan jeroan di samping paru dan hati. Keragaman ini membuktikan adaptabilitas babat terhadap berbagai bumbu dan metode masak regional yang sangat berbeda.
Pemasakan babat yang sempurna bukanlah tentang bumbu, tetapi tentang proses pelunakan. Jika babat masih keras, pengalaman menyantapnya akan terganggu. Ada beberapa metode yang digunakan para juru masak profesional untuk menjamin hasil babat yang lembut, kenyal, dan bebas bau amis.
Babat, khususnya rumen, memiliki jaringan serat yang sangat padat dan mengandung elastin. Elastin adalah protein yang memberikan kekenyalan dan ketahanan. Tidak seperti kolagen yang mudah terurai oleh panas lambat, elastin membutuhkan waktu yang sangat lama di bawah suhu didih yang stabil (sekitar 90-95°C) atau di bawah tekanan tinggi (seperti pada panci presto) untuk benar-benar lunak. Kesalahan umum adalah memasak babat dengan api besar dalam waktu singkat, yang hanya akan membuat babat semakin liat.
Untuk menghilangkan sisa bau yang mungkin tertinggal setelah pencucian, air rebusan babat harus diperkaya dengan bumbu aromatik yang kuat. Bumbu ini tidak hanya menghilangkan bau, tetapi juga mulai memberikan 'base flavor' pada babat. Bumbu esensial yang wajib ada:
Rebusan ini disebut sebagai 'kaldu perendam' dan harus diganti jika proses perebusan dilakukan berulang. Untuk mencapai kelembutan maksimal, babat handuk utuh sebaiknya direbus selama 3 jam, lalu diangkat, didinginkan, dan baru kemudian diiris sesuai kebutuhan. Pengirisan sebelum perebusan total dapat menyebabkan potongan babat menyusut dan menjadi lebih keras.
Di beberapa industri katering, terkadang digunakan larutan alkali yang sangat lemah, seperti sedikit baking soda (natrium bikarbonat), yang ditambahkan ke air rebusan. Zat alkali membantu memecah protein permukaan babat dengan cepat. Jika menggunakan metode ini, perbandingan harus sangat hati-hati, dan babat harus dibilas hingga bersih setelah direbus agar tidak ada rasa sabun yang tertinggal. Ini adalah teknik yang digunakan untuk efisiensi waktu, namun memasak lambat tanpa bahan kimia tambahan tetap menghasilkan tekstur dan rasa terbaik.
Babat Sarang Lebah adalah yang paling dihargai secara visual karena kemampuannya menampung bumbu di antara tekstur heksagonalnya.
Kisah babat bukanlah eksklusif milik Indonesia atau Asia. Babat telah menjadi bahan masakan penting dalam sejarah kuliner banyak peradaban, seringkali karena babat adalah bagian ternak yang tidak boleh terbuang dan kaya energi. Di berbagai belahan dunia, babat dikenal dengan nama dan metode masak yang berbeda, mencerminkan adaptasi lokal terhadap bahan baku ini.
Di Spanyol dan Meksiko, babat dikenal sebagai Tripas. Di Meksiko, Menudo adalah sup babat yang sangat terkenal, dianggap sebagai makanan penyembuh (hangover cure). Menudo biasanya dimasak dengan cabai merah, hominy (jagung besar yang dikeringkan), dan perasan jeruk nipis. Hidangan ini dikenal karena waktu masaknya yang lama, yang membuat babat menjadi sangat lembut dan kuahnya kental karena kolagen yang terurai.
Orang Italia, khususnya di Roma, memiliki hidangan klasik Trippa alla Romana. Babat diiris tipis dan dimasak dalam saus tomat yang kaya rasa, dicampur dengan mint dan keju pecorino romano. Sajian ini menunjukkan bahwa babat dapat dipadukan sempurna dengan bumbu Mediterranean yang segar dan asam. Babat menjadi inti dari konsep masakan ‘quinto quarto’ (potongan kelima), merujuk pada potongan daging yang dulunya hanya mampu dibeli oleh rakyat jelata.
Di Eropa Timur, terutama Polandia, hidangan Flaki (secara harfiah berarti 'jeroan' atau 'usus') adalah sup babat yang sangat kental dan berbumbu. Flaki disajikan panas, seringkali sebagai hidangan pembuka yang berat, dimasak dengan kaldu daging sapi yang kaya, sayuran akar, dan bumbu seperti marjoram. Flaki merupakan hidangan yang sangat populer di Polandia dan dianggap sebagai masakan nasional yang menghangatkan.
Dalam masakan Kanton, babat sapi sering dikukus atau direbus dalam saus yang kaya rasa rempah, seperti saus kacang hitam atau lima bumbu. Babat yang disajikan sebagai dim sum adalah salah satu cara paling populer, di mana potongan babat Sarang Lebah (Reticulum) yang empuk dikukus bersama jahe dan daun bawang hingga bumbu meresap sempurna. Pengukusan membuat babat tetap lembab dan mempertahankan kekenyalannya tanpa menjadi kering.
Perbedaan global ini menyoroti bahwa babat adalah bahan yang universal. Terlepas dari apakah ia direbus dengan bumbu pedas Indonesia, dimasak asam di Meksiko, atau dicampur tomat di Italia, babat selalu membutuhkan proses pelunakan yang sama, yang menghasilkan tekstur unik yang dihargai di seluruh dunia.
Untuk mengaplikasikan pengetahuan tentang babat, berikut adalah langkah-langkah detail untuk menyiapkan dua hidangan babat paling populer di Indonesia, berfokus pada teknik yang menjamin babat yang empuk dan kaya rasa.
Gulai Minang memerlukan bumbu yang sangat kuat untuk menandingi dan meresap ke dalam serat babat yang tebal. Jenis babat yang disarankan adalah Babat Handuk atau Babat Sarang Lebah.
10 siung bawang merah, 6 siung bawang putih, 10 buah cabai merah keriting (sesuai selera), 4 cm kunyit bakar, 3 cm jahe, 3 cm lengkuas muda, 1 sendok teh ketumbar sangrai, 1/2 sendok teh jintan. Haluskan semua bahan hingga menjadi pasta.
Panaskan sedikit minyak, tumis bumbu halus hingga harum dan matang sempurna (pecah minyak). Masukkan bumbu cemplung: 1 batang serai geprek, 3 lembar daun jeruk, 2 lembar daun salam, dan 1 buah asam kandis. Tumis sebentar. Masukkan potongan babat yang sudah empuk. Aduk rata agar babat terlumuri bumbu. Tuang 500 ml santan kental dari 1 butir kelapa. Kecilkan api dan masak perlahan. Gulai harus dimasak minimal 30-45 menit lagi setelah santan masuk, sambil sesekali diaduk agar santan tidak pecah dan bumbu benar-benar meresap ke dalam serat babat yang sudah lunak. Koreksi rasa dengan garam, gula, dan sedikit penyedap rasa. Sajikan gulai babat panas dengan taburan bawang goreng.
Babat Gongso menekankan pada teknik menumis dengan panas tinggi dan rasa manis pedas yang pekat. Babat Gongso cocok menggunakan Babat Buku (Omasum) karena teksturnya yang lebih renyah.
Gunakan 500g babat yang sudah direbus hingga empuk dan dipotong kotak-kotak kecil.
8 siung bawang merah, 4 siung bawang putih, 5-10 buah cabai rawit merah (sangat pedas), 3 buah cabai merah besar. Haluskan kasar.
Kecap manis (minimal 5 sdm), sedikit air kaldu babat, minyak goreng, garam, dan gula secukupnya.
Panaskan minyak dalam wajan dengan api besar. Teknik gongso memerlukan panas tinggi. Tumis bumbu halus hingga harum. Masukkan irisan bawang bombay (jika suka) dan daun bawang. Masukkan potongan babat yang sudah empuk. Aduk cepat. Tambahkan kecap manis secara bertahap. Tambahkan sedikit air kaldu sisa rebusan babat (sekitar 50 ml) untuk mencegah gosong dan membantu bumbu karamelisasi menempel pada babat. Masak sambil terus diaduk (digongso) hingga kuah mengering dan babat terlihat mengkilap dan berwarna cokelat pekat karena kecap yang terkaramelisasi. Babat Gongso siap disajikan dengan taburan bawang goreng atau ditambahkan acar timun segar untuk menyeimbangkan rasa manis pedasnya.
Kesabaran dalam proses awal perebusan babat dan ketepatan bumbu dalam proses memasak akhir adalah dua pilar utama dalam menciptakan hidangan babat yang lezat. Baik itu gulai yang berkuah kental maupun gongso yang pekat, babat menawarkan keragaman tekstur dan rasa yang luar biasa, menjadikannya salah satu jeroan paling berharga dalam tradisi kuliner kita.
Salah satu aspek yang paling menarik dari babat dari sudut pandang gastronomi adalah teksturnya. Tekstur kenyal, atau yang sering disebut "chewy," adalah hasil dari komposisi jaringan ikat yang kaya akan kolagen dan elastin. Ketika babat dimasak, kolagen (terutama yang terdapat pada lapisan luar) akan terhidrolisis menjadi gelatin. Gelatin inilah yang memberikan rasa 'mouthfeel' yang kaya dan kekentalan pada kuah gulai atau kaldu soto.
Peran gelatin tidak hanya terbatas pada rasa. Dalam konteks masakan tradisional, gelatin bertindak sebagai pengental alami. Di Eropa, kaldu yang dibuat dari tulang dan jeroan seperti babat sering didinginkan menjadi aspik (gel), yang menunjukkan betapa tingginya kandungan gelatin yang dilepaskan selama proses memasak lambat. Tanpa kandungan kolagen ini, babat akan terasa kering dan berserat setelah dimasak, bukan kenyal dan lembab.
Setiap jenis babat menawarkan profil tekstur yang berbeda karena susunan anatomisnya:
Para koki yang mahir akan memilih jenis babat berdasarkan hidangan yang mereka buat. Babat Sarang Lebah cocok untuk masakan yang mengutamakan penyerapan bumbu (seperti dim sum atau gulai kental), sementara Babat Handuk lebih disukai untuk sup kaldu yang membutuhkan potongan babat yang tebal dan kokoh.
Proses pelunakan babat, baik dengan presto atau slow cooking, adalah proses dekomposisi kolagen. Suhu tinggi dan tekanan akan memutus ikatan peptida kolagen menjadi molekul gelatin yang lebih kecil. Semakin lama waktu masak, semakin banyak kolagen yang terurai, menghasilkan babat yang semakin empuk. Jika proses ini dihentikan terlalu cepat, elastin masih mendominasi, menyebabkan babat menjadi liat dan sulit dikunyah. Ini menjelaskan mengapa juru masak berpengalaman tidak pernah terburu-buru saat menyiapkan babat.
Kesimpulannya, babat adalah contoh sempurna dari bagaimana pemahaman mendalam tentang anatomi dan kimia makanan (khususnya sifat kolagen dan elastin) dapat mengubah bahan yang sederhana menjadi hidangan yang lezat, bernilai gizi tinggi, dan kaya akan tekstur yang kompleks.
Meskipun babat sering dianggap sebagai 'produk sampingan' (by-product) dari industri daging, nilai ekonominya cukup signifikan. Dalam rantai pasok daging sapi, jeroan menyumbang persentase penting dari total nilai karkas. Babat, khususnya babat sapi, memiliki permintaan yang stabil, terutama di pasar Asia dan Timur Tengah, di mana masakan berbasis jeroan sangat populer.
Harga babat bervariasi berdasarkan jenis dan tingkat kebersihannya. Babat Sarang Lebah (Reticulum) seringkali dihargai paling mahal karena tampilannya yang menarik dan teksturnya yang lembut. Babat Handuk, meskipun lebih tebal, seringkali dijual lebih murah karena membutuhkan proses pembersihan dan perebusan yang lebih intensif sebelum siap dijual ke konsumen akhir.
Standar kebersihan sangat memengaruhi nilai jual babat. Babat yang sudah dibersihkan total dan diputihkan (biasanya berwarna putih gading) jauh lebih mahal daripada babat mentah yang masih berwarna hitam atau hijau. Pemrosesan awal ini memindahkan pekerjaan pembersihan dari konsumen ke pemasok, meningkatkan harga eceran, tetapi juga memastikan kualitas yang lebih tinggi dan mengurangi risiko kontaminasi.
Di luar pasar tradisional, babat juga digunakan dalam industri makanan olahan. Babat yang sudah direbus dan dipotong-potong dapat dikemas vakum atau dibekukan, memudahkan restoran dan katering untuk mengurangi waktu persiapan. Selain itu, ekstrak dari rebusan babat dan jeroan digunakan dalam produksi kaldu konsentrat dan penyedap rasa, memanfaatkan kandungan kolagen dan proteinnya yang tinggi.
Pengelolaan babat yang efisien juga penting dari perspektif keberlanjutan. Dengan memaksimalkan penggunaan seluruh bagian hewan, termasuk jeroan seperti babat, industri daging dapat mengurangi limbah dan meningkatkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan. Di negara-negara berkembang, babat sering menjadi sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, mengukuhkan peran pentingnya dalam ketahanan pangan lokal.
Mengapa babat, yang merupakan jeroan, memiliki daya tarik yang begitu kuat dibandingkan dengan daging otot biasa? Jawabannya terletak pada tiga elemen kunci: Umami, Tekstur, dan Kemampuan Menyerap Rasa.
Seperti jeroan lainnya, babat mengandung tingkat nukleotida dan asam amino bebas yang tinggi, yang merupakan senyawa utama pembentuk rasa Umami (rasa gurih). Proses perebusan yang lama mengeluarkan senyawa-senyawa ini ke dalam kuah kaldu, menjadikannya sangat kaya dan mendalam. Rasa Umami pada babat lebih kompleks dan 'berdaging' dibandingkan dengan kaldu yang hanya terbuat dari tulang, memberikan kedalaman rasa yang sulit ditiru.
Dalam banyak budaya Asia, tekstur kenyal ('Q' dalam masakan Tiongkok atau 'chewy' dalam bahasa Inggris) sangat dihargai. Babat adalah perwujudan sempurna dari tekstur ini. Ketika dimasak hingga lunak, babat tidak hancur; ia mempertahankan elastisitasnya. Sensasi mengunyah babat memberikan stimulus sensorik yang berbeda dari serat daging biasa, yang sangat dicari dalam hidangan seperti soto atau tumisan pedas.
Karena babat sendiri memiliki rasa dasar yang relatif netral setelah dibersihkan dan direbus, ia berfungsi sebagai kanvas sempurna untuk rempah-rempah yang kompleks. Babat tidak melawan rasa bumbu; sebaliknya, ia menyerapnya dan menjebaknya di antara lipatan dan jaringannya. Inilah yang membuat Babat Handuk sangat cocok untuk Gulai Padang yang kaya bumbu cabai dan kunyit, atau Babat Sarang Lebah ideal untuk kaldu sup yang lembut.
Filosofi di balik masakan babat seringkali berkisar pada konsep 'waste not, want not'—tidak ada yang terbuang. Namun, seiring waktu, babat bertransisi dari makanan kebutuhan menjadi hidangan yang dicari karena kompleksitas rasa dan teksturnya. Inilah yang menjadikan babat bukan hanya sekadar jeroan, tetapi sebuah ikon gastronomi di berbagai belahan dunia.
Babat memiliki kemampuan unik menyerap kuah kental, menjadikannya ideal untuk gulai dan soto.
Kedalaman babat memungkinkan eksplorasi kuliner yang tak terbatas. Selain gulai dan gongso, terdapat beberapa cara lain yang sangat lezat untuk mengolah babat, masing-masing menonjolkan profil rasa yang berbeda dan teknik memasak yang unik.
Hidangan ini mengutamakan kecepatan masak (setelah babat empuk) dan menonjolkan rasa pedas dari cabai hijau besar. Potongan babat yang sudah direbus diiris memanjang. Bumbu yang digunakan minimalis: irisan bawang merah, bawang putih, cabai hijau besar, cabai rawit, tomat hijau, dan sedikit kecap asin. Babat ditumis cepat dengan api besar agar cabai hijau tetap renyah dan aromanya kuat. Kecepatan memasak pada tahap tumis adalah kunci untuk menjaga tekstur babat tetap lembab dan bumbu cabai hijau tidak layu, memberikan kontras tekstur dan rasa yang menarik.
Untuk mereka yang menyukai tekstur garing, Babat Goreng Kremes menawarkan solusi. Babat yang sudah di presto hingga empuk, diungkep kembali dengan bumbu kuning (kunyit, bawang, ketumbar, garam) dan sedikit santan hingga bumbu meresap. Setelah itu, babat digoreng hingga luarnya sedikit kering dan renyah. Sisa bumbu ungkep dicampur dengan tepung kanji dan air, kemudian digoreng sebagai kremesan. Kombinasi babat yang kenyal di dalam dan renyah di luar, disajikan dengan sambal terasi, sangatlah memuaskan.
Mengadopsi pendekatan Flaki (Polandia) tetapi dengan bumbu yang lebih ringan, sup babat bening menonjolkan kualitas kaldu dan tekstur babat itu sendiri. Babat direbus dengan kaldu daging sapi yang sangat jernih bersama sayuran akar seperti wortel, seledri, dan daun bawang. Bumbu yang ditambahkan hanyalah lada, garam, dan sedikit pala. Sup ini disajikan dengan irisan babat yang tebal, menawarkan rasa yang hangat dan bersih, jauh berbeda dari gulai atau soto yang kaya rempah.
Babat balado kering mirip dengan dendeng balado. Babat yang sudah empuk diiris tipis-tipis, kemudian digoreng sebentar hingga permukaannya agak mengering. Bumbu balado (cabai, bawang, tomat, jeruk nipis) dihaluskan dan ditumis hingga matang, kemudian babat goreng dimasukkan dan diaduk cepat hingga bumbu balado menempel sempurna dan kering. Hasilnya adalah babat dengan permukaan luar yang sedikit garing dan rasa pedas asam yang sangat intens, cocok dimakan sebagai lauk pendamping nasi putih.
Variasi resep ini sekali lagi menegaskan bahwa babat adalah bahan yang sangat serbaguna. Ia mampu menyesuaikan diri dengan bumbu yang berani dan kuat (seperti gulai dan balado) maupun bumbu yang sederhana (seperti sup bening), asalkan proses pelunakannya dilakukan dengan cermat dan penuh dedikasi.
Babat adalah lebih dari sekadar jeroan; ia adalah komponen kuliner yang membawa sejarah panjang, keragaman tekstur yang kompleks, dan nilai gizi yang signifikan. Dari Babat Handuk yang tebal hingga Babat Sarang Lebah yang artistik, setiap potong babat menawarkan pengalaman kuliner yang berbeda.
Perjalanan babat dari potongan ekonomi menjadi hidangan mewah, baik dalam soto Betawi yang creamy maupun Trippa alla Romana yang berkelas, menunjukkan universalitas dan daya tarik abadi dari bahan ini. Kunci untuk menghargai babat sepenuhnya terletak pada penguasaan teknik pengolahan: kesabaran dalam pembersihan dan ketelitian dalam proses pelunakan. Dengan perlakuan yang tepat, babat bertransformasi menjadi hidangan yang memuaskan secara rasa, tekstur, dan kandungan nutrisi.
Oleh karena itu, babat terus memegang tempat yang tak tergantikan dalam dapur-dapur tradisional dan modern di seluruh dunia, membuktikan bahwa potongan-potongan yang paling sederhana sekalipun dapat menjadi karya agung gastronomi.