Surah Al-Waqiah (الواقعة), yang berarti "Hari Kiamat" atau "Peristiwa Besar", adalah salah satu surah yang memiliki posisi sangat istimewa dalam Al-Qur'an, terutama di kalangan umat Islam yang mendambakan kelancaran rezeki dan perlindungan dari kefakiran. Surah ini diturunkan di Mekah (Makkiyah) dan merupakan surah ke-56 dalam mushaf Al-Qur'an, terdiri dari 96 ayat. Posisi Surah Al-Waqiah berada di antara Surah Ar-Rahman dan Surah Al-Hadid, membentuk satu kesatuan tematik mengenai hari akhir dan kekuasaan Allah yang tiada tara.
Tema sentral dari Surah Al-Waqiah sangat jelas dan tegas: pengukuhan kebenaran Hari Kiamat, detail mengerikan dan menakjubkan yang akan terjadi pada hari itu, serta pengelompokan manusia menjadi tiga golongan berdasarkan amal perbuatan mereka di dunia. Intonasi surah ini sangat kuat, dimulai dengan sumpah dan berakhir dengan perintah untuk bertasbih, menanamkan keyakinan mutlak akan hari perhitungan.
Kepastian Hari Perhitungan dan Keadilan Mutlak
Selain fokus pada Akhirat, Surah Al-Waqiah dikenal luas karena fadhilahnya yang berkaitan dengan duniawi, khususnya masalah rezeki. Beberapa hadis (meskipun perlu diverifikasi derajat keshahihannya) menyebutkan bahwa membaca Surah Al-Waqiah setiap malam dapat melindungi pembacanya dari kemiskinan dan kesulitan rezeki. Pesan utama di balik fadhilah ini bukanlah sihir atau keberuntungan semata, melainkan hubungan erat antara keyakinan (iman) akan kebesaran Allah (yang diceritakan dalam surah ini) dan tawakkal (penyerahan diri) dalam mencari nafkah.
Keyakinan pada Hari Kiamat, sebagaimana ditekankan dalam surah ini, mendorong manusia untuk beramal saleh, menjauhi maksiat, dan memperkuat hubungan vertikalnya dengan Sang Pencipta. Ketaatan inilah yang menjadi kunci pembuka pintu rezeki yang berkah.
Surah ini dibuka dengan penetapan fakta yang tidak dapat disangkal mengenai hari kebangkitan. Allah SWT langsung menyebutnya dengan nama 'Al-Waqiah'—Peristiwa yang pasti terjadi.
1. Apabila terjadi hari kiamat, 2. Tidak ada seorang pun yang dapat mendustakannya. 3. (Kejadian itu) merendahkan (orang kafir) dan meninggikan (orang mukmin). 4. Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, 5. Dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, 6. Maka ia menjadi debu yang beterbangan, 7. Dan kamu menjadi tiga golongan.
Ayat 1-3 merupakan pernyataan keras tentang inevitabilitas (ketidakmungkinan untuk dihindari). Penggunaan kata kerja لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ (tidak ada pendustaan terhadap kejadiannya) menegaskan bahwa setelah peristiwa itu terjadi, semua keraguan yang ada di dunia akan musnah. Ini adalah penutup total atas perdebatan mengenai eksistensi hari akhir.
Ayat 3, خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ (merendahkan dan meninggikan), adalah deskripsi metaforis tentang efek Kiamat. Kiamat akan merendahkan orang-orang yang sombong, durhaka, dan ingkar di dunia, sekaligus mengangkat derajat orang-orang yang beriman, rendah hati, dan taat. Nilai-nilai duniawi akan terbalik; status, kekayaan, dan kekuasaan duniawi tidak akan berarti lagi. Yang menjadi penentu hanyalah amal.
Ayat 4-6 menggambarkan kehancuran kosmik. Bumi digoncangkan (رَجًّا) dengan goncangan yang luar biasa, dan gunung-gunung (yang kita anggap sebagai pasak bumi yang kokoh) dihancurkan (بَسًّا) hingga menjadi debu halus yang berhamburan (هَبَاءً مُّنْبَثًّا). Deskripsi ini berfungsi untuk menghapus ilusi kekekalan materi dan mengingatkan manusia bahwa tidak ada kekuatan di alam semesta yang mampu bertahan dari kehendak Allah.
Puncak dari bagian ini adalah Ayat 7: وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً (Dan kamu menjadi tiga golongan). Seluruh umat manusia, sejak awal penciptaan hingga akhir zaman, akan diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yang jelas pada hari tersebut. Pembagian ini adalah dasar dari keseluruhan surah.
Pembagian manusia menjadi tiga golongan ini bukan hanya sekadar pembagian, melainkan penegasan sistem keadilan ilahi yang sempurna, di mana setiap kelompok akan menerima balasan yang setimpal dan abadi.
Mereka adalah orang-orang yang paling dahulu beriman, paling cepat merespon seruan kebaikan, dan paling tinggi derajat ketaatannya. Mereka bukan sekadar golongan kanan, tetapi golongan yang terdepan.
10. Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga). 11. Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). 12. Berada di dalam surga kenikmatan. 13. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, 14. Dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian.
Mereka disebut الْمُقَرَّبُونَ (orang-orang yang didekatkan). Ini menunjukkan tingkatan spiritual tertinggi, yakni kedekatan istimewa dengan Allah SWT. Balasan mereka adalah “Jannatun Na’im” (Surga Kenikmatan).
Catatan penting pada Ayat 13-14: mayoritas As-Sabiqun adalah dari umat terdahulu (para nabi, sahabat awal), sedangkan dari umat Nabi Muhammad SAW (yang kemudian) jumlahnya lebih sedikit. Ini menjadi cambuk bagi umat Islam modern untuk meningkatkan kualitas iman dan amal agar termasuk golongan terdepan ini.
Mereka adalah golongan kanan, yang amal kebaikannya lebih berat daripada keburukannya. Mereka adalah mayoritas umat beriman yang menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan, namun tidak mencapai level spiritual tertinggi seperti As-Sabiqun.
27. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. 28. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri, 29. Dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), 30. Dan naungan yang terbentang luas, 31. Dan air yang tercurah terus-menerus.
Kenikmatan Abadi (Sustenance and Paradise)
Deskripsi kenikmatan bagi Ashab Al-Maimanah sangat fokus pada elemen-elemen alami yang sangat berharga di daerah padang pasir: air, naungan, dan buah-buahan yang melimpah.
Berbeda dengan As-Sabiqun yang jumlahnya sedikit, golongan kanan ini didominasi oleh jumlah yang besar dari umat terdahulu (Ayat 39) dan umat yang kemudian (Ayat 40). Ini memberikan harapan besar bagi seluruh umat Islam.
Mereka adalah golongan kiri, yang pada hari itu menerima catatan amal dari sebelah kiri. Mereka adalah golongan orang-orang yang mengingkari Hari Kebangkitan, melakukan dosa besar, dan mendustakan ayat-ayat Allah.
41. Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu. 42. (Mereka) dalam siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendidih, 43. Dan dalam naungan asap hitam yang pekat, 44. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.
Kontrasnya sangat tajam. Jika golongan kanan mendapat naungan sejuk, golongan kiri mendapat naungan dari asap hitam yang mencekik (ظِلٍّ مِّنْ يَحْمُومٍ). Jika golongan kanan mendapat air yang tercurah, golongan kiri mendapat air mendidih (حَمِيمٍ).
Allah menjelaskan mengapa mereka mendapatkan siksa ini:
Sebagai balasan atas pendustaan itu, Allah bersumpah bahwa mereka semua—dari generasi awal hingga akhir—pasti akan dikumpulkan pada Hari yang telah ditentukan. Makanan mereka adalah pohon Zaqqum, dan mereka dipaksa meminum air mendidih setelahnya, seperti unta yang sangat kehausan. Ayat 56 menutup deskripsi ini dengan pernyataan: هَٰذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّينِ (Itulah hidangan yang disajikan kepada mereka pada Hari Pembalasan).
Setelah menggambarkan nasib tiga golongan, surah ini beralih ke argumen logis untuk melawan para pendusta kebangkitan. Allah menghadirkan bukti-bukti sehari-hari dari kekuasaan-Nya yang mutlak di dunia. Jika Allah mampu menciptakan sesuatu dari ketiadaan, mengapa sulit bagi-Nya untuk mengulangi penciptaan?
Allah menantang manusia untuk merenungkan asal-usul mereka sendiri. Siapa yang menciptakan mereka dari setetes mani? Bukankah itu adalah Allah? Ayat ini menekankan bahwa proses penciptaan manusia sangat kompleks dan membuktikan keahlian Sang Pencipta. Jika Allah mampu menciptakan dari awal, Dia pasti mampu memusnahkan dan menciptakan kembali.
Ayat 61 kemudian memperluas cakupan, menegaskan bahwa Allah dapat mengganti umat manusia dengan ciptaan lain yang tidak mereka ketahui (وَنُنْشِئَكُمْ فِي مَا لَا تَعْلَمُونَ). Ini menunjukkan kebebasan mutlak Allah dalam bertindak.
Allah kemudian menantang mereka untuk merenungkan hasil kerja keras mereka dalam bercocok tanam. Siapa yang menumbuhkan benih? Jika Allah berkehendak, Dia bisa membuat tanaman itu menjadi kering dan mati, sehingga mereka hanya bisa meratapi kerugian mereka, padahal merekalah yang menabur benih.
Refleksi ini menghubungkan kepastian rezeki dengan kehendak ilahi. Manusia hanya berusaha, tetapi kuasa pertumbuhan mutlak berada di tangan Allah. Pengendalian atas kehidupan tanaman sama dengan pengendalian atas kehidupan manusia.
Ayat ini berbicara tentang air tawar yang kita minum sehari-hari. Siapa yang menurunkannya dari awan? Jika Allah berkehendak, Dia bisa menjadikannya asin atau pahit. Kenikmatan air yang segar dan mudah diakses adalah rahmat yang sering dilupakan.
Konteks teologisnya adalah: air adalah sumber kehidupan. Jika Allah memberikan sumber kehidupan ini, maka Dia berhak menanyakan bagaimana manusia menggunakannya. Selain itu, jika Allah mampu menurunkan air dari langit, Dia mampu pula mengembalikannya ke dalam perut bumi sehingga manusia tidak bisa mendapatkannya.
Api yang digunakan manusia untuk memasak dan menghangatkan diri adalah bukti kekuasaan lain. Allah bertanya, "Apakah kalian yang menumbuhkan kayu bakar itu, atau Kami yang menumbuhkannya?"
Api digunakan sebagai pengingat akan Neraka Jahannam. Allah menciptakan sumber energi yang bermanfaat di dunia, tetapi Dia juga memperingatkan tentang energi yang menghancurkan di Akhirat. Ini adalah pengingat (تَذْكِرَةً) dan bekal bagi para musafir (مَتَاعًا لِّلْمُقْوِينَ).
Keseluruhan bagian ini menyimpulkan bahwa jika manusia menerima dan menikmati semua nikmat primer (penciptaan diri, makanan, air, energi), maka menolak kekuasaan Allah untuk membangkitkan kembali adalah suatu kebodohan logis. Semua bukti alamiah ini adalah persiapan menuju pengakuan yang lebih besar: kebenaran Al-Qur'an.
Bagian ini memberikan penekanan luar biasa pada otoritas firman Allah (Al-Qur'an) sebagai sumber kebenaran tentang Kiamat dan balasan.
75. Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. 76. Dan sesungguhnya sumpah itu benar-benar sumpah yang besar, kalau kamu mengetahui. 77. Sesungguhnya ia (Al-Qur'an) ini benar-benar bacaan yang sangat mulia. 78. Dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). 79. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Allah bersumpah dengan بِمَوَاقِعِ النُّجُومِ (tempat-tempat terbenamnya bintang-bintang). Sumpah ini sangat agung karena berkaitan dengan ciptaan yang sangat besar, yaitu sistem tata surya dan galaksi yang kompleks. Bintang-bintang diibaratkan sebagai entitas raksasa yang bergerak dengan perhitungan luar biasa tepat. Jika pergerakan benda langit yang mereka saksikan itu sudah begitu menakjubkan, maka kebenaran yang diungkapkan setelah sumpah itu pastilah kebenaran yang tak tertandingi.
Sumpah ini ditujukan untuk menguatkan pernyataan berikutnya: إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ (Sesungguhnya ia adalah Al-Qur'an yang mulia).
Al-Qur'an adalah mulia (Karim) karena berasal dari sumber yang mulia. Ayat 78-79 menjelaskan dua aspek kesucian:
Ayat 81 mengecam para pendusta: أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ (Maka apakah kamu menganggap remeh perkataan ini?). Kata Mudhinun (مُّدْهِنُونَ) berarti menganggap enteng, atau bersikap lalai. Padahal, ini adalah firman yang didukung oleh sumpah teragung di alam semesta.
Ayat 82 memberikan kritik tajam terhadap rasa syukur yang minim. Bukannya bersyukur atas rezeki dan petunjuk yang diberikan, balasan dari mereka (pendustaan) justru menjadikan rezeki (rezek mereka sendiri) sebagai bahan untuk mendustakan Allah.
Surah ini mencapai klimaksnya dengan deskripsi momen kematian (Sakaratul Maut), saat mana semua keraguan akan kebenaran akan musnah, tetapi penyesalan sudah tidak berguna.
83. Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, 84. Padahal kamu ketika itu melihat, 85. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.
Ayat 83-85 adalah tantangan retoris. Ketika nyawa seseorang mencapai tenggorokan (Hulqum), mengapa tidak ada satu pun manusia yang mampu mengembalikannya? Manusia melihat proses kematian itu terjadi, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Allah menegaskan bahwa Dia (melalui para malaikat-Nya) jauh lebih dekat dengan orang yang sekarat itu daripada orang-orang yang menangis di sekitarnya, meskipun kedekatan itu tidak terlihat oleh mata manusia.
Jika mereka memang benar-benar tidak akan dihidupkan kembali (seperti yang mereka klaim di dunia), mengapa mereka tidak dapat mengembalikan nyawa yang akan keluar itu? Ketidakberdayaan di hadapan kematian adalah bukti terbesar atas kelemahan manusia dan kekuasaan mutlak Allah.
Surah ini kembali menegaskan takdir dari tiga golongan yang telah diperkenalkan di awal. Di momen sakaratul maut, takdir abadi seseorang mulai terlihat.
Penyebutan tiga nasib ini di penghujung surah berfungsi sebagai kesimpulan yang kuat dan peringatan terakhir: kepastian yang telah dijelaskan sejak Ayat 1 akan terwujud sepenuhnya pada saat nyawa dicabut.
Surah ini ditutup dengan dua pernyataan penting:
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ (95): Sesungguhnya ini adalah kebenaran yang yakin. Ini adalah penegasan tertinggi (Haqqul Yaqin) dari semua detail yang telah dijelaskan, tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya.
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ (96): Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabb-mu Yang Maha Agung. Ini adalah perintah penutup yang logis. Menghadapi kekuasaan dan keagungan yang begitu rupa, respons yang paling tepat dari hamba adalah mensucikan dan memuji Allah SWT.
Popularitas Surah Al-Waqiah sering dikaitkan dengan janji kelancaran rezeki. Untuk memahami kaitan ini secara benar, kita harus melihat bagaimana keyakinan terhadap Hari Kiamat (tema utama surah) mempengaruhi kualitas hidup duniawi, termasuk rezeki.
Surah Al-Waqiah secara eksplisit menghancurkan ilusi manusia bahwa mereka adalah penguasa mutlak atas rezeki mereka. Melalui pertanyaan retoris tentang benih, air, dan api, Allah mengajarkan bahwa:
Oleh karena itu, janji "terhindar dari kemiskinan" bukanlah karena pembacaan mekanis semata, melainkan karena pembacaan yang menanamkan keyakinan yang menggerakkan amal saleh. Seseorang yang meyakini detail Kiamat yang diceritakan dalam Al-Waqiah akan berjuang menjadi golongan kanan, dan perjuangan ini menuntut integritas, kejujuran, dan kegigihan yang pada akhirnya akan memudahkan urusan duniawi dan rezekinya.
Ketiga golongan tersebut mengajarkan bahwa rezeki sejati bukanlah jumlah harta, melainkan kualitas kehidupan. Rezeki terbaik bagi Mukmin adalah ‘Rauh’ (kenyamanan) dan ‘Raihan’ (wewangian) yang menyambut ruhnya saat sakaratul maut, serta Surga kenikmatan abadi.
Kemiskinan yang ditakuti dalam konteks surah ini adalah kemiskinan spiritual (kufur nikmat) dan kemiskinan abadi (siksaan Neraka), bukan hanya kemiskinan materi. Ketika hati seseorang kaya akan iman, kebutuhan materialnya akan dicukupi oleh Allah, sesuai janji-Nya kepada orang-orang yang bertakwa.
Praktek membaca Surah Al-Waqiah secara rutin, khususnya di malam hari, adalah bentuk istiqamah yang menunjukkan keseriusan hamba dalam mencari keridaan Allah. Istiqamah dalam ibadah adalah salah satu penarik rezeki terbesar. Ketika Surah Al-Waqiah dibaca dengan tadabbur (perenungan mendalam), setiap ayatnya menjadi motivasi untuk bekerja lebih jujur, bersedekah lebih ikhlas, dan bersyukur lebih sering. Inilah resep yang dijanjikan Al-Qur'an untuk mendapatkan keberkahan rezeki di dunia dan kemuliaan di akhirat.
Inti dari surah ini adalah panggilan untuk hidup dengan kesadaran penuh akan pertanggungjawaban abadi. Kesadaran ini menciptakan manusia yang produktif, jujur, dan berintegritas, kualitas yang secara otomatis menarik keberkahan dan kelapangan hidup.
Pemilihan diksi dalam surah ini sangat kuat. Kata Al-Waqiah (الواقعة) adalah nomina pelaku dari akar kata waqa’a (terjadi), namun maknanya lebih berat daripada sekadar 'kejadian'. Ini menyiratkan peristiwa yang jatuh dengan kekuatan dan ketidakmungkinan untuk dihindari. Ia sudah 'ditakdirkan untuk terjadi' (inevitable).
Kontrasnya, di bagian penutup, Allah menggunakan istilah Haqqul Yaqin (حق اليقين). Dalam terminologi Islam, yakin memiliki tiga tingkatan:
Dengan menutup surah dengan Haqqul Yaqin, Al-Qur'an menyatakan bahwa Kiamat dan balasan di dalamnya adalah kebenaran yang tidak hanya akan dilihat atau diketahui, tetapi akan dialami secara personal oleh setiap individu. Ini menekankan urgensi persiapan amal.
Ayat 4-6 menggambarkan goncangan (رجًّا) dan penghancuran gunung (بَسًّا). Dalam konteks geologi, gunung dianggap sebagai penyeimbang stabilitas bumi (pasak). Penghancuran gunung hingga menjadi debu beterbangan (هَبَاءً مُّنْبَثًّا) menunjukkan pembalikan total sistem kosmik. Gunung, simbol stabilitas dunia, diubah menjadi partikel tak berarti. Ini adalah pengingat bahwa semua yang dianggap kokoh di dunia ini hanyalah relatif dan fana di hadapan kehendak ilahi. Perenungan terhadap kehancuran ini seharusnya menghilangkan ketergantungan manusia pada kekayaan material yang pada akhirnya akan menjadi debu yang sama.
Metode Surah Al-Waqiah dalam menggambarkan surga dan neraka sangat efektif karena menggunakan kontras yang ekstrem, seringkali menggunakan objek yang sama namun dengan kualitas yang terbalik:
Kontras ini bukan hanya sekadar deskripsi, melainkan alat didaktik yang bertujuan memotivasi Mukmin dan menakut-nakuti Kafir, mendorong setiap pembaca untuk memilih jalur yang mengarah pada kesejahteraan abadi.
Surga digambarkan tidak hanya dari segi materi, tetapi juga dari segi kualitas pelayanannya dan kesucian lingkungannya. Pelayan mereka, غِلْمَانٌ مُّخَلَّدُونَ (pemuda-pemuda yang kekal), disifati tidak pernah menua, menunjukkan bahwa kenikmatan Surga tidak akan pernah memudar. Minuman khamr Surga ditekankan tidak memabukkan (لا يُصَدَّعُونَ عَنْهَا), menghilangkan satu-satunya keburukan yang ada pada minuman keras di dunia. Segala kekurangan duniawi dihilangkan dari kenikmatan Surga.
Deskripsi bidadari sebagai كَلُؤْلُؤٍ مَّكْنُونٍ (seperti mutiara yang tersimpan rapi) menggarisbawahi keindahan murni dan terpelihara yang belum pernah tersentuh oleh pandangan. Ini menanamkan konsep bahwa keindahan Surga melampaui segala bentuk keindahan yang fana di bumi.
Salah satu pelajaran terbesar dari ayat-ayat tentang air dan api (Ayat 68-73) adalah bahwa rezeki dan fasilitas hidup tidak seharusnya dianggap sebagai hak, melainkan sebagai pinjaman dan karunia. Allah bertanya:
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum.)
أَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ (Apakah kamu yang menurunkannya dari awan atau Kami yang menurunkannya?)
Sangat mudah bagi manusia modern untuk melupakan bahwa meskipun mereka membangun pipa dan instalasi pengolahan, sumber air tawar tetaplah anugerah yang rentan. Jika Allah berkehendak, air akan menjadi air laut (asin) atau diserap ke dalam tanah. Kesadaran bahwa sumber rezeki berada di luar kendali mutlak manusia menuntut sikap rendah hati dan syukur yang maksimal.
Ayat 82 mengkritik kurangnya syukur ini dengan keras: وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ (Dan kamu menjadikan rezeki (yang kamu terima) itu sebagai sarana untuk mendustakan (Allah)). Artinya, alih-alih bersyukur, manusia justru menggunakan kekuatan dan kekayaan yang Allah berikan untuk berpaling dari-Nya dan mendustakan hari perhitungan.
Ayat 83-87, yang membahas momen nyawa di kerongkongan, adalah puncak emosional surah ini. Momen ini dipilih karena ia adalah pengalaman universal. Semua manusia menyaksikan atau mengalami kelemahan mutlak di hadapan kematian. Saat itu, segala kemewahan dan kesombongan duniawi menjadi nol.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَٰكِن لَّا تُبْصِرُونَ (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.) Kedekatan Allah ini merujuk pada kehadiran malaikat maut dan malaikat pencatat amal yang sedang menuntaskan tugas mereka. Meskipun manusia di sekitarnya sibuk menangisi, Allah dan malaikat-Nya sedang mengambil keputusan akhir takdir ruh tersebut.
Kesadaran akan momen ini mendorong pembaca untuk bertobat sebelum terlambat. Karena begitu nyawa mencapai kerongkongan, waktu amal telah berakhir, dan yang tersisa hanyalah menunggu balasan: ketenangan, salam, atau neraka.
Surah ini ditutup dengan perintah tasbih (Ayat 96). Setelah melalui perjalanan kosmik dari kehancuran Kiamat, pengadilan, detail balasan surga dan neraka, dan bukti-bukti penciptaan, hati pembaca seharusnya dipenuhi oleh keagungan Allah. Perintah فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ (Maka bertasbihlah dengan nama Rabb-mu Yang Maha Agung) adalah respons alami dan kewajiban hamba. Tasbih adalah pengakuan bahwa Allah terbebas dari segala kekurangan dan bahwa Dia adalah sumber keagungan mutlak. Ini adalah cara untuk mengakhiri surah, mengembalikan fokus dari ketakutan akan siksa menuju pengagungan Sang Pencipta yang memiliki kuasa atas segalanya.
Dengan demikian, Surah Al-Waqiah adalah peta jalan menuju kesejahteraan spiritual dan material. Ia mengajarkan bahwa mencari rezeki haruslah sejalan dengan keyakinan akan Hari Kiamat. Kekayaan yang dikejar tanpa iman hanya akan berakhir di jurang Ashab Al-Mash'amah, sementara ketaatan yang tulus akan membimbing kita menuju kebahagiaan sejati di Surga kenikmatan abadi.
Perintah Bertasbih dengan Nama Allah Yang Maha Agung
Keseluruhan Surah Al-Waqiah adalah bukti otentik dan argumentasi ilahi yang sempurna, mengajarkan bahwa hidup di dunia adalah perjalanan singkat menuju takdir abadi. Kesejahteraan rezeki di dunia hanyalah cerminan kecil dari rezeki abadi yang menanti di Surga bagi mereka yang meyakini dan mengamalkan ajaran yang dibawa oleh Al-Qur'an.