Ayat-Ayat Al-Qur'an dan Hukum Fara'id tentang Warisan

Hukum warisan, atau dalam istilah fikih dikenal sebagai Fara'id atau Ilmu al-Mawarith, merupakan salah satu pilar utama dalam tatanan sosial dan ekonomi Islam. Kompleksitasnya yang terperinci mencerminkan keadilan ilahi yang memastikan setiap anggota keluarga menerima bagian yang telah ditetapkan secara pasti, menutup celah bagi praktik warisan yang bias atau diskriminatif yang umum terjadi pada masa pra-Islam.

Pertanyaan mendasar mengenai landasan hukum warisan dalam Islam selalu merujuk pada sumber utama syariat. Secara eksplisit, ayat yang berbicara tentang masalah warisan adalah empat ayat kunci dalam Surah An-Nisa (Ayat 7, 11, 12, dan 176). Ayat-ayat ini bukan sekadar rekomendasi, melainkan ketetapan wajib (fardh) yang mengatur distribusi harta peninggalan (tirkah) dengan perhitungan yang sangat matematis dan spesifik.

I. Landasan Utama Hukum Warisan: Surah An-Nisa

Surah An-Nisa (Wanita) secara keseluruhan dikenal sebagai surah yang banyak memuat regulasi terkait hak-hak perempuan, anak yatim, dan struktur keluarga. Di dalamnya terdapat rincian mengenai pembagian harta warisan yang mengikat semua umat Muslim.

A. Ayat Pembuka Warisan: An-Nisa Ayat 7

Ayat ini berfungsi sebagai deklarasi umum bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki hak atas harta peninggalan. Ayat ini mengikis tradisi jahiliyah yang hanya memberikan warisan kepada laki-laki dewasa yang mampu berperang.

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا
Artinya: "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan (fardhan)."

Frasa kunci di sini adalah "nashiban mafrudhan" (bagian yang telah ditetapkan). Ini menegaskan bahwa hak warisan bukanlah hasil negosiasi atau pemberian, melainkan kewajiban yang telah ditentukan porsinya oleh Allah SWT.

Timbangan Keadilan

B. Ayat Sentral Pembagian: An-Nisa Ayat 11

Ayat ini adalah inti dari Fara'id, menetapkan porsi warisan untuk anak, orang tua, dan hubungan anak dengan orang tua. Ayat 11 menetapkan tiga aturan dasar: hubungan vertikal (anak vs. orang tua), perbandingan gender (laki-laki vs. perempuan), dan porsi orang tua jika pewaris memiliki anak.

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: "Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah (semua harta). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagi masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan (fariidhah) dari Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."

Analisis Mendalam Ayat 11

Ayat ini memuat empat skenario utama pembagian yang menjadi dasar Ilmu Fara'id:

1. Hukum Anak (Laki-laki dan Perempuan)
2. Hukum Kedua Orang Tua (Ayah dan Ibu)

Porsi orang tua bergantung pada keberadaan anak (atau cucu) dari pewaris:

3. Prioritas Pengeluaran (Tarteeb)

Ayat 11 secara tegas mengingatkan bahwa pembagian warisan baru dilakukan "min ba'di washiyyatin yusha biha aw daynin" (setelah dipenuhi wasiat atau utang). Ini menetapkan urutan prioritas yang tidak boleh dilanggar:

  1. Biaya pengurusan jenazah (Tajhiz).
  2. Pelunasan Utang (Dayn), baik kepada Allah (misal nazar) maupun kepada manusia.
  3. Pelaksanaan Wasiat (Wasiyyah), maksimal 1/3 dari sisa harta setelah utang dibayar, dan tidak boleh kepada ahli waris yang sudah ditetapkan.
  4. Pembagian Warisan (Fara'id) kepada Ahli Waris.
4. Penutup dan Penguatan

Ayat ini ditutup dengan penegasan bahwa manusia tidak mengetahui siapa yang paling bermanfaat bagi mereka di masa depan ("kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagimu"), menunjukkan bahwa penetapan porsi ini murni merupakan fariidhah (ketetapan) dari Allah, yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.

C. Hukum Warisan Pasangan dan Saudara Seibu: An-Nisa Ayat 12

Ayat 12 melengkapi Ayat 11 dengan merinci hak waris bagi suami, istri, dan saudara dari jalur ibu (al-Kalah dari jalur ibu).

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم ۚ مِّنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِن كَانُوٓا أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَآءُ فِى الثُّلُثِ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: "Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan mereka, setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan anak (disebut Kalalah), dan dia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketetapan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun."

Rincian Pembagian Ayat 12

1. Hukum Warisan Suami (dari Istri)
2. Hukum Warisan Istri (dari Suami)

Dalam kedua kasus di atas, keberadaan anak (atau cucu) bertindak sebagai hajb nuqsan (penghalang yang mengurangi bagian) bagi pasangan.

3. Hukum Saudara Seibu (Kalalah)

Bagian kedua ayat ini menjelaskan konsep Kalalah, yaitu pewaris yang meninggal tanpa meninggalkan keturunan (anak, cucu, dst.) dan tanpa meninggalkan ushul (orang tua, kakek, dst.).

D. Ayat Penutup Warisan: An-Nisa Ayat 176 (Hukum Al-Kalalah)

Ayat terakhir Surah An-Nisa, sering disebut Ayat Kalalah, memberikan ketentuan bagi pewaris yang meninggal Kalalah tetapi memiliki saudara kandung (seayah dan seibu) atau saudara sebapak.

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang Kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang Kalalah, (yaitu) jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan yang mewarisinya adalah saudara perempuan saja, maka bagi saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. Dan jika ia (saudara perempuan itu) meninggal dan tidak mempunyai anak, maka saudara laki-lakinya mewarisi seluruh (harta)nya. Dan jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan.' Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Ayat ini menetapkan hukum warisan untuk saudara kandung atau sebapak (bukan seibu, yang telah diatur di Ayat 12) dalam kasus Kalalah:

II. Klasifikasi Ahli Waris (Ashab al-Furud dan Asabah)

Berdasarkan rincian yang diberikan oleh ayat-ayat utama di atas, para ulama Fiqh membagi ahli waris menjadi beberapa kategori utama untuk mempermudah perhitungan (Ilmu al-Hisab).

A. Ashab al-Furud (Penerima Bagian Tertentu)

Mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur'an (1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6). Jumlah ahli waris yang termasuk kategori ini adalah dua belas orang (empat laki-laki dan delapan perempuan).

Porsi-porsi Tetap dan Penerimanya

Pembahasan detail mengenai Ashab al-Furud memerlukan pemahaman yang sangat teliti, sebab sedikit saja kekeliruan dalam identifikasi dapat mengubah keseluruhan nisbah pembagian.

1. Bagian Setengah (1/2)

Diberikan kepada lima kelompok, dengan syarat tidak ada penghalang (Hajb) dan tidak ada yang sederajat dengannya:

2. Bagian Seperempat (1/4)

Diberikan kepada dua kelompok:

3. Bagian Seperdelapan (1/8)

Diberikan kepada satu kelompok saja:

4. Bagian Dua Pertiga (2/3)

Diberikan kepada empat kelompok, jika mereka berjumlah dua orang atau lebih dan memenuhi syarat tertentu:

5. Bagian Sepertiga (1/3)

Diberikan kepada dua kelompok:

6. Bagian Seperenam (1/6)

Diberikan kepada tujuh kelompok, yang biasanya berfungsi sebagai tambahan bagi mereka yang memiliki keterbatasan penghalang, atau yang mendapatkan bagian minimal:

B. Asabah (Penerima Sisa Harta)

Asabah adalah ahli waris yang mengambil sisa harta setelah Ashab al-Furud menerima bagiannya. Jika hanya ada Asabah, maka mereka mengambil seluruh harta. Ahli waris Asabah terbagi menjadi tiga jenis, yang urutannya sangat penting:

1. Asabah Bi an-Nafs (Asabah Karena Diri Sendiri)

Mereka adalah laki-laki yang hubungannya dengan pewaris murni (tidak disisipi perempuan). Urutan keutamaan mereka sangat ketat, dikenal sebagai Jihat al-Arba' (Empat Arah):

  1. Anak Kandung: Anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dst.
  2. Ushul (Asal/Orang Tua): Ayah, kakek (ayah dari ayah), dst.
  3. Hawasyi (Samping/Saudara): Saudara kandung laki-laki, saudara sebapak laki-laki, anak dari saudara kandung laki-laki, dst.
  4. Wala' (Memerdekakan Budak): Saat ini jarang relevan.

2. Asabah Bi al-Ghair (Asabah Karena Orang Lain)

Ahli waris perempuan yang menjadi Asabah karena didampingi oleh ahli waris laki-laki yang sederajat. Mereka adalah:

Dalam semua kasus ini, pembagiannya adalah 2:1 (laki-laki dua kali bagian perempuan), sesuai dengan ketetapan Ayat 11 dan 176.

3. Asabah Ma’a al-Ghair (Asabah Bersama Orang Lain)

Hanya satu kasus: Saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi Asabah karena ada anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak laki-laki) dari pewaris. Mereka mengambil sisa harta setelah anak perempuan tersebut mengambil bagiannya (1/2 atau 2/3).

III. Isu-Isu Kritis dalam Penerapan Fara'id

Meskipun ayat-ayat Al-Qur'an sangat jelas, penerapan Fara'id dalam praktik membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai konsep penghalang (Hajb) dan penyesuaian perhitungan (Aul dan Radd).

A. Konsep Penghalang (Hajb)

Hajb adalah kondisi di mana keberadaan satu ahli waris menghilangkan atau mengurangi bagian ahli waris lainnya. Ada dua jenis utama:

1. Hajb Hirman (Penghalangan Total)

Ahli waris dihalangi sepenuhnya untuk mendapatkan warisan. Aturan dasarnya adalah: yang lebih dekat hubungannya, menghalangi yang lebih jauh. Contoh: Keberadaan Ayah menghalangi Kakek. Keberadaan Anak Laki-laki menghalangi Cucu Laki-laki dan semua saudara kandung.

Hanya tiga kelompok ahli waris yang tidak pernah bisa dihalangi total, kecuali oleh sebab-sebab di luar kekerabatan (seperti pembunuhan): suami, istri, dan kedua orang tua.

2. Hajb Nuqsan (Penghalangan Parsial/Pengurangan)

Bagian ahli waris berkurang karena keberadaan ahli waris lain. Contoh: Porsi Suami berkurang dari 1/2 menjadi 1/4 karena adanya anak. Porsi Ibu berkurang dari 1/3 menjadi 1/6 karena adanya anak atau dua saudara atau lebih.

B. Penyesuaian Matematika: Aul dan Radd

Ilmu Fara'id tidak hanya tentang penetapan bagian, tetapi juga memastikan total bagian yang ditetapkan tersebut selalu sama dengan keseluruhan harta (yaitu, berjumlah 1).

1. Masalah Aul (Defisit/Penambahan)

Aul terjadi ketika jumlah total bagian yang ditetapkan (Ashab al-Furud) melebihi 1 (misalnya, 6/6 menjadi 8/6 atau 7/6). Dalam kasus Aul, seluruh bagian ahli waris yang ditetapkan dikurangi secara proporsional. Masalah Aul pertama kali muncul di masa Khalifah Umar bin Khattab dan diselesaikan dengan mengurangi nilai denominator secara proporsional, di mana semua ahli waris yang ditetapkan menanggung defisit tersebut. Konsep Aul ini adalah bukti bahwa syariat Islam menyediakan solusi matematis yang adil bahkan dalam skenario perhitungan yang paling kompleks.

2. Masalah Radd (Surplus/Pengembalian)

Radd adalah lawan dari Aul, terjadi ketika jumlah total bagian yang ditetapkan (Ashab al-Furud) kurang dari 1 (misalnya, totalnya hanya 5/6). Sisa harta (surplus) ini kemudian dikembalikan kepada ahli waris Ashab al-Furud secara proporsional (kecuali suami/istri dalam pandangan mayoritas ulama Syafi’i, meskipun pandangan kontemporer modern membolehkan radd kepada pasangan jika tidak ada ahli waris lain).

IV. Batasan dan Ketentuan Tambahan (Wasiat dan Utang)

Ayat 11 dan 12 menekankan bahwa pembagian warisan selalu dilakukan setelah utang dan wasiat dipenuhi. Hal ini menjamin bahwa hak-hak pihak lain yang terkait dengan harta pewaris diselesaikan sebelum hak ahli waris dipenuhi. Ketentuan ini menunjukkan betapa Islam menjunjung tinggi pemenuhan janji dan tanggung jawab finansial.

A. Utang (Dayn)

Utang adalah prioritas tertinggi. Ini mencakup semua kewajiban finansial yang belum terselesaikan oleh pewaris, termasuk hutang kepada individu, zakat, fidyah, hingga biaya haji yang wajib namun belum terlaksana (jika memungkinkan).

B. Wasiat (Wasiyyah)

Wasiat adalah pesan atau hibah yang ditinggalkan pewaris untuk dibayarkan setelah kematiannya. Hukum wasiat dibatasi oleh tiga syarat utama yang disepakati ulama berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW:

  1. Batasan Nilai: Wasiat tidak boleh melebihi sepertiga (1/3) dari total harta yang tersisa setelah utang dan biaya jenazah dibayar. Ini untuk melindungi hak ahli waris yang ditetapkan Allah.
  2. Batasan Penerima: Wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah ditetapkan porsinya (sebab hak mereka sudah dijamin oleh Al-Qur'an). Kecuali, jika semua ahli waris menyetujuinya setelah pewaris meninggal.
  3. Tujuan: Wasiat harus bertujuan baik dan sah (misalnya, untuk amal atau kerabat yang tidak termasuk ahli waris).

Ketaatan pada batasan 1/3 ini merupakan implementasi langsung dari firman Allah dalam Ayat 12, yang memerintahkan agar wasiat tidak menyusahkan ahli waris (ghaira mudharrin).

V. Hikmah dan Dimensi Keadilan dalam Ayat Warisan

Sistem Fara'id yang diturunkan melalui ayat-ayat Al-Qur'an sarat dengan keadilan yang mendalam, membuktikan bahwa penetapan ilahi melampaui keadilan sosial yang bisa dibuat manusia.

A. Menghilangkan Bias Pra-Islam

Sebelum Islam, warisan didasarkan pada kekuatan dan kemampuan membela suku, sehingga perempuan, anak-anak, dan orang tua yang lemah sering diabaikan. Ayat 7 secara tegas memastikan bahwa perempuan, anak-anak, dan mereka yang lemah memiliki hak yang sama, meskipun porsinya berbeda sesuai peran fungsional mereka.

B. Keadilan Fungsional (Rasio 2:1)

Pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan (pada anak dan saudara) sering disalahpahami sebagai diskriminasi. Namun, hal ini harus dilihat dalam konteks kewajiban ekonomi Islam secara keseluruhan:

  1. Laki-laki (suami/ayah) wajib menggunakan warisannya untuk menafkahi keluarga.
  2. Perempuan (anak/saudara) menerima warisan murni sebagai hak milik pribadi, tanpa kewajiban menafkahi siapa pun, bahkan dirinya sendiri (kewajiban nafkah tetap ada pada suaminya atau wali laki-lakinya).

Sehingga, meskipun menerima bagian nominal yang lebih kecil, secara substansi dan beban finansial, perempuan seringkali berada dalam posisi yang lebih diuntungkan karena terbebas dari tanggung jawab nafkah wajib.

C. Kejelasan dan Kepastian Hukum

Fara'id adalah satu-satunya ranah hukum sipil yang porsinya diatur sedemikian detail oleh Al-Qur'an. Hal ini bertujuan untuk menghindari perselisihan dan perpecahan keluarga. Dengan menetapkan fraksi yang jelas (1/2, 1/4, 1/6, dst.), Islam menghilangkan ruang untuk penafsiran subjektif atau kehendak pribadi pewaris yang mungkin bias.

Struktur Ahli Waris Pewaris Anak P Anak L Ibu Ayah Pasangan

VI. Hukum Lanjutan dan Studi Kasus Kritis (Tatkala Fara'id Bertemu Realita)

Untuk mencapai kedalaman pembahasan yang komprehensif, penting untuk menyentuh kasus-kasus khusus dan masalah-masalah kontemporer yang muncul sebagai hasil dari implementasi ayat-ayat warisan, yang kemudian dijabarkan oleh Fiqh.

A. Warisan Janin (Al-Haml)

Salah satu kasus yang memerlukan penundaan pembagian harta adalah keberadaan janin. Jika istri pewaris sedang hamil, pembagian ditunda hingga janin lahir. Jika janin lahir hidup (walaupun hanya sesaat) dan terbukti ahli waris, maka ia berhak mendapatkan bagian.

B. Hukum Pewarisan Orang yang Hilang (Mafqud)

Jika seorang ahli waris hilang dalam waktu lama, harta warisan pewaris lain yang seharusnya ia terima ditahan (dibekukan) hingga status kematiannya ditetapkan oleh pengadilan (biasanya setelah jangka waktu tertentu, seperti empat tahun, tujuh tahun, atau sembilan puluh tahun, tergantung mazhab dan regulasi negara). Ahli waris lain hanya menerima bagian yang pasti mereka terima, terlepas dari apakah orang yang hilang itu hidup atau mati.

C. Mawani’ul Irts (Penghalang Warisan)

Berdasarkan hadis dan konsensus ulama, ada beberapa sebab yang menghalangi seseorang, meskipun memiliki hubungan darah, untuk mendapatkan warisan. Ini merupakan filter moral dan hukum untuk menjaga integritas sistem warisan.

1. Pembunuhan (Qatl)

Siapa pun yang membunuh pewaris (secara sengaja atau tidak sengaja, kecuali ulama berbeda pendapat mengenai pembunuhan tidak sengaja) dihalangi total dari warisan. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Pembunuh tidak mewarisi." Tujuan utamanya adalah untuk mencegah seseorang mengambil nyawa demi mempercepat perolehan harta.

2. Perbedaan Agama (Ikhtilaf ad-Diin)

Mayoritas ulama berpegangan pada hadis Nabi SAW: "Seorang Muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Muslim." Ini adalah penghalang total. Namun, hukum wasiat masih memungkinkan bagi seorang Muslim untuk memberikan wasiat kepada kerabat non-Muslim, selama tidak melebihi 1/3 harta.

3. Perbudakan (Al-Riqq)

Meskipun praktik perbudakan sudah tidak relevan, secara hukum Fiqh, seorang budak tidak memiliki hak waris karena ia tidak memiliki hak kepemilikan atas harta.

D. Kasus Dzhawu al-Arham (Kerabat Jauh)

Ahli waris yang paling utama adalah Ashab al-Furud dan Asabah. Namun, jika tidak ada satupun dari mereka yang hidup, warisan diserahkan kepada Dzhawu al-Arham (kerabat yang memiliki hubungan darah tetapi tidak termasuk dalam dua kategori utama, seperti cucu dari anak perempuan, bibi/paman dari jalur ibu, dan kerabat jauh lainnya). Pembagian kepada Dzhawu al-Arham diatur oleh Fiqh, dengan berbagai metode pembagian (Tanzil, Ahl ar-Rahmi, dll.) yang bertujuan mencari keadilan terdekat dengan ruh Al-Qur'an.

VII. Integrasi Fara'id dalam Hukum Kontemporer

Di banyak negara mayoritas Muslim, ayat-ayat warisan Al-Qur'an telah diintegrasikan menjadi undang-undang perdata atau undang-undang keluarga. Meskipun sistem ini bersifat ilahi, implementasi proseduralnya disesuaikan dengan kebutuhan administrasi modern.

A. Peran Pengadilan Agama

Di Indonesia dan banyak negara lain, pengadilan agama memiliki peran vital dalam menetapkan Fara'idh (ketetapan warisan) resmi. Proses ini mencakup:

  1. Verifikasi harta peninggalan (Tirkah).
  2. Identifikasi ahli waris yang sah dan tidak terhalang.
  3. Perhitungan saham (bagian) berdasarkan ayat-ayat An-Nisa, Hadis, dan Ijma'.

B. Masalah Hibah dan Harta Bersama

Pengelolaan warisan modern seringkali dipengaruhi oleh konsep harta bersama (harta gono-gini, atau al-Kashb al-Musytarak) dalam pernikahan. Hukum Fara'id hanya berlaku untuk harta yang murni milik pewaris saat meninggal. Oleh karena itu, langkah pertama dalam pembagian warisan adalah memisahkan dan mendistribusikan hak harta bersama yang menjadi milik pasangan hidup sebelum sisa harta (Tirkah) dibagi berdasarkan ayat Fara'id.

C. Pentingnya Pendidikan Fara'id

Ketidaktahuan terhadap rincian ayat-ayat warisan seringkali menjadi penyebab utama konflik keluarga. Ayat 11 ditutup dengan peringatan bahwa manusia tidak tahu siapa yang paling bermanfaat bagi mereka, mendorong ketaatan mutlak terhadap ketetapan Allah. Oleh karena itu, pendidikan Ilmu al-Mawarith adalah keharusan untuk memastikan keadilan yang dirancang oleh syariat dapat terealisasi sepenuhnya.

Secara keseluruhan, ayat yang berbicara tentang masalah warisan adalah landasan hukum paling terperinci dan adil yang pernah diturunkan, yang tidak hanya mengatur pembagian materi tetapi juga menegakkan hak-hak sosial dan keadilan finansial di antara anggota keluarga, memastikan stabilitas dan keharmonisan masyarakat Muslim.

🏠 Kembali ke Homepage