Tauhid, atau konsep keesaan Allah, adalah poros utama ajaran Islam dan merupakan inti dari seluruh risalah kenabian. Ia adalah pondasi yang menentukan keabsahan segala bentuk ibadah dan amal perbuatan seorang hamba. Al-Qur'an, sebagai petunjuk abadi, sarat dengan ayat-ayat yang secara eksplisit maupun implisit menegaskan hakikat keesaan ini, memisahkannya dari segala bentuk kesyirikan.
Kajian ini akan menguraikan secara mendalam ayat-ayat pilihan dari tiga pilar utama Tauhid: Tauhid Rububiyah (Keesaan dalam Penciptaan), Tauhid Uluhiyah (Keesaan dalam Peribadatan), dan Tauhid Asma wa Sifat (Keesaan dalam Nama dan Sifat).
Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Penguasa, Pengatur, dan Pemberi rezeki bagi seluruh alam semesta. Ini adalah tingkat Tauhid yang secara naluriah diakui oleh hampir seluruh manusia, bahkan oleh kaum musyrikin Mekkah di masa Nabi Muhammad ﷺ, meskipun mereka gagal mengaplikasikannya pada Uluhiyah.
"Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Memelihara atas segala sesuatu."
Ayat ini adalah deklarasi universal tentang Tauhid Rububiyah yang tidak menyisakan ruang bagi keraguan. Frasa "خَٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍ" (Pencipta segala sesuatu) mencakup segala wujud, baik yang tampak maupun yang gaib, yang besar maupun yang kecil, yang hidup maupun yang mati. Implikasinya sangat luas: jika Allah menciptakan segala sesuatu, maka tidak ada entitas lain yang memiliki hak sejati untuk mencipta, apalagi berbagi kekuasaan dalam mengatur ciptaan tersebut.
Pilar Rububiyah yang ditegaskan ayat ini meliputi tiga dimensi utama. Pertama, dimensi Al-Khalq (Penciptaan). Tidak ada penciptaan yang bersifat hakiki selain dari Allah. Manusia hanya mampu melakukan transformasi atau kreasi, bukan penciptaan dari ketiadaan (ex nihilo). Kedua, dimensi Al-Mulk (Kepemilikan). Karena Dia penciptanya, maka kepemilikan mutlak atas alam semesta adalah milik-Nya, dan ini meniadakan klaim kepemilikan yang independen oleh makhluk. Ketiga, dimensi At-Tadbir (Pengaturan/Manajemen). Allah adalah وَكِيلٌ, Maha Memelihara dan Pengurus segala urusan. Pengaturan ini mencakup hukum alam semesta (kosmos), takdir manusia, rezeki, dan hidup-mati.
Kesempurnaan Rububiyah Allah menuntut pengakuan bahwa keteraturan tata surya, siklus air, kelahiran, dan kematian—semua itu—berada di bawah kendali tunggal-Nya, tanpa ada sekutu, pembantu, atau konsultan. Pengakuan terhadap Rububiyah ini wajib menjadi pintu gerbang menuju Tauhid Uluhiyah, karena mustahil menyembah selain Dzat yang memiliki kekuatan mutlak untuk mencipta dan memelihara.
"Katakanlah, 'Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?' Maka mereka akan menjawab, 'Allah.' Maka katakanlah, 'Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?'"
Ayat ini menggunakan metode interogasi retoris untuk memaksa pengakuan Rububiyah dari hati yang paling ingkar sekalipun. Allah menanyakan lima fungsi fundamental ketuhanan (Rububiyah): rezeki, penguasaan indra, kuasa atas kehidupan dan kematian, serta pengaturan alam semesta. Jawaban yang diharapkan, bahkan dari kaum musyrikin, adalah "Allah."
Poin krusial dari ayat ini adalah jembatan antara Rububiyah dan Uluhiyah. Setelah mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berkuasa atas segala hal yang esensial bagi eksistensi mereka, pertanyaannya kemudian adalah: mengapa pengakuan tersebut tidak membuahkan ketaatan dan peribadatan (Taqwa)? Ini menunjukkan bahwa pengakuan Rububiyah tanpa aplikasi Uluhiyah adalah pengakuan yang tidak sempurna dan tidak menyelamatkan. Mengakui bahwa Dia adalah Pencipta berarti mengakui bahwa hanya Dia yang layak disembah.
Dampak teologis dari ayat ini adalah penolakan total terhadap Syirk dalam Tadbir (kemusyrikan dalam pengaturan). Menganggap bahwa wali, nabi, atau roh dapat mengatur hujan, menahan penyakit, atau mengubah takdir, adalah bentuk kemusyrikan yang secara langsung bertentangan dengan Tauhid Rububiyah yang dijelaskan dalam ayat ini.
Tauhid Uluhiyah (disebut juga Tauhid Ibadah) adalah bentuk Tauhid yang paling ditekankan dalam Qur'an, karena inilah yang menjadi titik perselisihan utama antara para nabi dan umat mereka. Ia adalah pengkhususan seluruh bentuk ibadah (doa, nazar, tawakal, takut, berharap, cinta) hanya kepada Allah semata, menolak segala bentuk sesembahan lain.
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan."
Ayat ini, yang dibaca berulang kali dalam setiap salat, adalah manifesto Tauhid Uluhiyah. Tata bahasa Arab dalam frasa "إِيَّاكَ" (hanya kepada Engkau) yang diletakkan di awal kalimat (sebelum kata kerja "نَعْبُدُ" - kami menyembah) berfungsi sebagai qasr wa hasr (pembatasan dan pengkhususan). Artinya, tindakan ibadah dan meminta pertolongan dibatasi hanya untuk Allah semata.
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini membagi hakikat hubungan hamba dengan Tuhannya menjadi dua: Ibadah (penyembahan) dan Isti’anah (memohon pertolongan). Ibadah adalah tujuan penciptaan, sedangkan Isti’anah adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan mengkhususkan keduanya kepada Allah, ayat ini menafikan segala bentuk perantara atau sekutu dalam ritual peribadatan dan dalam memohon bantuan yang hanya mampu diberikan oleh Allah (seperti ampunan, hidayah, atau perlindungan dari azab).
Tauhid Uluhiyah yang terkandung di sini menolak praktik syirik dalam ibadah, baik itu syirik besar (seperti menyembah patung atau beribadah kepada selain Allah) maupun syirik kecil (seperti riya' – beribadah karena ingin dilihat manusia). Setiap gerakan, perkataan, dan niat dalam ibadah harus murni ditujukan kepada Wajah Allah semata.
"Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat, agar (menyerukan), 'Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut (sesembahan selain Allah).'"
Ayat ini menetapkan bahwa misi utama semua nabi, dari Nuh hingga Muhammad ﷺ, adalah seruan kepada Tauhid Uluhiyah. Ini menunjukkan bahwa Tauhid bukan sekadar konsep, tetapi perintah praktis yang harus diwujudkan dalam kehidupan. Inti dakwah mereka adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan:
Thaghut di sini mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah, baik itu berhala, pemimpin zalim yang menuntut ketaatan mutlak, atau bahkan hawa nafsu yang diagungkan melebihi perintah Allah. Tauhid Uluhiyah menuntut penolakan total terhadap semua sistem dan entitas yang mengklaim hak ilahiah atau peribadatan. Ayat ini memberikan landasan teologis bagi kalimat Laa Ilaaha Illa Allah, yang mengandung penolakan (Laa Ilaaha) dan penetapan (Illa Allah).
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).'"
Ayat ini membawa Tauhid Uluhiyah dari ranah ritual ke ranah kehidupan sehari-hari (Rububiyah yang diimplikasikan pada Uluhiyah). Nabi Muhammad ﷺ diperintahkan untuk mendeklarasikan bahwa seluruh aspek keberadaannya—dari ritual formal (صَلَاتِى وَنُسُكِى), hingga siklus kehidupan (وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى)—adalah persembahan total kepada Allah.
Makna لَا شَرِيكَ لَهُۥ (Tidak ada sekutu bagi-Nya) menegaskan kembali prinsip peniadaan sekutu (Nafyi) dalam ibadah. Tauhid Uluhiyah yang murni menuntut al-Ikhlas (keikhlasan), di mana niat tidak bercampur dengan kepentingan duniawi, pujian manusia, atau takut pada selain Allah. Ini adalah penyerahan total, menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan pusat orientasi dalam setiap tindakan besar maupun kecil.
Tauhid Asma wa Sifat adalah keyakinan bahwa Allah itu tunggal dalam Nama-nama-Nya yang Maha Indah (Asmaul Husna) dan Sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi, sebagaimana yang Dia tetapkan untuk diri-Nya dalam Qur'an dan Sunnah, tanpa melakukan empat hal: Ta’til (menolak sifat), Tahrif (mengubah makna), Takyif (mempertanyakan bagaimana wujud sifat), atau Tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat."
Ayat ini adalah fondasi utama Tauhid Asma wa Sifat, dikenal sebagai ayat tanzih (pensucian). Frasa "لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ" menetapkan prinsip keunikan mutlak (kemustahilan penyerupaan/Tamtsil). Tidak ada makhluk, konsep, atau entitas apapun yang dapat menyamai hakikat Dzat, Nama, atau Sifat Allah. Allah itu berbeda total (Mukhalafatuhu lil Hawadith) dari ciptaan-Nya.
Namun, ayat ini tidak berhenti pada penolakan. Segera setelah meniadakan keserupaan, Allah menetapkan dua sifat-Nya: ٱلسَّمِيعُ (Maha Mendengar) dan ٱلْبَصِيرُ (Maha Melihat). Penggabungan penolakan (Nafyi) dan penetapan (Itsbat) ini mengajarkan metodologi yang benar dalam Tauhid Asma wa Sifat:
Ayat ini membantah dua ekstremitas teologis: Mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Mujassimah) dan mereka yang menolak semua sifat Allah (Mu’attilah). Jalan tengah (Manhaj Salaf) adalah menetapkan sifat tanpa menanyakan 'bagaimana' (Takyif) dan tanpa menyerupakan (Tamtsil).
"Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."
Ayat ini secara langsung memerintahkan penggunaan Asmaul Husna dalam doa dan menegaskan bahwa nama-nama tersebut adalah milik eksklusif Allah. Ini mengajarkan bahwa sifat-sifat Allah adalah sempurna pada tingkat tertinggi (Al-Husna). Misalnya, Allah tidak sekadar berkuasa, tetapi Al-Qadir (Maha Kuasa); Dia tidak sekadar mengetahui, tetapi Al-Alim (Maha Mengetahui).
Perintah "فَٱدْعُوهُ بِهَا" (bermohonlah kepada-Nya dengan nama-nama itu) menghubungkan Tauhid Asma wa Sifat dengan Tauhid Uluhiyah, menunjukkan bahwa pengakuan terhadap sifat-sifat Allah adalah prasyarat untuk ibadah yang benar. Ketika kita berdoa, kita harus menyebut nama yang paling relevan: meminta ampunan dengan menyebut Al-Ghafur (Maha Pengampun) atau rezeki dengan menyebut Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki).
Ayat ini juga memberikan peringatan keras terhadap Ilhad (penyimpangan) dalam nama-nama Allah. Ilhad dapat berbentuk:
Beberapa ayat dalam Al-Qur'an memiliki kedalaman luar biasa karena berhasil mengintegrasikan ketiga jenis Tauhid—Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat—dalam satu kesatuan, menjadikan ayat tersebut sebagai pernyataan Tauhid yang paling agung dan sempurna.
"Katakanlah, 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.'"
Surah ini dijuluki sepertiga Qur'an karena kemurniannya dalam menjelaskan Tauhid, tanpa membahas hukum atau kisah. Ia adalah esensi teologis Islam:
1. هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (Dialah Allah, Yang Maha Esa): Ayat ini menetapkan Tauhid Uluhiyah. Penggunaan kata Ahad (satu, tunggal, tidak terbagi) jauh lebih kuat daripada Wahid (satu dalam hitungan). Ahad menolak segala bentuk kemusyrikan internal (pecahan dalam Dzat) atau eksternal (sekutu dalam sifat atau perbuatan). Dia tidak memiliki bagian, lawan, atau sekutu.
2. ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ (Allah adalah tempat bergantung segala sesuatu): Ini menegaskan Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah secara bersamaan. Ash-Shamad berarti Dzat yang sempurna dalam sifat-sifat-Nya dan tempat segala makhluk bergantung untuk segala kebutuhan mereka. Semua makhluk membutuhkan-Nya, tetapi Dia tidak membutuhkan siapapun. Ini adalah deskripsi Rububiyah yang menuntut Uluhiyah; karena hanya Dia yang Mandiri dan tempat bergantung, hanya Dia yang layak disembah.
3. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan): Ini adalah penolakan terhadap keyakinan Syirik yang paling kuno, seperti Trinitas atau anggapan bahwa malaikat atau jin adalah anak Allah. Ini adalah penegasan kuat terhadap Tauhid Asma wa Sifat, menolak sifat-sifat makhluk (memiliki keturunan) dan menegaskan kesempurnaan dan kemandirian Dzat-Nya.
4. وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ (Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia): Ini adalah penegasan kembali Tauhid Asma wa Sifat (Tanzih). Kata Kufuwan berarti setara, sebanding, atau sama derajatnya. Ini menolak Tamtsil (penyerupaan) secara definitif. Sifat-sifat-Nya sempurna, tunggal, dan tidak dapat dibandingkan atau disandingkan dengan sifat-sifat makhluk.
Keseluruhan surah ini memberikan pemahaman yang ringkas dan padat tentang apa itu Tuhan yang sejati, menjauhkan segala bentuk antropomorfisme dan pluralisme dalam konsep Ketuhanan.
"Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan)-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Maha Tinggi, Maha Besar."
Ayat Al-Kursi adalah ayat teragung dalam Al-Qur'an karena mencakup semua aspek Tauhid dengan menyebutkan sifat-sifat ilahiah yang tidak dimiliki oleh entitas manapun.
1. Tauhid Uluhiyah (Keesaan Ibadah):
Dimulai dengan deklarasi fundamental: "ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ" (Tidak ada tuhan selain Dia). Ini adalah inti dari Uluhiyah, yang menuntut ibadah murni dan peniadaan segala sekutu.
2. Tauhid Asma wa Sifat (Keesaan Sifat):
3. Tauhid Rububiyah (Keesaan Penguasaan):
Ayat Al-Kursi secara efektif membasmi segala bentuk syirik dengan menegaskan bahwa tiada satu pun entitas yang memiliki gabungan kekuasaan, keabadian, kemandirian, dan ilmu yang sempurna selain Allah.
"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah rusak binasa. Mahasuci Allah, Tuhan yang memiliki Arsy, dari apa yang mereka sifatkan."
Ayat ini menyajikan argumen rasional (logika burhan at-tamaanuk) yang membuktikan keesaan Allah melalui keteraturan kosmos. Jika ada dua atau lebih tuhan yang memiliki kekuatan dan kehendak yang independen, pasti akan terjadi konflik abadi, dan alam semesta akan hancur lebur karena pertentangan kehendak (fasadatā).
Keteraturan sempurna yang kita saksikan dalam Rububiyah (gerak planet, hukum fisika, siklus kehidupan) adalah bukti nyata bahwa hanya ada satu Pengatur yang Maha Bijaksana dan kehendak-Nya yang Tunggal yang berlaku. Ayat ini secara mendalam mengaitkan Tauhid Rububiyah (keteraturan alam) dengan Tauhid Uluhiyah (hanya Satu yang layak disembah) dan Tauhid Asma wa Sifat (pensucian Allah dari sifat-sifat kekurangan, konflik, atau kegagalan).
Kesempurnaan pengaturan alam semesta meniadakan kemungkinan adanya sekutu dalam kekuasaan. Ini adalah bukti terkuat bahwa alam semesta tidak diatur oleh demokrasi para dewa, melainkan oleh Monarki Ilahi yang absolut dan Maha Esa.
Ayat-ayat Al-Qur'an tidak hanya mengajarkan konsep keesaan, tetapi juga menuntut konsekuensi praktis dari pengakuan tersebut. Tauhid harus termanifestasi dalam segala aspek kehidupan seorang muslim, dari rasa takut hingga harapan.
"Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya."
Tawakal (menyerahkan segala urusan setelah berikhtiar) adalah salah satu ibadah hati yang paling fundamental dan merupakan puncak dari Tauhid Uluhiyah. Ayat ini mengajarkan bahwa ketergantungan sejati hanya boleh diarahkan kepada Allah, karena Dialah ٱلْحَسْبُ (Yang Mencukupi) secara mutlak.
Pengkhususan tawakal kepada Allah menegaskan penolakan terhadap tawakal kepada makhluk (manusia, harta, jabatan, atau jimat). Praktik syirik seringkali berakar dari ketidaksempurnaan tawakal; seseorang yang takut pada kemiskinan lalu melakukan praktik haram, atau seseorang yang takut pada penyakit lalu mencari pertolongan kepada dukun, telah merusak Tauhid Tawakal mereka.
Tauhid yang sempurna menuntut keyakinan bahwa rezeki, bahaya, dan manfaat datang sepenuhnya dari sisi Allah, sesuai dengan Rububiyah-Nya, yang kemudian menuntut hati hanya bergantung kepada-Nya (Uluhiyah). Ini adalah pengamalan iman yang menenangkan dan membebaskan jiwa dari perbudakan makhluk.
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah."
Ayat ini secara spesifik menekankan Tauhid Uluhiyah dalam konteks ibadah doa (تَدْعُوا). Meskipun konteksnya adalah masjid, maknanya meluas ke seluruh bentuk peribadatan dan tempat suci. Allah menegaskan kepemilikan mutlak-Nya atas tempat-tempat ibadah dan oleh karena itu, doa, yang merupakan inti dari ibadah, harus murni hanya ditujukan kepada-Nya.
Ayat ini secara langsung membantah praktik syirik kubur (syirk al-qubur) dan meminta pertolongan kepada orang mati, wali, atau perantara di tempat-tempat suci. Doa adalah permintaan bantuan yang hanya bisa dipenuhi oleh Dzat yang memiliki Rububiyah. Jika kita berdoa kepada selain Allah—meskipun dengan alasan "perantara" atau "cinta"—itu telah melanggar prinsip falaa tad'uu ma’a Allahi ahadaa.
Kekuatan ayat ini terletak pada penegasan bahwa setiap jengkal tempat suci di bumi adalah milik Allah, dan hak untuk disembah dan dipanggil secara mutlak adalah milik-Nya, tanpa pengecualian.
Dari analisis mendalam terhadap ayat-ayat di atas, jelas bahwa Tauhid bukanlah sekadar pernyataan lisan, melainkan sistem keyakinan yang mencakup seluruh aspek realitas dan eksistensi manusia. Integrasi tiga pilar Tauhid memastikan bahwa tidak ada celah bagi kesyirikan:
Setiap ayat yang mengajarkan tentang Tauhid berfungsi sebagai peringatan dan penegasan bahwa kehidupan yang sejati adalah kehidupan yang dibangun di atas fondasi keesaan mutlak. Tauhid membebaskan manusia dari perbudakan kepada makhluk, ketakutan yang tidak beralasan, dan keraguan yang menghancurkan. Mencapai kemurnian Tauhid berarti mencapai tujuan utama penciptaan manusia, dan itulah kunci keselamatan abadi.